Rabu, 02 April 2014

Teori-teori Belajar



Dari berbagai sumber yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk, 1997; Bell, 1986) memaparkan tentangteori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan  dalam tiga kelompok atau aliran meliputi:

a.  Aliran Behavioristik (Tingkah Laku)
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968).
1)      Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati).Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis” (connectionism) (Hamzah, 2005:7).
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”.Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
a)      Trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan), dan
b)      Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya(Purwanto, 1990:98-99).
2)      Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
3)      Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium (Hamzah, 2005:7-8).
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanyaincentive motivation (motivasi insentif) dan drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
a)      Teori belajar didasarkan pada drive-reduction atau drive stimulus reduction.
b)      Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
c)      Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
d)     Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/sulit.
e)      Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
f)       Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
g)      Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.
4)      Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
5)      Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti teaching machine, mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan faktor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner (Purwanto, 1990:98).
 Prinsip belajar Skinner adalah :
a)      Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
b)      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c)      Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
d)     Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
e)      Dalam pembelajaran digunakan shapping
b.      Aliran Kognitif
1)      Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif   yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni a) Asimilasi, b) Akomodasi, dan c) Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. 

2)      Ausubel
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat:
a)      Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
b)      Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga.
c)      Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
3)      Bruner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan.
c.       Aliran Konstruktivisme
1)      J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun), pra-operasional (2 sampai 7 tahun), operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003:59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000:30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003:60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya
2)      Von Glasersfeld
Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan pendapat von Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.
Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel, 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.
3)      Vygotsky
Psikolog Rusia, Semionovich, berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa mengemukakan dua ide. Pertama bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000) dan mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) yang individu berkembang dengannya (Ratner dalam Slavin, 2000:43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip (Slavin, 2000: 256):
(a)    pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksibersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
(b)   ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkanmasalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer).
(c)    masa magang kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa atau teman yang lebih pandai.
(d)   pembelajaran termediasi (mediated learning). Vygotsky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkannya. 

 Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan, pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Banyak pemerhati pendidikan yang mengembangkan model pembelajaran berdasar teori pembelajaran Vygotsky, misalnya model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem solving.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...