Pengertian
filsafat hingga saat ini masih dipandang dari berbagai sudut pandang yang
berbeda dan kadang-kadang diterapkan secara tidak tepat terutama di kalangan
awam. Sebagian pihak ada yang memandangnya sebagai suatu ilmu atau wacana luar
biasa yang sangat tinggi kedudukannya, jauh lebih tinggi dibandingkan maksud
yang sebenarnya. Berdasarkan pandangan tersebut, filsafat menjadi sebuah wacana
atau ilmu pengetahuan yang hanya mungkin dilakukan dan dipahami oleh
orang-orang yang memiliki keunggulan intelektual serta kebijaksanaan yang
sangat tinggi. Jadi, dalam pemahaman ini, orang “biasa” belum tentu dapat
berfilsafat. Persepsi ini menempatkan filsafat sebagai pemikiran yang terlalu
abstrak dan tidak membumi untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya, penilaian terhadap hal tersebut tidak mempunyai manfaat praktis.
Ada
juga pihak yang memandang filsafat sebagai wacana yang tidak berhubungan dengan
masalah kehidupan sehari-hari. Persepsi seperti ini dibicarakan di kalangan
orang-orang khusus yang “gagal” menjalani apa yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pemahaman ini, filsafat tidak lain sebagai pertunjukan
absurd, tidak jelas arah dan tujuannya. Akan tetapi, pemahaman filsafat seperti
ini digunakan oleh mereka yang tidak mampu berpikir secara wajar, tepat, dan
benar, juga sebagai tempat persembunyian ketidakmampuan intelektualnya. Akibat
dari persepsi tersebut, filsafat menjadi pembicaraan yang tidak serius,
ngelantur, tidak berujung pangkal, dan tidak berlandasan intelektual. Dalam
pandanga ini, filsafat tampil sebagai wacana “bodoh”, bahkan hanya menjadi
pembicaraan orang-orang yang bermasalah.
Lain
lagi dengan kaum awam Cina Kuno, mereka menyatakan bahwa seni, ilmu, dan
filsafat merupakan pelarian bagi mereka yang tidak berhasil dalam kehidupan
nyata, yaitu mereka yang memproduksi sesuatu, seperti membuat alat dan
berdagang. Pendapat ini tidak dipandang sebagai pendapat yang buruk, tetapi
tetap dinyatakan berguna, meskipun tidak seluruh untuk saat “ini”.
Persepsi
tidak tepat tersebut tidak menggambarkan seluruh persepsi tidak utuh tentang
persepsi atas filsafat. Namun, keseluruhannya merupakan perbincangan filsafat
pada dua sisi ekstrim. Selain kedua persepsi tadi, terdapat pula berbagai
persepsi lainnya, baik dalam arti berlebihan maupun berkekurangan.
Oleh
karena itu, diperlukan pemahaman baku sesuai dengan isi dan cara mengemukakan
persepsi mengenai filsafat secara tepat berdasarkan pengertian, pemahaman, dan
definisi yang jelas. Apa pun masalahnya, setiap ahli dengan alasannya yang
masuk akal dan kuat, kerap mengemukakan dan mempertahankan definisinya. Sampai
saat ini, belum ada kata sepakat di antara para ahli tentang definisi filsafat
yang secara konsisten digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena adanya sisi
yang berbeda dan perlu adanya penekanan (emphasize)
terhadap kedua persepsi tersebut.
Terhadap
perbedaan tersebut, tentu saja kita tidak perlu bersikap negatif. Sebaliknya,
kita mampu bersikap arif dalam memandang wajah dan isi filsafat secara lebih
lengkap. Dengan bijaksana pula, kita mampu memilih serta menyerap mana yang
dianggap penting dan bermanfaat dalam menggunakannya, baik untuk kperluan umum
maupun khusus.
Selain
kesalahfahaman serta telah diutarakan, juga terdapat kesalahfahaman mengenai
arti dan makna filsafat menyangkut apa yang dibicarakan. Banyak orang dan buku
menyatakan bahwa filsafat itu seolah-olah merupakan perbincangan tentang agama,
norma, nilai, dan moral sehingga ahli filsafat dianggap juga sebagai ahli dalam
bidang agama, moral, budaya, dan kesenian/sastra. Kesalahfahaman ini tidak
fatal karena agama, moral, budaya, dan kesenian/sastra merupakan bagian dari
permasalahan filsafat lainnya. Seoang ahli filsafat pun tidak dapat diartikan
sebagai orang yang mendasarkan perilakunya pada norma dan nilai tertentu.
Pandangan filosof terhadap agama dan perilaku boleh jadi untuk sebagian patut
diteladani oleh masyarakat luas, namun tidak seluruhnya. Beberapa perilaku yang
tidak patut kita teladani, boleh jadi melekat pada seorang filososf. Bahkan,
pandangan yang patut kita hormati dan kagumi pun tidak harus disertai dengan
keinginan dan keharusan untuk menyetujuinya.
Berdasarkan
perbincangan tersebut, terdapat pula ketidaktepatan lain yang menunjuk pada
makna manfaat tertentu dari penggunaan filsafat, yaitu pengertian filsafat
sebagai dasar dari apa yang ada di balik sesuatu gejala. Misalnya, dibalik
suatu dalil dalam suatu cabang ilmu pengetahuan, terdapat pemahaman tertentu
yang mendasarinya atau maksud dan manfaatnya yang lebih khusus. Dalam
pengertian seperti itu, filsafat sering diartikan sebagai maksud atau latar
belakang suatu peraturan atau maksud peraturan tersebut dibuat. Pengertian
filsafat seperti ini disebut dengan makna ganda dari kata filsafat.
Beberapa
istilah baru dalam filsafat, antara lain filsafat hidup (way of life), dan filsafat bangsa atau negara. Filsafat hidup
adalah pegangan-pegangan dasar, spirit atau roh seseorang. Adapun filsafat
bangsa atau negara, yaitu Pancasila. Filsafat bangsa atau negara artinya
pandangan hidup, pola pandang atas kehidupan dunia (Weltanschauung, world view). Tentulah pengertian filsafat seperti
itu mempunyai pengertian tertentu yang berbeda dengan filsafat yang dikemukakan
dalam buku ini.
Pengatur
dalam buku ini, yaitu pada alinea-alinea terdahulu bermaksud mengantar para
pembaca untuk dapat selalu terbuka terhadap perbedaan pada saat membaca dan
melakukan studi filsafati, di bagian mana pun, termasuk ketika membicarakan
logika dan epistemologi yang menurut kepastian, ketepatan, serta keterarahan
berpikir. Hal ini merupakan sikap yang penting bagi mereka yang mempelajarinya,
terutama yang terjun ke dalam dunia filsafat karena sampai kapan pun para ahli
filsafat tidak pernah memiliki satu pendapat, baik dalam hal isi, perumusan
permasalahan maupun penyusunan jawabannya. Orang yang berfilsafat akan
meragukan setiap jawaban yang baru saja dipastikannya. Hal ini akan dikemukakan
pada masalah berefleksi sebagai metode berfilsafat.
Berdasarkan
hal tersebut, Immanuel Kant pernah
menyatakan, bahwa yang penting adalah belajar berfilsafat, bukan belajar
filsafat. Orang-orang yang datang kepadaku bukanlah orang-orang yang hendak
belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat,” katanya. Orang yang mengerti
filsafat berbeda dengan orang yang berfilsafat. Langeveld mengemukakan nasihat penting bagi pembaca bukunya,
khususnya mereka yang tidak mudah menangkap makna materi filsafat yang
dibacanya. Katanya, “Jangan sekali-kali berhenti membaca filsafat. Terus saja,
jika perlu kita ulangi setelah teks berikut selesai dibaca”.
Keheranan
sebagai Awal Berfilsafat
Mengapa
ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat? Bahkan, ada orang yang menolak
filsafat dengan menyatakan, mengapa tidak cukup membicarakan dan mengamalkan
ilmunya saja tidak perlu berpikir secara berlebihan, seperti dilakukan dalam
berfilsafat?
Terkadang
manusia selalu mempersoalkan sesuatu apa pun, termasuk mengapa harus
berfilsafat? Banyak hal ditanyakannya, seperti benda, keadaan, hal konkret
ataupun abstrak. Mengapa timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Hal tersebut
karena filsafat seolah-olah mengherankan sesuatu. Pertanyaan pun
bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa, seperti pertanyaan
tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat filsafati. Kalaupun
harus langsung berfilsafat, seperti anjuran Kant maka timbullah pertanyaan
baru, “Apa yang menjadi dasar pertanyaan tersebu?”
Keheranan
seperti itu merupakan bekal bagi orang untuk berfilsafat, bahkan timbul
pertanyaan yang tidak bersifat filsafati. Hal ini penting karena dengan heran,
orang akan bertanya sehingga ilmunya akan bertambah lebih dalam. Dengan
bertambahnya ilmu lebih dalam dan lebih luas, orang akan mampu menganalisis
masalah dengan lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan
demikian, orang tersebut mampu memahaminya, kemudian akan bertindak dengan
benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang akan membawa seseorang
pada puncak kebahagiaan hidupnya.
Masalah
selanjutnya, yaitu mengapa harus berfilsafat? Tentu tidak menjadi keharusan bagi
seseorang untuk berfilsafat atau sekadar bertanya secara ilmiah, atau sesuai
dengan bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat akan menemukan akar dan
hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita mengetahui
terlebih dahulu bagaimana berfilsafat, atau lebih sederhananya apa filsafat
itu.
Sementara
itu, untuk keperluan pelaksanaanny, filsafat dianggap sebagai pertanyaan yang
mempersoalkan sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sampai ke
akar-akarnya (radiks=akar). Sebuah pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang
diperbincangkan dalam ilmu pengetahuan yang bertitik tolak pada wujudnya.
Tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang hakiki dan kebenanran yang
berfilsafati.
Apabila
ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati,
orang tersebut tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang
melahirkan ilmu pengetahuan, di samping perbincangan masalah-masalah lainnya.
Terlebih dahulu, ia patut memahami pengertian filsafat secara dasar dengan
tepat sehingga keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak akan terjadi. Dengan
demikian, pertanyaannya menjadi mengapa orang berfilsafat?
Tampaknya,
pertanyaan dan pemikiran yang sifatnya rasional merupakan ciri khas manusia
dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ia akan bertanya tentang segala hal. Untuk
menjawab pertanyaannya, ia akan berusaha mencari jawaban yang dapat memenuhi
kebuuhan intelektualnya. Oleh karena itu, manusia berpikir (homo sapiens) disebut sebagai a rational animal, animal rationale atau
binatang yang mampu berpikir. Hal ini berlaku apabila manusia dan hewan
dikelompokkan ke dalam suatu golongan, dan tidak memperlihatkan perbedaan yang
esensial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan permasalahan dalam bidang
antropologi dan metafisika, khususnya yang menyangkut hakikat manusia. Sebagai
penjelasan awal mengenai hal ini akan dikemukakan dalam alinea berikut.
Makhluk
hidup yang kita kenal saat ini, terdiri atas tumbuh-tumbuhan yang hanya
memiliki metabolism. Binatang selain memiliki metabolism, juga memiliki naluri,
sedangkan manusia selain memiliki metabolism dan naluri, juga memiliki akal
termasuk moral, kalbu, nilai, dan norma. Ada kepercayaan atau keyakinan lain,
bahwa Tuhan hanya menurunkan dua jenis makhluk hidup ke bumi, yaitu tumbuhan
dan binatang. Makhluk yang disebut binatang ini selain ada yang hanya memiliki
ciri nafsu, juga memiliki rasio (akal budi). Artinya, terdapat perbedaan yang
gradual di antara keduanya. Suatu hal yang patut dipertanyakan karena berfikir
senaniasa melahirkan keheranan dan pertanyaan-pertanyaan baru. Untuk itu, kita
dapat melanjutkan perbincangan ini secara khusus.
Lantas,
mengapa manusia terus-menerus bertanya dan berpikir karenanya? Seperti telah
diutarakan sebelumnya karena mereka heran terhadap segala hal. Orang yang
memiliki keinginan untuk memahami lebih banyak hal, akan menimbulkan rasa heran
terhadap banyak hal. Dengan timbulnya rasa heran, berarti ia memiliki
keingintahuan (curiosity) terhadap
apa pun atau segala hal. Hal ini penting bagi manusia karena lebih banyak
pengetahuan akan lebih menjamin rasa aman sehingga akan tercapai tujuan hidup
yang lebih besar. Dengan pengetahuan yang lebih banyak, menusia dapat
menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap lingkungannya sehingga keamanan
dan hasil yang diraihnya akan lebih baik pula. Tentu saja setiap orang memiliki
batas kemampuan tertentu, termasuk daya pikirnya. Jadi, keheranan seseorang
terhadap apa pun bersifat individual sesuai dengan kemampuan dan keadaannya,
namun tetap universal..
Tentu
saja keheranan itu bukanlah keheranan yang mengada-ada, melainkan suatu
kebutuhan atau keinginan, aspirasi, dan cita-cita sehingga dapat mengembakan
diri terhadap lingkungannya. Keheranan itu bersifat intelektual dan kerohanian.
Keinginan, aspirasi, dan cita-cita itu bertujuan untuk memahami segala hal,
termasuk membuat pertimbangan dan perhitungan mengenai tindakan-tindakan
manakah yang akan memberi kemungkinan untuk melaksanakan tugas manusia dalam
kehidupan. Dalam psikologi, pada dasarnya keinginan ini berhubungan dengan
adanya kemauan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Berdasarkan
hal tersebut lahirlah istilah keheranan orang-orang “bodoh”. Artinya, keheranan
yang sekadar heran sebagai akibat dari sedikitnya pengetahuan, minat, usaha,
serta kemampuan mereka dalam berpikir lebih lanjut dan sungguh-sungguh.
Berfilsafat tentu saja tidak demikian, tetapi harus dilandasi oleh keheranan
yang perlu ditindaklanjuti. Tujuannya adalah untuk menggali pengetahuan yang
lebih mendalam serta kaya akan informasi yang berada di balik gereja yang
diherankannya itu.
Oleh
karena itu, timbul pertanyaan, “Apa saja yang diherankan manusia?” Jawabannya
adalah segala hal karena setiap yang ada dapat melahirkan dampak pada manusia,
kehidupan, dan lingkungan hidupnya.
Permasalahan
Setiap
hal yang mengherankan dapat melahirkan suasana atau mood yang akan berpengaruh
terhadap pemikirannya. Dalam ilmu pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalah
sendiri-sendiri. Persoalannya, filsafat adalah segala sesuatu, tidak
terkecuali. Akan tetapi, dalam mempersoalkannya terdapat keterbatasan, yaitu
menyangkut hakikat filsafat itu sendiri. Apabila kimia membicarakan hukum-hukum
persenyawaan zat maka fi lsafat membicarakan hakikat dari hukum-hukum itu.
Inilah yang dimaksud dengan sarwa sekalian alam yang menjadi ciri khas filsafat
yang disebut juga universal.
Mengenai
masalah yang orang pikirkan, terdapat beberapa keadaan yang berbeda prinsip.
Misalnya, pada suatu senja, setelah hujan reda, seseorang berjalan-jalan dengan
maksud menghirup udara segar. Ia mendapati bulan berwarna putih
keperak-perakan, tidak seperti biasanya, berwarna kuning keemasan. Dalam
pikirannya, timbul sebuah pertanyaan, “Mengapa bulan itu berwarna keperakan
tidak seperti biasanya?” Ternyata, keheranan orang ini menimbulkan suasana
berpikir tentang ilmu pengetahuan, ialah suasana keilmuan (scientific mood).
Keheranannya muncul berupa pertanyaan, “Mengapa warna cahaya yang ditampilkan
bulan itu putih keperakan bukan seperti yang biasanya kuning keemasan?”
Akibatnya, jalan berpikir orang tersebut mengarah pada mencari hukum-hukum ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika, lebih
khusus lagi tentang ilmu cahaya. Pengetahuan dasar yang pernah didapatnya entah
di SD, SMP, atau SMA, akhirnya menimbulkan jawaban, bahwa perubahan warna
cahaya bulan itu, dari kuning keemasan menjadi putih keperakan, tidak lain
bersangkutan dengan masalah pembiasan cahaya. Biasanya, udara tidak banyak
diisi oleh uap ir sehingga pembiasannya berbeda pada saat udara banyak diisi
oleh uap air hujan. Dengan demikian, warna keperakan terjadi pada senja setelah
hujan. Dengan perkataan lain, bahwa pemikirannya yang bersifat ilmiah ini
didasari oleh pemikiran hukum-hukum ilmu pengetahuan.
Boleh
jadi, kheranan orang tersebut bukan lagi berupa pertanyaan, mengapa warna
cahaya itu berubah, melainkan lahir dalam bentuk kekaguman dan pertanyaan
betapa indahnya warna keperakan cahaya bulan itu. Ia merasakan suatu kenyamanan
yang menggugah perasaan senang, dan harmonis. Akibatnya, muncul pertanyaan
tentang penghayatan dan perasaan indah. Hal ini merupakan pertanyaan atas dasar
keheranan yang melahirkan pembicaran tentang estetika sehingga pemikirannya
tersebut sebagai pemikiran estetis dan kesenian, contohnya membicarakan
kenikmatan ketika mendengarkan musik Mozart,
melihat lukisan Rembrant, atau
membaca syair-syair Ramadhan K.H.
Dalam
seni rupa, kita mengenal istilah golden
section untuk suatu perbandingan yang estetis seperti digunakan dalam
perbandingan ukuran sisi suatu segi empat, yaitu 3 x 2. Mengapa perbandingan 3
x 2 harus disebut golden section?
Pertanyaan ini tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, tetapi dapat dirasakan
oleh orang yang memiliki daya estetis yang baik. Kebenaran yang mengenai hal
tersebut dilakukan survey terhadap masyarakat luas.
Dalam
hal ini, perlu dengan cermat kita perhatikan, bahwa estetika berbeda dalam
kaitannya dengan filsafat dan ilmu. Pembicaraan yang menyangkut estetika, ialah
dalam hal hukum-hukumnya berdasarkan suatu atau sejumlah eksperimen.
Perbincangan ini sering dilakukan dan ditulis oleh pakar ilmu pengetahuan dalam
bidang kesenian, seperti sejarawan, seniman, atau pemahat. Hal tersebut
merupakan suatu pemikiran ilmiah. Gejala estetis, seperti golden section yang ditelaah secara komparatif dalam berbagai
budaya yang berbeda disebut sebagai pemikiran ilmiah. Meskipun yang menjadi
objek telaahnya adalah gejala estetika, namun hal ini bukan merupakan pemikiran
filsafat keindahan, melainkan pemikiran ilmu pengetahuan tentang keindahan.
Sebagai
pengertian lainnya, seseorang melihat warna bulan keperakan, kemudian timbullah
keheranan. Maksudnya, pada diri orang itu timbul kekaguman terhadap sang
Pencipta keindahan tersebut. Kekaguman tersebut lahir dari suasan keagamaan
yang dimilikinya. Merupakan pernyataan keagamaan yang lahir dari suasana
religius, meskipun tidak harus menunjuk pada agama tertentu. Boleh jadi dalam
keadaan seperti itu yang muncul adalah kekaguman terhadap sang Pencipta, Allah
Swt. yang maha memiliki sehingga mempertebal keimanannya terutama dalam
kehidupan beragamanya. Hal ini merupakan perbincangan religius. Adapun bahan
kajian yang dibicarakan adalah hal yang menggugah keimanan.
Keheranan
berikutnya adalah keheranan yang menuntut jawaban lebih mendalam atas gejala
tersebut, yaitu hakikat tentang sesuatu. Misalnya, ia menyatakan bahwa warna
bulan itu memunculkan keindahan, tetapi ia mempertanyakannya,
“Mengapa”indah”yang ia kaitkan dengan gejala tersebut? Apakah indah itu?
Keheranan seperti ini menimbulkan gugahan pemikiran yang menuntut jawaban
hakiki. Misalnya, pertanyaan mengenai apakah hakikat indah atau keindahan itu.
Inilah yang dimaksud dengan pemikiran filsafati. Dalam hal ini, si penanya
sedang berada dalam suasan filsafati (philosopichal
modd). Filsafat merupakan suatu pemikiran mengenai hakikat terhadap sesuatu
yang dibicarakan. Lalu, apakah yang dibicarakannya? Jawabannya adalah segala
hal, tetapi terbatas hanya pada sisi hakikatnya.
Jelas
kiranya, bahwa segala hal yang diherankan, kemudian dipertanyakan orang. Pada
dasarnya, apa yang dipertanyakan orang meliputi masalah-masalah ilmiah,
estetika, religius, dan filsafati. Masalah ilmiah akan melahirkan pertanyaan
ilmiah pula, kemudian menimbulkan jawaban dan kebenaran ilmiah. Adapun sikap
religius akan melahirkan masalah religius yang akan melahirkan pertanyaan
religius sebelum akhirnya melalui alasan-alasan religius akan melahirkan
kebenaran-kebenaran religius. Adapun masalah estetika melahirkan pertanyaan
yang menuntut pemikiran estetis, dan diakhiri oleh jawaban estetis. Sementara
itu, masalah-masalah filsafati melahirkan pertanyaan filsafati untuk
selanjutnya melahirkan jawaban filsafati mengenai hakikat sesuatu (the nature of …)
Arti,
Pengertian, dan Definisi Filsafat
Secara
etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan
Yunani. Filsafat dalam bahasa inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa
Yunani, filsafat merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta
atau philos yang berarti mencintai, menghormati, menikmati, dan shopia atau
sofein yang artinya kehikmatan, kebenarn, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan.
Secara etimologis, berfilsafat atau filsafat berarti mencintai, menikmati
kebijaksanaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa yang diucapkan ahli
filsafat Yunani Kuno, Socrates bahwa
filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran.
Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar,
melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan.
Dalam bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arab, filsafah yang juga berakar pada istilah Yunani.
Dilihat
dari arti praktisnya filsafat adalah alam berpikir atau alam pikiran,
berfilsafat adalah berpikir. Langeveld, dalam bukunya “Pengantar pada Pemikiran
filsafat” (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah suatu perbincangan mengenai
segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya.
Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana, atau perbincangan
mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan
menemukan hakikatnya.
Beberapa
konsep terkait dalam definisi itu. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
1. Wacana
atau argumentasi menandakan bahwa
filsafat memiliki ciri kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada
permikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris. “Perbincangan dengan menutup
mata”, kata MAW Brower, seorang
pastor dan psikolog yang sangat berminat dan lama menjadi dosen untuk berbagai
jenis filsafat. Artinya, keputusan atau pendapat filsafat tisak perlu didasari
bukti kebenaran, baik melalui eksperimentasi maupun pencarian data lapangan.
2. Segala hal
atau sarwa sekalian alam. Artinya,
bahwa apa yang dibicarakan yang merupakan materi filsafat adalah segala hal
menyangkut keseluruhan sehingga disebut perbincangan universal. Tidak ada yang
tidak dibicarakan oleh filsafat. Ada atau tidak ada permasalahan, filsafat
merupakan bagian dari perbincangan. Hal ini jelas berbeda dengan ilmu
pengetahuan yang membicarakan suatu lingkup permasalahan, misalnya zoologi yang
hanya membicarakan wujud binatang, tetapi lengkap dengan ukurannya. Sebagian
orang berpendapat, bahwa ciri segala sesuatu ini merupakan inti dari filsafat
sehingga filsafat bersifat universal.
3. Sistematis
artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur menurut
sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Dengan demikian,
perbincangan tersebut tepat atau tidak, dapat diikuti dan diuji oleh orang
lain, meskipun pada akhirnya hanya ada satu pengertian mengenai sesuatu itu.
4. Radikal
artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada keonsekuensi yang terakhir. Radiks
artinya akar, juga disebut arche. Hal
ini merupakan ciri khas berpikir filsafat. Hal ini jelas berbeda dengan ilmu
pengetahuan yang bertitik tolak dari asumsi yang sering disebut keyakinan
filsafati (philosophical belief).
Pengertian sampai ke akar-akarnya, bahwa asumsi tersebut tidak hanya
dibicarakan, tetapi digunakan. Ilmu pengetahuan menggunakan asumsi, tetapi
filsafat membangun atau memperbincangkannya.
5. Hakikat merupakan
istilah yang menjadi ciri khas filsafat. Hakikat adalah pemahaman atau hal yang
paling mendasar. Jadi, filsafat tidak berbicara tentang wujud atau suatu materi,
seperti ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang ada di belakangnya. Dalam
filsafat, hakikat seperti ini merupakan akibat dari berpikir secara radikal.
Berdasarkan
hasil telaah, sejak Zaman Yunani Kuno sampai dengan sekarang, beberapa ahli
filsafat telah mendefinisikan bidang kajian ini. Misalnya, Plato menyatakan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang murni. Murid Plato, Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, seperti ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Descartes
mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan termasuk di
dalamnya Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Adapun Immanuel
Kant menyatakan, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya mencakup empat persoalan,
yaitu apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui
(etika), sampai di mana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan dengan
manusia (antropologi).
Dari
berbagai definisi psikologi yang ditemukan dan dicatatnya Hasbullah Bakri merumuskan definisi filsafat sebagai berikut.
Ilmu
filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan
bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu.
Sepatutnya,
kita memberikan catatan mengenai penggunaan istilah ilmu atau ilmu pengetahuan
untuk pengertian umum filsafat. Saat ini, filsafat dan ilmu atau ilmu
pengetahuan merupakan dua hal berbeda. Sedikit penjelasan dapat dikemukakan
bahwa sebelum tahun 1500-an, semua wacana disebut filsafat, setidaknya di
Yunani. Orang yang sedang berbicara tentang ilmu bumi atau masalah jua beli pun
disebut sedang berfilsafat karena pada dasarnya adalah mencari kebenaran.
Setelah zaman filsafat modern yang dipelopori Descartes dan John Locke
terdapat perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Thomas Mautner
(1999) mengemukakan adanya tiga pengertian filsafat yang paling umum diartikan
dan digunakan, ialah sebagai berikut.
1. Aktivitas
intelektual yang dapat diartikan dalam berbagai pengertian, bergantung pada
penekanannya, yaitu metode masalah, serta tujuannya. Metode filsafat adalah
pendalaman rasional. Sebagai materi atau masalah, metode filsafat merupakan hal
biasa pada masa yang lalu. Lazimnya, metode ini digunakan filsafat pada saat
mendalami berbagai masalah secara rasional. Misalnya, fisika dan ilmu-ilmu alam
lain dilakukan pendalaman secara umum, disebut sebagai filsafat alam. Jika
filsafat dimaksudkan untuk penelaahan yang murni, atau benar-benar bersifat
rasional atau pengetahuan, filsafat merupakan tujuan dari usaha intelektual.
2. Suatu
teori yang lahir sebagai akibat dari dilakukannya pendalaman filosofis.
3. Pandangan
komprehensif mengenai realitas dan tempat manusia berada dalam pandangan itu.
Sumber : Buku Pengantar Filsafat,
Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar