Rabu, 15 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Pengertian Dasar I Keheranan sebagai Awal Berfilsafat I Permasalahan I Arti, Pengertian, dan Definisi Filsafat


 

Pengertian filsafat hingga saat ini masih dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan kadang-kadang diterapkan secara tidak tepat terutama di kalangan awam. Sebagian pihak ada yang memandangnya sebagai suatu ilmu atau wacana luar biasa yang sangat tinggi kedudukannya, jauh lebih tinggi dibandingkan maksud yang sebenarnya. Berdasarkan pandangan tersebut, filsafat menjadi sebuah wacana atau ilmu pengetahuan yang hanya mungkin dilakukan dan dipahami oleh orang-orang yang memiliki keunggulan intelektual serta kebijaksanaan yang sangat tinggi. Jadi, dalam pemahaman ini, orang “biasa” belum tentu dapat berfilsafat. Persepsi ini menempatkan filsafat sebagai pemikiran yang terlalu abstrak dan tidak membumi untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, penilaian terhadap hal tersebut tidak mempunyai manfaat praktis.

Ada juga pihak yang memandang filsafat sebagai wacana yang tidak berhubungan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Persepsi seperti ini dibicarakan di kalangan orang-orang khusus yang “gagal” menjalani apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemahaman ini, filsafat tidak lain sebagai pertunjukan absurd, tidak jelas arah dan tujuannya. Akan tetapi, pemahaman filsafat seperti ini digunakan oleh mereka yang tidak mampu berpikir secara wajar, tepat, dan benar, juga sebagai tempat persembunyian ketidakmampuan intelektualnya. Akibat dari persepsi tersebut, filsafat menjadi pembicaraan yang tidak serius, ngelantur, tidak berujung pangkal, dan tidak berlandasan intelektual. Dalam pandanga ini, filsafat tampil sebagai wacana “bodoh”, bahkan hanya menjadi pembicaraan orang-orang yang bermasalah.

Lain lagi dengan kaum awam Cina Kuno, mereka menyatakan bahwa seni, ilmu, dan filsafat merupakan pelarian bagi mereka yang tidak berhasil dalam kehidupan nyata, yaitu mereka yang memproduksi sesuatu, seperti membuat alat dan berdagang. Pendapat ini tidak dipandang sebagai pendapat yang buruk, tetapi tetap dinyatakan berguna, meskipun tidak seluruh untuk saat “ini”.

Persepsi tidak tepat tersebut tidak menggambarkan seluruh persepsi tidak utuh tentang persepsi atas filsafat. Namun, keseluruhannya merupakan perbincangan filsafat pada dua sisi ekstrim. Selain kedua persepsi tadi, terdapat pula berbagai persepsi lainnya, baik dalam arti berlebihan maupun berkekurangan.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baku sesuai dengan isi dan cara mengemukakan persepsi mengenai filsafat secara tepat berdasarkan pengertian, pemahaman, dan definisi yang jelas. Apa pun masalahnya, setiap ahli dengan alasannya yang masuk akal dan kuat, kerap mengemukakan dan mempertahankan definisinya. Sampai saat ini, belum ada kata sepakat di antara para ahli tentang definisi filsafat yang secara konsisten digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena adanya sisi yang berbeda dan perlu adanya penekanan (emphasize) terhadap kedua persepsi tersebut.

Terhadap perbedaan tersebut, tentu saja kita tidak perlu bersikap negatif. Sebaliknya, kita mampu bersikap arif dalam memandang wajah dan isi filsafat secara lebih lengkap. Dengan bijaksana pula, kita mampu memilih serta menyerap mana yang dianggap penting dan bermanfaat dalam menggunakannya, baik untuk kperluan umum maupun khusus.

Selain kesalahfahaman serta telah diutarakan, juga terdapat kesalahfahaman mengenai arti dan makna filsafat menyangkut apa yang dibicarakan. Banyak orang dan buku menyatakan bahwa filsafat itu seolah-olah merupakan perbincangan tentang agama, norma, nilai, dan moral sehingga ahli filsafat dianggap juga sebagai ahli dalam bidang agama, moral, budaya, dan kesenian/sastra. Kesalahfahaman ini tidak fatal karena agama, moral, budaya, dan kesenian/sastra merupakan bagian dari permasalahan filsafat lainnya. Seoang ahli filsafat pun tidak dapat diartikan sebagai orang yang mendasarkan perilakunya pada norma dan nilai tertentu. Pandangan filosof terhadap agama dan perilaku boleh jadi untuk sebagian patut diteladani oleh masyarakat luas, namun tidak seluruhnya. Beberapa perilaku yang tidak patut kita teladani, boleh jadi melekat pada seorang filososf. Bahkan, pandangan yang patut kita hormati dan kagumi pun tidak harus disertai dengan keinginan dan keharusan untuk menyetujuinya.

Berdasarkan perbincangan tersebut, terdapat pula ketidaktepatan lain yang menunjuk pada makna manfaat tertentu dari penggunaan filsafat, yaitu pengertian filsafat sebagai dasar dari apa yang ada di balik sesuatu gejala. Misalnya, dibalik suatu dalil dalam suatu cabang ilmu pengetahuan, terdapat pemahaman tertentu yang mendasarinya atau maksud dan manfaatnya yang lebih khusus. Dalam pengertian seperti itu, filsafat sering diartikan sebagai maksud atau latar belakang suatu peraturan atau maksud peraturan tersebut dibuat. Pengertian filsafat seperti ini disebut dengan makna ganda dari kata filsafat.

Beberapa istilah baru dalam filsafat, antara lain filsafat hidup (way of life), dan filsafat bangsa atau negara. Filsafat hidup adalah pegangan-pegangan dasar, spirit atau roh seseorang. Adapun filsafat bangsa atau negara, yaitu Pancasila. Filsafat bangsa atau negara artinya pandangan hidup, pola pandang atas kehidupan dunia (Weltanschauung, world view). Tentulah pengertian filsafat seperti itu mempunyai pengertian tertentu yang berbeda dengan filsafat yang dikemukakan dalam buku ini.

Pengatur dalam buku ini, yaitu pada alinea-alinea terdahulu bermaksud mengantar para pembaca untuk dapat selalu terbuka terhadap perbedaan pada saat membaca dan melakukan studi filsafati, di bagian mana pun, termasuk ketika membicarakan logika dan epistemologi yang menurut kepastian, ketepatan, serta keterarahan berpikir. Hal ini merupakan sikap yang penting bagi mereka yang mempelajarinya, terutama yang terjun ke dalam dunia filsafat karena sampai kapan pun para ahli filsafat tidak pernah memiliki satu pendapat, baik dalam hal isi, perumusan permasalahan maupun penyusunan jawabannya. Orang yang berfilsafat akan meragukan setiap jawaban yang baru saja dipastikannya. Hal ini akan dikemukakan pada masalah berefleksi sebagai metode berfilsafat.

Berdasarkan hal tersebut, Immanuel Kant pernah menyatakan, bahwa yang penting adalah belajar berfilsafat, bukan belajar filsafat. Orang-orang yang datang kepadaku bukanlah orang-orang yang hendak belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat,” katanya. Orang yang mengerti filsafat berbeda dengan orang yang berfilsafat. Langeveld mengemukakan nasihat penting bagi pembaca bukunya, khususnya mereka yang tidak mudah menangkap makna materi filsafat yang dibacanya. Katanya, “Jangan sekali-kali berhenti membaca filsafat. Terus saja, jika perlu kita ulangi setelah teks berikut selesai dibaca”.

Keheranan sebagai Awal Berfilsafat

Mengapa ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat? Bahkan, ada orang yang menolak filsafat dengan menyatakan, mengapa tidak cukup membicarakan dan mengamalkan ilmunya saja tidak perlu berpikir secara berlebihan, seperti dilakukan dalam berfilsafat?

Terkadang manusia selalu mempersoalkan sesuatu apa pun, termasuk mengapa harus berfilsafat? Banyak hal ditanyakannya, seperti benda, keadaan, hal konkret ataupun abstrak. Mengapa timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Hal tersebut karena filsafat seolah-olah mengherankan sesuatu. Pertanyaan pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa, seperti pertanyaan tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat filsafati. Kalaupun harus langsung berfilsafat, seperti anjuran Kant maka timbullah pertanyaan baru, “Apa yang menjadi dasar pertanyaan tersebu?”

Keheranan seperti itu merupakan bekal bagi orang untuk berfilsafat, bahkan timbul pertanyaan yang tidak bersifat filsafati. Hal ini penting karena dengan heran, orang akan bertanya sehingga ilmunya akan bertambah lebih dalam. Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam dan lebih luas, orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan demikian, orang tersebut mampu memahaminya, kemudian akan bertindak dengan benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang akan membawa seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya.

Masalah selanjutnya, yaitu mengapa harus berfilsafat? Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfilsafat atau sekadar bertanya secara ilmiah, atau sesuai dengan bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat akan menemukan akar dan hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana berfilsafat, atau lebih sederhananya apa filsafat itu.

Sementara itu, untuk keperluan pelaksanaanny, filsafat dianggap sebagai pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sampai ke akar-akarnya (radiks=akar). Sebuah pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang diperbincangkan dalam ilmu pengetahuan yang bertitik tolak pada wujudnya. Tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang hakiki dan kebenanran yang berfilsafati.    

Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati, orang tersebut tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu pengetahuan, di samping perbincangan masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia patut memahami pengertian filsafat secara dasar dengan tepat sehingga keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak akan terjadi. Dengan demikian, pertanyaannya menjadi mengapa orang berfilsafat?

Tampaknya, pertanyaan dan pemikiran yang sifatnya rasional merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ia akan bertanya tentang segala hal. Untuk menjawab pertanyaannya, ia akan berusaha mencari jawaban yang dapat memenuhi kebuuhan intelektualnya. Oleh karena itu, manusia berpikir (homo sapiens) disebut sebagai a rational animal, animal rationale atau binatang yang mampu berpikir. Hal ini berlaku apabila manusia dan hewan dikelompokkan ke dalam suatu golongan, dan tidak memperlihatkan perbedaan yang esensial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan permasalahan dalam bidang antropologi dan metafisika, khususnya yang menyangkut hakikat manusia. Sebagai penjelasan awal mengenai hal ini akan dikemukakan dalam alinea berikut.

Makhluk hidup yang kita kenal saat ini, terdiri atas tumbuh-tumbuhan yang hanya memiliki metabolism. Binatang selain memiliki metabolism, juga memiliki naluri, sedangkan manusia selain memiliki metabolism dan naluri, juga memiliki akal termasuk moral, kalbu, nilai, dan norma. Ada kepercayaan atau keyakinan lain, bahwa Tuhan hanya menurunkan dua jenis makhluk hidup ke bumi, yaitu tumbuhan dan binatang. Makhluk yang disebut binatang ini selain ada yang hanya memiliki ciri nafsu, juga memiliki rasio (akal budi). Artinya, terdapat perbedaan yang gradual di antara keduanya. Suatu hal yang patut dipertanyakan karena berfikir senaniasa melahirkan keheranan dan pertanyaan-pertanyaan baru. Untuk itu, kita dapat melanjutkan perbincangan ini secara khusus.

Lantas, mengapa manusia terus-menerus bertanya dan berpikir karenanya? Seperti telah diutarakan sebelumnya karena mereka heran terhadap segala hal. Orang yang memiliki keinginan untuk memahami lebih banyak hal, akan menimbulkan rasa heran terhadap banyak hal. Dengan timbulnya rasa heran, berarti ia memiliki keingintahuan (curiosity) terhadap apa pun atau segala hal. Hal ini penting bagi manusia karena lebih banyak pengetahuan akan lebih menjamin rasa aman sehingga akan tercapai tujuan hidup yang lebih besar. Dengan pengetahuan yang lebih banyak, menusia dapat menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap lingkungannya sehingga keamanan dan hasil yang diraihnya akan lebih baik pula. Tentu saja setiap orang memiliki batas kemampuan tertentu, termasuk daya pikirnya. Jadi, keheranan seseorang terhadap apa pun bersifat individual sesuai dengan kemampuan dan keadaannya, namun tetap universal..

Tentu saja keheranan itu bukanlah keheranan yang mengada-ada, melainkan suatu kebutuhan atau keinginan, aspirasi, dan cita-cita sehingga dapat mengembakan diri terhadap lingkungannya. Keheranan itu bersifat intelektual dan kerohanian. Keinginan, aspirasi, dan cita-cita itu bertujuan untuk memahami segala hal, termasuk membuat pertimbangan dan perhitungan mengenai tindakan-tindakan manakah yang akan memberi kemungkinan untuk melaksanakan tugas manusia dalam kehidupan. Dalam psikologi, pada dasarnya keinginan ini berhubungan dengan adanya kemauan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Berdasarkan hal tersebut lahirlah istilah keheranan orang-orang “bodoh”. Artinya, keheranan yang sekadar heran sebagai akibat dari sedikitnya pengetahuan, minat, usaha, serta kemampuan mereka dalam berpikir lebih lanjut dan sungguh-sungguh. Berfilsafat tentu saja tidak demikian, tetapi harus dilandasi oleh keheranan yang perlu ditindaklanjuti. Tujuannya adalah untuk menggali pengetahuan yang lebih mendalam serta kaya akan informasi yang berada di balik gereja yang diherankannya itu.

Oleh karena itu, timbul pertanyaan, “Apa saja yang diherankan manusia?” Jawabannya adalah segala hal karena setiap yang ada dapat melahirkan dampak pada manusia, kehidupan, dan lingkungan hidupnya.

Permasalahan

Setiap hal yang mengherankan dapat melahirkan suasana atau mood yang akan berpengaruh terhadap pemikirannya. Dalam ilmu pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalah sendiri-sendiri. Persoalannya, filsafat adalah segala sesuatu, tidak terkecuali. Akan tetapi, dalam mempersoalkannya terdapat keterbatasan, yaitu menyangkut hakikat filsafat itu sendiri. Apabila kimia membicarakan hukum-hukum persenyawaan zat maka fi lsafat membicarakan hakikat dari hukum-hukum itu. Inilah yang dimaksud dengan sarwa sekalian alam yang menjadi ciri khas filsafat yang disebut juga universal.

Mengenai masalah yang orang pikirkan, terdapat beberapa keadaan yang berbeda prinsip. Misalnya, pada suatu senja, setelah hujan reda, seseorang berjalan-jalan dengan maksud menghirup udara segar. Ia mendapati bulan berwarna putih keperak-perakan, tidak seperti biasanya, berwarna kuning keemasan. Dalam pikirannya, timbul sebuah pertanyaan, “Mengapa bulan itu berwarna keperakan tidak seperti biasanya?” Ternyata, keheranan orang ini menimbulkan suasana berpikir tentang ilmu pengetahuan, ialah suasana keilmuan (scientific mood). Keheranannya muncul berupa pertanyaan, “Mengapa warna cahaya yang ditampilkan bulan itu putih keperakan bukan seperti yang biasanya kuning keemasan?” Akibatnya, jalan berpikir orang tersebut mengarah pada mencari hukum-hukum ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika, lebih khusus lagi tentang ilmu cahaya. Pengetahuan dasar yang pernah didapatnya entah di SD, SMP, atau SMA, akhirnya menimbulkan jawaban, bahwa perubahan warna cahaya bulan itu, dari kuning keemasan menjadi putih keperakan, tidak lain bersangkutan dengan masalah pembiasan cahaya. Biasanya, udara tidak banyak diisi oleh uap ir sehingga pembiasannya berbeda pada saat udara banyak diisi oleh uap air hujan. Dengan demikian, warna keperakan terjadi pada senja setelah hujan. Dengan perkataan lain, bahwa pemikirannya yang bersifat ilmiah ini didasari oleh pemikiran hukum-hukum ilmu pengetahuan.

Boleh jadi, kheranan orang tersebut bukan lagi berupa pertanyaan, mengapa warna cahaya itu berubah, melainkan lahir dalam bentuk kekaguman dan pertanyaan betapa indahnya warna keperakan cahaya bulan itu. Ia merasakan suatu kenyamanan yang menggugah perasaan senang, dan harmonis. Akibatnya, muncul pertanyaan tentang penghayatan dan perasaan indah. Hal ini merupakan pertanyaan atas dasar keheranan yang melahirkan pembicaran tentang estetika sehingga pemikirannya tersebut sebagai pemikiran estetis dan kesenian, contohnya membicarakan kenikmatan ketika mendengarkan musik Mozart, melihat lukisan Rembrant, atau membaca syair-syair Ramadhan K.H.

Dalam seni rupa, kita mengenal istilah golden section untuk suatu perbandingan yang estetis seperti digunakan dalam perbandingan ukuran sisi suatu segi empat, yaitu 3 x 2. Mengapa perbandingan 3 x 2 harus disebut golden section? Pertanyaan ini tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, tetapi dapat dirasakan oleh orang yang memiliki daya estetis yang baik. Kebenaran yang mengenai hal tersebut dilakukan survey terhadap masyarakat luas.

Dalam hal ini, perlu dengan cermat kita perhatikan, bahwa estetika berbeda dalam kaitannya dengan filsafat dan ilmu. Pembicaraan yang menyangkut estetika, ialah dalam hal hukum-hukumnya berdasarkan suatu atau sejumlah eksperimen. Perbincangan ini sering dilakukan dan ditulis oleh pakar ilmu pengetahuan dalam bidang kesenian, seperti sejarawan, seniman, atau pemahat. Hal tersebut merupakan suatu pemikiran ilmiah. Gejala estetis, seperti golden section yang ditelaah secara komparatif dalam berbagai budaya yang berbeda disebut sebagai pemikiran ilmiah. Meskipun yang menjadi objek telaahnya adalah gejala estetika, namun hal ini bukan merupakan pemikiran filsafat keindahan, melainkan pemikiran ilmu pengetahuan tentang keindahan.

Sebagai pengertian lainnya, seseorang melihat warna bulan keperakan, kemudian timbullah keheranan. Maksudnya, pada diri orang itu timbul kekaguman terhadap sang Pencipta keindahan tersebut. Kekaguman tersebut lahir dari suasan keagamaan yang dimilikinya. Merupakan pernyataan keagamaan yang lahir dari suasana religius, meskipun tidak harus menunjuk pada agama tertentu. Boleh jadi dalam keadaan seperti itu yang muncul adalah kekaguman terhadap sang Pencipta, Allah Swt. yang maha memiliki sehingga mempertebal keimanannya terutama dalam kehidupan beragamanya. Hal ini merupakan perbincangan religius. Adapun bahan kajian yang dibicarakan adalah hal yang menggugah keimanan.

Keheranan berikutnya adalah keheranan yang menuntut jawaban lebih mendalam atas gejala tersebut, yaitu hakikat tentang sesuatu. Misalnya, ia menyatakan bahwa warna bulan itu memunculkan keindahan, tetapi ia mempertanyakannya, “Mengapa”indah”yang ia kaitkan dengan gejala tersebut? Apakah indah itu? Keheranan seperti ini menimbulkan gugahan pemikiran yang menuntut jawaban hakiki. Misalnya, pertanyaan mengenai apakah hakikat indah atau keindahan itu. Inilah yang dimaksud dengan pemikiran filsafati. Dalam hal ini, si penanya sedang berada dalam suasan filsafati (philosopichal modd). Filsafat merupakan suatu pemikiran mengenai hakikat terhadap sesuatu yang dibicarakan. Lalu, apakah yang dibicarakannya? Jawabannya adalah segala hal, tetapi terbatas hanya pada sisi hakikatnya.

Jelas kiranya, bahwa segala hal yang diherankan, kemudian dipertanyakan orang. Pada dasarnya, apa yang dipertanyakan orang meliputi masalah-masalah ilmiah, estetika, religius, dan filsafati. Masalah ilmiah akan melahirkan pertanyaan ilmiah pula, kemudian menimbulkan jawaban dan kebenaran ilmiah. Adapun sikap religius akan melahirkan masalah religius yang akan melahirkan pertanyaan religius sebelum akhirnya melalui alasan-alasan religius akan melahirkan kebenaran-kebenaran religius. Adapun masalah estetika melahirkan pertanyaan yang menuntut pemikiran estetis, dan diakhiri oleh jawaban estetis. Sementara itu, masalah-masalah filsafati melahirkan pertanyaan filsafati untuk selanjutnya melahirkan jawaban filsafati mengenai hakikat sesuatu (the nature of …)    

Arti, Pengertian, dan Definisi Filsafat

Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, filsafat merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti mencintai, menghormati, menikmati, dan shopia atau sofein yang artinya kehikmatan, kebenarn, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Secara etimologis, berfilsafat atau filsafat berarti mencintai, menikmati kebijaksanaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa yang diucapkan ahli filsafat Yunani Kuno, Socrates bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Dalam bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arab, filsafah yang juga berakar pada istilah Yunani.

Dilihat dari arti praktisnya filsafat adalah alam berpikir atau alam pikiran, berfilsafat adalah berpikir. Langeveld, dalam bukunya “Pengantar pada Pemikiran filsafat” (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana, atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan hakikatnya.

Beberapa konsep terkait dalam definisi itu. Adapun penjelasannya sebagai berikut.

1.      Wacana atau argumentasi menandakan bahwa filsafat memiliki ciri kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada permikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris. “Perbincangan dengan menutup mata”, kata MAW Brower, seorang pastor dan psikolog yang sangat berminat dan lama menjadi dosen untuk berbagai jenis filsafat. Artinya, keputusan atau pendapat filsafat tisak perlu didasari bukti kebenaran, baik melalui eksperimentasi maupun pencarian data lapangan.

2.      Segala hal atau sarwa sekalian alam. Artinya, bahwa apa yang dibicarakan yang merupakan materi filsafat adalah segala hal menyangkut keseluruhan sehingga disebut perbincangan universal. Tidak ada yang tidak dibicarakan oleh filsafat. Ada atau tidak ada permasalahan, filsafat merupakan bagian dari perbincangan. Hal ini jelas berbeda dengan ilmu pengetahuan yang membicarakan suatu lingkup permasalahan, misalnya zoologi yang hanya membicarakan wujud binatang, tetapi lengkap dengan ukurannya. Sebagian orang berpendapat, bahwa ciri segala sesuatu ini merupakan inti dari filsafat sehingga filsafat bersifat universal.

3.      Sistematis artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur menurut sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Dengan demikian, perbincangan tersebut tepat atau tidak, dapat diikuti dan diuji oleh orang lain, meskipun pada akhirnya hanya ada satu pengertian mengenai sesuatu itu.

4.      Radikal artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada keonsekuensi yang terakhir. Radiks artinya akar, juga disebut arche. Hal ini merupakan ciri khas berpikir filsafat. Hal ini jelas berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bertitik tolak dari asumsi yang sering disebut keyakinan filsafati (philosophical belief). Pengertian sampai ke akar-akarnya, bahwa asumsi tersebut tidak hanya dibicarakan, tetapi digunakan. Ilmu pengetahuan menggunakan asumsi, tetapi filsafat membangun atau memperbincangkannya.

5.      Hakikat merupakan istilah yang menjadi ciri khas filsafat. Hakikat adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar. Jadi, filsafat tidak berbicara tentang wujud atau suatu materi, seperti ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang ada di belakangnya. Dalam filsafat, hakikat seperti ini merupakan akibat dari berpikir secara radikal.

Berdasarkan hasil telaah, sejak Zaman Yunani Kuno sampai dengan sekarang, beberapa ahli filsafat telah mendefinisikan bidang kajian ini. Misalnya, Plato menyatakan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni. Murid Plato, Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, seperti ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Descartes mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Adapun Immanuel Kant menyatakan, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya mencakup empat persoalan, yaitu apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai di mana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan dengan manusia (antropologi).

Dari berbagai definisi psikologi yang ditemukan dan dicatatnya Hasbullah Bakri merumuskan definisi filsafat sebagai berikut.

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu.

Sepatutnya, kita memberikan catatan mengenai penggunaan istilah ilmu atau ilmu pengetahuan untuk pengertian umum filsafat. Saat ini, filsafat dan ilmu atau ilmu pengetahuan merupakan dua hal berbeda. Sedikit penjelasan dapat dikemukakan bahwa sebelum tahun 1500-an, semua wacana disebut filsafat, setidaknya di Yunani. Orang yang sedang berbicara tentang ilmu bumi atau masalah jua beli pun disebut sedang berfilsafat karena pada dasarnya adalah mencari kebenaran. Setelah zaman filsafat modern yang dipelopori Descartes dan John Locke terdapat perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.   

Thomas Mautner (1999) mengemukakan adanya tiga pengertian filsafat yang paling umum diartikan dan digunakan, ialah sebagai berikut.

1.      Aktivitas intelektual yang dapat diartikan dalam berbagai pengertian, bergantung pada penekanannya, yaitu metode masalah, serta tujuannya. Metode filsafat adalah pendalaman rasional. Sebagai materi atau masalah, metode filsafat merupakan hal biasa pada masa yang lalu. Lazimnya, metode ini digunakan filsafat pada saat mendalami berbagai masalah secara rasional. Misalnya, fisika dan ilmu-ilmu alam lain dilakukan pendalaman secara umum, disebut sebagai filsafat alam. Jika filsafat dimaksudkan untuk penelaahan yang murni, atau benar-benar bersifat rasional atau pengetahuan, filsafat merupakan tujuan dari usaha intelektual.

2.      Suatu teori yang lahir sebagai akibat dari dilakukannya pendalaman filosofis.

3.      Pandangan komprehensif mengenai realitas dan tempat manusia berada dalam pandangan itu.

 

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...