Senin, 13 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Dalil-Dalil Yang Tidak Disepakati


 

Dalil-dalil hukum yang diperbedakan kalangan ulama antara lain yang terpenting adalah istihsan, maslahah mursalah, ‘urf (adat istiadat), istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabat, dan sad al-zari’ah. Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dalil tersebut.

Istihsan

a.      Pengertian dan Macam-macam Istihsan

Dari segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yaitu terambil dari kata al-husnu (baik). Sedangkan istihsan menurut istilah Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terdiri dari dua definisi yaitu:

Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.

Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.

Istihsan yang disebut pertama, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua Istihsan Istisnaiy.

Istihsan qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Seperti telah dijelaskan kedua istilah tersebut pada pembagian qiyas, dan pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas di dahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mazhab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan istihsan qiyasi. Contohnya, menurut kesimpulan qiyas jali, hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika di tegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan (di-qiyas-kan) dengan praktik jual beli karena sama-sama menghilangkan miliki. Dalam jual beli, hak pengairan yang berada di atas sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk kepada yang dijual kecuali jika ditegaskan dalam akad jual beli. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan pada waktu berikrar wakaf, karena di-qiyas-kan kepada sewa menyewa dengan persamaan ‘illat sama-sama untuk diambil manfaatnya. Dilihat dari segi manfaatnya, qiyas yang disebut terakhir ini lebih kuat pengaruh hukumannya karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya.

Sedangkan Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu:

1)      Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa. Contohnya, menurut kaidah umum makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan merusak puasa seseorang karena telah rusak rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di siang harinya. Namun, hadis Rasulullah menegaskan bahwa makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan tidak membatalkan puasa:

Dan Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2)      Istihsan berlandaskan ijma’. Misalnya, pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud). Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga dianggap sudah disepakati (ijma’).

3)      Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.

4)      Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar kemampuan manusia untuk menghindarinya. Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi, demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.

 

b.      Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Istihsan

1)      Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:

a)      Firman Allah:

yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yan paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. az-Zumar/39: 18)

Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.

b)      Sabda Rasulullah

Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah juga baik disisi Allah (HR. Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya).

Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.

2)      Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri Mazhab Syafi’i, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:

a)      Ayat 38 Surat al-An’am:

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. al-An’am/6: 38)

b)      Ayat 44 Surat al-Nahl:

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl/16: 44)

c)      Ayat 49 Surat al-Maidah:

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangan-lah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Maidah/5: 49)

Ayat pertama di atas, menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi. Kemudian ayat yang ketiga, menurut Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan larangan mengikuti petunjuk kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.

Dalam gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i di atas, bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak di mana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif.

2.      Maslahah Mursalah

a.      Pengertian Maslahah

Maslahah Murasalah menurut Istilah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga ia disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).

b.      Macam-macam maslahah

Selanjutnya, dalam rangka memperjelas pengertian maslahah mursalah, Abdul-Karim Zaidan menjelaskan macam-macam maslahah:

1)      al-Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk memelihara agama dan rongrongan musuhnya, diwajibkan hukuman qishas untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukum atas peminum khamar untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukum mencuri untuk menjaga harta. 

2)      al-Maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan degan ketentuan syariat. Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan wanita adalah maslahah, akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syariat, yaitu ayat 11 Surat an-Nisa’ yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap maslahat itu, bukan maslahat di sisi Allah.

3)      al-Maslahah al-Mursalah, dan maslahat macam inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan di atas. Maslahat macam ini terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi. Contohnya, peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah. Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syariat, yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara jiwa dan harta.

 

c.       Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Maslahah Mursalah

Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.

Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui maslahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, antara lain:

1)      Allah dan Rasul-Nya telah merusmuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berlandaskan maslahah mursalah, berarti menganggap syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada maslahah yang belum tertampung oleh hukum-hukum-nya. Hal ini seperti itu bertentangan dengan ayat 36 Surat al-Qiyamah:

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertangunggjawban)?. (QS. al-Qiyamah/75: 36)

2)      Membenarkan maslahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan. Praktik seperti itu akan merusak citra agama.

Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak maslahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum. Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa maslahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Di antara alasan-alasan yang mereka ajukan ialah:

a)      Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umat syariat Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap maslahah, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sah dijadikan landasan huku.

b)      Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun yang membantunya. Contohnya, Umar bin Khattab pernah menyita sebagian harta para pejabat di masanya yang diperoleh dengan cara menyalahgunakan jabatannya. Praktik seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, akan tetapi hal itu perlu dilakukan demi menjaga harta negara dari rongrongan para pejabatnya.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan beberapa alasan lain yang tidak dapat disebut semua dalam tulisan ini, kalangan Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian dari kalangan Syafi’iyah menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak yang menolak maslahah mursalah sebagai dalil hukum, menurut pihak kedua ini adalah lemah. Karena kenyatannya berlawanan dengan dalil tersebut, di mana tidak semua kebutuhan manusia, ada rinciannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, untuk menetapkan bahwa suatu maslahah mursalah itu secara sah dapat diifungsikan, membutuhkan beberapa persyaratan yang ekstra ketat. Dengan persyaratan-persyaratan itu, adanya kemungkinan bahwa maslahah mursalah akan disalahgunakan oleh berbagai pihak, dapat dihindarkan.

d.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Abdul-Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah, yaitu:

1)      Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki yaitu benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepad akibat negatif yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada di tangan wanita bukan lagi di tangan pria adalah maslahat palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami sebagai mana disebut dalam hadis:

Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, hal itu diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Surah Ibnu Umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil. (HR. Ibnu Majah)

Secara tidak langsung hadis tersebut memberikan informasi bahwa pihak yang paling berhak untuk menalak istri adalah suami, yang dalam kasusu ini adalah Ibnu Umar.

2)      Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi

3)      Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan ijma’.

 

1.      ‘Urf (Adat Istiadat)

a.      Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti:

Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian al-‘adah (adat istiasa). Contoh ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperit garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh ‘urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti tiu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

b.      Macam-macam ‘Urf

‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:

1)      al-‘Urf al-‘Am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam memakai ungkapan: “engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.

2)      al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan juali beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.

Di samping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:

1)      Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya. Misalnya, adat kebiasaan suatu masyarakat di mana istri belum dibawa pindah dari rumah orang tuanya sebelum menerima maharnya secara penuh, dan apa yang diberikan pihak lelaki kepada calon istrinya ketika meminangnya, dianggap hadian, bukan dianggap mahar.

2)      Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. Misalnya, menyajikan minuman memabukkah pada upacara-upacara resmi, apalagi upacara keagamaan, serta mengadakan tarian-tarian wanita berpakaian seksi pada upacara yang dihadiri peserta laki-laki.

 

c.       Keabsahan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum

Para ulam sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf sahih. Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga, ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan ulama.

‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:

1)      Ayat 199 Surat al-A’raf

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf/7: 199)

Kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, di mana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para ulama Ushul Fiqh di pahami sebagai suatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

2)      Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tida bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara efektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Missal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dangan dengan cara berbagai untuk (al-mudarabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam, dan kemudian diakui oleh sehingga menjadi hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

d.      Syarat-Syarat ‘Urf untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum

Abdul-Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:

1)      ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepad istri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.

2)      ‘Urf harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.   

3)      ‘Urf itu harus ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu hanyalah orang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah, maka kata ulam dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi popular kemudian setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah.

4)      Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya, adat yang berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya pindah dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adala kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.

 

e.       Kaidah yang Berlaku bagi ‘Urf

Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi huku Islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud para ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Misalnya, bersifat adil adalah syarat diterimanya kesaksian seseorang berdasarkan firman Allah:

dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu… (QS. at-Talaq/65: 2)

Ayat tersebut berbicara tentang kesaksian bagi seseorang yang hendak merujuk istrinya yang telah ditalaknya kurang dari tiga. Syarat kesaksian yang diterima seperti dalam ayat itu adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang dimiliki seseorang yang mampu membawa kepada menaati agama Allah dan menjaga harga diri (muruah). Yang disebut terakhir ini, yaitu sifat-sifat yang merusak harga diri, bisa berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan antara satu masa dengan masa yang lain. Misalnya, seorang laki-laki dengan kepala terbuka, seperti dikemukakan Abu Ishaq al-Syatibi merusak muruah (harga diri) menurut pandangan orang-orang di daerah tertentu, tidak merusak muruah menurut pandangan orang-orang di daerah lainnya.

Hukum Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan seperti tersebut. Demikian juga dalam memahami ayat-ayat yang bersifat global, perlu mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Misalnya, ayat 233 Surat al-Baqarah menjelaskan:

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… (QS. al-Baqarah/2: 233)

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskna pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.

4.      Istishab

a.      Pengertian Istishab

Kata istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”. Menurut Abdul-Karim Zaidan, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, istishab berarti:

menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.

Definisi lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751H), tokoh Ushul Fiqh Hanbali, yaitu “menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Misalnya, seseorang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu, tetapi dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula halnya, seseorang yang sudah memastikan bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap wudhunya selama belum terjadi hal yang membuktikan batal wudhunya. Dalam hal ini, adanya keraguan batalnya wudhu tanpa bukti yang nyata, tidak bisa mengubah kedudukan hukum wudhu tersebut.

b.      Macam-macam Istishab

Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:

1)      Istishab al-ibahah al-ashiliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 Surat al-Baqarah:

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu… (QS. al-Baqarah/2: 29)

Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini, jika ada larangan, berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu makanan, atau suatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya, selama tidak ada dalil yang melarang.

2)      Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang dengan prinsip istishab, akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.

3)      Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta milikny itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah diceraikannya.

4)      Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.

c.       Perbedaan Pendapat Ulama tentang Istishab

Para ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tia macam istishab yang disebut pertama di atas adalah sah dijadikan landasan huku. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat:

1)      Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tida tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.

2)      Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu, meskipun ia masih dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.

 

5.      Syar’u Man Qablana

a.      Pengertian Syar’u Man Qablana

Yang dimaksud dengan syar’u man qablana ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, as. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Masalah ini merupakan topik tersendiri dalam pembahasan Ushul Fiqh. Untuk lebih jelas, lebih dulu dikemukakan hal-hal yang disepakati dan hal-hal yang diperselisihkan di kalangan ulama.

b.      Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana

Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku umat Islam bilaman ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam, seperti dalam ayat 183 Surat al-Baqarah:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah/2: 183)

Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya, persoalan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Qur’an ayat 45 Surat al-Maidah:

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah/5: 45)

Dari sekian banyak bentuk qishas dalam ayat tersebut yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishas karena pembunuhan, seperti dalam ayat 178 Surat al-Baqarah sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah/2 : 178)

Bentuk-bentuk qishash lainnya yang tersebut dalam ayat 45 surat al-Maidah di atas diperselisihkan di kalangan ulama fikih.

Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam. Di antara alasan mereka:

1)      Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:

Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. as-Syura/42: 13)             

2)      Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:

Kemudan Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang hanif. (QS. an-Nahl/16: 123)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. (QS. al-An’am/6: 90)

Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. kecuali ada ketegasan untuk itu. Di antara alasan mereka:

1)      Firman Allah:

Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberi-tahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. al-Maidah/5: 48)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri. Itu berarti syariat nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.

2)      Ketika Mu’az bin Jabal diutus untuk menjadi hakim di Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya:

Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, “atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan”, dia jawab, “dasarnya adalah Kitab Allah”, Nabi bertanya: “kalau tidak Anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab “aku akan berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)

Dalam dialog tersebut, tidak terdapat petunjuk Rasulullah untuk merujuk kepada syariat nabi-nabi terdahulu. Seandainya syariat nabi-nabi terdahulu dapat dijadikan rujukan oleh Mu’az, sudah tentu Rasulullah memberi petunjuk untuk itu.

Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama di atas. Alasannya, bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukum syariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi umat Islam, menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad SAW.

6.      Mazhab Sahabi

a.      Pengertian Mazhab Sahabi

Yang dimaksud dengan mazhab sahabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.

Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al-Hadis adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, ‘Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Talib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.

Permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan in adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak?

Dalam hal ini, Abdul-Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:

1)      Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.

2)      Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.

3)      Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid di kalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti) sahabat yang lain.

4)      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.

Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak mengikat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, dan menurut Wahbah az-Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan kepada dua pendapat, sebagai berikut:

Pertama, menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka antara lain:

a)      Firman Allah

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali ‘Imran/3: 110)

Ayat tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah ma’ruf (kebaikan), dan oleh karena itu harus diikuti.

b)      Sabda Rasulullah

Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun di antara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk

Hadis tersebut menurut penganut aliran ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti fatwa sahabat. Tetapi menurut Ibnu Hazn, hadis ini termasuk hadis maudhu’ yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.

Kedua, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syai’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:

a)      Firman Allah:

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. al-Hasyr/59: 2)

Yang dimaksud dengan “mengambil pelajaran” dalam ayat tersebut menurut mereka adalah melakukan ijtihad. Dengan demikian berarti ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sedangkan mengikuti pendapat sahabat berarti seorang mujtahid bertaqlid kepada sahabat itu yang bertentangan dengan kehendak ayat tersebut yang menyuruh mereka berijtihad.

b)      Para sahabat bukan orang ma’sum (terbebas dari kesalahan) sama dengan para mujtahis lainnya. Oleh karena itu,

Fatwa mereka mengandung keboleh jadian keliru. Sesuatu yang boleh jadi keliru tidak layak untuk diikuti.

Muhammad Abu Zahrah, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan, lebih kuat untuk dipegang. Alasannya, bahwa para sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan Rasulullah. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasulullah dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat, serta orang yang paling tahu, setelah Rasulullah, tentang maksud dari ayat atau hadis Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehingga harus dijadikan rujukan.

Contoh fatwa sahabat adalah: (a) menurut ‘Aisyah, batas maksimal kehamilah seorang perempuan selama dua tahun dengan mengatakan: “Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”, (b) menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid seorang wanita adalah tiga hari, dan (c) Menurut Umar bin Khattab, lelaki yang menikahi seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya untuk selamanya.     

7.      Sadd az-Zari’ah

Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata az-zari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az-Zariah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, sadd al-zari’ah berarti:

Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atas kejahatan.

Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul-Karim Zaidan, terbagi kepad dua macam:

1)      Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk kedalam kajian Sadd az-Zari’ah.

2)      Kedua, perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terbagai kepada empat macam:

a)      Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya menggali lubang di tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang umum yang dapat dipastikan akan menjadi siapa yang melaluinya. Perbuatan seperti ini, menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah perbuatan terlarang dan jika ada orang yang cedera disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan diminta pertanggungjawabannya.

b)      Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang, atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamr atau minuman keras. Perbuatan seperti ini, demikian dijelaskan Wahbah az-Zuhaili, boleh dilakukan, karena kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan sangat sedikit dibandingkan dengan manfaat yang akan diraih. Sedangkan Syariat Islam dalam menetapkan hukum selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dan dalam kondisi yang demikian kemudaratan yang ringan tidak lagi menjadi pertimbangan.

c)      Perbuatan yang pada dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan diraih. Contohnya, menjual senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak yang dikenal bandar jugi atau kepada germo, mencaci-maki atau mengejek sesembahan orang-orang musyrik dan menjual buah anggur kepada pihak produsen minuman keras. Perbuatan seperti itu, sebagaimana dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dilarang, sama hukumnya dengan jenis pertama di atas, karena keras dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamkan agama.

d)     Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi di samping itu dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya mengelak dari riba, dengan cara si A menjual suatu benda dengan harga satu juta rupiah dengan cara berutang kepada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli kembali oleh A seharga delapan ratus ribu rupiah dengan cara tunai, sehingga hasilnya, dengan perantaraan jual beli arloji, pihak B mengantongi uang delapan ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus dibayar sejuta rupiah. Jual beli seperti ini dikenal dengan ba’i al-‘ainah.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan seperti ini jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba, dan mereka berbeda pendapat dalam hal tidak kelihatan jelas tanda-tanda bahwa maksud kedua belah pihak melakukan jual beli tersebut sebagai helah untuk mengelak dari perbuatan riba.

Sementara menurut kalangan Malikiyah dan Hanabilah jual beli seperti itu termasuk jual beli yang dilarang. Alasan mereka masalah dilarang atau tidak dilarangnya suatu perbuatan tidak hanya diukur dengan bentuk formal dari suatu perbuatan, tetapi juga dilihat kepada akibat dari perbuatan itu. Pada jual beli tersebut terdapat kecurigaan bahwa tujuannya, meskipun tidak mereka tegaskan, adalah untuk mengelak dari riba secara formal, meskipun secara esensial mereka terjebak ke dalamnya.

Sedangkan menurut Hanafiyah, jual beli seperti itu juga fasid (rusak) namun bukan atas dasar Sadd az-Zari’ah, tetapi atas dasar bahwa pihak penjual dalam contoh di atas tidak sah membeli kembali barang yang telah dijualnya tersebut sebelum pihak pembeli melunasi harganya.

Adapun kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya sah. Di antara alasannya, bahwa dalam sebuah akad yang menjadi ukuran sahnya adalah syarat dan rukunnya. Selama syarat dan rukunnya telah dipenuhi, maka jual beli dianggap sah. Adanya kemungkinan tujuan tersembunyi di balik yang lahiriah dari kedua belah pihak, karena tidak dapat dipastikan, tidak berpengaruh kepada sahnya akad jual beli.    

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

1 komentar:

babulilmi mengatakan...

makalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya.. matur nuhun, semoga bermanfaat

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...