Senin, 19 Mei 2014

Psikologi Agama I Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan I Agama dalam Kehidupan Individu




Agama dalam kehidupan individu berfungi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agarsejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sitem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.

Menurut, Mc Guire, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama. Segala bentuk simbol-simbol keagamaan, mukjizat, magis maupun upacara ritual sangat berperan dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seseorang. Setelah terbentuk, maka seseorang secara serta merta mampu menggunakan sistem nilai ini dalam memahami, mengevaluasi serta menafsirkan situasi dan pengalaman. Dengan kata lain sistem nilai yang dimilikinya terwujud dalam bentuk norma-norma tentang bagaimana sikap diri. Misalnya seorang sampai pada kesimpulan: Saya berdosa, saya seorang yang baik, saya seorang pahlawan yang sukses ataupun saya saleh dan sebagainya.

Pada garis besarnya, menurut Mc Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan msyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc. Guire:26). Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir dan pola bersikap (E.M.K.Kaswardi,1993:20).

Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk mengorbankan hidup mereka demi memepertahankan nilai. Dalam katannya dengan kehidupan beragama, contoh-contoh seperti nilai terlihat pada kasus harakiri (shinto), ataupun kesyahidan (martyrdom). Di sini terlihat bahwa kerelaan berkorban akan meningkat, jika sistem nilai yang berpengaruh terhadap seseorang sudah dianggap sebagai prinsip.

Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional. Dan gabungan dari kedua aspek ini yang menentukan sesuatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip (E.M.K.Kaswardi,1993:20). Namun dalam keadaan tertentu dapat saja unsur emosional yang lebih berperan, sehingga seseorang larut dalam dorongan rasa. Kondisi seperti ini pula agaknya yang dialami para penganut aliran mistisisme. Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang penting adalah sebagai pembentukan kata hati (conscience). Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich Fromm, 1988:110). Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didsarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur kehormatan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm:11). Boleh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebagai kesadaran akan prinsip-prinsip moral (Erich Fromm:111).

Erich Fromm membagi kata hati menjadi : 1) kata hati otoritarian; dan kata hati humanistik. Kata hati otoritarian dibentuk oleh pengaruh luar, sedangkan kata hati humanistik bersumber dari dalam diri manusia. Kata hati humanistik adalah pernyataan kepentingan diri dan integrasi manusia, sementara kata hati otoritarium berkatiandengan kepatuhan, pengorbanan diri dan tugas manusia atau penyesuaian sosialnya (Erich Fomm:112-123).

Erich fromm melihat manusia sebagai makhluk yang secara individu telah memiliki potensi humanistik dalam dirinya. Kemudian selain itu idndividu juga menrima nilai-nilai bentukan dari luar. Keduanya memebntuk kata hati dalam diri manusia. Dan apabila keduanya berjalan seiring secara harmonis, maka manusia akan merasa bahagia.

Dalam melukiskan mengenai peran kata hati itu Erich Fromm menampilkan contoh cerita novel yang berjudul Pemeriksaan Pengadilan. Cerita itu mengungkapkan rasa bersalah seorang manusia yang dipersalahkan oleh otoritas yang tampak (Erich Fromm:129). Pendekatan psikoanalisis yang dikemukakan oleh Erich Fromm mendekati pemahaman adanya fitrah manusia sebagai suatu kesucian. Bedanya, jika Erich Fromm melihat bahwa kata hati humanistik itu terbentuk berdasarkan latar belakang sejarah kemanusiaan, maka pendekatan agama (Islam) melihat fitrah kesucian sebagai anugerah Tuhan.

Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersbut adalah: 1) hidayat al-ghariziyyat (naluriah); 2) hidayat al-Hissiyyat (inderawi); 3) hidayat al-aqliyat (nalar); dan 4) hidayat al-Diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang.

Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juaga merupakan harapan.

Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.

Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadpa pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang gaib (supernatural).

Motivasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harpan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdoa. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama. 


 
Sumber : Buku Psikologi Agama, Jalaluddin

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...