Estetika merupakan
bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer),
atau issue (Farber) mengenai
keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran
seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie, 1976).
Estetika
meliputi banyak bidang lainnya. Hal ini akan dibahas dalam lingkup estetika
filsafati dan estetika ilmiah. Selain itu, dalam memahami estetika, kita perlu memahami
istilah lain yang berhubungan dengan kesenian, khususnya teori kesenian yang
untuk sebagian besar mempunyai kaitan, bahkan persamaan dengan filsafat seni.
Dalam
Craig (2005), Marcia Eaton
menyatakan, bahwa konsep-konsep estetika merupkan konsep-konsep yang berkaitan
dengan deskripsi dan evaluasi objek serta kejadian artisitik dan estetika. Edmund Burke dan David Hume pernah membicarakan masalah estetika ini dengan cara
mengamati respons psikologis dan fisik yang dapat membedakan individu satu
dengan yang lainnya untuk objek dan kejadian berbeda. Mereka berupaya untuk
melihat estetika ini dalam sudut pandang objektif. Sebaliknya, Immanuel Kant berpendapat, bahwa pada
taraf dasar manusia secara universal memiliki perasaan yang sama terhadap apa
yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak nyaman.
1.
Estetika
filsafati
Menurut The Liang Gie, istilah-istilah yang
kerap tampil untuk pengertian ini adalah filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat cita
rasa, filsafat seni, dan filsafat kritik. Selain itu, terdapat juga istilah
“kritik seni” atau “tinjauan seni”. Dalam bahasa Inggris, istilah filsafat
diganti dengan teori sehingga namanya menjadi theory of beauty, theory of taste, theory of fine arts, dan theory of Five Arts. Penggunaan istilah
teori ini dianggap tidak tepat karena berdasarkan asumsi tertentu. Adapun
estetika atau filsafat seni mencari landasan atau asumsi sehingga teori
keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas fenomena
atau wujud kesenian daripada dasar-dasar wacana seni. Adapun yang dimaksud
dengan teori Lima Seni (theory of Five
Arts) adalah teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni
pahat, arsitektur, sajak, dan musik yang dianggap pilar dari kesenian umumnya.
Pengertian lain tentang fine art,
kadang-kadang disebut sebagai seni halus, yaitu jenis seni yang khusus
menyangkut seni rupa. Bagaimana proses terjadinya istilah itu, tidak cukup
jelas. Boleh jadi, istilah itu muncul karena pembuatan lukisan dengan cara atau
tindakan lembut, atau hasilnya berupa goresan-goresan warna, garis, dan bidang
yang halus.
Pada
Zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih banyak dianggap
sebagai bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan dalam metafisika. Pada
masa Yunani Kuno, masalah estetika antara lain dibahas oleh Socrates dan Plato. Pada Abad Pertengahan dan awal Abad Modern, dengan
mendasarkan diri pada pendapat Leibnitz,
Alexander Gottlieb Baumgarten, mereka
dianggap sebagai tokoh pertama estetika modern yang membedakan pengetahuan
intelektual (intellectual knowledge)
yang disebut sebagai pengetahuan tegas, dan pengetahuan indrawi (sensuous knowledge) yang disebut sebagai
pengetahuan kabur. Pada 1750, buku Baumgarten berjudul “Aesthetica”, terbit dalam dua jilid. Buku tersebut menjelaskan
bahwa estetika adalah pengetahuan tentang pengetahuan sensuous. Seperti telah
diketahui, bahwa dalam bahasa Yunani, aiesthetika
berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera, sedangkan aisthetis berarti persepsi indrawi.
Baumgarten dikenal sebagai seorang filosof yang berjasa mengangkat estetika
sebagai cabang tersendiri dalam filsafat.
Tentunya,
kita perlu membedakan estetika sebagai bagian dari filsafat dan estetika
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sehingga filsafat estetika tidak
seharusnya begitu saja disebut sebagai teori estetika. Secara singkat, wacana
yang menyangkut hukum-hukum kesenian adalah ilmu pengetahuan mengenai kesenian,
keindahan, atau estetika. Adapun wacana tentang hakikat, akar dari ilmu
kesenian, berupa hasil perenungan, bukan eksperimen dan pengalaman-pengalaman
lahiriah, yaitu filsafat estetika.
Bernard Bosanquet
(1961), dalam bukunya “A History of
Aesthetic”, menyatakan bahwa teori aestetika merupakan cabang filsafat, dan
lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan praktis untuk
menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis. Dengan demikian, aestetika
pertama kali ditujukan kepada mereka yang membutuhkan minat filosofis dalam
memahami tempat dan nilai keindahan dalam sistem kehidupan manusia, sebagaimana
diartikan oleh pemikir-pemikir utama sejarah dunia di dalam periode yang
berbeda.
Dalam
menelaah masalah estetika, kita perlu berbicara mengenai kedudukan dan
peranannya dalam sejarah pemikiran pada masa lalu, khususnya Yunani Kuno.
Bosanquet menyatakan, bahwa penciptaan seni sajak dari seni formatif Hellenik
dianggap sebagai panggung pertemuan (intermediate) antara religi praktis
populer dan refleksi kritis atau filosofis. Isi legendaries mengenai kesenian
ini bukanlah pekerjaan penyair atau seniman formatif, melainkan pemikiran
kebangsaan menyangkut perkembangan pemikiran yang panjang mengenai hal-hal yang
berbeda di luar kebiadaban.
2.
Prinsip
estetika
Telah diutarakan, bahwa
pada antikuitas Hellenistik secara umum, telah ditemukan prinsip estetika
sebagai bahan perkembangan. Prinisp ini dapat diberikan sebagai prinisp bahwa
keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam
kemajemukan. Apakah hakikat keindahan merupakan karakteristik presentasi yang
dialami?
Pemikiran
Hellenik menjawabnya secara formal. Alasannya, menurut kaum Hellenistik, bahwa
seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas yang merupakan alasan
yang ditentang analisis estetik karena berpegang teguh pada siginifikan konkret
mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam.
Teori
yang bersangkutan dengan keindahan mempunyai tiga prinsip yang membangun
kerangka kerja spekulasi Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan, namun
hanya satu yang dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi “teori estetika”.
Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan
metafisik, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisik yang juga memadai
untuk batasan analisa estetik. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi
yang abstrak.
Asumsi
metafisika diperuntukkan dalam membangun pikiran bahwa representasi artisitk
tidak lebih daripada realitas biasa, ialah realitas, seperti direpresentasikan
terhadap sense persepsi dan perasaan normal. Hal itu berkaitan dengan objek
persepsi yang biasa terhadap orang dengan tujuan-tujuannya. Jadi, asumsi
metafisika merupakan subjek untuk reservasi dalam hubungannya dengan cara
eksistensi yang kurang solid dan lengkap daripada yang terdapat dalam objek
untuk mengambil suatu penilaian.
Objek
persepsi, umumnya dianggap sebagai standar seni. Dalam objek persepsi terdapat
suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam menghadapi identifikasi keindahan
dengan ekspresi spiritual yang hanya dapat ditangkap oleh persepsi tingkat
tinggi. Dengan kata lain, untuk menerima imitasi atas alam dengan pengertian
yang paling luas sebagai fungsi seni, sangat mudah untuk menyatakan bahwa
masalah keindahan adalah nyata dalam kemungkinan yang paling besar sehingga
menghendaki ketidakmampuan total untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain,
bahwa materi presentasi keindahan merupakan sesuatu yang dianggakt dari objek
persepsi, indra tidak menyentuh pertanyaan,”Apa yang dapat seni perbuat, lebih
daripada yang dilakukan alam?” Timbul pertanyaa lain, “Dalam segi apakah?”
Jawabannya adalah dalam kondisi dan karakter umum.” Apakah suatu realitas
ditampilkan adalah dalam kondisi dan karakter umum. “Apakah suatu realitas
ditampilkan atau ditampilkan kembali sebagai keindahan?” Untuk menjawabnya,
kita telah mengangkat pertanyaan spesifik mengenai ilmu estetika. Terhadap
teori kepandaian meniru, timbul pertanyaan baru, “Bilamana suatu realitas
menampilkan diri?” Hal tersebut merupakan kebaikan suatu model seperti yang
lainnya, memiliki ex hipotesis yang
tidak terjawab.
3.
Konsep
estetika
Konsep
estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang
mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada dekripsi dan evaluasi mengenai
pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, serta kejadian artistik dan
estetik. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan metafisik
telah diangkat sebagai perlengkapan analog dengan hal yang telah diangkat
terhadap konsep-konsep itu.
Pada
Abad ke-18, filosof, seperti Edmund Burke dan David Hume berusaha menerangkan
konep estetik. Sebagai contoh, keindahan secara empiris dengan cara
menghubungkannya dengan respons-respons fisik dan psikologis, serta
mengelompokkannya ke dalam tipe-tipe penghayatan individual atas objek-objek,
dan kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi, mereka melihat suatu dasar untuk
objektivitas reaksi-reaksi pribadi. Kant menyatakan, bahwa konep estetik secara
esensial bersifat subjektif, ialah berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa
senang dan sakit. Ia juga menyatakan bahwa konep-konsep itu memiliki
objektivitas tertentu pada dasar bahwa pada taraf estetik murni, perasaan sakit
dan senang merupakan respons yang universal.
Pada
Abad ke-2, para filosof kembali mengacu pada analisis Humean mengenai
konsep-konsep estetik melalui patokan cita rasa kemanusiaan, dan telah
mengembangkan pertimbangan psikologis untuk mencoba melahirkan keunikan
epistemologis dan logis mengenai konsep estetika. Banyak orang berpendapat,
bahwa meskipun tidak ada hukum-hukum estetika, seperti semua bunga mawar adalah
indah, atau bahwa musik simfoni memiliki empat gerakan dan dikonstruksikan
dengan aturan dan harmoni Barok akan menjadi menyenangkan. Konsep-konsep
estetika tidak memainkan peranan penuh dalam diskusi atau perdebatan. Beberapa
filosof berargumentasi lain, bahwa konsep-konsep estetik tidak secara esensial
berbeda dengan tipe-tipe konsep lainnya.
Teori-teori
masa kini menarik, bahwa konsep-konsep estetik merupakan context-dependent –dikonstruksikan di luar pendapat dan kebiasaan.
Teori-teori mereka menolak pendapat, bahwa konsep-konsep estetik dapat bersifat
universal. Misalnya, tidak hanya tida ada jaminan bahwa istilah harmoni akan
memiliki arti yang sama pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak dapat
digunakan.
Terdapat
beberapa hal mengenai masalah estetika yang penting untuk memahami apa yang
nyata terjadi dalam kehidupan. Pertama, tentang aliran estetis atau aestetisme,
sikap estetis dan hubungan estetika, serta etika.
Mengenai
istilah aestetisme, Mautner (1999)
menyatakan adanya dua pengertian yang umum dipahami dan dipakai orang.
Pengertian pertama adalah aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi
permasalah apa pun atau dalam berkarya apa pun, senantiasa mengutamakan dan
mendahulukan nilai-nilai estetis. Misalnya, Goethe menyatakan bahwa dalam kehidupan, umumnya yang harus
diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis seperti keseimbangan dalam
bertingkah laku dan menilai situasi atau gejala apa pun yang termasuk aliran
ini tidak harus para seniman. Para seniman tersebut dalam berkarya, terlebih
dahulu menghitung laku atau tidak karyanya. Hal ini menyangkut nilai
kehidupannya, bukan masalah ia seniman atau bukan, atau hidup dari dunia seni
atau akuntasi.
Mengenai
pengertian kedua, aestetisme diartikan sebagai teori. Aestetisme merupakan inti
dari l’art pour l’art, bahwa seni
memiliki nilai intrinsik. Seyogianya, seni dinilai atas dasar ukuran seni itu
sendiri, bukan berdasarkan maksud dan fungsi lain yang dimungkinkan. Teori ini
banyak didukung pada Abad ke-19.
Budd
dalam Craig (2005) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan sikap aestetisme
adalah cara kita menganggap sesuatu dan jika kita hanya menangkap ini estetis
di dalamnya. Hal ini mengasumsikan, bahwa dalam setiap kejadian estetis, setiap
objek yang terdapat didalamnya dinilai secara idntik, khas untuk setiap
kejadian. Hal ini menjadi problematika. Jika identitas sikap ditentukan feature-feature, hal itu diarahkan.
Secara definisi, pokok atau minat estetis dalam suatu objek merupakan minat
atau pokok dalam kualitas-kualitas estetisnya. Jika perhatian kualitas-kualitas
estetis dapat diterangkan secara uniform maka terdaat sikap estetis yang
tunggal, ialah minat di dalam kualitas estetis menyangkut hal yang dibicarakan.
Akan tetapi, konsepsi sikap estetis tersebut. Definisi estetik ini maksudnya,
bahwa sikap estetis yang dipahami sebagai sikap yang ditujukan pada
kualitas-kualitas estetis objek memiliki anggapan dasar gagasan estetik, dan
tidak dapat digunakan untuk menganalisisnya. Dengan demikian, pertanyaannya
adalah “Apakah terdapat karakterisasi sikap estetis yang memberikan hakikatnya
tanpa secara eksplisit menhantarkan pada konsep estetik?” Tidak ada alasan yang
baik untuk menanggapi hal tersebut. Sehubungan dengan itu, tidak ada sesuatu
apa pun sebagai sikap estetis. Hal itu merupakan sikap yang diperlukan untuk
melengkapi minat estetis dan dikarakterisasikan secara mandiri untuk estetika.
Mengenai
hubungan etika dan estetika, Tanner,
sebagaimana dikutip Craig (2005) menyatakan, bahwa antara penilaian estetika
dan etika telah melahirkan subjek materi estetika, terutama berlandasakan
pandangan idiosinkretis Kant.
Pandangan yang dimaksud adalah mengenai moralitas sebagai serentetan isu
imperatif dalam hubungannya dengan perintah dan alasan-alasan praktis. Menurutnya,
penilaian atas cita rasa tidak didasari alasan apa pun. Bahkan, nonkantianisme
beranggapan bahwa penilaian estetis pertama kali bersangkutan dengan kesenian
itu sendiri dengan kekhasannya. Sementara itu, moralitas berhubungan dengan
tindakan dan dapat diulang.
Hal
ini menyebabkan seni cenderung terpisah dari aktivitas manusia lainnya.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar