Bagaimanakah
suatu pikiran dapat terbentuk? Pertanyaan ini merupakan masalah dalam epistemologi.
Sebuah pendapat merupakan pendapat tentang sesuatu. Kita hanya dapat
menyusunnya, apabila kita benar-benar memiliki pengetahuan tentang sesuatu.
Epistemologi memang bagian filsafat yang mempersoalkan berbagai pengertian,
seperti mengetahui, pengetahuan, kepastian, atau kebenaran pengetahuan.
1.
Mengetahui
Mengetahui
menunjuk pada dua hal, yaitu subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Mengetahui berarti menghubungkan subjek dan objek. Pengetahuan ialah hubungan.
Pengetahuan menuntut kesadaran seseorang akan pengetahuan. Artinya, bahwa
seseorang mengetahui bahan yang diketahuinya. Selanjutnya, hal yang sangat
penting dan sering dilupakan, bahwa menyadari pengetahuan berarti dapat
merumuskan pengetahuan tersebut ke dalam bahasa. Semakin sanggup seseorang
merumuskan pengetahuan ke dalam bahasa, semakin sadar pula ia akan pengetahuan.
Semakin tertib seseorang dalam mengetahui sesuatu, semakin mendalamlah
pengetahuannya.
Objek
itu hanya menjadi objek dalam hubungannya dengan subjek, yaitu secepat
diketahui subjek. Karena hubungan itu, terjadilah perubahan pada subjek.
Artinya, adanya tanggapan terhadap objek yang mewakili objek pada subjek. Kita
mengetahui sesuatu karena kita mengamatinya sehingga muncullah tanggapan objek
pada diri subjek, yaitu kita yang mengamati. Adapun yang mewakili objek pada
subjek tidak terbatas pada tanggapan. Kita senantiasa mengetahui lebih daripada
apa yang dapat kita amati sehingga kita dapat menanggapinya. Beberapa segi yang
dapat kita ketahui dari objek berdasarkan upaya menyimpulkan atau kesimpulan
karena kita berpikir. Objek tersebut diwakili pada subjek oleh tanggapan dan
pikiran subjek. Pengetahuan tentang sesuatu kerap mengandung subjektivtas
karena terkandung pemikiran yang didasari kekuatan atau kemampuan subjek untuk
memikir dan memahaminya. Kemampuan itu sering berbeda antara satu orang dengan
orang lainnya.
Subjek
berubah karena ia mengetahui sesuatu. Bagaimanakah dengan objek? Tentu saja
objek tidak dapat berubah. Apabila objek berubah, apa yang kita ketahui saat
ini berlainan dengan apa yang kita ketahui. Namun, tidak berarti bahwa subjek
itu aktif dan objek itu pasif. Subjek dapat mengetahui objek jika subjek
tersinggung melalui rangsangan oleh objek. Untuk dapat tersinggung hendaknya
subjek membuka diri terhadap objek sehingga objek dengan leluasa mengetahui
subjek. Artinya, bahwa subjek menyelami objek dari segenap segi dengan
sedalam-dalamnya. Hal ini tidak mungkin dilakukakannya dengan alat indra
(pengamatan) dan akal (pemikiran) semata-mata, tetapi diselami oleh seluruh
kepribadian. Hanya dengan keseluruhan kepribadian akan tercapai pengetahuan yang
benar.
Namun,
hal itu tidak berhenti di situ. Ada masalah besar yang kemudian menyongsongnya,
“Apakah benar atau kebenaran itu? Apakah benar atau kebenaran itu bersifat
mutlak, mandiri tidak bergantung pada lingkungan sekitar atau hal lain? Atau,
benarkah kebenaran itu bersifat relatif, bergantung pada waktu, tempat, orang,
pihak, dan suasananya?”.
Berdasarkan
telaahan Muchlas atas Al-Quran,
terdapat empat kategori kebenaran, yaitu kebenaran pengetahuan, kebenaran ilmu,
kebenaran filsafat, dan kebenaran wahyu.
Kebenaran
pengetahuan ialah kebenaran yang
diperoleh manusia sebagai hasil dari pengindraan. Kebenaran ini bersifat relatif
karena sangat bergantung pada daya pengindraan atau sensitivitas pengindraan
seseorang. Sensitivitas seseorang, satu sama lainnya berbeda. Ada orang yang
sangat sensitif pada salah satu atau beberapa indranya, dan ada pula orang yang
kurang sensitif pada alat indra lainnya.
Kebenaran
ilmu atau kebenaran ilmiah ialah
pengetahuan yang kebenarannya berdasarkan pengujian eksperimentasi. Kebenaran
ini pun berdasar pada pengamatan/pengindaraan, metodologi, dan penalaran
manusia. Namun, pengamatan dan percobaan dilakukan berkali-kali dan
diverifikasi oleh banyak orang sehingga bias yang terjadi dapat dikendalikan.
Dengan demikian, nilai relatifnya lebih sedikit dibandingkan dengan kebenaran
pengetahuan pertama.
Kebenaran
filsafati adalah pengetahuan yang
kebenarannya dimatangkan dengan pendalaman berpikir rasional, sistematis,
universal, bebas, dan terutama radikal. Dengan demikian, kebenarannya bersifat
subjektif, yaitu bergantung pada kemampuan berpikir subjek atau tiap-tiap orang.
Wahyu
adalah ilmu Tuhan yang nilai kebenarannya bersifat mutlak karena Allah Swt.
bersifat maha sempurna. Nilai kemutlakan tersebut berdasarkan keimanan orang
yang bersangkutan.
Dalam
perbincangan filsafati mengenai kebenaran sangat terkenal sebuah teori yang
bernama korespondensi, Teori Korespondensi.
Menurut teori korespondensi, pengetahuan disebut benar apabila terdapat
persesuaian (berkorespondensi) antara objek dan tanggapan yang mewakilinya pada
subjek. Istilah tanggapan dalam hal ini mencakup pikiran. Dengan perkataan
lain, bersatu dengan pikiran.
Kesatuan
tanggapan –pikiran, pada hakikatnya merupakan suatu pendapat tentang objek.
Dengan menyatakan pendapat tersebut, kita merumuskan pengetahuan kita. Dengan
demikian, kita mengemukakan pendapat. Epistemologi mempersoalkan, “Sampai di
manakah pendapat subjektif sesuai dengan kenyataan yang objektif?”
Patut
kita catat, bahwa pengertian subjek dan predikat tentang pendapat merupakan
pengertian logika. Dipandang dari sudut epistemologi, baik subjek maupun
predikat merupakan objek. Artinya, subjek epistemologis mengenakan predikat
pada subjek logis (= objek epistemologis).
Timbul
pertanyaan, “Bagaimanakah kita dapat mengetahui terjadinya persesuaian?
Pertanyaan ini sebenarnya sukar dijawab, tetapi dapat dikemukakan sebuah
kriteria kebenaran, yaitu eviden. Suatu pendapat menunjukkan eviden, apabila
kebenaran terhadap pengetahuan, mau tidak mau harus kita akui. Mau tidak mau,
kebenaran terhadap pengetahuan harus berdasar pada keyakinan yang menjadi pokok
pikiran atau berdasarkan pertimbangan “seandainya hal itu benar”. Inilah
permulaan atau tumpuan pengetahuan yang tidak kita kenal dengan nama asumsi
atau postulat.
Sebagaimana
telah kita ketahui, sepanjang kebenaran terhadap pengetahuan berdasar pada
kemampuan akal manusia, pengetahuan tidak akan mencapai kebenaran mutlak. Oleh
karena itu, pengetahuan tidak akan dan tidak mungkin menetap. Pengetahuan
senantiasa menjadi, dan selalu berada dalam proses. Pengetahuan bertambah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan keterbukaan seseorang terhadap informasi baru
dan kesediaan seseorang untuk mengolahnya. Dengan perkataan lain, sejalan
dengan keterbukaan atau kesediaan subjek atas stimulus objek.
Daerah
yang semula tidak diketahui akan menjadi diketahui yang semula hanya mengenai
bagian luar suatu daerah akan berkembang menjadi lebih mendalam. Perkembangan
itu terjadi melalui proses pertanyaan berdasarkan keheranan seseorang atas
segala hal yang baru dilihatnya. Boleh jadi, hal yang biasa dilihatnya suatu
saat akan bertambah.
Berdasarkan
hal tersebut, seseorang dihadapkan oleh daerah yang tidak diketahuinya dan
susunan keseluruhan yang tidak diketahuinya tidak akan menimbulkan persoalan.
Seseorang yang tidak akan maju dalam pengetahuannya adalah orang yang tidak
mempersoalkan sesuatu. Termasuk mereka yang tidak peduli terhadap
masalah-masalah yang ada dilingkungan sekitar dan dirinya sendiri. Persoalan
menuntut daerah yang diketahuinya di samping yang tidak diketahuinya. Barang
siapa bertanya, berarti ia mengetahui sesuatu, hanya pengetahuan itu tidak
selengkapnya. Artinya, bahwa orang yang tidak bertanya berarti telah mengetahui
selengkapnya atau tidak tahu sama sekali.
2.
Tiga
masalah dasar pengetahuan
Seluruh
masalah epistemologi berkisar di sekitar kemungkinan manusia mencapai
pengetahauan yang benar. Tiga masalah yang dapat dirumuskan dalam hal ini,
ialah berupa pertanyaan, “Menyangkut apakah dasar atau sumber pengetahuan
kita?, Adakah kemungkinan manusia mencapai pengetahuan mutlak?, dan Adakah
kemungkin manusia mengetahui objek di luar dirinya?” Pertanyaan-pertanyaan itu
akan dipersoalkan dalam dasar pengetahuan, batas pengetahuan, dan objek
pengetahuan.
3.
Dasar
pengetahuan
Dalam
proses mengetahui, pada subjek timbul sesuatu yang mewakili objek. Atas dasar
apakah sesuatu itu timbul? Inilah masalah dasar atau sumber pengetahuan. Dua
jawaban yang utama dikemukakan untuk pertanyaan, yaitu jawaban oleh aliran
rasionalisme dan oleh empirisme.
Rasionalisme
merupakan aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya berdasar
pada akal (rasio). Akal merupakan kesanggupan untuk berpikir. Menurut
rasionalisme, sesuatu yang mewakili objek adalah pikiran. Tanpa pikiran, tentu
saja tidak ada yang dipikirkan, tidak ada yang diketahui, dan tidak ada
pengetahuan. Rasionalisme menolak pengetahuan yang hanya berdasarkan pengamatan
dan pengalaman. Rasionalisme merupakan pengetahuan yang semu. Pengetahuan dapat
menimbulkan kekhilafan atau pembiasaan sebuah pengamatan.
Tiga
tokoh rasionalisme yang utama, ada Rene
Descartes, Leibnitz, dan Wolf.
Descartes adalah
seorang Perancis yang mendapat ajaran tradisional pada biara Katolik. Ia
dikenal atau dianggap banyak ahli sebagai bapak filsafat modern yang berupaya
memutuskan filsafat lama dan filsafat baru. Craig (2005) mengemukakan bahwa Descartes menolak filsafat
Aristotelian yang dianggap eksponen utama filsafat lama yang meyakini dan
mengajarkan otoritas tradisi dan pengindraan. Descartes membangun sistem
filsafati yang melibatkan metode penelitian, metafisika, fisika, dan biologi
mekanistik, serta memperhitungkan psikologi manusia terarah pada etika. Sesudah
lulus dari sekolahnya ia merasa bahwa pengetahuan yang didapatnya tidak cukup
kokoh. Ia membakar buku-bukunya dan mulai menyusun suatu pengetahuan, filsafat
baru. Menurutnya, jika akan memulainya harus ada pangkalnya –titik Archimides.
Ia berhasil menemukan titik pangkal yang tidak diragukannya. Ia tidak meragukan
lagi bahwa ia sedang ragu-ragu. Lalu, ia merumuskan pangkal fisafatnya, yaitu
Aku berpikir, jadi aku ada (cogito ergo
sum). Jadi, akal (berpikir) menjadi pangkal filsafatnya. Oleh karena itu,
aliran ini disebut sebagai aliran rasionalisme.
Leibnitz,
seorang Jerman yang pada usia 17 tahun telah menjadi sarjana. Ia menjadi duta,
tetapi tidak meninggalkan ilmu pasti dan filsafatnya. Teorinya menyatakan,
bahwa segala sesuatu itu terjadi dari monade, tidak ada hubungannya dengan luar
dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Pengetahuan tidak berpangkal di luar diri
kita, tetapi berpangkal diri kita sendiri, yaitu akal. Ia mengemukakan “Doctrine of innate ide” (Innate = dibawa sejak lahir).
Gagasan-gagasan inilah yang membawa kita pada pengetahuan. Pikiran diperoleh
dari diri kita sendiri, dibawa sejak lahir. Misalnya, bujur sangkar tidak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat dipikirkan. Jadi, bujur sangkar ada pada diri kita,
dari gagasan kita.
Wolf,
seorang Jerman yang merupakan eksponen dari rasionalisme. Ia seorang guru besar
yang menyebarkan filsafat yang berkembang pada masa itu, sifatnya rasional.
Kesimpulannya,
kaum rasionalis yakin, bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan atas dasar
rasio, terlepas dari pengalaman. Apa yang dikatakan berdasarkan rasio, itulah
yang benar. Pengetahuan kita senantiasa berdasarkan innate ideas yang berpangkal pada rasio kita.
Empirisme
merupakan aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya
berdasarkan pengalaman atau empiris melalui alat indra. Empirisme menolak
pengetahuan yang semata-mata berdasarkan akal karena dipandang sebagai
spekulasi belaka yang tidak berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai
dengan kenyataan. Pengetahuan sejati harus berdasarkan kenyataan sejati, yaitu
realitas.
Tiga
tokoh terkenal dalam kelompok empiris, yaitu John Locke, Berkeley,
dan David Hume.
John
Locke, seorang dokter Inggris yang juga penasihat raja Inggris yang sangat
hati-hati dalam berbicara. Ucapannya, “Tidak ada sesuatu pada akal yang
sebelumnya tidak ada pada indra kita (kebalikan dari Descartes)”. Jadi, indra
sebagai hal primer, sedangkan akal sebagai hal sekunder yang fungsinya sebagai
penerima. Dengan demikian, ia menolak “Doctrine
of innate ideas”.
George
Berckeley (1685-1753) adalah seorang uskup yang dinobatkan sebagai pendeta pada
1707. Berckeley lebih radikal daripada John Locke. Ucapannya sangat tegas,
“Esse est percipi atau ada karena
diamati”. Karena kemampuan yang luar biasa, ia dapat memadukan kecenderungan
metafisis dan keyakinan agamanya. Ia pernah mengkritik pendahulunya, John
Locke. Kritiknya, ia lontarkan dalam bahasa yang membuat pikiran John Locke sukar
memahaminya. Ia menyatakan, bahwa hakikat bahasa terdapat dalam penggunaan dan
pemahaman ungkapannya yang digunakan dalam struktur tertentu.
David
Hume memberikan contoh penolakannya terhadap “Doctrine of innate ideas” berupa kejadian dalam permainan billiard.
Bola A digerakkan dan bola ini membentur bola B sehingga dengan sendirinya bola
B bergerak. Dalam permainan bola sodok, ada kemungkinan bola A menyebabkan bola
B bergerak. Hume mengatakan sesuatu yang sesuai dengan ucapan Berckeley “Esse est percipi”. Mata saya akan
menatap pada apa yang saya amati. Kita mengamati bola A bergerak, kemudian bola
B bergerak. Saya tidak mengamati bola A yang menyebabkan bola B bergerak,
kemudian bola B bergerak. Akibat itu tidak ada karena tidak teramati.
Sebab-akibat ini termasuk innate ideas
atau idea.
Terhadap
kedua aliran yang ekstrim atau radikal itu, Immanuel Kant mengemukakan pendiriannya yang disebut kritisisme. Aliran ini dianggap sebagai
suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Menurut Kant, pengetahuan
berpangkal pada pengalaman. Hal ini merupakan segi empirisme dari kritisisme.
Pengalaman itu sendiri belum merupakan pengetahuan karena merupakan bahan yang
belum berbentuk. Pengalaman akan menjadi pengetahuan setelah diolah dan
dibentuk oleh akal. Adapun kesanggupan membentuk pada akal merupakan
kesanggupan yang berbentuk apriori, yaitu kesanggupan yang kita miliki tanpa
pengalaman. Hal ini adalah segi rasionalisme teori Kant.
Umumnya,
kritisisme dapat dibenarkan. Akan tetapi, tidak semua jenis pengetahuan dapat
dijangkau atas dasar akal dari pengalaman, misalnya pengetahuan atas bidang
kesusilaan, kesenian, dan keagamaan. Perlu ditinjau pula kemungkinan terhadap
sumber lainnya.
Kita
perlu mengemukakan filsafat Kant lebih jauh karena filsafatnya kerap dianggap
sebagai awal dari filsafat modern. Filsafat sebelum Kant disebut sebagai
filsafat lama, sedangkan filsafat setelah Kant disebut sebagai filsafat modern.
Sebagian orang berpendapat, bahwa filsafat modern dibangun oleh kaum rasionalis
dan empiris, seperti Descartes dan John Locke. Penulis berpendapat, bahwa Bapak
Filsafat Modern adalah Immanuel Kant karena kritisisme telah memperlihatkan
wajah esensial ilmu pengetahuan modern, yaitu berupa keterangan teoretis dan
bukti nyata. Keterangan teoretis di antaranya deduktif, apriori, dan rasional,
sedangkan bukti nyata di antaranya induktif, aposterioris, dan empirisme.
Adapun kaum empiris dan rasionalis dinilai sebagai peletak dasarnya (founding fathers).
Kant
(1724-1804) berasal dari keluarga yang sangat bersahaja. Ayahnya, pembuat
pelana kuda, sedangkan ibunya seorang yang sangat patuh pada suatu aliran dalam
agama Kristen yang disebut pietisme. Ibunya mempunyai keinginan, kelak Kant
menjadi pendeta. Ia berada di Koeningsberg dan tidak pernah keluar dari kota
itu. Mula-mula, ia mempelajari kependetaan, kemudian meninggalkan ilmu agama.
Ketika di universitas, perhatiannya tertujua pada semua ilmu, kecuali agama.
Setelah menyelesaikan studi universitasnya, ia tidak menjadi pendeta. Ia
berkeinginan menjadi guru besar di negerinya, tetapi terlebih dahulu ia harus
menjadi dosen privat. Ia harus mempunyai banyak uang karena tidak mungkin
mengharapkan dari honorarium kuliahnya. Kemudian, ia menjadi guru pada seorang
bangsawan. Oleh karena itu, ia mendapat banyak uang dan menabungnya. Ia
berharap, setelah ia mempunyai uang, ia dapat mewujudkan keinginannya menjadi
dosen privat. Akan tetapi, untuk kedua kalinya, keinginannya belum dapat
terwujud karena Kant bukan seorang bangsawan. Ia hanya menjadi guru biasa. Menjelang
usianya yang tua, ia mendapat pengangkatan sebagai guru besar. Pada saat ia
menjadi guru besar, banyak perhatian tertuju padanya. Mahasiswa dari segenap
penjuru tanah airnya belajar kepadanya. Kant hidup sangat teratur dan tidak
beristri.
Latar
belakang pemikiran yang memengaruhi pemikiran Kant adalah pietisme. Di samping
itu, ia juga berkenalan dengan Newton
yang menyusun ilmu pengetahuan alam. Selain pengaruh pietisme, Kant terpengaruh
juga oleh beberapa ajaran, seperti ajaran Newton yang berdasarkan sebab-akibat
dan ajaran rasionalisme Wolf, salah satunya filsafat Jerman.
Kant
membaca karangan Hume dan berpendapat bahwa Hume telah membangunkannya dari
tidurnya karena Kant tidak pernah memikirkan persoalan innate ideas yang ditemukan Hume. Jika Hume benar, sebaliknya
Newton omong kosong. Kant serupa dengan Gause
menolak Hume, tetapi tidak dapat menimbulkannya. Ia berpendapat, tidak
mungkin pendapat Hume benar. Oleh karena itu, pada usianya yang agak lanjut,
terbitlah buku pertamanya (1781) yang berjudul “Kritik der reinen Vernunft” (Penelaahan Mengenai Budi yang Murni). Adapun
yang dimaksud dengan istilah murni, artinya bahwa masalah itu belum dipengaruhi
pengalaman atau apriori (x aposteriori).
Ada
tiga segi budi (Vernunft), yaitu
sebagai berikut.
1. Sinnlichkeit
atau keindraan menimbulkan pengetahuan melalui alat indra.
2. Verstand
atau akal melahirkan pengertian yang diolah oleh pengertian akali.
3. Vernunft
atau budi dalam arti sempit melahirkan pengetahuan tentang pengertian akali itu.
Kant
berpendirian bahwa pengetahuan kita tidak mungkin berdasarkan pada akal
(rasionalisme) ataupun pengalaman (empirisme) semata. Kant menolak rasionalisme
ataupun empirisme. Ia cenderung mengawinkan kedua aliran itu sehingga timbullah
ajaran Kant yang disebut “Kritisisme”. Ungkapannya, “Pengertian tanpa
pengamatan adalah hampa, pengamatan tanpa pengertian adalah buta”. Ungkapannya
merupakan ungkapan yang menjadi ciri esensial pemahaman ilmu pengetahuannya
yang kemudian mendasari pengetahuan modern.
Ikhtisar
dari Kritik der reinen Vernunft
adalah
I.
Transcendentale
Elementenlehre
1.
Tr.Aestetis
–keindraan
2.
Tr. Logis
a. Tr.
Analitis –akal
b. Tr.
Dialektis –budi
II.
Transcendentale
Methodenlehre
Transcendental dan transenden
Transenden
tidak ada hubungan sama sekali dengan transcendental. Artinya, dalam teori
pengetahuan tentang objek ada dua aliran, ialah realisme dan idealisme. Apabila
saya mengatakan bahwa meja itu ada di depan saya, berarti bahwa ada benda di
luar diri saya. Pendirian ini dibenarkan oleh realisme.
Idealisme
menyatakan, bahwa apa yang sampai kepada saya adalah warna, dan bentuk meja.
Dengan kata lain, apa yang sampai kepada saya ialah tanggapan penglihatan. Jika
meja itu dipegang, apa yang sampai kepada saya ialah tanggapan perabaan.
Adapun
tanggapan-tanggapan itu, seluruhnya ada pada diri saya dan tidak di luar diri
saya. Selanjutnya, idealimse menyatakan bahwa meja itu sebagai benda di luar
diri saya tidak mungkin dijangkau.
Realisme
merupakan aliran yang mengakui adanya benda di luar diri kita, sedangkan
idealisme merupakan aliran yang mengakui bahwa apa yang sampai pada diri kita
terbatas pada tanggapan.
Benda
yang berada di luar diri kita disebut benda yang transenden. Dengan demikian,
terhadap realisme ada benda-benda yang transenden, objek-objek yang transenden.
Terhadap idealisme, tiada objek yang transenden, tetapi hanya mengenal objek
yang immanen, yakni tanggapan yang ada pada diri kita.
Transcendental
berarti tidak mengenai objek, tetapi mengenai kesanggupan kita untuk mengenal
objek ataupun mengenai –Kant –struktur budi kita. Transendental tidak mengenai
objek, tetapi mengenai subjek.
Penyelidikan
transendental ialah penyelidikan untuk menyelesaikan masalah.
Bilamanakah
pengetahuan itu disebut ilmiah? Apakah pengetahuan itu merupakan keharusan,
berlaku mutlak, dan tidak bersyarat? Pandangan Kant ini lain dengan pandangan
sekarang. Perlu ditegaskan di sini,
bahwa Kant dalam menghadapi masalah ini berpangkal pada anggapan dasar, bahwa
ilmu pengetahuan yang sejati itu terbatas pada ilmu pasti dan pengetahuan alam.
Pendirian ini kelak akan disambung oleh positvismus
(Comte). Sampai saat ini, pendirian
ini masih hidup dalam neo positivismus
(Weiner Kreis).
Berikut
ini penjelasan mengenai masalah tersebut
Pendapat Analitis
1. Rumah
itu beratap
Subjek
mencakup predikat
2. Apriori
Pendapat Sintesis
1. Rumah
itu putih
Subjek
tidak mencakup predikat
2. Aposteriori
Kesimpulan
1. merupakan
keharusan;
2. bukan
pengetahuan baru; dan
3. rationalismus.
1. bukan
keharusan;
2. pengetahuan
baru; dan
3. empirismus.
Apabila
kita mendasarkan pengetahuan semata-mata atas akal (rasionalisme), jenis
pendapat yang kita peroleh terbatas pada pendapat analitis. Sebaliknya, jika
kita mendasarkan pengetahuan semata-mata atas pengalaman (empirisme),
pengetahuan yang akan kita peroleh terbatas pada pendapat sintesis.
Pengertian
= sejenis pikiran
Istilah
= kata-kata yang disampaikan, lambang = wakil pengertian
Pendapat
dilambangkan oleh kalimat. Setiap pengertian mempunyai ciri hakiki. Misalnya,
rumah berlantai dan berjendela. Dengan demikian, subjek telah mencakup
predikat. Namun, tidak demikian pada contoh, “Rumah itu putih”. Jika saya sudah
mengenal rumah, saya akan mengenai atap.
Pendapat
sintesis apriori:
1. merupakan
keharusan; dan
2. merupakan
pengetahuan baru karena alasan sebagai berikut.
·
Sintesis
merupakan pembaharuan.
·
Apriori
merupakan keharusan.
Menurut
Kant, pengetahuan ilmiah terdiri dari pendapat sintesis apriori.
Memikirkan
sesuatu berarti menambah masalah.
Masalah
pokok Kritik der reinen Vernunft
adalah “Bagaimanakah penyusunan pendapat sintesis apriori?”
“Apakah
perbedaan antara “istilah” dan “pengertian”?”
Pengertiannya
adalah jika mendengar istilah bangku, timbul pikiran mengenai bangku itu.
Pikiran adalah hasil berpikir.
Istilah
atau lambang adalah kata yang diucapkan atau dituliskan, disampaikan dengan
cara apa saja.
Pendapat
dilambangkan dalam kalimat. Istilah tidak dapat disebut kata karena istilah ini
kadang-kadang lebih dari satu kata, misalnya rumah batu.
Transendental
estetis
Bagian
ini meneliti keindraan. Alat indra kita menimbulkan tanggapan. Contoh, rumah
dapat diabstraksikan sebagai sifatnya (cirinya), seperti atap dan lantai. Akan
tetapi, tidak mungkin kita mengabstraksikan ruang, waktu, dan benda itu tanpa
meniadakan pengetahuan itu sendiri. Mengabstraksikan = mengurangi.
Menurut
Kant, setiap benda harus memenuhi ruang serta berlangsung dalam waktu.
Tanggapan ruang dan waktu merupakan satu syarat mutlak bagi setiap pengalaman
atau pengamatan suatu benda. Menurut Kant, ruang dan waktu disebut sebagai
bentuk pengamatan yang apriori (sebelum pengalaman). Dengan kata lain, kita
mengamati sesuatu dalam ruang dan waktu bukan karena adanya ruang dan waktu
pada objek, melainkan berkat keindraan yaitu suatu kesanggupan budi kita.
Dengan kata lain, suatu makhluk yang tidak memiliki keindraan, tidak mungkin
mengamati ruang dan waktu.
Adapun
ruang dan waktu tersebut bukan innate
idea, melainkan termasuk struktur budi kita. Misalnya, seseorang yang
memakai kaca mata biru, segala sesuatu yang dilihatnya biru.
Ilmu
pasti dimungkinkan oleh bentuk pengamatan apriori karena ada keindraan pada
budi yang memiliki struktur bentuk-bentuk apriori sehingga dapat menyusun ruang
dan waktu. Ilmu pasti terbagi menjadi dua, yaitu ilmu ukur dan ilmu hitung.
Ilmu
ukur berdasarkan ruang. Dalam menyusun ilmu ukur dibutuhkan
kesanggupan-kesanggupan untuk mengamati ruangan.
Contoh,
pendapat ilmu, bahwa garis lurus merupakan hubungan terpendek di antara dua
titik. Pembuktian bahwa pendapat itu adalah pendapat sintesis apriori adalah
tugas kita selanjutnya.
Sintesis
karena pengertian pendek dalam predikat tidak tercakup dalam subjek garis
lurus. Apriori di sini berdasarkan ruang. Dengan demikian, pendapat tersebut
merupakan pendapat sintetis apriori, sedangkan ilmu ukur merupakan ilmu
pengetahuan.
Ilmu
hitung dibentuk berdasarkan waktu. Contohnya, pendapat ilmu hitung: 7 + 5 = 12
S P
Sintetis
subjek 7 + 5 hanya mencakup pengertian 5 dan pengertian +7, tetapi tidak
mencakup pengertian 12. Apriori, tiap-tiap bilangan diperoleh dengan cara
menghitung. Menghitung berlangsung dalam waktu yang sifatnya apriori.
Ilmu
hitung terdiri atas pendapat sintetis apriori. Ilmu hitung merupakan ilmu
pengetahuan.
Transendental
logika
Sebelumnya,
Kant memakai logika Aristoteles. Ia menyatakan, bahwa logika Aristoteles sudah
lengkap dan sempurna. Masalah yang terdapat dalam logika Aristoteles adalah
“Bagaimanakah saya dapat menghubungkan suatu pengertian lain agar diperoleh
pendapat yang tepat?”
Transendental
logika dari Kant mempertanyakan, “Bagaimanakah akal kita dapat membentuk
pengertian yang berhubungan serta bersesuaian dengan suatu objek?”
Pikiran
_ _ _ _ _ _ Lambang
Pengertian
_ _ _ _ _ _ Istilah
Pendapat
_ _ _ _ _ _ Kalimat
Perdalilan _ _ _ _ _ _ Uraian
Transendental
Analitika
Menurut
Kant, serupa dengan keindraan kita, struktur akal kita mencakup bentuk-bentuk
akal atau kategori antara lain kausalitas (sebab-akibat).
Kant
setuju dengan Hume bahwa sebab-akibat tidak dapat diamati. Oleh karena itu,
kausalitas itu tidak ada Kant berpendapat, bahwa A menyebabkan B dimungkinkan
oleh adanya kategori kausalitas yang termasuk struktur akal kita. Suatu makhluk
yang tidak mencakup kesanggupan itu tidak akan “melihat” sebab-akibat.
Dengan
demikian, baik dalam hubungan keindraan maupun akal kita, terjadi apa yang
disebut Kant perkisaran Copernicus,
yaitu pergantian dari teori geosentris menjadi heliosentris. Bukan matahari
yang beredar di sekitar bumi, melainkan bumi yang beredar di sekitar matahari.
Menurut
Kant, bukan pengamatan serta pengertian kita yang bergantung pada objek,
melainkan objek yang bergantung pada pengamatan atau keindraan. Pengertian
(akal) kita, yaitu pengertian pada empirisme yang berpangkal pada objek.
Menurut Kant, pengetahuan berpangkal pada subjek (budi dalam arti yang luas),
dan materi yang dihampiri subjek itu.
Bagaimanakah
Kant sampai pada kategori-kategori tersebut? Pada dasarnya, kategori itu
merupakan pengertian yang paling umum. Untuk mengenal struktur pengertian itu,
hendaknya kita menelaah pembentukan pengertian. Pada hakikatnya, pembentukan
suatu pengertian berarti menghubungkan ciri dengan ciri. Pada asasnya,
pembentukan pengertian identik dengan penyusunan pendapat (= hubungan antara
pengertian dan pengertian).
Atas
dasar ini, Kant berkesimpulan, bahwa dengan meneliti jenis-jenis pendapat, kita
akan mencapai jenis-jenis struktur hubungan. Inilah kategori yang dicari.
Pengertian
------------> Pendapat
Hubungan
Hubungan
Kategori
Jenis-jenis
pendapat
Jenis-jenis
pendapat berguna untuk mengetahui kategori.
I.
Kuantitas
1. singular,
keesaan: A = B: Akhmad itu anak pandai
2. partikular,
kejamakan: Beberapa A=B:Beberapa anak sakit
3. umum,
kesemestaan: Segenap A=B:Segenap murid sekolah itu adalah laki-laki
II.
Kualitas
1. positif,
keadaan:A=B:Akhmad itu anak pandai
2. negatif,
ketiadan:A=B:Akhmad itu tidak pandai
3. infinitif,
ketidakterbatasaan:A=non B:Man is unpredictable
III.
Relasi
1. kategori,
aksidensi A=B:Akhmad anak pandai
2. hipotesis,
sebab-akibat:Jika A maka B:Jika diberi pupuk, tanaman itu subur.
3. disjunktif,
hubungan timbal-balik:A=B atau C:Orang itu sehat atau sakit
IV.
Modalitas
1. problematis,
kemungkinan –ketidakmungkinan:A mungkin B:Hari ini saya mungkin ke Jakarta
2. asertoris,
keadaan –ketidakadaan:A=B:Hari ini saya ke Jakarta
3. apodiktis,
keharusan –kebetulan:A harus = B:Hari ini saya harus ke Jakarta
Keterangan:
I.
singular = satu
yang tertentu
partikular
= khusus, setiap kalimat yang mengatakan tentang beberapa
umum
= segenap
II.
infinitif =
tidak terbatas
negatif
= sanggahan pada kopula
infinitif
= sanggahan pada predikat, dalam hal ini infinitif dan finitif sama saja,
bergantung pada bagaimana kita memandangnya
infintif
= limited
III.
kualitas
mempersoalkan kebenaran (to be)
IV.
modalitas mempersoalkan
eksistensi, dan keberadaan membicarakan mungkin, harus, dan demikian adanya
Demikianlah,
Kant sampai pada jawaban terhadap pertanyaan, “Bagaimanakah kita memperoleh
pengalaman atau mengalami (mengamati) suatu objek?”
Jawaban:Berdasarkan
bentuk apriori yang ada pada keindraan, serta akal saja, saya menghampiri
sesuatu di luar diri saya sehingga terbentuklah objek.
Demikianlah,
tidak ada objek yang terlepas dari subjek, yaitu budi dalam arti luas.
Pengertian
pengalaman menurut Kant berbeda dengan pengalaman mengenai empirisme. Menurut
Kant, objek dibedakan antara neumenon
(an-sich) yang tidak menampakan diri
dan phaenomenon (fuer-sich), yakni objek yang menampakka diri.
Neumenon
menimbulkan phaenomenon, tetapi tidak
dapat dan tidak mungkin dikenal. Adapun ilmu pengetahuan empiris terbatas pada
fenomenon. Masalahnya sekarang, “Bagaimanakah akal itu senantiasa mengetahui
dengan tepat? Kategori mana yang harus digunakan untuk menghampiri materi yang
belum terolah itu?” Menurut Kant, hal itu berdasarkan Einbildungskraft yang ada pada akal kita. Tanpa adanya daya
tersebut, tidak ada objek, tetapi chaos,
khaos (sesuatu yang tidak berbentuk).
Daya menjadikan khaos itu kosmos (cosmos), yaitu dunia yang berobjek. Daya menyatakan mensintesis
sehingga hal-hal tertentu menunjukkan hubungan-hubungan tertentu sehingga
menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa daya, keindraan kita hanya
menimbulkan berbagai tanggapan yang tidak berhubungan.
4.
Batas
pengetahuan
Wajar
saja jika ada orang yang mengubah pendapatnya, meskipun ketika pendapat itu
lahir, ia mempertahankan dan mengemukakannya dengan penuh keyakinan. Mengenai
banyak hal, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, kerap kita temukan
suatu teori dibantah oleh teori lain yang lebih baru. Oleh karena itu,
timbullah pertanyaan, “Apakah ilmu pengetahuan, teori, bahkan asumsi itu
berlaku seumur hidup, tidak berubah, dan bersifat mutlak, atau sementara saja?
Dapatkah kita mencapai kebenaran mutlak?
Sebagian
orang berpendapat, bahwa kebenaran mutlak dapat kita capai dan ada pula yang
menolak kemungkinan itu. Pendirian pertama disebut dogmatisme dan yang kedua
disebut skeptisme.
Dogmatisme
ialah aliran yang berpendapat, bahwa kebenaran mutlak dapat dicapai. Artinya,
bahwa manusia melalui ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran sempurna dan
abadi, setidaknya pengetahuan itu dapat mencapai taraf yang sempurna. Sebagian
besar penganut aliran ini adalah kaum agama yang meyakini adanya kebenaran yang
datang atau ditemukan melalui wahyu. Pendapat ini ditolak skeptisisme karena
keyakinan dogmatisme dianggap tidak didasari oleh penelaahan yang dilakukan
secara tertib mengenai dasar diperolehnya kebenaran.
Sebaliknya
skpetisisme berpendapat, bahwa orang tidak mungkin mencapai pengetahuan yang
benar karena mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut, terbatas pada
penggunaan akal yang akan berubah secara terus-menerus dari generasi ke
generasi. Apa yang dicapai ilmu pengetahuan saat ini akan berbeda jika
dibandingkan dengan apa yang dicapai pada masa lalu, begitu pula pada masa yang
akan datang. Skeptisisme disebut juga relativisme.
Aliran
yang sangat terkenal saat ini adalah pragmatisme.
Pragmatisme menekankan pada hal-hal yang berguna untuk diperbincangkan,
termasuk aliran skeptisisme. Mereka berpendapat, bahwa orang tidak mungkin
mengetahui apakah pengetahuan itu benar atau tidak. Namun, hal itu bukan
masalah karena kebenaran pengetahuan itu tidak penting. Hal yang penting adalah
“Apakah kita dapat berbuat atas dasar pendapat atau pengetahuan kita? Apakah
perbuatan yang berdasarkan pengetahuan itu bermanfaat atau tidak?”Dengan
perkataan lain,”Apakah pendapat kita itu berguna atau tidak?”Dengan demikian,
pragmatisme berpendapat, bahwa sesuatu yang berguna, itulah yang benar.
5.
Objek
pengetahuan
Apakah
objek pengetahuan itu? Apakah objek pengetahuan itu ada di luar diri kita
ataukah terbatas pada sesuatu yang mewakilinya pada diri kita (subjek)?
Pendirian yang pertama disebut realisme, ialah yang berpendapat bahwa objek
pengetahuan itu ada pada dunia nyata atau realitas, sedangkan yang kedua
disebut idealisme, ialah yang meyakini bahwa objek pengetahuan itu ada di dalam
diri, di dalam pikiran manusia.
Menurut
realisme, pengetahuan kita merupakan suatu reproduksi, gambaran dari objek yang
ada di luar diri kita. Subjek dapat diumpamakan sebagai suatu alat potret yang
memantulkan bayangan objek yang sesungguhnya. Ada dua jenis realisme, ialah
yang berifat natif atau natur yang tidak memberi alasan, dan yang bersifat
kritis yang memberi alasan.
Hal
ini berbeda dengan pandangan idealisme. Menurut idealisme, pengetahuan itu
merupakan hasil pembentukan dan penyusunan. Menurut realisme, objek pengetahuan
kita adalah objek yang ada di luar diri kita. Menurut idealisme, objek itu
terbatas pada sesuatu yang mewakili objek pada subjek dan meragukan adanya
objek di luar diri subjek.
Baik
realisme maupun idealisme mengakui sesuatu yang mewakili objek pada subjek.
Hanya bagi realisme, objek merupakan reproduksi kenyataan, yaitu ada sesuatu
yang datang pada diri kita dari luar diri kita. Sebaliknya menurut idealisme,
sesuatu itu menuntut pembentukan yang berasal dari diri kita sendiri.
Ada
dua jenis idealisme, yaitu idealisme objektif yang tidak mengakui objek di luar
diri kita (membentuk objek), dan idealisme subjektif yang menerima objek di
luar diri kita.
Sumber : Buku
Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar