Minggu, 26 Oktober 2014

Estetika


 

Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issue (Farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie, 1976).

Estetika meliputi banyak bidang lainnya. Hal ini akan dibahas dalam lingkup estetika filsafati dan estetika ilmiah. Selain itu, dalam memahami estetika, kita perlu memahami istilah lain yang berhubungan dengan kesenian, khususnya teori kesenian yang untuk sebagian besar mempunyai kaitan, bahkan persamaan dengan filsafat seni.

Dalam Craig (2005), Marcia Eaton menyatakan, bahwa konsep-konsep estetika merupkan konsep-konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi objek serta kejadian artisitik dan estetika. Edmund Burke dan David Hume pernah membicarakan masalah estetika ini dengan cara mengamati respons psikologis dan fisik yang dapat membedakan individu satu dengan yang lainnya untuk objek dan kejadian berbeda. Mereka berupaya untuk melihat estetika ini dalam sudut pandang objektif. Sebaliknya, Immanuel Kant berpendapat, bahwa pada taraf dasar manusia secara universal memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak nyaman.

1.      Estetika filsafati

Menurut The Liang Gie, istilah-istilah yang kerap tampil untuk pengertian ini adalah filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat cita rasa, filsafat seni, dan filsafat kritik. Selain itu, terdapat juga istilah “kritik seni” atau “tinjauan seni”. Dalam bahasa Inggris, istilah filsafat diganti dengan teori sehingga namanya menjadi theory of beauty, theory of taste, theory of fine arts, dan theory of Five Arts. Penggunaan istilah teori ini dianggap tidak tepat karena berdasarkan asumsi tertentu. Adapun estetika atau filsafat seni mencari landasan atau asumsi sehingga teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar wacana seni. Adapun yang dimaksud dengan teori Lima Seni (theory of Five Arts) adalah teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat, arsitektur, sajak, dan musik yang dianggap pilar dari kesenian umumnya. Pengertian lain tentang fine art, kadang-kadang disebut sebagai seni halus, yaitu jenis seni yang khusus menyangkut seni rupa. Bagaimana proses terjadinya istilah itu, tidak cukup jelas. Boleh jadi, istilah itu muncul karena pembuatan lukisan dengan cara atau tindakan lembut, atau hasilnya berupa goresan-goresan warna, garis, dan bidang yang halus.

Pada Zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih banyak dianggap sebagai bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan dalam metafisika. Pada masa Yunani Kuno, masalah estetika antara lain dibahas oleh Socrates dan Plato. Pada Abad Pertengahan dan awal Abad Modern, dengan mendasarkan diri pada pendapat Leibnitz, Alexander Gottlieb Baumgarten, mereka dianggap sebagai tokoh pertama estetika modern yang membedakan pengetahuan intelektual (intellectual knowledge) yang disebut sebagai pengetahuan tegas, dan pengetahuan indrawi (sensuous knowledge) yang disebut sebagai pengetahuan kabur. Pada 1750, buku Baumgarten berjudul “Aesthetica”, terbit dalam dua jilid. Buku tersebut menjelaskan bahwa estetika adalah pengetahuan tentang pengetahuan sensuous. Seperti telah diketahui, bahwa dalam bahasa Yunani, aiesthetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera, sedangkan aisthetis berarti persepsi indrawi. Baumgarten dikenal sebagai seorang filosof yang berjasa mengangkat estetika sebagai cabang tersendiri dalam filsafat.

Tentunya, kita perlu membedakan estetika sebagai bagian dari filsafat dan estetika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sehingga filsafat estetika tidak seharusnya begitu saja disebut sebagai teori estetika. Secara singkat, wacana yang menyangkut hukum-hukum kesenian adalah ilmu pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, atau estetika. Adapun wacana tentang hakikat, akar dari ilmu kesenian, berupa hasil perenungan, bukan eksperimen dan pengalaman-pengalaman lahiriah, yaitu filsafat estetika.

Bernard Bosanquet (1961), dalam bukunya “A History of Aesthetic”, menyatakan bahwa teori aestetika merupakan cabang filsafat, dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis. Dengan demikian, aestetika pertama kali ditujukan kepada mereka yang membutuhkan minat filosofis dalam memahami tempat dan nilai keindahan dalam sistem kehidupan manusia, sebagaimana diartikan oleh pemikir-pemikir utama sejarah dunia di dalam periode yang berbeda.

Dalam menelaah masalah estetika, kita perlu berbicara mengenai kedudukan dan peranannya dalam sejarah pemikiran pada masa lalu, khususnya Yunani Kuno. Bosanquet menyatakan, bahwa penciptaan seni sajak dari seni formatif Hellenik dianggap sebagai panggung pertemuan (intermediate) antara religi praktis populer dan refleksi kritis atau filosofis. Isi legendaries mengenai kesenian ini bukanlah pekerjaan penyair atau seniman formatif, melainkan pemikiran kebangsaan menyangkut perkembangan pemikiran yang panjang mengenai hal-hal yang berbeda di luar kebiadaban.

2.      Prinsip estetika

Telah diutarakan, bahwa pada antikuitas Hellenistik secara umum, telah ditemukan prinsip estetika sebagai bahan perkembangan. Prinisp ini dapat diberikan sebagai prinisp bahwa keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam kemajemukan. Apakah hakikat keindahan merupakan karakteristik presentasi yang dialami?

Pemikiran Hellenik menjawabnya secara formal. Alasannya, menurut kaum Hellenistik, bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas yang merupakan alasan yang ditentang analisis estetik karena berpegang teguh pada siginifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam.

Teori yang bersangkutan dengan keindahan mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja spekulasi Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan, namun hanya satu yang dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi “teori estetika”. Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan metafisik, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisik yang juga memadai untuk batasan analisa estetik. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak.

Asumsi metafisika diperuntukkan dalam membangun pikiran bahwa representasi artisitk tidak lebih daripada realitas biasa, ialah realitas, seperti direpresentasikan terhadap sense persepsi dan perasaan normal. Hal itu berkaitan dengan objek persepsi yang biasa terhadap orang dengan tujuan-tujuannya. Jadi, asumsi metafisika merupakan subjek untuk reservasi dalam hubungannya dengan cara eksistensi yang kurang solid dan lengkap daripada yang terdapat dalam objek untuk mengambil suatu penilaian.     

Objek persepsi, umumnya dianggap sebagai standar seni. Dalam objek persepsi terdapat suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam menghadapi identifikasi keindahan dengan ekspresi spiritual yang hanya dapat ditangkap oleh persepsi tingkat tinggi. Dengan kata lain, untuk menerima imitasi atas alam dengan pengertian yang paling luas sebagai fungsi seni, sangat mudah untuk menyatakan bahwa masalah keindahan adalah nyata dalam kemungkinan yang paling besar sehingga menghendaki ketidakmampuan total untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, bahwa materi presentasi keindahan merupakan sesuatu yang dianggakt dari objek persepsi, indra tidak menyentuh pertanyaan,”Apa yang dapat seni perbuat, lebih daripada yang dilakukan alam?” Timbul pertanyaa lain, “Dalam segi apakah?” Jawabannya adalah dalam kondisi dan karakter umum.” Apakah suatu realitas ditampilkan adalah dalam kondisi dan karakter umum. “Apakah suatu realitas ditampilkan atau ditampilkan kembali sebagai keindahan?” Untuk menjawabnya, kita telah mengangkat pertanyaan spesifik mengenai ilmu estetika. Terhadap teori kepandaian meniru, timbul pertanyaan baru, “Bilamana suatu realitas menampilkan diri?” Hal tersebut merupakan kebaikan suatu model seperti yang lainnya, memiliki ex hipotesis yang tidak terjawab.

3.      Konsep estetika

Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada dekripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, serta kejadian artistik dan estetik. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan metafisik telah diangkat sebagai perlengkapan analog dengan hal yang telah diangkat terhadap konsep-konsep itu.

Pada Abad ke-18, filosof, seperti Edmund Burke dan David Hume berusaha menerangkan konep estetik. Sebagai contoh, keindahan secara empiris dengan cara menghubungkannya dengan respons-respons fisik dan psikologis, serta mengelompokkannya ke dalam tipe-tipe penghayatan individual atas objek-objek, dan kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi, mereka melihat suatu dasar untuk objektivitas reaksi-reaksi pribadi. Kant menyatakan, bahwa konep estetik secara esensial bersifat subjektif, ialah berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan sakit. Ia juga menyatakan bahwa konep-konsep itu memiliki objektivitas tertentu pada dasar bahwa pada taraf estetik murni, perasaan sakit dan senang merupakan respons yang universal.

Pada Abad ke-2, para filosof kembali mengacu pada analisis Humean mengenai konsep-konsep estetik melalui patokan cita rasa kemanusiaan, dan telah mengembangkan pertimbangan psikologis untuk mencoba melahirkan keunikan epistemologis dan logis mengenai konsep estetika. Banyak orang berpendapat, bahwa meskipun tidak ada hukum-hukum estetika, seperti semua bunga mawar adalah indah, atau bahwa musik simfoni memiliki empat gerakan dan dikonstruksikan dengan aturan dan harmoni Barok akan menjadi menyenangkan. Konsep-konsep estetika tidak memainkan peranan penuh dalam diskusi atau perdebatan. Beberapa filosof berargumentasi lain, bahwa konsep-konsep estetik tidak secara esensial berbeda dengan tipe-tipe konsep lainnya.

Teori-teori masa kini menarik, bahwa konsep-konsep estetik merupakan context-dependent –dikonstruksikan di luar pendapat dan kebiasaan. Teori-teori mereka menolak pendapat, bahwa konsep-konsep estetik dapat bersifat universal. Misalnya, tidak hanya tida ada jaminan bahwa istilah harmoni akan memiliki arti yang sama pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak dapat digunakan.

Terdapat beberapa hal mengenai masalah estetika yang penting untuk memahami apa yang nyata terjadi dalam kehidupan. Pertama, tentang aliran estetis atau aestetisme, sikap estetis dan hubungan estetika, serta etika.

Mengenai istilah aestetisme, Mautner (1999) menyatakan adanya dua pengertian yang umum dipahami dan dipakai orang. Pengertian pertama adalah aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi permasalah apa pun atau dalam berkarya apa pun, senantiasa mengutamakan dan mendahulukan nilai-nilai estetis. Misalnya, Goethe menyatakan bahwa dalam kehidupan, umumnya yang harus diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis seperti keseimbangan dalam bertingkah laku dan menilai situasi atau gejala apa pun yang termasuk aliran ini tidak harus para seniman. Para seniman tersebut dalam berkarya, terlebih dahulu menghitung laku atau tidak karyanya. Hal ini menyangkut nilai kehidupannya, bukan masalah ia seniman atau bukan, atau hidup dari dunia seni atau akuntasi.

Mengenai pengertian kedua, aestetisme diartikan sebagai teori. Aestetisme merupakan inti dari l’art pour l’art, bahwa seni memiliki nilai intrinsik. Seyogianya, seni dinilai atas dasar ukuran seni itu sendiri, bukan berdasarkan maksud dan fungsi lain yang dimungkinkan. Teori ini banyak didukung pada Abad ke-19.

Budd dalam Craig (2005) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan sikap aestetisme adalah cara kita menganggap sesuatu dan jika kita hanya menangkap ini estetis di dalamnya. Hal ini mengasumsikan, bahwa dalam setiap kejadian estetis, setiap objek yang terdapat didalamnya dinilai secara idntik, khas untuk setiap kejadian. Hal ini menjadi problematika. Jika identitas sikap ditentukan feature-feature, hal itu diarahkan. Secara definisi, pokok atau minat estetis dalam suatu objek merupakan minat atau pokok dalam kualitas-kualitas estetisnya. Jika perhatian kualitas-kualitas estetis dapat diterangkan secara uniform maka terdaat sikap estetis yang tunggal, ialah minat di dalam kualitas estetis menyangkut hal yang dibicarakan. Akan tetapi, konsepsi sikap estetis tersebut. Definisi estetik ini maksudnya, bahwa sikap estetis yang dipahami sebagai sikap yang ditujukan pada kualitas-kualitas estetis objek memiliki anggapan dasar gagasan estetik, dan tidak dapat digunakan untuk menganalisisnya. Dengan demikian, pertanyaannya adalah “Apakah terdapat karakterisasi sikap estetis yang memberikan hakikatnya tanpa secara eksplisit menhantarkan pada konsep estetik?” Tidak ada alasan yang baik untuk menanggapi hal tersebut. Sehubungan dengan itu, tidak ada sesuatu apa pun sebagai sikap estetis. Hal itu merupakan sikap yang diperlukan untuk melengkapi minat estetis dan dikarakterisasikan secara mandiri untuk estetika.

Mengenai hubungan etika dan estetika, Tanner, sebagaimana dikutip Craig (2005) menyatakan, bahwa antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subjek materi estetika, terutama berlandasakan pandangan idiosinkretis Kant. Pandangan yang dimaksud adalah mengenai moralitas sebagai serentetan isu imperatif dalam hubungannya dengan perintah dan alasan-alasan praktis. Menurutnya, penilaian atas cita rasa tidak didasari alasan apa pun. Bahkan, nonkantianisme beranggapan bahwa penilaian estetis pertama kali bersangkutan dengan kesenian itu sendiri dengan kekhasannya. Sementara itu, moralitas berhubungan dengan tindakan dan dapat diulang.

Hal ini menyebabkan seni cenderung terpisah dari aktivitas manusia lainnya.    

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...