Dalil-dalil
hukum yang diperbedakan kalangan ulama antara lain yang terpenting adalah istihsan, maslahah mursalah, ‘urf
(adat istiadat), istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabat, dan sad
al-zari’ah. Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dalil
tersebut.
Istihsan
a.
Pengertian
dan Macam-macam Istihsan
Dari
segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yaitu terambil dari kata al-husnu (baik). Sedangkan istihsan menurut istilah Ushul Fiqh
seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terdiri dari dua definisi yaitu:
Memakai qiyas khafi dan
meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.
Hukum pengecualian dari
kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan
yang disebut pertama, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua Istihsan Istisnaiy.
Istihsan qiyasi
terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua
bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Seperti telah dijelaskan kedua istilah tersebut pada
pembagian qiyas, dan pada dasarnya
bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya
maka qiyas jali lebih pantas di dahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mazhab Hanafi, bilamana mujtahid
memandang bahwa qiyas khafi lebih
besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali
itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan istihsan qiyasi. Contohnya, menurut
kesimpulan qiyas jali, hak pengairan
yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut
diwakafkan kecuali jika di tegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan (di-qiyas-kan) dengan praktik jual beli
karena sama-sama menghilangkan miliki. Dalam jual beli, hak pengairan yang
berada di atas sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk kepada yang
dijual kecuali jika ditegaskan dalam akad jual beli. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada
kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun
tidak ditegaskan pada waktu berikrar wakaf, karena di-qiyas-kan kepada sewa menyewa dengan persamaan ‘illat sama-sama untuk diambil manfaatnya. Dilihat dari segi
manfaatnya, qiyas yang disebut terakhir ini lebih kuat pengaruh hukumannya
karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil
manfaatnya.
Sedangkan
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu:
1) Istihsan bin-nas,
yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas
(Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi
kasus-kasus serupa. Contohnya, menurut kaidah umum makan dalam keadaan lupa di
siang hari Ramadhan merusak puasa seseorang karena telah rusak rukun dasarnya
yaitu imsak (menahan diri dari yang
membatalkan puasa) di siang harinya. Namun, hadis Rasulullah menegaskan bahwa
makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan tidak membatalkan puasa:
Dan Abu Hurairah, dari Nabi SAW.
Bersabda: “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan
minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan
dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Istihsan
berlandaskan ijma’. Misalnya, pesanan untuk membuat
lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada
waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum
ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam
hadis Rasulullah (HR. Abu Daud). Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum
pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya
dalam masyarakat sehingga dianggap sudah disepakati (ijma’).
3) Istihsan yang
berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh
mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut
ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya
dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak
seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat
kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.
4) Istihsan yang
didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan
ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang
rusak di tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di
luar kemampuan manusia untuk menghindarinya. Menurut kaidah umum, seorang
penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni
rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi, demi
menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab
kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan
ganti rugi atas pihak tersebut.
b.
Perbedaan
Pendapat Ulama Mengenai Istihsan
1) Mazhab
Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan
landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a)
Firman Allah:
yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yan paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(QS. az-Zumar/39: 18)
Ayat
tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan
(pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan
berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan
landasan hukum.
b)
Sabda Rasulullah
Apa yang dianggap baik oleh
orang-orang Islam, adalah juga baik disisi Allah
(HR. Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya).
Hadis
ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap
baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.
Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2) Imam
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri Mazhab Syafi’i, tidak
menerima istihsan sebagai landasan
hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama
dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:
a) Ayat 38 Surat
al-An’am:
Dan tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al
Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
(QS. al-An’am/6: 38)
b) Ayat 44 Surat
al-Nahl:
Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (QS. an-Nahl/16: 44)
c) Ayat 49 Surat
al-Maidah:
Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangan-lah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Maidah/5: 49)
Ayat
pertama di atas, menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk
menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada
Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung
dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan
hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan
yang merupakan kesimpulan pribadi. Kemudian ayat yang ketiga, menurut Imam
Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan
larangan mengikuti petunjuk kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu,
oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut
Wahbah az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan
dalam mengartikan istihsan. Imam
Syafi’i membantah istihsan yang
didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan
yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi
men-tarjih (menganggap kuat) salah
satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau
tujuan pembentukan hukumnya.
Dalam
gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i di atas, bukanlah
istihsan yang telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi
sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak di mana secara
ilmiah belum dirumuskan secara definitif.
2.
Maslahah
Mursalah
a.
Pengertian
Maslahah
Maslahah Murasalah
menurut Istilah terdiri dari dua kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti
“manfaat”, dan kata mursalah berarti
“lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul-Wahhab
Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga ia disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).
b.
Macam-macam
maslahah
Selanjutnya,
dalam rangka memperjelas pengertian maslahah
mursalah, Abdul-Karim Zaidan menjelaskan macam-macam maslahah:
1) al-Maslahah
al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan
ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad
untuk memelihara agama dan rongrongan musuhnya, diwajibkan hukuman qishas untuk menjaga kelestarian jiwa,
ancaman hukum atas peminum khamar untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina
untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukum mencuri untuk
menjaga harta.
2) al-Maslahah
al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena
kenyataannya bertentangan degan ketentuan syariat. Misalnya, ada anggapan bahwa
menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan wanita adalah maslahah, akan tetapi, kesimpulan
seperti itu bertentangan dengan ketentuan syariat, yaitu ayat 11 Surat an-Nisa’
yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak
perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap maslahat
itu, bukan maslahat di sisi Allah.
3) al-Maslahah
al-Mursalah, dan maslahat macam inilah yang
dimaksud dalam pembahasan ini, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi
yang disebutkan di atas. Maslahat macam ini terdapat dalam masalah-masalah
muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya
dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi. Contohnya, peraturan
lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak ada dalil
khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syariat, yaitu dalam hal ini
adalah untuk memelihara jiwa dan harta.
c.
Perbedaan
Pendapat Ulama Mengenai Maslahah Mursalah
Para
ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa maslahah
mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena
bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah,
dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.
Mereka
berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari
kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui maslahah mursalah sebagai landasan
pembentukan hukum, dengan alasan seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, antara
lain:
1) Allah
dan Rasul-Nya telah merusmuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala
bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berlandaskan maslahah mursalah, berarti menganggap
syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada maslahah yang belum
tertampung oleh hukum-hukum-nya. Hal ini seperti itu bertentangan dengan ayat
36 Surat al-Qiyamah:
Apakah manusia mengira, bahwa ia
akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertangunggjawban)?.
(QS. al-Qiyamah/75: 36)
2) Membenarkan
maslahah mursalah sebagai landasan
hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan
atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan
untuk meraih kemaslahatan. Praktik seperti itu akan merusak citra agama.
Dengan
alasan-alasan tersebut mereka menolak maslahah
mursalah sebagai landasan penetapan hukum. Berbeda dengan itu, kalangan
Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat
bahwa maslahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Di
antara alasan-alasan yang mereka ajukan ialah:
a) Syariat
Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan
umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin
semuanya dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umat
syariat Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap maslahah, selama tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sah dijadikan landasan huku.
b) Para
sahabat dalam berijtihad menganggap sah maslahah
mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun yang membantunya.
Contohnya, Umar bin Khattab pernah menyita sebagian harta para pejabat di
masanya yang diperoleh dengan cara menyalahgunakan jabatannya. Praktik seperti
ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, akan tetapi hal itu perlu
dilakukan demi menjaga harta negara dari rongrongan para pejabatnya.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut dan beberapa alasan lain yang tidak dapat disebut semua
dalam tulisan ini, kalangan Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian dari kalangan
Syafi’iyah menganggap sah maslahah
mursalah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh
pihak yang menolak maslahah mursalah
sebagai dalil hukum, menurut pihak kedua ini adalah lemah. Karena kenyatannya
berlawanan dengan dalil tersebut, di mana tidak semua kebutuhan manusia, ada
rinciannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, untuk menetapkan bahwa
suatu maslahah mursalah itu secara sah dapat diifungsikan, membutuhkan beberapa
persyaratan yang ekstra ketat. Dengan persyaratan-persyaratan itu, adanya
kemungkinan bahwa maslahah mursalah
akan disalahgunakan oleh berbagai pihak, dapat dihindarkan.
d.
Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
Abdul-Wahhab
Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah, yaitu:
1) Sesuatu
yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki yaitu benar-benar
akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan
belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepad akibat
negatif yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini adalah anggapan
bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada di tangan wanita bukan lagi di
tangan pria adalah maslahat palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat
yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami
sebagai mana disebut dalam hadis:
Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia
pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, hal itu
diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Surah Ibnu Umar untuk
merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil.
(HR. Ibnu Majah)
Secara
tidak langsung hadis tersebut memberikan informasi bahwa pihak yang paling
berhak untuk menalak istri adalah suami, yang dalam kasusu ini adalah Ibnu Umar.
2) Sesuatu
yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan
pribadi
3) Sesuatu
yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada
ketegasan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan
ijma’.
1.
‘Urf
(Adat Istiadat)
a.
Pengertian
‘Urf
Kata
‘urf secara etimologi berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara
terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti:
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi
satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan.
Istilah
‘urf dalam pengertian tersebut sama
dengan pengertian al-‘adah (adat
istiasa). Contoh ‘urf berupa
perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan
ringan sehari-hari seperit garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang
dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh ‘urf yang
berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan
kata al-lahm (daging) kepada jenis
ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti tiu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan
menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan Sunnah.
b.
Macam-macam
‘Urf
‘Urf
baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul-Karim
Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1) al-‘Urf al-‘Am
(adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di
satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam
memakai ungkapan: “engkau telah haram aku
gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya
itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa
menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang
digunakan.
2) al-‘Urf al-Khas
(adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau
negeri tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan
menganggap catatan juali beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang
sah dalam masalah utang piutang.
Di
samping pembagian di atas, ‘urf
dibagi pula kepada:
1) Adat kebiasaan
yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu
masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula
sebaliknya. Misalnya, adat kebiasaan suatu masyarakat di mana istri belum
dibawa pindah dari rumah orang tuanya sebelum menerima maharnya secara penuh,
dan apa yang diberikan pihak lelaki kepada calon istrinya ketika meminangnya,
dianggap hadian, bukan dianggap mahar.
2) Adat kebiasaan
yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat
kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. Misalnya, menyajikan
minuman memabukkah pada upacara-upacara resmi, apalagi upacara keagamaan, serta
mengadakan tarian-tarian wanita berpakaian seksi pada upacara yang dihadiri
peserta laki-laki.
c.
Keabsahan
‘Urf Menjadi Landasan Hukum
Para
ulam sepakat menolak ‘urf fasid (adat
kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya
adalah tentang ‘urf sahih. Menurut
hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di
Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad
fi ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab
besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan
pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di
antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga, ‘urf
dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan
ulama.
‘Urf
mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
1) Ayat
199 Surat al-A’raf
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf/7: 199)
Kata
al-‘urfi dalam ayat tersebut, di mana
umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para ulama Ushul Fiqh di pahami
sebagai suatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan
itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
2) Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tida bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama
sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara efektif ada
yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Missal adat
kebiasaan yang diakui, kerja sama dangan dengan cara berbagai untuk (al-mudarabah). Praktik seperti ini sudah
berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh
Islam sehingga menjadi hukum Islam, dan kemudian diakui oleh sehingga menjadi
hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat
istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi
beberapa persyaratan.
d.
Syarat-Syarat
‘Urf untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum
Abdul-Karim
Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:
1) ‘Urf
itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri
bahwa sah mengembalikan harta amanah kepad istri atau anak dari pihak pemberi
atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika
terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
2) ‘Urf
harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk negeri itu.
3) ‘Urf
itu harus ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang
mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu
hanyalah orang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah,
maka kata ulam dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya
yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi popular
kemudian setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah.
4) Tidak
ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah
pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang
berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya, adat yang berlaku di
satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya pindah dari rumah orang
tuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah
sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada
persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap
berlaku adala kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.
e.
Kaidah
yang Berlaku bagi ‘Urf
Diterimanya
‘urf sebagai landasan pembentukan
hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi huku Islam. Sebab, di samping
banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti
qiyas, istihsan, dan maslahah
mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang
menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud
para ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak
diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.
Maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk
berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah. Misalnya, bersifat adil adalah syarat diterimanya
kesaksian seseorang berdasarkan firman Allah:
…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu… (QS. at-Talaq/65: 2)
Ayat
tersebut berbicara tentang kesaksian bagi seseorang yang hendak merujuk
istrinya yang telah ditalaknya kurang dari tiga. Syarat kesaksian yang diterima
seperti dalam ayat itu adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang dimiliki
seseorang yang mampu membawa kepada menaati agama Allah dan menjaga harga diri
(muruah). Yang disebut terakhir ini,
yaitu sifat-sifat yang merusak harga diri, bisa berbeda antara satu masyarakat
dengan yang lain dan antara satu masa dengan masa yang lain. Misalnya, seorang
laki-laki dengan kepala terbuka, seperti dikemukakan Abu Ishaq al-Syatibi
merusak muruah (harga diri) menurut
pandangan orang-orang di daerah tertentu, tidak merusak muruah menurut pandangan orang-orang di daerah lainnya.
Hukum
Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan seperti tersebut. Demikian
juga dalam memahami ayat-ayat yang bersifat global, perlu mempertimbangkan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Misalnya, ayat 233 Surat
al-Baqarah menjelaskan:
…
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… (QS. al-Baqarah/2: 233)
Ayat
tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang
ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada
adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia berada. Dalam hal
ini adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskna pengertian ayat-ayat
yang senada dengan itu.
4.
Istishab
a.
Pengertian
Istishab
Kata
istishab secara etimologi berarti
“meminta ikut serta secara terus menerus”. Menurut Abdul-Karim Zaidan, ahli
Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, istishab berarti:
menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Definisi
lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah (w.
751H), tokoh Ushul Fiqh Hanbali, yaitu “menetapkan berlakunya suatu hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
mengubah kedudukannya”. Misalnya, seseorang yang diketahui masih hidup pada
masa tertentu, tetapi dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti
bahwa ia telah wafat. Demikian pula halnya, seseorang yang sudah memastikan
bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap wudhunya selama belum terjadi hal yang
membuktikan batal wudhunya. Dalam hal ini, adanya keraguan batalnya wudhu tanpa
bukti yang nyata, tidak bisa mengubah kedudukan hukum wudhu tersebut.
b.
Macam-macam
Istishab
Muhammad
Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:
1) Istishab
al-ibahah al-ashiliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah
(boleh). Istishab semacam ini banyak
berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah
prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh
dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak
ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip
tersebut berdasarkan ayat 29 Surat al-Baqarah:
Dialah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu… (QS. al-Baqarah/2: 29)
Ayat
tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia
dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang
membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini, jika ada larangan, berarti
pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan manusia.
Maka berdasarkan hal tersebut, suatu makanan, atau suatu tindakan tetap
dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya, selama tidak ada
dalil yang melarang.
2) Istishab
al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap
orang bebas dari tuntutan beban taklif
sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau
kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang menuntut
bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena
pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya
itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang
dengan prinsip istishab, akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya
sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3) Istishab al-hukm,
yaitu istishab yang didasarkan atas
tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti
mobil, maka harta milikny itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan
peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya
kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berutang kepada si fulan, akan
selalu dianggap berutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya
sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu. Seseorang
yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanita itu
akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah diceraikannya.
4) Istishab al-wasf,
yaitu istishab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti
yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang
tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula
air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang
mengubah statusnya itu.
c.
Perbedaan
Pendapat Ulama tentang Istishab
Para
ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tia
macam istishab yang disebut pertama
di atas adalah sah dijadikan landasan huku. Mereka berbeda pendapat pada macam
yang keempat, yaitu istishab al-wasf.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1) Kalangan
Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab
al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak
yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya,
seseorang yang hilang tida tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti
bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya
segala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap
kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi
harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak
miliknya.
2) Kalangan
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab
al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan
untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu,
meskipun ia masih dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap
sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai
orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus
kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya
sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu
wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya
yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka
karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup
secara fakta.
5.
Syar’u
Man Qablana
a.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Yang
dimaksud dengan syar’u man qablana
ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan
dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, as. Apakah
syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Masalah ini merupakan topik tersendiri dalam pembahasan Ushul
Fiqh. Untuk lebih jelas, lebih dulu dikemukakan hal-hal yang disepakati dan
hal-hal yang diperselisihkan di kalangan ulama.
b.
Pendapat
Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Para
ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat
terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum
Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana
ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku umat Islam bilaman ada ketegasan bahwa
syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu
bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena
ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat
Islam adalah syariat sebelum Islam, seperti dalam ayat 183 Surat al-Baqarah:
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah/2: 183)
Para
ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu
yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum
itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang
membatalkannya. Misalnya, persoalan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam
syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Qur’an ayat 45 Surat al-Maidah:
Dan kami telah tetapkan terhadap
mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas)
nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah/5: 45)
Dari
sekian banyak bentuk qishas dalam
ayat tersebut yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishas karena pembunuhan, seperti dalam
ayat 178 Surat al-Baqarah sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih. (QS. al-Baqarah/2 : 178)
Bentuk-bentuk
qishash lainnya yang tersebut dalam ayat 45 surat al-Maidah di atas
diperselisihkan di kalangan ulama fikih.
Menurut
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu
riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam.
Di antara alasan mereka:
1) Pada
dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena
itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam
Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal ini ditunjukkan oleh firman
Allah:
Dia telah mensyariatkan kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan
Isa yaitu: Tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.
as-Syura/42: 13)
2) Selain
itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara
lain firman Allah:
Kemudan Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.
(QS. an-Nahl/16: 123)
Dalam ayat lain Allah
juga berfirman:
Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah:
“Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu
tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. (QS.
al-An’am/6: 90)
Menurut
para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam
al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. kecuali ada
ketegasan untuk itu. Di antara alasan mereka:
1) Firman
Allah:
Dan kami telah turunkan kepadamu
Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab
yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberi-tahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu. (QS. al-Maidah/5: 48)
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri. Itu
berarti syariat nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2) Ketika
Mu’az bin Jabal diutus untuk menjadi hakim di Yaman, Rasulullah bertanya
kepadanya:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok
orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman,
maka beliau bertanya kepada Mu’az, “atas dasar apa Anda memutuskan suatu
persoalan”, dia jawab, “dasarnya adalah Kitab Allah”, Nabi bertanya: “kalau
tidak Anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab “aku akan
berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah
yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah SAW”.
(HR. Tirmizi)
Dalam
dialog tersebut, tidak terdapat petunjuk Rasulullah untuk merujuk kepada
syariat nabi-nabi terdahulu. Seandainya syariat nabi-nabi terdahulu dapat
dijadikan rujukan oleh Mu’az, sudah tentu Rasulullah memberi petunjuk untuk
itu.
Abdul
Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah
pendapat yang pertama di atas. Alasannya, bahwa syariat Islam hanya membatalkan
hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala
hukum-hukum syariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada
ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh
(dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Di
samping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk
bagi umat Islam, menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad SAW.
6.
Mazhab
Sahabi
a. Pengertian
Mazhab Sahabi
Yang
dimaksud dengan mazhab sahabi ialah
“pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.
Sedangkan
yang dimaksud dengan sahabat
Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, ahli hadis
berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul
al-Hadis adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah
dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar
bin Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, ‘Abdullah bin Umar bin
Khattab, ‘Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Talib. Mereka ini adalah di antara para
sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.
Permasalahan
yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan in adalah, apakah fatwa-fatwa mereka
itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak?
Dalam
hal ini, Abdul-Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:
1) Fatwa
sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa
batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak
sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat
dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu,
fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi
sesudahnya.
2) Fatwa
sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat.
Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3) Fatwa
sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid
di kalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun
dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti) sahabat yang lain.
4) Fatwa
sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Ulama
berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang
merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak
mengikat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, dan menurut Wahbah
az-Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan kepada dua pendapat,
sebagai berikut:
Pertama,
menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari
Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi
sesudahnya. Alasan mereka antara lain:
a) Firman
Allah
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali ‘Imran/3:
110)
Ayat
tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa
yang mereka sampaikan adalah ma’ruf (kebaikan), dan oleh karena itu harus
diikuti.
b) Sabda
Rasulullah
Para sahabatku bagaikan
bintang-bintang, siapa pun di antara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan
mendapat petunjuk
Hadis
tersebut menurut penganut aliran ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti fatwa
sahabat. Tetapi menurut Ibnu Hazn, hadis ini termasuk hadis maudhu’ yang tidak bisa dijadikan
sandaran hukum.
Kedua,
menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan
Syai’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Di antara
alasan yang mereka kemukakan adalah:
a) Firman
Allah:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
(QS. al-Hasyr/59: 2)
Yang
dimaksud dengan “mengambil pelajaran”
dalam ayat tersebut menurut mereka adalah melakukan ijtihad. Dengan demikian
berarti ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
melakukan ijtihad. Sedangkan mengikuti pendapat sahabat berarti seorang
mujtahid bertaqlid kepada sahabat itu
yang bertentangan dengan kehendak ayat tersebut yang menyuruh mereka
berijtihad.
b) Para
sahabat bukan orang ma’sum (terbebas
dari kesalahan) sama dengan para mujtahis lainnya. Oleh karena itu,
Fatwa
mereka mengandung keboleh jadian keliru. Sesuatu yang boleh jadi keliru tidak
layak untuk diikuti.
Muhammad
Abu Zahrah, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang
pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan, lebih kuat untuk
dipegang. Alasannya, bahwa para sahabat adalah generasi yang paling dekat
dengan Rasulullah. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasulullah
dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat, serta orang yang
paling tahu, setelah Rasulullah, tentang maksud dari ayat atau hadis
Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehingga
harus dijadikan rujukan.
Contoh
fatwa sahabat adalah: (a) menurut ‘Aisyah, batas maksimal kehamilah seorang
perempuan selama dua tahun dengan mengatakan: “Anak tidak berada dalam perut
ibunya lebih dari dua tahun”, (b) menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu
haid seorang wanita adalah tiga hari, dan (c) Menurut Umar bin Khattab, lelaki
yang menikahi seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya untuk
selamanya.
7.
Sadd
az-Zari’ah
Kata
sadd menurut bahasa berarti
“menutup”, dan kata az-zari’ah
berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az-Zariah secara bahasa berarti
“menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti
dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, sadd
al-zari’ah berarti:
Menutup jalan yang membawa kepada
kebinasaan atas kejahatan.
Perbuatan-perbuatan
yang menjadi wasilah kepada
kebinasaan, lanjut Abdul-Karim Zaidan, terbagi kepad dua macam:
1) Perbuatan
yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu
sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan
termasuk kedalam kajian Sadd az-Zari’ah.
2) Kedua,
perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu
memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.
Perbuatan seperti ini seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terbagai
kepada empat macam:
a)
Perbuatan itu
dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya menggali lubang di
tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang umum yang
dapat dipastikan akan menjadi siapa yang melaluinya. Perbuatan seperti ini,
menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah perbuatan terlarang dan jika ada orang yang
cedera disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan diminta
pertanggungjawabannya.
b)
Perbuatan itu
mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang,
atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamr atau minuman keras. Perbuatan
seperti ini, demikian dijelaskan Wahbah az-Zuhaili, boleh dilakukan, karena
kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan sangat sedikit dibandingkan dengan
manfaat yang akan diraih. Sedangkan Syariat Islam dalam menetapkan hukum selalu
mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dan dalam kondisi yang demikian
kemudaratan yang ringan tidak lagi menjadi pertimbangan.
c)
Perbuatan yang
pada dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan
lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan diraih. Contohnya,
menjual senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak
yang dikenal bandar jugi atau kepada germo, mencaci-maki atau mengejek
sesembahan orang-orang musyrik dan menjual buah anggur kepada pihak produsen
minuman keras. Perbuatan seperti itu, sebagaimana dikemukakan Wahbah
az-Zuhaili, dilarang, sama hukumnya dengan jenis pertama di atas, karena keras
dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamkan agama.
d)
Perbuatan yang
pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi di samping itu
dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya
mengelak dari riba, dengan cara si A menjual suatu benda dengan harga satu juta
rupiah dengan cara berutang kepada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli
kembali oleh A seharga delapan ratus ribu rupiah dengan cara tunai, sehingga
hasilnya, dengan perantaraan jual beli arloji, pihak B mengantongi uang delapan
ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus dibayar
sejuta rupiah. Jual beli seperti ini dikenal dengan ba’i al-‘ainah.
Menurut
Wahbah az-Zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan seperti ini
jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba, dan
mereka berbeda pendapat dalam hal tidak kelihatan jelas tanda-tanda bahwa
maksud kedua belah pihak melakukan jual beli tersebut sebagai helah untuk mengelak dari perbuatan
riba.
Sementara
menurut kalangan Malikiyah dan Hanabilah jual beli seperti itu termasuk jual
beli yang dilarang. Alasan mereka masalah dilarang atau tidak dilarangnya suatu
perbuatan tidak hanya diukur dengan bentuk formal dari suatu perbuatan, tetapi
juga dilihat kepada akibat dari perbuatan itu. Pada jual beli tersebut terdapat
kecurigaan bahwa tujuannya, meskipun tidak mereka tegaskan, adalah untuk
mengelak dari riba secara formal, meskipun secara esensial mereka terjebak ke
dalamnya.
Sedangkan
menurut Hanafiyah, jual beli seperti itu juga fasid (rusak) namun bukan atas dasar Sadd az-Zari’ah, tetapi atas
dasar bahwa pihak penjual dalam contoh di atas tidak sah membeli kembali barang
yang telah dijualnya tersebut sebelum pihak pembeli melunasi harganya.
Adapun
kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya sah. Di
antara alasannya, bahwa dalam sebuah akad yang menjadi ukuran sahnya adalah
syarat dan rukunnya. Selama syarat dan rukunnya telah dipenuhi, maka jual beli
dianggap sah. Adanya kemungkinan tujuan tersembunyi di balik yang lahiriah dari
kedua belah pihak, karena tidak dapat dipastikan, tidak berpengaruh kepada sahnya
akad jual beli.
Sumber
: Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi
1 komentar:
makalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya.. matur nuhun, semoga bermanfaat
Posting Komentar