Tugas dan tanggung
jawab guru sebagai pendidik adalah membantu dan membimbing siswa untuk mencapai
kedewasaan seluruh ranah kejiwaan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan,
baik kriteria institusional maupun konstitusional. Untuk dapat mnjalankan tugas
dan tanggung jawabnya itu, guru berkewajiban merealisasikan segenap upaya yang
mengarah pada pengertian membantu dan mem siswa dalam melapangkan jalan menuju
perubahan positif seluruh ranah kejiwaannya. Dalam hal ini, kegiatan nyata yang
paling utama dalam member bantuan dan bimbingan itu adala mengajar.
Definisi Mengajar
Pengertian yang umum
dipahami orang terutama mereka yang awam dalam bidang-bidang studi
kependidikan, ialah bahwa mengajar itu merupakan penyampaian pengetahuan dan
kebudayaan kepada siswa. Dengan demikian, tujuannya pun hanya berkisar sekitar
pencapaian penguasaan siswa atas sejumlah pengetahuan dan kebudayaan. Dari pengertian
semacam ini timbul gambaran bahwa peranan dalam proses pengajaran hanya
dipegang oleh guru, sedangkan murid dibiarkan pasif.
Arifin (1978)
mendefinisikan mengajar sebagai “… suatu
rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat
menerima, menanggapi, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran itu”. Definisi
itu tidak jauh berbeda dengan definisi orang awam diatas, karena sama-sama
menekankan penguasaan pengetahuan (bahan pelajaran) belaka. Nuansa (perbedaan
tipis sekali) yang terdapat dalam definisi ini adalah adanya pengembangan
penguasaan siswa atas materi pelajaran. Namun, citra pengajaran yang hanya
terpusat pada guru masih juga tergambar dengan jelas. Dengan demikian, siswa
selaku peserta didik dalam definisi Arifin di atas, tetap tidak atau kurang
aktif.
Tyson dan Caroll
(1970), setelah mempelajari secara seksama sejumlah teori pengajaran, menyimpulkan
bahwa mengajar ialah … a way working with
students … a process of interaction… the teacher does something in return. Dari
definisi ini tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses
hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan
kegiatan.
Sehubungan dengan
definisi itu, Tyson dan Caroll menetapkan sebuah syarat, yakni apabila
interaksi antarpersonal (guru dan siswa) di dalam kelas terjadi dengan baik,
maka kegiatan belajar akan terjadi. Sebaliknya, jika interaksi guru-siswa
buruk, maka kegiatan belajar siswa pun tidak akan terjadi atau mungkin terjadi
tetapi tidak sesuai dengan harapan.
Nasution (1986)
berpendapat bahwa mengajar adalah “…
suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan
menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Lingkungan dalam
pengertian ini tidak hanya ruang kelas (ruang belajar), tetapi juga meliputi
guru, alat peraga, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang relevan
dengan kegiatan belajar siswa.
Tardif (1989)
mendefinisikan mengajar secara lebih sederhana tetapi cukup komprehensif dengan
menyatakan bahwa mengajar itu pada prinsipnya adalah … any action performed by an individual (the teacher) with the intention
of facilitating learning in another individual (the learner). Artinya,
mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan
tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini siswa) melakukan
kegiatan belajar.
Kata the the teacher (guru) dan the learner (orang yang belajar atau
siswa) dalam definisi Tardif itu semata-mata hanya sebagai contoh yang mewakili
dua individu yang sedang berinteraksi dalam proses pengajaran. Jadi, interaksi
antar-individu di luar definisi tadi juga bisa terjadi, misalnya antara
orangtua dengan anak atau antara kiai dengan santri.
Biggs (1991), seorang
pakar psikologi kognitif masa kini, membagi konsep mengajar dalam tiga macam
pengertian.
a. Pengertian
kuantitatif (yang menyangkut jumlah pengetahuan yang diajarkan).
b. Pengertian
institusional (yang menyangkut kelembagaan atau sekolah).
c. Pengertian
kualitatif (yang menyangkut mutu hasil yang ideal).
Dalam pengertian
kuantitatif, mengajar berarti the transmission of knowledge, yakni penularan
pengetahuan. Dalam hal ini, guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang
studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Di luar itu,
kalau perilaku belajar siswa tidak memadai atau gagal mencapai hasil yang diharapkan,
maka kesalahan ditimpakan kepada siswa. Jadi, kegagalan dianggap semata-mata
karena siswa sendiri yang kurang kemampuan, kurang motivasi, atau kurang
persiapan.
Dalam pengertian
institusional, mengajar berarti … the efficient
orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar
secara efisisen. Dalam pengertian ini, guru dituntut untuk selalu siap
mengadaptasikan berbagai teknik mengajar untuk bermacam-macam siswa yang
berbeda bakat, kemampuan, dan kebutuhannya.
Pengertian di atas
jelas lebih ideal daripada pengertian sebelumnya karena adanya perhatian yang
memadai dari pihak guru terhadap kemampuan, bakat dan kebutuhan para siswa. Mengajar
dengan adaptasi teknik seperti yang tercermin dalam definisi institusional tadi
sudah dilaksanakan oleh mayoritas guru sekolah menengah di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Australia.
Selanjutnya, dalam
pengertian kualitatif, mengajar berarti the
facilitation of learning yakni upaya membantu memudahkan kegiatan belajar
siswa. Dalam hal ini, guru berinteraksi sedemikian rupa dengan siswa sesuai
dengan konsep kualitatif, yakni agar siswa belajar dalam arti membentuk makan
dan pemahamannya sendiri. Jadi, guru tidak menjejalkan pengetahuan kepada
murid, tetapi melibatkannya dalam aktivitas belajar yang efisien dan efektif. Pengajran
kualitatif ini lebih terpusat pada siswa (student
centered), sedangkan pengajaran kuantitatif lebih terpusat pada guru (teacher centerd). Dalam pendekatan
pengajaran institusional pun sesungguhnya masih mengandung ciri pemusatn pada
kegiatan guru, namun tidak seekstrem pendekatan pengajaran kuantitatif.
Dari bermacam-macam
definisi yang telah penyusun utarakan, kecuali definisi pertam di ats, dapat
ditarik benang merah yang menghubungkan pandangan para ahli tadi, yakni bahwa
mengajr itu pada intinya mengarah pad timbulnya perilaku belajar siswa. Inti penimbulan
perilaku belajar ini tercermin terutama dalam definisi Tyson dan Caroll (1970),
definisi Nasution (1986), dan definisi Biggs (1991) dalam hal mengajar
kualitatif.
Selanjutnya, mengingat
tuntutan psikologis dan sosiologis yang tercermin dalam perundang-undangan
kependidikan di negara kita, sudah selayaknya mengajar itu diartikan secara
representatif dan komprehensif dalam arti menyentuh segenap aspek psikologis
siswa. Kedudukan guru dalam pengertian ini sudah tak dapat lagi dipandang
sebagai penguasa tunggal dalam kelas atau sekolah, tetapi dianggap sebagai
manager of learning (pengelola belajar) yang perlu senantiasa siap membimbing
dan membantu para siswa dalam menempuh perjalanan menuju kedewasaan mereka
sendiri yang utuh menyeluruh.
Sumber : Buku Psikologi
Pendidkan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar