Dewasa ini salah satu
teori tentang perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang banyak dijadikan
acual dalam mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau agama manusia
adalah stages of faith development dari James Fowler. Fowler adalah perintis
teori mengenai tahap perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan
penelitian empiris dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara
Internasional sebagai psikologi agama yang sangat penting (Cremers, 1995). Dalam
tulisannya yang sama, Cremers (1995) memposisikan psikologi perkembangan
paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan
paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan
yang bercorak psikoanalisi dan psikologi perkembangan konotatif yang bercorak
struktural konstruktif.
Konsep tentang
spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang
dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial
merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang
menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya
dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi
kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith (dalam fowler, 1981)
menyatakan bersifat universal yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia. Artinya
kepercayaan bagi manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki manusia.
Dalam kaitannya dengan hal ini Smith menyatakan bahwa manusia standar adalah
manusia yang berkepercayaan.
Fowler (1978) menyebut
kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan
pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai orang yang
percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yan tidak percaya pada
apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami sebagai
kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan eksistensial
atau dalam bahasa agama disebut sebagai Iman.
Dalam teorinya, Fowler
mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun atas dasar
teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohelberg, Perry, Gilligan dan
Levinson. Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan dapat berkembang
hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh
seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah (1) Primal faith; (2)
intuitive-projective faith; (3) mythic-literal faith; (4)
synthetic-conventional faith; (5) individuative-reflective faith; (6)
conjuctive faith; (7) universalizing faith (dacy & Kenny, 1997).
Tahap primal faith. Tahap
kepercayaan ini terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun, yang ditandai dengan
rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari
pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima yang
diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
Tahap intuitive-projective
faith, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak
bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan
hasil pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang dewasa. Melalui cara
meniru kepercayaan orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk,
menyalurkan dan mengarahkan perhatian spontan serta gamabran intuitif dan
proyektifnya pada Ilahi.
Tahap mythic-literal
faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap
perkembangan kognitifnya, anak secara sistematis mulai mngambil makna dari
tradisi masyarkatnya. Gamabran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang
pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan
secara konsekuen, tegas dan jik perlu tegas.
Tahap
synthetic-conventional faith yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau
awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran
tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui
kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat
pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal,
sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan
oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai
pengalaman bersatu dengan Yang Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang
dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah
dipandang sebagai “pribadi lain’ yang berperan penting dalam kebidupan mereka. Lebih
dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap
paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya,
muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu
dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa
komitmen dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.
Tahap individuative-reflective
faith, yang terjadi pada usia 19 tahun
atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis
kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman
personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut
Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya kesadaran terhadap relativitas
pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis
terhadap asumsi-asumsi sistem niali terdahulu; b) mengabaikan kepercayaan
terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung
jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya
membentuk identitas diri.
Tahap conjunctive-faith,
disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai pada usia 30 tahun
sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi
dengan simbol-simbol, ritual –ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang
juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan,
yang berasal dari kesadaran akan keterbatasn dan pemabatasn seseorang.
Tahap universlizing
faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini
ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transendental untuk mencapai
perasaan ketuhanan, serta adanay desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap
ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian
kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang
yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan
perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.
Sumber
: Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar