Ijma’
a.
Pengertian
Ijma’
Kata
Ijma’ secara bahasa berarti
“kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu
masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan,
adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah
wafat”.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun
demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga
dapat dianggap sebagai ijma’ yang
mengikat umat Islam. Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk yang dikenal dengan ijma’
ahl al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah,
ijma’ adalah kesepakatan para imam di
kalangan mereka. Sedangkan menurut jumhur ulama, kata Muhammad Abu Zahrah, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul-Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana
merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
b.
Dalil
Keabsahan Ijma’ sebagai Landasan Hukum
Para
ulama Ushul Fiqh mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai
argumentasi, antara lain:
1) Surat
an-Nisa’ ayat 115 Surat:
Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan Kami masukan ia ke dalam nereka jahanam, dan jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’4: 115)
Ayat
tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan
orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat itu dipahami, kata Muhammad Abu
Zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti
kesepakatan mereka orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
2) Hadis
Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmizi:
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW.
Bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau
berkata umat Muhammad SAW. atas kesesatan. (HR.
at-Tirmizi)
c.
Landasan
(sanad) ijma’
Ijma’
baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam
pembentukannya mempunyai landasan syara’
yang disebut sanad (landasan) ijma’.
Para
ulama Ushul Fiqh sepakat atas keabsahan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijma’. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama
atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan tersebut
dilandaskan atas ayat 23 Surat an-Nisa’ yang berbunyi:
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. an-Nisa’/4:23)
Para
ulama sepaka bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan
nenek, dan kata banat (anak-anak
wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
Contoh
ijma’ yang dilandaskan atas Sunnah,
kesepakatan ulama bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si
mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan. Kesepakatan tersebut
dilandaskan atas hadis bahwa Rasulullah, ketika ibu si mayit sudah tidak ada,
pernah memberi nenek seperenam dari harta warisan cucunya sebagaimana disebut
dalam hadis:
Dari
Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung
bapak yang datang kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya
kepada orang-orang dan al-Mughirah bin Syu’bah lah yang bisa memberi tahu bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW. memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam.
(HR. Tirmizi)
Ulama
berbeda pendapat mengenai qiyas (analogi) apakah sah dijadikan landasan ijma’ atau tidak. Menurut Mazhab Zahri,
tidak sah menjadikan qiyas sebagai
landasan ijma’. Menurut mayoritas
ulama, qiyas adalah sah dijadikan
landasan ijma’. Contohnya, seperti
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, adalah kesepakatan ulama atas keharaman minyak
babi di-qiyas-kan atas keharaman
dagingnya.
d.
Macam-macam
Ijma’
Menurut
Abdul-Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sarih (tegas) dan Ijma’ Sukuti
(persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Ijma’
sarih adalah kesepakatan tegas dari
para mujtahid di mana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara
tegas terhadap kesimpulan itu. Sedangkan ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. Para ulama Ushul
Fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafi’i dan
kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti
tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian
para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut
kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh
jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya
pendapat itu karena dianggap lebih senior. Sedangkan menurut Hanafiyah dan
Hanabilah, ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa
diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika
mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya.
Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa
mereka menyetujuinya. Pendapat lain, yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan
Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan
telah terjadi ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari
pendapat perorangan.
Qiyas
a.
Pengertian
Qiyas
Dalil
keempat yang disepakati adalah qiyas atau
analogi. Qiyas menurut bahasa berarti
“mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan
antara keduanya”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah
az-Zuhaili adalah:
Menghubungkan
(menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu
yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Qiyas
adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Adapun qiyas dilakukan
seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula
keberadaan ‘illat yang sama pada
masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Bila
benar ada kesamaan ‘illat-nya, maka
keras dugaan bahwa hukumnya juga sama. Begitulah dilakukan pada setiap praktik
qiyas.
b.
Dalil
keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum
Para
ulama Ushul Fiqh menganggap qiyas
secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi, antara
lain:
1) Surat
an-Nisa’ ayat 59:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’/4: 59)
Ayat
ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang
hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Cara mengembalikkannya antara lain dengan
melakukan qiyas.
2) Hadis
yang berisi dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut
terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman. Menjawab pertanyaan Rasulullah
dengan apa ia (Mu’az bin Jabal) memutuskan hukum di Yaman, Mu’az Ibnu Jabal
menceritakan bahwa ia akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an)
dan jika tidak didapatkan dalam kitab Allah ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah,
dan seterusnya dengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak
ditemukan dalam dua sumber tersebut. Mendengar jawaban itu Rasulullah
berkomentar dengan mengatakan: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi
taufik atas diri utusan dari Rasulullah”. “Secara lengkap hadis tersebut
adalah:
Dari
al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya
RAsulullah SAW. mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az,
“atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan”, dia jawab, “dasarnya adalah
Kitab Allah”, Nabi bertanya: “kalau tidak Anda temukan dalam kitab Allah?”, dia
menjawab “dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW”. Beliau bertanya lagi: “kalau
tidak Anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab “aku akan
berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata: “Se-gala pujian bagi Allah
yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”.
(HR. Tirmizi)
Hadis
tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh mengandung pengakuan Rasulullah
terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari kegiatan
ijtihad yang mendapat pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut.
c.
Rukun
Qiyas
Qiyas
baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukun. Para ulama Ushul Fiqh sepakat
bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat yaitu:
1) Ashal
(Pokok Tempat Mengqiyaskan Sesuatu),
yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur’an atau dalam
Sunnah Rasulullah. Ashal disebut juga
al-maqis ‘alaih (tempat mengiyaskan
sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramya dalam ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Al-Qur’an. (QS. al-Maidah/5: 90)
Beberapa
syarat ashal, seperti dikemukakan A.
Hanafi M.A., adalah:
a) Hukum
yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya
sudah dihapuskan (mansukh) di masa
Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b) Hukum
yang terdapat pada ashal itu
hendaklah hukum syara’, bukan hukum
akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas syara’.
c) Hukum
ashal bukan merupakan hukum
pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila
berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya). Tetapi puasanya
tetap ada, karena ada hadis yang menerangkan bahwa:
Dari
Abu hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang
puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya
saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Berhubungan
dengan hadis tersebut, demikian A. Hanafi menjelaskan, maka orang yang dipaksa
tidak dapat di qiyas-kan dengan orang
yang lupa.
2) Adanya Hukum
Ashal, yaitu hukum syara’
yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkan pada far’u (cabang) dengan
jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Syarat-syarat
hukum ashal, menurut Abu Zahrah,
antara lain adalah:
a)
hukum ashal hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal
perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh adalah hukum yang menyangkut
amal perbuatan.
b)
hukum ashal dapat ditelususri ‘illat (motivasi) hukunya. Misalnya
hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu
karena memabukkan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak
dapat diketahui ‘illat hukunya (gaira ma’qul al-ma’na), seperti masalah
bilangan rakaat shalat.
c)
Hukum ashal itu
bukang merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW. misalnya kebolehan
Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
3) Adapun Cabang
(Far’u), yaitu sesuatu yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya
minuman keras wisky.
Syarat-syaratnya,
seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:
a)
Cabang tidak
mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa: “Apabila
datang nas (penjelasan hukumnya dalam
Al-Qur’an atau Sunnah), qiyas menjadi
batal”. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan
itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah
tersebut.
b)
‘Illat
yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
c)
Hukum cabang
harus sama dengan hukum pokok.
4) ‘Illat,
rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena berdasarkan ‘illat
itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dapat
dikembangkan. ‘Illat menurut bahasa
berarti “sesuatu yang bisa mengubah keadaan”, misalnya penyakit disebut ‘illat karena sifatnya mengubah kondisi
seseorang yang terkena penyakit itu.
Menurut
istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, adalah “suatu sifat yang
konkret dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut
sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan
kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudaratan dari umat
manusia”. Misalnya, ijab dan Kabul (qabul) dalam masalah jual beli adalah ‘illat bagi disepakatinya jual beli.
Keduanya itu, yaitu ijab dan qabul adalah dua sifat konkret yang menggambarkan
adanya rela sama rela, dapat dipastikan keberadaannya serta tidak berbeda
pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain, dan sesuai dengan
tujuan syariat di mana dengan adanya ijab dan kabul akan dirasakan
kemaslahatannya yaitu perpindahan milik kepada si pembeli dan menikmati
harganya bagi pihak penjual.
Untuk
sahnya suatu ‘illat sebagai landasan qiyas, sebagaimana disimpulkan oleh para
ulama Ushul Fiqh, ‘illat memerlukan beberapa persyaratan, antara lain yang
terpenting adalah:
a) ‘Illat
harus berupa sesuatu yang ada kesesuainnya dengan tujuan pembentukan suatu
hukum. Artinya, kuat dugaan bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ‘illat itu bukan karena sesuatu yang
lain. Dugaan kuat itu timbul sebagai hasil dari penelitian tentang hubungan
sesuatu yang dianggap ‘illat itu dengan kemaslahatan manusia. Contohnya sifat iskar (memabukkan) adalah relavan bagi
pengharaman khamar, karena dengan mengharamkannya berarti menolak kemudaratan
dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, tidak sah dijadikan ‘illat sifat yang tidak relevan dengan
pembentukan suatu hukum. Misalnya, sifat cair bagi minuman keras khamar tidak
cocok untuk dijadikan ‘illat atau
alasan bagi diharamkannya khamar, karena tidak ada hubungannya (keadaan cair)
dengan upaya meraih kemanfaatn disaksikan keberadaannya.
b) ‘Illat
harus bersifat jelas. Maka sesuatu yang tersembunyi atau samar-samar tidak sah
dijadikan ‘illat karena tidak dapat
dideteksi keberadaannya. Misalnya, perasaan ridha
meskipun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perikaan, namun semata-mata
perasaan ridha, karena tersembunyi,
tidak dapat dijadikan ‘illat bagi
sahnya suatu perikatan. Karena itu, harus dicarikan sesuatu yang konkret
sebagai penggantinya yang menurut kebiasannya menunjukkan kepada adanya ridha
seseorang. Misalnya, ijab dan kabul dalam jual beli adalah sebagai tanda bagi
adanya ridha pada kedua belah pihak.
c) ‘Illat
itu harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar
timbangannya jika berupa barang yang ditimbang sehingga tidak jauh berbeda
pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain. Misalnya tindakan
pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan yaitu menghilangkan nyawa
seseorang, dan hakikat pembunuhan itu tidak berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Oleh sebab itu, ia secara sah bisa dijadikan ‘illat bagi terhalangnya mendapat harta warisan bilamana yang
membunuh adalah anak dari yang terbunuh atau ahli waris dari yang terbunuh. Dan
atas dasar itu secara sah bisa di-qiyas-kan
kepadanya wasiat, yaitu bilamana seorang penerima berwasiat membunuh pihak yang
berwasiat, maka pembunuh tidak lagi berhak terhadap harta yang diwasiatkan
untuknya itu diqiyaskan kepada masalah warisan tadi.
Cara mengetahui ‘illat
Menurut
penelitian para ulama Ushul Fiqh, ada beberapa cara yang digunakan untuk
mengetahui keberadaan ‘illat, baik pada suatu ayat atau pada hadis Rasulullah,
yaitu:
a. Melalui
dalil-dalil Al-Qur’an atau hadis baik secara tegas atau tidak tegas. Contoh ‘illat yang disebut secara tegas ayat 7
Surat al-Hasyar:
Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
(QS. al-Hasyr/59: 7)
Ayat
tersebut secara tegas menyebutkan bahwa ‘illat
(alasan) mengapa harta rampasan itu harus di bagi-bagikan antara
kelompok-kelompok tersebut adalah agar harta kekayaan jangan hanya beredar di
tangan orang-orang kaya. Terhadapnya di-qiyas-kan
setiap pembagian harta kekayaan harus merata, dan tidak boleh harta hanya
menumpuk di tangan orang-orang yang kaya saja.
Dari
Aisyah berkata, orang-orang Arab Badui berduyun-duyun untuk meminta daging
kurban, maka Rasulullah SAW. bersabda “Makan dan disimpanlah jangan lebih dari
3 hari, setelah mendengar anjuran itu, mereka berkata kepada beliau, Ya
Rasulullah, orang-orang umumnya memanfaatkan untuk membuat minyak dan untuk
menjamu para tukang siram, mengapa mesti engkau larang untuk menyimpan daging
kurban? Maka beliau bersabda, aku larang karena dulu masih banyak rombongan
badui yang mengharap pemberian daging kurban tersebut, tapi sekarang makan,
simpan (sampai kapan saja) dan sedekahkanlah”. (HR.
an-Nas’i)
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa ‘illat
dari adanya larangan menyimpan daging kurban adalah karena banyak orang-orang
Islam dari pedusunan datang membutuhkannya. Namun beberapa waktu kemudian,
setelah ‘illatnya tidak ada lagi
yaitu orang-orang pedusunan yang membutuhkannya, maka Rasulullah membolehkan
menyimpan dan memakannya.
Contoh
‘illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas firman Allah:
Dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebalum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri. (QS. al-Baqrah/2: 222)
Redaksi
ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi ‘illat bagi haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidnya,
dan ‘illat halal mendekatinya adalah
suci, dan kesimpulan tersebut bukan secara langsung ditunjukkan ayat di atas,
namun tersirat di dalamnya.
b. Mengetahui
‘illat dengan ijma’. Contohnya, kesepakatan para ulama Fiqh bahwa keadaan kecil
seseorang menjadi ‘illat bagi perlu
ada pembimbing untuk mengendalikan harta anak itu sampai ia dewasa. Diqiyaskan
kepadanya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, hak mewalikan anak perempuan
kecil dalam masalah pernikahan.
c. Mengetahui
‘illat dengan jalan ijtihad dan
hasilnya dikenal dengan ‘illat
mustanbathah (‘illat yang
dihasilkan dengan ijtihad). Di antara cara-cara berijtihad untuk menemukan ‘illat adalah dengan as-sibru wa al-taqsim. As-sibru berarti “menyeleksi beberapa
sifat, mana di antaranya yang lebih cocok untuk dijadikan ‘illat bagi suatu rumusan hukum”. Sedangkan at-taqsim berarti “menarik dan mengumpulkan berbagai bentuk sifat
yang dikandung oleh suatu rumusan hukum syara’”,
yang kemudian diseleksi dengan cara al-sibru
tersebut. Contohnya, bahwa keharaman khamar ditetapkan dengan ayat Al-Qur’an.
Kemudian seorang mujtahid mencari ‘illat
mengapa khamar di haramkan, dengan mengumpulkan (al-taqsim) berbagai sifat yang terdapat didalamnya, seperti keadaan
cair, keadaannya terbuat dari anggur, keadannya berwarna merah, dan keadannya
memabukkan. Setelah beberapa sifat itu ditemukan lalu diadakan pengujian atau
penyeleksian sifat, mana di antaranya yang cocok sebagai ‘illat dari keharaman khamar, sehingga akhirnya disimpulkan bahwa
yang layak menjadi ‘illat hukumnya
adalah keadaannya memabukkan, bukan keadaannya yang cair, berwarna merah dan
bukan pula karena khamar terbuat dari anggur.
d.
Macam-macam
Qiyas
Seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat men-qiyas-kan) dan yang terdapat pada
cabang, qiyas dibagi menjadi tiga
macam:
1) Qiyas Awla,
yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada
far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum haram memukul kedua
orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam ayat 23 Surat
al-Isra’:
maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. (QS.
al-Israa/17: 23)
karena
alasan (‘illat) sama-sama menyakiti
orang tua. Namun, tindakan memukul yang dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua
sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatkan “Ah” yang ada
pada ashad.
2) Qiyas Musawi,
yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum haram membakar harta anak
yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang
diharamkan dalam ayat:
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisa’/3: 10)
Karena
tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim,
3) Qiyas al-Adna,
yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan ‘illat yang
terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya
sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah
dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan
dalam ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (bekorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)
meskipun
pada ashal dan cabang sama-sama
terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.
Sedangkan
dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat
sebagai landasan hukum, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, qiyas dapat dibagi dua:
1) Qiyas Jali,
yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu
sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illat-nya. Misalnya, men-qiyas-kan memukul dua orang tua kepada
larangan mengatakan kata “Ah” seperti dalam contoh qiyas awla tersebut di atas. Qiyas
jali, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, mencakup apa yang disebut
dengan qiyas awla dan qiyas musawi dalam pembagian pertama di atas tadi.
2) Qiyas Khafi,
yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan (ditarik) dari hukum ashal. Misalnya, men-qiyas-kan
pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam
disebabkan adanya persamaan ‘illat
yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul
sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam.
Sumber
: Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar