Seperti halnya dalam
memberikan definisi, para ahli juga berbeda pendapat dalam merumuskan ciri-ciri
yang dapat menggambarkan karakteristik seorang yang resilien. Bernard (1991)
misalnya, seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum,
yaitu:
1. Social competence
(kompetensi sosial): kemampuan untuk memunculkan respon yang positif dari orang
lain, dalam artian mengadakan hubungan-hubungan yang positif dengan orang
dewasa dan teman sebaya.
2. Problem-solving
skills/metacognition (keterampilan pemecahan masalah/metakognitif):
perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan sendiri dan memanfaatkan akal
sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
3. Autonomy (otonomi):
suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak
secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4. A sense of pupose and future
(Kesadaran akan tujuan dan masa depan): kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi
pendidikan, ketekunan (persistence), pengharapan dan kesadaran akan suatu masa
depan yang cemerlang (bright).
Sementara itu, Wolins
(1993), mengajukan tujuh karakteristik internal sebagai tipe orang yang
resilien, yaitu:
1. Initiative (inisiatif),
yang terlihat dari upaya mereka melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka
dan kemampuan individual untuk mengambil peran/bertindak.
2. Independence
(independen), yang terlihat dari kemampuan seseorang menghindar atau menjauhkan
diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak.
3. Insight (berwawasan),
yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa
ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan
menganalisis mengapa ia salah.
4. Relationship (hubungan),
yang terlihat dari upaya seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.
5. Humor
(humor), yang terlihat dari kemampuan seseorang mengungkapkan perasaan humor di
tengah situasi yang menegangkan atau mencairkan suasana kebekuan.
6. Creativitas
(kreativitas), yang ditujukan melalui permainan-permainan kreatif dan
pengungkapan diri.
7. Morality
(moralitas), yang ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan
buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integritas.
Henderson dan Milstein
(2003), menyebutkan 12 karakteristik internal resiliensi, yaitu:
1. Kesedian
diri untuk melayani orang lain.
2. Menggunakan
keterampilan-keterampilan hidup; mencakup keterampilan mengambilan keputusan
dengan baik, tegas, keterampilan mengontrol impuls-impuls dan problem solving.
3. Sosiabilitas;
kemampuan untuk menjadi seorang teman, kemampuan utnuk membentuk
hubungan-hubungan yang positif.
4. Memiliki
perasaan humor.
5. Lokus
kontrol internal.
6. Otonomi,
independen.
7. Memiliki
pandangan yang positif terhadap masa depan.
8. Fleksibilitas.
9. Memiliki
kapasitas untuk terus belajar.
10. Motivasi
diri.
11. Kompetensi
personal.
12. Memiliki
harga diri dan percaya diri.
Kemudian, berdasarkan
konsensus dari sejumlah peneliti dan praktisi yang terlibat aktif dalam
pengembangan resiliensi, The
International Resilience Project merumuskan ciri-ciri atau sifat-sifat
seorang yang resilien dalam tiga kategori, yaitu (1) external supports and resources, (2) internal, personal strenghths dan (3) social, interpersonal skills. Dalam perkembangan selanjutnya,
ketiga kategori yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik dan
sifat-sifat seorang yang resilien tersebut digunakan istilah-istilah pengganti.
Sebagai pengganti istilah karakteristik external supports and resources,
digunakan istilah I HAVE, pengganti istilah karakteristik internal, personal
strenghts, digunakan istilah I AM, dan pengganti istilah karakteristik social,
interpersonal skills, digunakan istilah I CAN (Groterberg, 1995, 1996, 1999).
Dalam banyak literatur tentang resiliensi yang ditulis belakangan, ternyata
istilah-istilah pengganti ini yang cenderung digunakan secara luas ketimbang
istilah aslinya. Sejumlah ahli percaya bahwa pemberdayaan ketiga karakteristik
(I HAVE, I AM, dan I CAN) inilah yang memungkinkan seseorang termasuk siswa,
dapat bertahan dalam dan mengatasi kondisi-kondisi adversitas serta
mengembangkan resiliensinya.
I HAVE (Aku punya)
merupakan karakteristik resiliensi yang bersumber dari pemaknaan siswa terhadap
besarnya dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial
(external Supports and resources) terhadap dirinya. Sumber I HAVE ini memiliki
beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resilien, yaitu:
·
Trusting relationships;
·
Access to health, education, welfare and
security service;
·
Emotional support outside the family;
·
Structure and rules at home;
·
Parental encouragement of autonomy;
·
Stable home environment;
·
Role models;
·
Religious organizations (morality).
I AM (Aku ini)
merupakan karakteristik resiliensi yang bersumber dari kekuatan pribadi (personal strenghths) yang dimiliki oleh
siswa. Sumber I AM ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan
bagi pembentukan resiliensi, yaitu:
·
Sense of being lovable;
·
Autonomy;
·
Appealing temperament;
·
Achievment oriented;
·
Self-esteem;
·
Hope, faith, belief in God, morality,
trust;
·
Empathy and altruism;
·
Locus
of control.
I CAN (Aku dapat)
adalah karakteristik resiliensi yang bersumber dari apa saja yang dapat dilakukan
oleh siswa sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal
(social, interpersonal skills). Keterampilan-keterampilan ini meliputi:
·
Creativity;
·
Persistence;
·
Humor;
·
Communication;
·
Problem solving;
·
Impulse control;
·
Seeking trusting relationships;
·
Social skills;
·
Intellectual skills.
Resiliensi merupakan
hasil kombinasi dari faktor-faktor I HAVE, I AM, DAN I CAN tersebut. Untuk menjadi
seorang yang resilien, tidak cukup hanya memiliki satu karakteristik/faktor
saja, melainkan harus ditopang oleh karakteristik-karakteristik/faktor-faktor
lain. Misalnya, seorang siswa mungkin dicintai (I HAVE), tetapi jika ia tidak
mempunyai kekuatan dalam dirinya (I AM) atau tidak memiliki
keterampilan-keterampilan interpersonal dan sosial (I CAN), maka ia tidak dapat
menjadi seorang yang resilien. Demikian juga, seorang siswa mungkin mempunyai
harga diri (I AM), tetapi jika ia tidak mengetahui bagaimana berkomunikasi
dengan orang lain atau memecahkan masalah (I CAN) dan tidak ada orang yang
membantunya (I HAVE), maka ia tidak menjadi resilien.
Oleh sebab itu, untuk
menumbuhkan resiliensi siswa, ketiga karakteristik/faktor tersebut harus saling
berinteraksi satu sama lain. Interaksi ketiga karakteristik/faktor tersebut
sangat dipengaruhi oleh kualitas sosial, termasuk rumah, sekolah dan
masyarakat, dimana siswa hidup. Setidaknya terdapat lima faktor yang sangat
menentukan kualitas interaksi dari I HAVE, I AM, dan I CAN tersebut (Grotberg,
199), yaitu:
1.
Trust
Trust (kepercayaan)
merupakan faktor resiliensi yang berhubungan dengan bagaimana lingkungan
mengembangkan rasa percaya siswa. Perasaan percaya ini akan sangat menentukan
seberapa jauh siswa memiliki kepercayaan terhadap orang lain mengenai hidupnya,
kebutuhan-kebutuhannya dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap
diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya. Kepercayaan akan
menjadi sumber pertama bagi pembentukan resiliensi pada siswa. Oleh karena itu,
bila siswa diasuh dan dididik dengan perasaan penuh kasih sayang dan kemudian
mampu mengembangkan relasi yang berlandaskan kepercayaan (I HAVE), maka akan
tumbuh pemahaman darinya bahwa ia dicintai dan dipercaya (I AM). Kondisi demikian
pada gilirannya akan menjadi dasar bagi siswa ketika ia berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya secara bebas (I CAN).
2.
Autonomy
Autonomy (otonomi),
yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan seberapa jauh siswa menyadari
bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan
diri-pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang
terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan
tertentu pada siswa. Kekuatan tersebut akan sangat menentukan tindakan siswa
ketika menghadapi masalah. Oleh sebab itu, apabila siswa berada di lingkungan
yang memberikan kesempatan padanya untuk menumbuhkan otonomi dirinya (I HAVE),
maka ia akan memiliki pemahaman bahwa dirinya adalah seorang yang mandiri,
independen (I AM). Kondisi demikian pada gilirannya akan menjadi dasar bagi
dirinya untuk mampu memecahkan masalah dengan kekuatan dirinya sendiri (I CAN).
3.
Initiative
Initiative (inisiatif),
yaitu faktor ketiga pembentukan resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat
siswa melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi
siswa mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu
kelompok. Dengan inisiatif, siswa menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah
lingkungan dari berbagai macam aktivitas, di mana ia dapat mengambil bagian
untuk berperan aktif dari setiap aktivias yang ada. Ketika siswa berada pada
lingkungan yang memberikan kesempatan mengikuti aktivitas (I HAVE), maka siswa
akan memiliki sikap optimis serta bertanggung jawab (I AM). Kondisi ini pada
gilirannya juga akan menumbuhkan perasaan mampu siswa untuk mengemukakan
ide-ide kreatif, menjadi pemimpin (I CAN).
4.
Industry
Industry (industri),
yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan
berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan
keterampilan-keterampilan tersebut, siswa akan mampu mencapai prestasi, baik di
rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan prestasi tersebut, akan
menentukan penerimaan siswa di lingkungannya. Bila siswa berada di lingkungan yang
memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan, baik di
rumah, sekolah maupun di lingkungan sosial (I HAVE), maka siswa akan
mengembangkan perasaan bangga terhadap prestasi-prestasi yang telah dan akan
dicapainya (I AM). Kondisi demikan pada gilirannya akan menumbuhkan perasaan
mampu serta berupaya untuk memecahkan setiap persoalan, atau mencapai prestasi
sesuai dengan kebutuhannya (I CAN).
5.
Identity
Identity (identitas),
yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman siswa akan
dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologinya. Identitas membantu
siswa mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self-image-nya. Identitas ini
diperkuat melalui hubungan dengan faktor-faktor resiliensi lainnya. Apabila siswa
memiliki lingkungan yang memberikan umpan balik berdasarkan kasih sayang,
pengahargaan atas prestasi dan kemampuan yang dimilikinya (I HAVE), maka siswa
akan menerima keadaan diri dan orang lain (I AM). Kondisi demikian pada
gilirannya akan menumbuhkan perasaan mampu untuk mengendalikan, mengarahkan dan
mengatur diri, serta menjadi dasar untuk menerima kritikan dari orang lain (I
CAN).
Kelima faktor
(kepercayaan, otonomi, inisiatif, industri, dan identitas) tersebut merupakan
landasan utama bagi pengembangan resiliensi siswa, terutama dalam menghadapi
situasi yang penuh stres.
Sumber : Psikologi
Perkembangan Peserta Didik, Desmita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar