Sepanjang sejarah
pemikiran, muncul sesekali para filsuf yang membuat pernyataan tentang sebuah
metode eksklusif dan khusus. Metode ini adalah mistik. Mistisisme adalah bagian
yang menarik dalam sejarah pemikiran. Beberapa semangat terbaik dapat ditemukan
dalam kaum atau kelompok ini, barangkali pernyataan mereka terhadap pengetahuan
langsung nan aneh dan mengherankan dalam kebenaran tidak akan bisa ditolak
begitu saja.
Para mistikus
percaya bahwa beberapa pengetahuan tertentu, khususnya pengetahuan tentang
Tuhan datang tidak melalui kerja usaha pemikiran reflektif tetapi melalui
intuisi dan pengetahuan langsung. Kekuatan akal terkadang bisa dilampaui dan kita
bisa memiliki pendekatan langsung dengan Tuhan atau kebersatuan yang tiba-tiba
dengan realitas. Maka kebenaran tersebut terasakan, dipahami atau diraih
melalui getaran tunggal jiwa yang hidup. Sesuatu yang mirip seperti momen
kontemplasi atau perenungan yang benar-benar luar biasa bahagia yang membawa
kita berhadap-hadapan dengan realitas sejati.
Seperti pandangan
Plotinus (204-69 SM), seorang Neo Platonis dan sesuatu yang mirip dengan ini
telah dipertahankan oleh kumpulan besar para mistikus Kristen seperti Saint
Teresa, Saint John of the Cross, Meister Eckhart, Jacob Boehme dan George Fox. Sementara
itu pandangan mistis juga bisa ditemukan dalam puisi Shelley, Wordsworth,
Tennyson, Whitman dan dalam berbagai esei Emerson. Kemudian pada Bergson, salah
seorang yang paling banyak diketahui dan paling banyak di baca oleh para filsuf
zaman sekarang. Ia seorang psikolog, biolog dan evolusionis yang mengajarkan
semacam mistisisme. Selama berhubungan dengan Bergson intuisi menjadi superior terhadap
intelek. Intuisi hampir sinonim dengan hidup itu sendiri, membimbing kita pada
banyak nilai juga terhadap pintu gerbang kehidupan. Ini merupakan semacam
simpati tertinggi seperti insting binatang. Hanya pada manusia bisa menjadi kesadaran
diri (self-conscious) dan memungkinkan melakukan tindakan refleksi dalam
objek-objeknya.
Ada satu laporan
(rapport) tertentu antara alam dengan pikiran di mana dalam intelektual murni
kita dan suasana hati ilmiah kita tidak bisa bertambah dan yang datang melalui
kita adalah sebuah pengetahuan aneh dalam rahasia terdalam kehidupan. Dalam pandangan
Bergson ini bukan seperti wahyu yang tanpa datang dari mana pun kepada pikiran
seperti dalam mistisime lama. Ini lebih karena fakta bahwa pikiran itu sendiri
merupakan bagian dari kehidupan saat ini yang juga lebih nyata dibanding dengan
materi. Hal ini tidak berarti bahwa filsafat memiliki banyak metode esoteris
dalam menemukan kebenaran sementara sain (dianggap) tidak memilikinya. Artinya bahwa
ada tugas khusus yang menghadapkan para ilmuwan dalam hubungannya dengan dunia
materi dan mesti memakai intelek sebagai alatnya. Tetapi jika para ilmuwan
dalam suasana hati (moods)
filosofisnya bergerak dalam pencarian realitas lain yaitu melalui intuisi langsung.
Apa pun kerja ilmuwan yang sudah menjadi filsuf di sini, ia seperti seorang
seniman yang mengidentifikasi dirinya sendiri dengan objek kemudian “menaruh
dirinya sendiri dibelakang objek melalui semacam rasa simpati”. Ini berarti
bahwa ketika kita mendekati alam dengan intelek semata maka ada semacam “rintangan
atau penghalang” tertentu antara alam nyata dengan pikiran kemudian intuisi
membongkarnya melalui komunikasi yang intens dan penuh kedalaman.
Jika ini menjadi
sebuah mistisisme, yakin istilah tersebut mengandung arti tidak akan ada
kesalahan kualitas, sebagaimana biasanya terjadi. Mistisime akan dianggap lebih
berperan penting dalam meneruskan pencarian kita selanjutnya tentang
sumber-sumber pengetahuan. Hanya sekarang kita bisa mengabaikan pertanyaan yang
luas ini agar kita sekarang tidak berhubungan terlalu banyak dengan
sumber-sumber kebenaran seperti dengan mengalihkan pada metode yang bisa kita
gunakan dalam studi kita tentang filsafat.
Sumber : Buku
Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar