Ada dua macam aliran
pandangan yang berbeda dalam melihat profesi mengajar. Aliran pertama
menganggap mengajar sebagai “ilmu”, sedangkan aliran kedua menganggap mengajar
sebagai “seni”.
Mengajar Sebagai Ilmu
Sebagian ahli memandang
mengajar sebagai ilmu (science). Oleh
karenanya, guru merupakan sosok pribadi manusia yang memang sengaja dibangun
untuk menjadi tenaga profesional yang memiliki profesional (berpengetahuan dan
berkemampuan tinggi) dalam dunia pendidikan yang berkompeten untuk melakukan
tugas mengajar.
Siapa pun, asal
memiliki profesiensi dalam bidang ilmu pendidikan akan mampu melakukan
perbuatan mengajar dengan baik. Penguasaan seorang guru atas materi pelajaran
bidang tugasnya adalah juga penting, tetapi yang lebih penting ialah
penguasaannya atas ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tugas mengajarnya.
Seorang pakar psikologi
pendidikan, J.M. Stephens, berpendapat bahwa seorang yang profesional
seharusnya memiliki keyakinan yang mendalam terhadap ilmu yang berhubungan
dengan proses kependidikan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah besar itu. Hal
ini penting, karena menurutnya mengajar itu terkadang berbentuk proses yang
emosional dan entusiastik yang dapat menghambat penerapan secara persis
teori-teori ilmu pengetahuan (Barlow, 1985).
Oleh sebab itu, untuk
memahami sekaligus menerapkan sebuah teori proses mengajar, guru hendaknya
pandai-pandai menyimpan perasaan dan harapan emosional dalam tempat penyimpanan
yang dingin. Kemudian, hendaknya ia berusaha menghadapi kenyataan dengan akal
terbuka. Meskipun guru harus berani menghadapi kenyataan, ia tidak perlu
mengorbankan diri menjadi hamba sahaya kenyataan itu sendiri.
Aliran pandangan yang
menganggap mengajar sebagai ilmu dapat menimbulkan konotasi bahwa seseorang
yang dikehendaki menjadi guru, misalnya oleh orangtuanya sendiri, akan dapat
menjadi guru yang baik asal ia dididik di sekolah atau fakultas keguruan.
Dari uraian di atas jelas
bahawa aliran yang memandang mengajar sebagian ilmu itu diilhami oleh teori
perkembangan klasik yang disebut empirisisme yang dipelopori oleh John Locke
(1632-1704). Menurut teori ini, pembawaan dan bakat yang diturunkan oleh
orangtua tidak berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan kehidupan seseorang,
sebab pada dasarnya setiap manusia pasti lahir dalam keadaan kososng. Hendak menjadi
apa manusia itu kelak setelah dewasa, bergantung pada lingkungan dan
pengalamannya, terutama pengalaman dan lingkungan belajarnya. Jadi, seorang
anak manusia yang memeroleh peluang yang baik untuk belajar ilmu
pendidikan/keguruan, tentu ia akan menjadi seorang guru yang profesional dalam
mengajar, bukan menjadi petani walaupun kedua orangtuanya petani sejati.
Sumber : Buku
Psikologi Pendidkan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar