Senin, 12 Mei 2014

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik I Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Peserta Didik I Teori Perkembangan Spiritual Fowler




Dewasa ini salah satu teori tentang perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang banyak dijadikan acual dalam mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau agama manusia adalah stages of faith development dari James Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara Internasional sebagai psikologi agama yang sangat penting (Cremers, 1995). Dalam tulisannya yang sama, Cremers (1995) memposisikan psikologi perkembangan paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan yang bercorak psikoanalisi dan psikologi perkembangan konotatif yang bercorak struktural konstruktif.

Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith (dalam fowler, 1981) menyatakan bersifat universal yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia. Artinya kepercayaan bagi manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Smith menyatakan bahwa manusia standar adalah manusia yang berkepercayaan.

Fowler (1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai orang yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yan tidak percaya pada apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami sebagai kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam bahasa agama disebut sebagai Iman.

Dalam teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohelberg, Perry, Gilligan dan Levinson. Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah (1) Primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal faith; (4) synthetic-conventional faith; (5) individuative-reflective faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (dacy & Kenny, 1997).

Tahap primal faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun, yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.

Tahap intuitive-projective faith, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang dewasa. Melalui cara meniru kepercayaan orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian spontan serta gamabran intuitif dan proyektifnya pada Ilahi.

Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak secara sistematis mulai mngambil makna dari tradisi masyarkatnya. Gamabran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jik perlu tegas.

Tahap synthetic-conventional faith yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain’ yang berperan penting dalam kebidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.

Tahap individuative-reflective faith, yang terjadi pada usia 19 tahun  atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem niali terdahulu; b) mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.

Tahap conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual –ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasn dan pemabatasn seseorang.

Tahap universlizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanay desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas. 

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...