Jumat, 16 Mei 2014

Syi'ah I Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah




Syia’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW, atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segalapetunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.

Menurut Thabathbai, istilah Syiah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammat bin Yasir.

Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.

Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.

Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW. pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW. diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Dicertakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammmad, Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di suatu padang pasir yang dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernaman Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (wahyat-I ‘ammah), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.

Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang pergi ke mesjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan ali dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith accompli).

Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.

Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah ‘perpecahan’ dalam Islam yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib, tepatnya setelah Perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan Hadis-hadis yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya syi’ah sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secara terang-terangan, memang baru muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul segera setelah wafatnya Nabi.

Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani Umayah. Yazid bin Mua’wiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu nabi SAW. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl al-bait.

Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bait di hadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bait); dan adl (keadilan Ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah terletak pada doktrin imamah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Di antara sekte-sekte Syi’ah itu adalah Itsma Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan Ghullat.


Sumber : Buku Ilmu Kalam, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar 

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...