Kamis, 22 Mei 2014

Mengajar I Pandangan-Pandangan Pokok Mengenai Mengajar I Mengajar Sebagai Seni




Sebagian ahli lainnya memandang bahwa mengajar adalah seni (art), bukan ilmu. Oleh karenanya, tidak semua orang berilmu (termasuk orang yang berilmu pendidikan) bisa menjadi guru yang piawai dalam hal mengajar.

Memang sulit disangkal bahwa untuk menjadi guru yang profesional orang harus belajar dan berlatih di lingkungan instansi pendidikan keguruan selama bertahun-tahun. Namun, kenyataan lain menunjukkan bahwa dalam mengajar terdapat faktor “tertentu” yang abstrak dan hampir mustahil dipelajari. Bahkan faktor misterius ini tak dapat diterangkan dengan jelas.

Sebagai contoh, seorang pakar yang “mumpuni” dalam sebuah bidang studi umpamanya bidang studi agama dan bahkan telah memiliki pengetahuan keguruan yang cukup, belum tentu mahir mengajar agama kepada orang lin. Dalam kenyataan sehari-hari terkadang kita saksikan seorang guru agama atau bahkan seorang yang terlanjur berpredikat ulama yang sama sekali tidak menarik dan membosankan ketika ia berceramah atau berdiskusi mengenai masalah keagamaan.

Sebaliknya, ada pula seorang pengajar madrasah diniyah yang hanya berpredikat santri biasa dan tak pernah mengikuti sekolah keguruan tetapi ternyata berhasil menjadi guru agama yang baik. Santri itu cukup piawai dalam mentransfer pengetahuan, sikap, dan keterampilan keagamaannya kepada murid-muridnya. Setiap mengajar, ia selalu berpenampilan menarik dan selalu berbeda dalam gaya dan cara penyampaian aneka ragam pokok bahasan pelajaran yang menjadi tugasnya. Sehingga, murid-muridnya tak pernah merasa bosan atau merasa terpaksa mengikuti proses belajar dan mengajar yang dipimpin oleh “guru santri” itu.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada, seperti contoh-contoh di atas, maka cukup kuatlah eksistensi aliran yang memandang bahwa mengajar adalah seni, dan kecakapan mengajar yang notabene artistik itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang berbakat. Bakat (aptitude) tertentu, yang telah penyusun uraikan dalam Bab 5 Subbab E itu, merupakan bagian penting pembawaan manusia yang tak dapat dipelajari, tetapi sangat mungkin “menitis” dan mewarnai potensi pembawaan anak-cucu keturunan orang yang memiliki bakat tertentu tadi. Dengan demikian, menurut aliran yang memandang mengajar sebagai seni, seseorang hanya dapat mengajar dengan baik semata-mata karena bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, orang itu menjadi guru (yang kompeten dan profesional) karena ia telah ditakdirkan lahir sebagai seorang guru.

Sehubungan dengan pandangan di atas, seorang guru besar sastra Gilbert Hight dalam bukunya The Art of Teaching (Seni Mengajar) menegaskan bahwa, … teaching is an art, not a science yakni mengajar adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu (barlow, 1985). Menurutnya, penerapan tujuan dan metode sebuah ilmu kepada manusia itu (dalam pengajaran) sangat berbahaya, meskipun prinsip statistik dan diagnosis saintifik dapat menjelaskan tingkah laku dan struktur fisik aneka ragam kelompok manusia.

Selain itu, mengajar secara ilmiah (scientific teaching) juga tak akan pernah memadai selama guru dan siswa masih sama-sama berstatus manusia yang tentu memiliki perasaan dan nilai di luar jangkauan ilmu. Mengajar, menurut guru besar sastra tadi bukan seperti membangkitkan reaksi kimiawi, melainkan sperti menggambar sebuah lukisan, atau menata sebuah musik, atau menanami kebun bunga, atau menulis sepucuk surat yang bersahabat. Ilmu memang perlu, namun dalam kegiatan mengajar seperti juga dalam kegiatan-kegiatan yang dicontohkan tadi, memerlukan lebih banyak seni (art) daripada ilmu (science).

Selanjutnya, patut dikemukakan bahwa aliran pertama yang menganggap mengajar sebagai ilmu itu sama dengan gagasan sekelompok orang yang berusaha meyakinkan kita bahwa guru-guru itu dibangun bukan dilahirkan dilahirkan (teacher are built not born). Gagasan ini jelas bersumber dari behaviorisme yang sangat yakin bahwa men are built, not born, yakni manusia itu dibangun/dibuat bukan dilahirkan.

Dalam teori behaviorisme yang dipelopori oleh J.B. Watson (1878-1958) itu, semua kecakapan perilaku manusia muncul dan dikuasai hanya karena proses belajar dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya. Tegasnya, karena proses kondisionisasi atau pembiasaan. Bagi aliran ini, pembawaan dan bakat bukanlah apa-apa. Bahkan perasaan senang atau benci pun hanya timbul berkat refleks-refleks yang dibiasakan, dan semua ini konon telah dibuktikan oleh eksperimen berkali-kali.

Sementara itu, aliran kedua yang mengajar sebagai seni (art) yang mengacu pada bakat sejak lahir tak berbeda dengan gagasan teacher are born, not built, bahwa para guru itu dilahirkan bukan dibangun atau dibuat. Dalam hal ini, orang dapat menjadi guru yang baik karena ia berbakat menjadi guru. Dengan kata lain, seseorang menjadi guru yang baik atau guru yang buruk bukan karena hasil belajarnya melainkan karena potensinya yang ia bawa sejak lahir. Aliran ini menimbulkan anggapan yang ekstrem bahwa profesi mengajar itu tak dapat dipelajari, atau dengan kata lain sia-sia saja orang mempelajari ilmu keguruan kalau ia tak mempunyai bakat. Sebaliknya, orang yang memang berbakat mengajar dapat menjadi guru yang baik, meskipun tidak pernah belajar teori dan praktik keguruan. Aliran pandangan ini sama dengan aliran nativisme yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang telah menimbulkan “pesimisme pedagogis” yang mengesampingkan arti penting upaya pendidikan. Kebalikannya adalah aliran empirisisme, dipelopori oleh John Locke (1632-1704) yang telah melahirkan “optimisme pedagogis”. Aliran ini terlalu mendewa-dewakan lingkungan dan mengabaikan potensi psikologis pembawaan manusia. Aliran inilah yang menjadi cikal bakal aliran behaviorisem tersebut di atas.

Pertanyaan kita sekarang, aliran pandangan yang mana yang dapat kita pedomani, mengajar sebagai ilmu atau sebagai seni? Pada prinsipnya, kedua aliran pandangan ini sama-sama memiliki keunggulan. Tetapi, di samping keunggulannya kedua aliran pandangan itu juga memiliki banyak kelemahan.

Untuk menjadi guru yang kompeten, orang perlu belajar dan berlatih secara sungguh-sungguh selama kurun waktu tertentu. Akan tetapi, kenyatannya tidak semua orang (mahasiswa) yang mengikuti pendidikan dan pelatihan keguruan berhasil mencapai kinerja akademik keguruan yang memadai, meskipun mereka telah menunjukkan usaha yang terkadang melebihi rekan sejawatnya yang ternyata lebih berhasil. Ada beberapa kemungkinan mengapa mahasiswa yang berkinerja tidak memuaskan tersebut bisa muncul.

Pertama, mungkin upaya dan strategi mereka dalam belajar tidak tepat dengan tuntutan bidang studi kependidikan, padahal secara umum mereka memiliki potensi kognitif yang memadai. Kedua, ada kemungkinan masuknya mahasiswa yang tidak memuaskan tersebut ke fakultas keguruan hanya karena terpaksa atau karena pelarian. Fenomena ini tampak mencolok, karena banyak di antara mereka yang terang-terangan menyatakan bahwa mereka terpaksa memasuki fakultas keguruan karena tidak diterima di fakultas lain yang menjadi cita-cita dan sesuai dengan jenjang pendidikan menengahnya. Kemungkinan kedua ini sangat mempengaruhi munculnya kemungkinan pertama. Alasan-alasam itu, jika kita telusuri secara seksama mungkin akan bermuara pada tidak adanya bakat (potensi khusus keguruan) pada diri mereka.

Sebaliknya, mereka yang menunjukkan bakat keguruan (setidakn-tidaknya dari permukaan) pun belum tentu mencapai kinerja akademik yang utuh menyeluruh, jika peluang dan lingkungan institusi keguruan tempat mereka belajar kurang memenuhi harapan. Dalam hal ini, peran dosen, perpustakaan dan laboratorium pengajaran amat menentukan kualitas lulusan institusi pendidikan keguruan tersebut. Jadi, bakat yang mereka miliki itu tidak akan banyak memberi arti jika aktivitas belajar keguruan mereka “jauh panggang dari api”.

Alhasil, antara mengajar sebagai ilmu dengan mengajar sebagai seni itu terdapat benang merah yang membuat keduanya saling terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, hubungan antara bakat keguruan dengan proses belajar yang sesuai dengan bakat itu, ibarat hubungan antara dua sisi mata uang logam yang berfungsi saling melengkapi.  



                                   Sumber : Buku Psikologi Pendidkan, Muhibbin Syah.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...