Sabtu, 10 Mei 2014

Teori-Teori Pokok Belajar I Koneksionisme




Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism, classical, conditioning, dan operant conditioning. Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti Contigious Conditioning (Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.

Konesionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874 – 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memeroleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka untuk memeroleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganajaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bowr, 1975).

Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam teori operant conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.

Disamping law of effect, Thorndike juga mengemukakan dua macam hukum lainnya yang masing-masing disebut law of readines dan law of exercise. Sekarang, kedua macam hukum ini sesungguhnya tidak begitu populer, namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan.

Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasaan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions units (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecendrungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.

Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).

Sumber : Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...