Dari
berbagai sumber yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti
(Atkinson, dkk, 1997; Bell, 1986) memaparkan tentangteori belajar yang secara
umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok atau aliran meliputi:
a.
Aliran Behavioristik (Tingkah Laku)
Pandangan
tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak
lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak
berkarya dalam aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Wathson, (1963);
Hull, (1943); dan Skinner, (1968).
1) Thorndike
Menurut
Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud
sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa
diamati).Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis” (connectionism)
(Hamzah, 2005:7).
Menurut
teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap
organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan
yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu
kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan
situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”.Karena latihan
yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang
cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike
melalui proses:
a)
Trial and
error (mencoba-coba
dan mengalami kegagalan), dan
b) Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah
laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan
situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya(Purwanto, 1990:98-99).
2) Watson
Berbeda
dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (observable).
Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin
terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu
diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa
tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa
menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
3) Clark Hull
Teori
ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak
dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai
eksperimen dalam laboratorium (Hamzah, 2005:7-8).
Dua
hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanyaincentive
motivation (motivasi insentif) dan drive reduction (pengurangan
stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan
praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai
berikut:
a)
Teori
belajar didasarkan pada drive-reduction atau drive
stimulus reduction.
b)
Intruksional
obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
c)
Ruangan
kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya
proses belajar.
d)
Pelajaran
harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih
kompleks/sulit.
e)
Kecemasan
harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
f)
Latihan
harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan
perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
g) Urutan mata pelajaran diatur
sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi
justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran
berikutnya.
4) Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman”
memegang peran
penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak
perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya
di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali
oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali
melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan
stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini
tidak lagi dominan dalam teori-teori
tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
5) Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah
laku, mungkin teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori
belajar. Beberapa program pembelajaran seperti teaching machine, mathetics, atau
program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan faktor penguat
(reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan
teori skinner (Purwanto, 1990:98).
Prinsip
belajar Skinner adalah :
a)
Hasil
belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
b)
Proses belajar harus mengikuti irama
dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c)
Dalam proses pembelajaran lebih
dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah
untuk menghindari hukuman.
d)
Tingkah
laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
e) Dalam pembelajaran digunakan shapping.
1)
Piaget
Menurut
Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang
kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni a)
Asimilasi, b) Akomodasi, dan c) Equilibrasi (penyeimbangan).
Proses asimilasi adalah proses
penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah
ada dalam benak siswa. Akomodasi
adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
2)
Ausubel
Ausubel
percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat:
a)
Dapat
menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari
oleh siswa.
b)
Dapat
berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini
dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga.
c) Mampu membantu siswa untuk memahami
bahan belajar secara lebih mudah.
3)
Bruner
Menurut
pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif,
sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya,
teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara
mengajarkan penjumlahan.
c.
Aliran
Konstruktivisme
1) J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa
kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan
melalui empat tahap (Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun),
pra-operasional (2 sampai 7 tahun), operasi konkret (7 sampai 11 atau 12
tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan
Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa
bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan
gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa
didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan
didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi
konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada
manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat
memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada
obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya.
(Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi
dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur
informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003:59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku
yang dapat berulang kembali. Slavin (2000:30) menyatakan siswa
mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi
mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku
dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah
struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan
lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru
mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah
dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi
adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui
asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru
berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap
pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan
membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003:60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses
asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa
terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman
baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh
pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman
matematika yang telah dimilikinya
2) Von Glasersfeld
Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan pendapat von
Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan
tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. Von
Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai
mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera
atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahwa
konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari
realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam
kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri.
Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu,
sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.
Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld (dalam
Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel, 2002) menyatakan
pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus
dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi
sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di
kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut
kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa
pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang
masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar
pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan
terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa
sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer
pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki
kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar
pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang
adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang diamati. Dalam
memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya
problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam
hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya
melalui diskusi kelas.
3) Vygotsky
Psikolog Rusia, Semionovich, berkaitan dengan perkembangan
intelektual siswa mengemukakan dua ide. Pertama bahwa perkembangan intelektual
siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa
(Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000) dan mempercayai bahwa perkembangan
intelektual bergantung pada sistem tanda (sign
system) yang individu berkembang dengannya (Ratner dalam Slavin, 2000:43). Sistem
tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu orang
berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem
tulisan dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat
prinsip (Slavin, 2000: 256):
(a) pembelajaran sosial (social
leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksibersama
dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
(b) ZPD (zone of proximal
development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik
jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat
memecahkanmasalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat
bantuan orang dewasa atau temannya (peer).
(c) masa magang kognitif (cognitif
apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit
memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli,
orang dewasa atau teman yang lebih pandai.
(d) pembelajaran termediasi (mediated learning). Vygotsky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan
realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkannya.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan
lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan
bagian dari lingkungan, pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup
sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa
internalisasi (Taylor, 1993). Banyak pemerhati pendidikan yang mengembangkan
model pembelajaran berdasar teori pembelajaran Vygotsky, misalnya model
pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer
interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem solving.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar