Agama dalam kehidupan
individu berfungi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara
umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah
laku agarsejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sitem nilai
agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan
sebagai bentuk ciri khas.
Menurut, Mc Guire,
berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan
sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi
sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat
dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan
apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan
Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama. Segala
bentuk simbol-simbol keagamaan, mukjizat, magis maupun upacara ritual sangat
berperan dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seseorang. Setelah terbentuk,
maka seseorang secara serta merta mampu menggunakan sistem nilai ini dalam
memahami, mengevaluasi serta menafsirkan situasi dan pengalaman. Dengan kata
lain sistem nilai yang dimilikinya terwujud dalam bentuk norma-norma tentang
bagaimana sikap diri. Misalnya seorang sampai pada kesimpulan: Saya berdosa,
saya seorang yang baik, saya seorang pahlawan yang sukses ataupun saya saleh
dan sebagainya.
Pada garis besarnya,
menurut Mc Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu
dan msyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran
dalam mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc. Guire:26). Pengaruh sistem
nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan
sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya
nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir dan
pola bersikap (E.M.K.Kaswardi,1993:20).
Nilai adalah daya
pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan
seseorang. Karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga
tidak jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk mengorbankan hidup mereka
demi memepertahankan nilai. Dalam katannya dengan kehidupan beragama,
contoh-contoh seperti nilai terlihat pada kasus harakiri (shinto), ataupun
kesyahidan (martyrdom). Di sini terlihat bahwa kerelaan berkorban akan
meningkat, jika sistem nilai yang berpengaruh terhadap seseorang sudah dianggap
sebagai prinsip.
Nilai mempunyai dua
segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional. Dan gabungan dari kedua aspek
ini yang menentukan sesuatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam
kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang dominan,
maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip (E.M.K.Kaswardi,1993:20). Namun
dalam keadaan tertentu dapat saja unsur emosional yang lebih berperan, sehingga
seseorang larut dalam dorongan rasa. Kondisi seperti ini pula agaknya yang
dialami para penganut aliran mistisisme. Dilihat dari fungsi dan peran agama
dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai,
motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang penting adalah sebagai
pembentukan kata hati (conscience). Kata
hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich
Fromm, 1988:110). Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral
di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang
didsarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur
kehormatan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm:11). Boleh dikatakan,
filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebagai kesadaran
akan prinsip-prinsip moral (Erich Fromm:111).
Erich Fromm membagi
kata hati menjadi : 1) kata hati otoritarian; dan kata hati humanistik. Kata hati
otoritarian dibentuk oleh pengaruh luar, sedangkan kata hati humanistik
bersumber dari dalam diri manusia. Kata hati humanistik adalah pernyataan
kepentingan diri dan integrasi manusia, sementara kata hati otoritarium
berkatiandengan kepatuhan, pengorbanan diri dan tugas manusia atau penyesuaian
sosialnya (Erich Fomm:112-123).
Erich fromm melihat
manusia sebagai makhluk yang secara individu telah memiliki potensi humanistik
dalam dirinya. Kemudian selain itu idndividu juga menrima nilai-nilai bentukan
dari luar. Keduanya memebntuk kata hati dalam diri manusia. Dan apabila
keduanya berjalan seiring secara harmonis, maka manusia akan merasa bahagia.
Dalam melukiskan
mengenai peran kata hati itu Erich Fromm menampilkan contoh cerita novel yang
berjudul Pemeriksaan Pengadilan. Cerita itu mengungkapkan rasa bersalah seorang
manusia yang dipersalahkan oleh otoritas yang tampak (Erich Fromm:129). Pendekatan
psikoanalisis yang dikemukakan oleh Erich Fromm mendekati pemahaman adanya
fitrah manusia sebagai suatu kesucian. Bedanya, jika Erich Fromm melihat bahwa
kata hati humanistik itu terbentuk berdasarkan latar belakang sejarah kemanusiaan,
maka pendekatan agama (Islam) melihat fitrah kesucian sebagai anugerah Tuhan.
Pada diri manusia telah
ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersbut
adalah: 1) hidayat al-ghariziyyat
(naluriah); 2) hidayat al-Hissiyyat (inderawi); 3) hidayat al-aqliyat (nalar); dan
4) hidayat al-Diniyyat (agama). Melalui
pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir.
Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi
yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat
dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya
jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi
lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang.
Berdasarkan pendekatan
ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan
batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif
ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan
individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juaga merupakan harapan.
Agama berpengaruh
sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas,
karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai
mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh
diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena
dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara
mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.
Sebaliknya agama juga
sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah
agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadpa pengampunan atau kasih
sayang dari sesuatu yang gaib (supernatural).
Motivasi mendorong
seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai
etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji menjaga amanat dan
sebagainya. Sedangkan harpan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas,
menerima cobaan yang berat ataupun berdoa. Sikap seperti itu akan lebih terasa
secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.
Sumber : Buku Psikologi
Agama, Jalaluddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar