Sebagian ahli lainnya
memandang bahwa mengajar adalah seni (art),
bukan ilmu. Oleh karenanya, tidak semua orang berilmu (termasuk orang yang
berilmu pendidikan) bisa menjadi guru yang piawai dalam hal mengajar.
Memang sulit disangkal
bahwa untuk menjadi guru yang profesional orang harus belajar dan berlatih di
lingkungan instansi pendidikan keguruan selama bertahun-tahun. Namun, kenyataan
lain menunjukkan bahwa dalam mengajar terdapat faktor “tertentu” yang abstrak
dan hampir mustahil dipelajari. Bahkan faktor misterius ini tak dapat
diterangkan dengan jelas.
Sebagai contoh, seorang
pakar yang “mumpuni” dalam sebuah bidang studi umpamanya bidang studi agama dan
bahkan telah memiliki pengetahuan keguruan yang cukup, belum tentu mahir mengajar
agama kepada orang lin. Dalam kenyataan sehari-hari terkadang kita saksikan
seorang guru agama atau bahkan seorang yang terlanjur berpredikat ulama yang
sama sekali tidak menarik dan membosankan ketika ia berceramah atau berdiskusi
mengenai masalah keagamaan.
Sebaliknya, ada pula
seorang pengajar madrasah diniyah yang hanya berpredikat santri biasa dan tak
pernah mengikuti sekolah keguruan tetapi ternyata berhasil menjadi guru agama
yang baik. Santri itu cukup piawai dalam mentransfer pengetahuan, sikap, dan
keterampilan keagamaannya kepada murid-muridnya. Setiap mengajar, ia selalu
berpenampilan menarik dan selalu berbeda dalam gaya dan cara penyampaian aneka
ragam pokok bahasan pelajaran yang menjadi tugasnya. Sehingga, murid-muridnya
tak pernah merasa bosan atau merasa terpaksa mengikuti proses belajar dan
mengajar yang dipimpin oleh “guru santri” itu.
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang ada, seperti contoh-contoh di atas, maka cukup kuatlah
eksistensi aliran yang memandang bahwa mengajar adalah seni, dan kecakapan
mengajar yang notabene artistik itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang
berbakat. Bakat (aptitude) tertentu,
yang telah penyusun uraikan dalam Bab 5 Subbab E itu, merupakan bagian penting
pembawaan manusia yang tak dapat dipelajari, tetapi sangat mungkin “menitis”
dan mewarnai potensi pembawaan anak-cucu keturunan orang yang memiliki bakat
tertentu tadi. Dengan demikian, menurut aliran yang memandang mengajar sebagai
seni, seseorang hanya dapat mengajar dengan baik semata-mata karena bakat yang
dimilikinya. Dengan kata lain, orang itu menjadi guru (yang kompeten dan
profesional) karena ia telah ditakdirkan lahir sebagai seorang guru.
Sehubungan dengan
pandangan di atas, seorang guru besar sastra Gilbert Hight dalam bukunya The Art of Teaching (Seni Mengajar)
menegaskan bahwa, … teaching is an art,
not a science yakni mengajar adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu (barlow,
1985). Menurutnya, penerapan tujuan dan metode sebuah ilmu kepada manusia itu
(dalam pengajaran) sangat berbahaya, meskipun prinsip statistik dan diagnosis
saintifik dapat menjelaskan tingkah laku dan struktur fisik aneka ragam
kelompok manusia.
Selain itu, mengajar
secara ilmiah (scientific teaching)
juga tak akan pernah memadai selama guru dan siswa masih sama-sama berstatus
manusia yang tentu memiliki perasaan dan nilai di luar jangkauan ilmu.
Mengajar, menurut guru besar sastra tadi bukan seperti membangkitkan reaksi
kimiawi, melainkan sperti menggambar sebuah lukisan, atau menata sebuah musik,
atau menanami kebun bunga, atau menulis sepucuk surat yang bersahabat. Ilmu
memang perlu, namun dalam kegiatan mengajar seperti juga dalam
kegiatan-kegiatan yang dicontohkan tadi, memerlukan lebih banyak seni (art) daripada ilmu (science).
Selanjutnya, patut
dikemukakan bahwa aliran pertama yang menganggap mengajar sebagai ilmu itu sama
dengan gagasan sekelompok orang yang berusaha meyakinkan kita bahwa guru-guru
itu dibangun bukan dilahirkan dilahirkan (teacher
are built not born). Gagasan ini jelas bersumber dari behaviorisme yang sangat yakin bahwa men are built, not born,
yakni manusia itu dibangun/dibuat bukan dilahirkan.
Dalam teori
behaviorisme yang dipelopori oleh J.B. Watson (1878-1958) itu, semua kecakapan
perilaku manusia muncul dan dikuasai hanya karena proses belajar dan pengalaman
berinteraksi dengan lingkungannya. Tegasnya, karena proses kondisionisasi atau
pembiasaan. Bagi aliran ini, pembawaan dan bakat bukanlah apa-apa. Bahkan perasaan
senang atau benci pun hanya timbul berkat refleks-refleks yang dibiasakan, dan
semua ini konon telah dibuktikan oleh eksperimen berkali-kali.
Sementara itu, aliran
kedua yang mengajar sebagai seni (art) yang mengacu pada bakat sejak lahir tak
berbeda dengan gagasan teacher are born, not built, bahwa para guru itu
dilahirkan bukan dibangun atau dibuat. Dalam hal ini, orang dapat menjadi guru
yang baik karena ia berbakat menjadi guru. Dengan kata lain, seseorang menjadi
guru yang baik atau guru yang buruk bukan karena hasil belajarnya melainkan
karena potensinya yang ia bawa sejak lahir. Aliran ini menimbulkan anggapan
yang ekstrem bahwa profesi mengajar itu tak dapat dipelajari, atau dengan kata
lain sia-sia saja orang mempelajari ilmu keguruan kalau ia tak mempunyai bakat.
Sebaliknya, orang yang memang berbakat mengajar dapat menjadi guru yang baik,
meskipun tidak pernah belajar teori dan praktik keguruan. Aliran pandangan ini
sama dengan aliran nativisme yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer
(1788-1860) yang telah menimbulkan “pesimisme pedagogis” yang mengesampingkan
arti penting upaya pendidikan. Kebalikannya adalah aliran empirisisme,
dipelopori oleh John Locke (1632-1704) yang telah melahirkan “optimisme
pedagogis”. Aliran ini terlalu mendewa-dewakan lingkungan dan mengabaikan
potensi psikologis pembawaan manusia. Aliran inilah yang menjadi cikal bakal
aliran behaviorisem tersebut di atas.
Pertanyaan kita
sekarang, aliran pandangan yang mana yang dapat kita pedomani, mengajar sebagai
ilmu atau sebagai seni? Pada prinsipnya, kedua aliran pandangan ini sama-sama
memiliki keunggulan. Tetapi, di samping keunggulannya kedua aliran pandangan
itu juga memiliki banyak kelemahan.
Untuk menjadi guru yang
kompeten, orang perlu belajar dan berlatih secara sungguh-sungguh selama kurun
waktu tertentu. Akan tetapi, kenyatannya tidak semua orang (mahasiswa) yang
mengikuti pendidikan dan pelatihan keguruan berhasil mencapai kinerja akademik
keguruan yang memadai, meskipun mereka telah menunjukkan usaha yang terkadang melebihi
rekan sejawatnya yang ternyata lebih berhasil. Ada beberapa kemungkinan mengapa
mahasiswa yang berkinerja tidak memuaskan tersebut bisa muncul.
Pertama, mungkin upaya
dan strategi mereka dalam belajar tidak tepat dengan tuntutan bidang studi
kependidikan, padahal secara umum mereka memiliki potensi kognitif yang
memadai. Kedua, ada kemungkinan masuknya mahasiswa yang tidak memuaskan
tersebut ke fakultas keguruan hanya karena terpaksa atau karena pelarian. Fenomena
ini tampak mencolok, karena banyak di antara mereka yang terang-terangan
menyatakan bahwa mereka terpaksa memasuki fakultas keguruan karena tidak
diterima di fakultas lain yang menjadi cita-cita dan sesuai dengan jenjang
pendidikan menengahnya. Kemungkinan kedua ini sangat mempengaruhi munculnya
kemungkinan pertama. Alasan-alasam itu, jika kita telusuri secara seksama
mungkin akan bermuara pada tidak adanya bakat (potensi khusus keguruan) pada
diri mereka.
Sebaliknya, mereka yang
menunjukkan bakat keguruan (setidakn-tidaknya dari permukaan) pun belum tentu
mencapai kinerja akademik yang utuh menyeluruh, jika peluang dan lingkungan
institusi keguruan tempat mereka belajar kurang memenuhi harapan. Dalam hal
ini, peran dosen, perpustakaan dan laboratorium pengajaran amat menentukan
kualitas lulusan institusi pendidikan keguruan tersebut. Jadi, bakat yang
mereka miliki itu tidak akan banyak memberi arti jika aktivitas belajar
keguruan mereka “jauh panggang dari api”.
Alhasil, antara
mengajar sebagai ilmu dengan mengajar sebagai seni itu terdapat benang merah
yang membuat keduanya saling terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan
demikian, hubungan antara bakat keguruan dengan proses belajar yang sesuai
dengan bakat itu, ibarat hubungan antara dua sisi mata uang logam yang
berfungsi saling melengkapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar