Teori pembiasaan klasik
(classical conditioning) ini
berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel
pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya
refleks tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengawali nama teori ini
semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu
di bidang conditioning (upaya
pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena
fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam eksperimen,
Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned-response (UCR). CS adalah
rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari
ini disebut UCR.
Anjing percobaan itu
mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya
diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum
dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur
setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula
anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air
liur.
Kemudian, dilakukan
eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan
pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang
berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai
makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan
air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan
menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Agar lebih jelas, di
bawah ini penyusun gambarkan hubungan antara S-R tersebut baik yang
unconditioned (secara alami) maupun yang conditioned (buatan yang dibiasakan).
Berdasarkan eksperimen
di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan
adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipny hasil
eksperimen E.L. Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen
Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang
behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov
ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus
penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan
respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya, Skinner
berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu
tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara harfiah, law of respondent
conditioning berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of
respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.
Menurut Hintzman
(1978), yang dimaksud dengan law of
respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara
bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga
yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS, sedangkan
refleks ketiga adalah hubungan antar CS dan CR. Sebaliknya, law of respondent extinction ialah jika
refleks yang sudah diperkuat melalui respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar