Sabtu, 11 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Sumber Dan Dalil Hukum Yang Disepakati I Ijma’ I Qiyas


Ijma’

a.      Pengertian Ijma’

Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah wafat”.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk yang dikenal dengan ijma’ ahl al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka. Sedangkan menurut jumhur ulama, kata Muhammad Abu Zahrah, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul-Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.

b.      Dalil Keabsahan Ijma’ sebagai Landasan Hukum

Para ulama Ushul Fiqh mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi, antara lain:

1)      Surat an-Nisa’ ayat 115 Surat:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukan ia ke dalam nereka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’4: 115)

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat itu dipahami, kata Muhammad Abu Zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.

2)      Hadis Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmizi:

Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad SAW. atas kesesatan. (HR. at-Tirmizi)

c.       Landasan (sanad) ijma’

Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad (landasan) ijma’.

Para ulama Ushul Fiqh sepakat atas keabsahan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijma’. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan tersebut dilandaskan atas ayat 23 Surat an-Nisa’ yang berbunyi:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa’/4:23)

Para ulama sepaka bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.

Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Sunnah, kesepakatan ulama bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan. Kesepakatan tersebut dilandaskan atas hadis bahwa Rasulullah, ketika ibu si mayit sudah tidak ada, pernah memberi nenek seperenam dari harta warisan cucunya sebagaimana disebut dalam hadis:

Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung bapak yang datang kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada orang-orang dan al-Mughirah bin Syu’bah lah yang bisa memberi tahu bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam. (HR. Tirmizi)

Ulama berbeda pendapat mengenai qiyas (analogi) apakah sah dijadikan landasan ijma’ atau tidak. Menurut Mazhab Zahri, tidak sah menjadikan qiyas sebagai landasan ijma’. Menurut mayoritas ulama, qiyas adalah sah dijadikan landasan ijma’. Contohnya, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, adalah kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi di-qiyas-kan atas keharaman dagingnya.

d.      Macam-macam Ijma’

Menurut Abdul-Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sarih (tegas) dan Ijma’ Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).

Ijma’ sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid di mana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu. Sedangkan ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya. Pendapat lain, yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.

Qiyas

a.      Pengertian Qiyas

Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah:

Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.

Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Bila benar ada kesamaan ‘illat-nya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama. Begitulah dilakukan pada setiap praktik qiyas.

b.      Dalil keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum

Para ulama Ushul Fiqh menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi, antara lain:

1)      Surat an-Nisa’ ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’/4: 59)

Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Cara mengembalikkannya antara lain dengan melakukan qiyas. 

2)      Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman. Menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia (Mu’az bin Jabal) memutuskan hukum di Yaman, Mu’az Ibnu Jabal menceritakan bahwa ia akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an) dan jika tidak didapatkan dalam kitab Allah ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah, dan seterusnya dengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut. Mendengar jawaban itu Rasulullah berkomentar dengan mengatakan: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah”. “Secara lengkap hadis tersebut adalah:

Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya RAsulullah SAW. mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, “atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan”, dia jawab, “dasarnya adalah Kitab Allah”, Nabi bertanya: “kalau tidak Anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab “dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW”. Beliau bertanya lagi: “kalau tidak Anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab “aku akan berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata: “Se-gala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)

Hadis tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh mengandung pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari kegiatan ijtihad yang mendapat pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut.   

c.       Rukun Qiyas

Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukun. Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat yaitu:

1)      Ashal (Pokok Tempat Mengqiyaskan Sesuatu), yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur’an atau dalam Sunnah Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat mengiyaskan sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramya dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Al-Qur’an. (QS. al-Maidah/5: 90)

Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi M.A., adalah:

a)      Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.

b)      Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas syara’.

c)      Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya). Tetapi puasanya tetap ada, karena ada hadis yang menerangkan bahwa:

Dari Abu hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berhubungan dengan hadis tersebut, demikian A. Hanafi menjelaskan, maka orang yang dipaksa tidak dapat di qiyas-kan dengan orang yang lupa.

2)      Adanya Hukum Ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur’an.

Syarat-syarat hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah:

a)      hukum ashal hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.

b)      hukum ashal dapat ditelususri ‘illat (motivasi) hukunya. Misalnya hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukunya (gaira ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.

c)      Hukum ashal itu bukang merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW. misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.

3)      Adapun Cabang (Far’u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky.

Syarat-syaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:

a)      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa: “Apabila datang nas (penjelasan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah), qiyas menjadi batal”. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.

b)      ‘Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.

c)      Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.

4)      ‘Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. ‘Illat menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa mengubah keadaan”, misalnya penyakit disebut ‘illat karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena penyakit itu.

Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, adalah “suatu sifat yang konkret dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudaratan dari umat manusia”. Misalnya, ijab dan Kabul (qabul) dalam masalah jual beli adalah ‘illat bagi disepakatinya jual beli. Keduanya itu, yaitu ijab dan qabul adalah dua sifat konkret yang menggambarkan adanya rela sama rela, dapat dipastikan keberadaannya serta tidak berbeda pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain, dan sesuai dengan tujuan syariat di mana dengan adanya ijab dan kabul akan dirasakan kemaslahatannya yaitu perpindahan milik kepada si pembeli dan menikmati harganya bagi pihak penjual.

Untuk sahnya suatu ‘illat sebagai landasan qiyas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama Ushul Fiqh, ‘illat memerlukan beberapa persyaratan, antara lain yang terpenting adalah:

a)      ‘Illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuainnya dengan tujuan pembentukan suatu hukum. Artinya, kuat dugaan bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ‘illat itu bukan karena sesuatu yang lain. Dugaan kuat itu timbul sebagai hasil dari penelitian tentang hubungan sesuatu yang dianggap ‘illat itu dengan kemaslahatan manusia. Contohnya sifat iskar (memabukkan) adalah relavan bagi pengharaman khamar, karena dengan mengharamkannya berarti menolak kemudaratan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, tidak sah dijadikan ‘illat sifat yang tidak relevan dengan pembentukan suatu hukum. Misalnya, sifat cair bagi minuman keras khamar tidak cocok untuk dijadikan ‘illat atau alasan bagi diharamkannya khamar, karena tidak ada hubungannya (keadaan cair) dengan upaya meraih kemanfaatn disaksikan keberadaannya.

b)      ‘Illat harus bersifat jelas. Maka sesuatu yang tersembunyi atau samar-samar tidak sah dijadikan ‘illat karena tidak dapat dideteksi keberadaannya. Misalnya, perasaan ridha meskipun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perikaan, namun semata-mata perasaan ridha, karena tersembunyi, tidak dapat dijadikan ‘illat bagi sahnya suatu perikatan. Karena itu, harus dicarikan sesuatu yang konkret sebagai penggantinya yang menurut kebiasannya menunjukkan kepada adanya ridha seseorang. Misalnya, ijab dan kabul dalam jual beli adalah sebagai tanda bagi adanya ridha pada kedua belah pihak.

c)      ‘Illat itu harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar timbangannya jika berupa barang yang ditimbang sehingga tidak jauh berbeda pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain. Misalnya tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan yaitu menghilangkan nyawa seseorang, dan hakikat pembunuhan itu tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, ia secara sah bisa dijadikan ‘illat bagi terhalangnya mendapat harta warisan bilamana yang membunuh adalah anak dari yang terbunuh atau ahli waris dari yang terbunuh. Dan atas dasar itu secara sah bisa di-qiyas-kan kepadanya wasiat, yaitu bilamana seorang penerima berwasiat membunuh pihak yang berwasiat, maka pembunuh tidak lagi berhak terhadap harta yang diwasiatkan untuknya itu diqiyaskan kepada masalah warisan tadi.

Cara mengetahui ‘illat

Menurut penelitian para ulama Ushul Fiqh, ada beberapa cara yang digunakan untuk mengetahui keberadaan ‘illat, baik pada suatu ayat atau pada hadis Rasulullah, yaitu:

a.       Melalui dalil-dalil Al-Qur’an atau hadis baik secara tegas atau tidak tegas. Contoh ‘illat yang disebut secara tegas ayat 7 Surat al-Hasyar:

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. al-Hasyr/59: 7)

Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa ‘illat (alasan) mengapa harta rampasan itu harus di bagi-bagikan antara kelompok-kelompok tersebut adalah agar harta kekayaan jangan hanya beredar di tangan orang-orang kaya. Terhadapnya di-qiyas-kan setiap pembagian harta kekayaan harus merata, dan tidak boleh harta hanya menumpuk di tangan orang-orang yang kaya saja.

Dari Aisyah berkata, orang-orang Arab Badui berduyun-duyun untuk meminta daging kurban, maka Rasulullah SAW. bersabda “Makan dan disimpanlah jangan lebih dari 3 hari, setelah mendengar anjuran itu, mereka berkata kepada beliau, Ya Rasulullah, orang-orang umumnya memanfaatkan untuk membuat minyak dan untuk menjamu para tukang siram, mengapa mesti engkau larang untuk menyimpan daging kurban? Maka beliau bersabda, aku larang karena dulu masih banyak rombongan badui yang mengharap pemberian daging kurban tersebut, tapi sekarang makan, simpan (sampai kapan saja) dan sedekahkanlah”. (HR. an-Nas’i)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa ‘illat dari adanya larangan menyimpan daging kurban adalah karena banyak orang-orang Islam dari pedusunan datang membutuhkannya. Namun beberapa waktu kemudian, setelah ‘illatnya tidak ada lagi yaitu orang-orang pedusunan yang membutuhkannya, maka Rasulullah membolehkan menyimpan dan memakannya.

Contoh ‘illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas firman Allah:    

Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebalum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqrah/2: 222)

Redaksi ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi ‘illat bagi haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidnya, dan ‘illat halal mendekatinya adalah suci, dan kesimpulan tersebut bukan secara langsung ditunjukkan ayat di atas, namun tersirat di dalamnya.

b.      Mengetahui ‘illat dengan ijma’. Contohnya, kesepakatan para ulama Fiqh bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi perlu ada pembimbing untuk mengendalikan harta anak itu sampai ia dewasa. Diqiyaskan kepadanya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, hak mewalikan anak perempuan kecil dalam masalah pernikahan.

c.       Mengetahui ‘illat dengan jalan ijtihad dan hasilnya dikenal dengan ‘illat mustanbathah (‘illat yang dihasilkan dengan ijtihad). Di antara cara-cara berijtihad untuk menemukan ‘illat adalah dengan as-sibru wa al-taqsim. As-sibru berarti “menyeleksi beberapa sifat, mana di antaranya yang lebih cocok untuk dijadikan ‘illat bagi suatu rumusan hukum”. Sedangkan at-taqsim berarti “menarik dan mengumpulkan berbagai bentuk sifat yang dikandung oleh suatu rumusan hukum syara’”, yang kemudian diseleksi dengan cara al-sibru tersebut. Contohnya, bahwa keharaman khamar ditetapkan dengan ayat Al-Qur’an. Kemudian seorang mujtahid mencari ‘illat mengapa khamar di haramkan, dengan mengumpulkan (al-taqsim) berbagai sifat yang terdapat didalamnya, seperti keadaan cair, keadaannya terbuat dari anggur, keadannya berwarna merah, dan keadannya memabukkan. Setelah beberapa sifat itu ditemukan lalu diadakan pengujian atau penyeleksian sifat, mana di antaranya yang cocok sebagai ‘illat dari keharaman khamar, sehingga akhirnya disimpulkan bahwa yang layak menjadi ‘illat hukumnya adalah keadaannya memabukkan, bukan keadaannya yang cair, berwarna merah dan bukan pula karena khamar terbuat dari anggur.

d.      Macam-macam Qiyas

Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat men-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga macam:

1)      Qiyas Awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam ayat 23 Surat al-Isra’:

maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. (QS. al-Israa/17: 23)

karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul yang dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatkan “Ah” yang ada pada ashad.

2)      Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisa’/3: 10)

Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim,

3)      Qiyas al-Adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (bekorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)

meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.

Sedangkan dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, qiyas dapat dibagi dua:

1)      Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illat-nya. Misalnya, men-qiyas-kan memukul dua orang tua kepada larangan mengatakan kata “Ah” seperti dalam contoh qiyas awla tersebut di atas. Qiyas jali, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, mencakup apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi dalam pembagian pertama di atas tadi.

2)      Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan (ditarik) dari hukum ashal. Misalnya, men-qiyas-kan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam.       

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...