Selasa, 21 Oktober 2014

Epistemologi


 
Bagaimanakah suatu pikiran dapat terbentuk? Pertanyaan ini merupakan masalah dalam epistemologi. Sebuah pendapat merupakan pendapat tentang sesuatu. Kita hanya dapat menyusunnya, apabila kita benar-benar memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Epistemologi memang bagian filsafat yang mempersoalkan berbagai pengertian, seperti mengetahui, pengetahuan, kepastian, atau kebenaran pengetahuan.
1.      Mengetahui
Mengetahui menunjuk pada dua hal, yaitu subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Mengetahui berarti menghubungkan subjek dan objek. Pengetahuan ialah hubungan. Pengetahuan menuntut kesadaran seseorang akan pengetahuan. Artinya, bahwa seseorang mengetahui bahan yang diketahuinya. Selanjutnya, hal yang sangat penting dan sering dilupakan, bahwa menyadari pengetahuan berarti dapat merumuskan pengetahuan tersebut ke dalam bahasa. Semakin sanggup seseorang merumuskan pengetahuan ke dalam bahasa, semakin sadar pula ia akan pengetahuan. Semakin tertib seseorang dalam mengetahui sesuatu, semakin mendalamlah pengetahuannya.
Objek itu hanya menjadi objek dalam hubungannya dengan subjek, yaitu secepat diketahui subjek. Karena hubungan itu, terjadilah perubahan pada subjek. Artinya, adanya tanggapan terhadap objek yang mewakili objek pada subjek. Kita mengetahui sesuatu karena kita mengamatinya sehingga muncullah tanggapan objek pada diri subjek, yaitu kita yang mengamati. Adapun yang mewakili objek pada subjek tidak terbatas pada tanggapan. Kita senantiasa mengetahui lebih daripada apa yang dapat kita amati sehingga kita dapat menanggapinya. Beberapa segi yang dapat kita ketahui dari objek berdasarkan upaya menyimpulkan atau kesimpulan karena kita berpikir. Objek tersebut diwakili pada subjek oleh tanggapan dan pikiran subjek. Pengetahuan tentang sesuatu kerap mengandung subjektivtas karena terkandung pemikiran yang didasari kekuatan atau kemampuan subjek untuk memikir dan memahaminya. Kemampuan itu sering berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.
Subjek berubah karena ia mengetahui sesuatu. Bagaimanakah dengan objek? Tentu saja objek tidak dapat berubah. Apabila objek berubah, apa yang kita ketahui saat ini berlainan dengan apa yang kita ketahui. Namun, tidak berarti bahwa subjek itu aktif dan objek itu pasif. Subjek dapat mengetahui objek jika subjek tersinggung melalui rangsangan oleh objek. Untuk dapat tersinggung hendaknya subjek membuka diri terhadap objek sehingga objek dengan leluasa mengetahui subjek. Artinya, bahwa subjek menyelami objek dari segenap segi dengan sedalam-dalamnya. Hal ini tidak mungkin dilakukakannya dengan alat indra (pengamatan) dan akal (pemikiran) semata-mata, tetapi diselami oleh seluruh kepribadian. Hanya dengan keseluruhan kepribadian akan tercapai pengetahuan yang benar.
Namun, hal itu tidak berhenti di situ. Ada masalah besar yang kemudian menyongsongnya, “Apakah benar atau kebenaran itu? Apakah benar atau kebenaran itu bersifat mutlak, mandiri tidak bergantung pada lingkungan sekitar atau hal lain? Atau, benarkah kebenaran itu bersifat relatif, bergantung pada waktu, tempat, orang, pihak, dan suasananya?”.
Berdasarkan telaahan Muchlas atas Al-Quran, terdapat empat kategori kebenaran, yaitu kebenaran pengetahuan, kebenaran ilmu, kebenaran filsafat, dan kebenaran wahyu.
Kebenaran pengetahuan ialah kebenaran yang diperoleh manusia sebagai hasil dari pengindraan. Kebenaran ini bersifat relatif karena sangat bergantung pada daya pengindraan atau sensitivitas pengindraan seseorang. Sensitivitas seseorang, satu sama lainnya berbeda. Ada orang yang sangat sensitif pada salah satu atau beberapa indranya, dan ada pula orang yang kurang sensitif pada alat indra lainnya.
Kebenaran ilmu atau kebenaran ilmiah ialah pengetahuan yang kebenarannya berdasarkan pengujian eksperimentasi. Kebenaran ini pun berdasar pada pengamatan/pengindaraan, metodologi, dan penalaran manusia. Namun, pengamatan dan percobaan dilakukan berkali-kali dan diverifikasi oleh banyak orang sehingga bias yang terjadi dapat dikendalikan. Dengan demikian, nilai relatifnya lebih sedikit dibandingkan dengan kebenaran pengetahuan pertama.
Kebenaran filsafati adalah pengetahuan yang kebenarannya dimatangkan dengan pendalaman berpikir rasional, sistematis, universal, bebas, dan terutama radikal. Dengan demikian, kebenarannya bersifat subjektif, yaitu bergantung pada kemampuan berpikir subjek atau tiap-tiap orang.
Wahyu adalah ilmu Tuhan yang nilai kebenarannya bersifat mutlak karena Allah Swt. bersifat maha sempurna. Nilai kemutlakan tersebut berdasarkan keimanan orang yang bersangkutan.
Dalam perbincangan filsafati mengenai kebenaran sangat terkenal sebuah teori yang bernama korespondensi, Teori Korespondensi. Menurut teori korespondensi, pengetahuan disebut benar apabila terdapat persesuaian (berkorespondensi) antara objek dan tanggapan yang mewakilinya pada subjek. Istilah tanggapan dalam hal ini mencakup pikiran. Dengan perkataan lain, bersatu dengan pikiran.
Kesatuan tanggapan –pikiran, pada hakikatnya merupakan suatu pendapat tentang objek. Dengan menyatakan pendapat tersebut, kita merumuskan pengetahuan kita. Dengan demikian, kita mengemukakan pendapat. Epistemologi mempersoalkan, “Sampai di manakah pendapat subjektif sesuai dengan kenyataan yang objektif?”
Patut kita catat, bahwa pengertian subjek dan predikat tentang pendapat merupakan pengertian logika. Dipandang dari sudut epistemologi, baik subjek maupun predikat merupakan objek. Artinya, subjek epistemologis mengenakan predikat pada subjek logis (= objek epistemologis).
Timbul pertanyaan, “Bagaimanakah kita dapat mengetahui terjadinya persesuaian? Pertanyaan ini sebenarnya sukar dijawab, tetapi dapat dikemukakan sebuah kriteria kebenaran, yaitu eviden. Suatu pendapat menunjukkan eviden, apabila kebenaran terhadap pengetahuan, mau tidak mau harus kita akui. Mau tidak mau, kebenaran terhadap pengetahuan harus berdasar pada keyakinan yang menjadi pokok pikiran atau berdasarkan pertimbangan “seandainya hal itu benar”. Inilah permulaan atau tumpuan pengetahuan yang tidak kita kenal dengan nama asumsi atau postulat.
Sebagaimana telah kita ketahui, sepanjang kebenaran terhadap pengetahuan berdasar pada kemampuan akal manusia, pengetahuan tidak akan mencapai kebenaran mutlak. Oleh karena itu, pengetahuan tidak akan dan tidak mungkin menetap. Pengetahuan senantiasa menjadi, dan selalu berada dalam proses. Pengetahuan bertambah dari waktu ke waktu, sejalan dengan keterbukaan seseorang terhadap informasi baru dan kesediaan seseorang untuk mengolahnya. Dengan perkataan lain, sejalan dengan keterbukaan atau kesediaan subjek atas stimulus objek.
Daerah yang semula tidak diketahui akan menjadi diketahui yang semula hanya mengenai bagian luar suatu daerah akan berkembang menjadi lebih mendalam. Perkembangan itu terjadi melalui proses pertanyaan berdasarkan keheranan seseorang atas segala hal yang baru dilihatnya. Boleh jadi, hal yang biasa dilihatnya suatu saat akan bertambah.
Berdasarkan hal tersebut, seseorang dihadapkan oleh daerah yang tidak diketahuinya dan susunan keseluruhan yang tidak diketahuinya tidak akan menimbulkan persoalan. Seseorang yang tidak akan maju dalam pengetahuannya adalah orang yang tidak mempersoalkan sesuatu. Termasuk mereka yang tidak peduli terhadap masalah-masalah yang ada dilingkungan sekitar dan dirinya sendiri. Persoalan menuntut daerah yang diketahuinya di samping yang tidak diketahuinya. Barang siapa bertanya, berarti ia mengetahui sesuatu, hanya pengetahuan itu tidak selengkapnya. Artinya, bahwa orang yang tidak bertanya berarti telah mengetahui selengkapnya atau tidak tahu sama sekali.   
2.      Tiga masalah dasar pengetahuan
Seluruh masalah epistemologi berkisar di sekitar kemungkinan manusia mencapai pengetahauan yang benar. Tiga masalah yang dapat dirumuskan dalam hal ini, ialah berupa pertanyaan, “Menyangkut apakah dasar atau sumber pengetahuan kita?, Adakah kemungkinan manusia mencapai pengetahuan mutlak?, dan Adakah kemungkin manusia mengetahui objek di luar dirinya?” Pertanyaan-pertanyaan itu akan dipersoalkan dalam dasar pengetahuan, batas pengetahuan, dan objek pengetahuan.
3.      Dasar pengetahuan
Dalam proses mengetahui, pada subjek timbul sesuatu yang mewakili objek. Atas dasar apakah sesuatu itu timbul? Inilah masalah dasar atau sumber pengetahuan. Dua jawaban yang utama dikemukakan untuk pertanyaan, yaitu jawaban oleh aliran rasionalisme dan oleh empirisme.
Rasionalisme merupakan aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya berdasar pada akal (rasio). Akal merupakan kesanggupan untuk berpikir. Menurut rasionalisme, sesuatu yang mewakili objek adalah pikiran. Tanpa pikiran, tentu saja tidak ada yang dipikirkan, tidak ada yang diketahui, dan tidak ada pengetahuan. Rasionalisme menolak pengetahuan yang hanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman. Rasionalisme merupakan pengetahuan yang semu. Pengetahuan dapat menimbulkan kekhilafan atau pembiasaan sebuah pengamatan.
Tiga tokoh rasionalisme yang utama, ada Rene Descartes, Leibnitz, dan Wolf.
Descartes adalah seorang Perancis yang mendapat ajaran tradisional pada biara Katolik. Ia dikenal atau dianggap banyak ahli sebagai bapak filsafat modern yang berupaya memutuskan filsafat lama dan filsafat baru. Craig (2005) mengemukakan bahwa Descartes menolak filsafat Aristotelian yang dianggap eksponen utama filsafat lama yang meyakini dan mengajarkan otoritas tradisi dan pengindraan. Descartes membangun sistem filsafati yang melibatkan metode penelitian, metafisika, fisika, dan biologi mekanistik, serta memperhitungkan psikologi manusia terarah pada etika. Sesudah lulus dari sekolahnya ia merasa bahwa pengetahuan yang didapatnya tidak cukup kokoh. Ia membakar buku-bukunya dan mulai menyusun suatu pengetahuan, filsafat baru. Menurutnya, jika akan memulainya harus ada pangkalnya –titik Archimides. Ia berhasil menemukan titik pangkal yang tidak diragukannya. Ia tidak meragukan lagi bahwa ia sedang ragu-ragu. Lalu, ia merumuskan pangkal fisafatnya, yaitu Aku berpikir, jadi aku ada (cogito ergo sum). Jadi, akal (berpikir) menjadi pangkal filsafatnya. Oleh karena itu, aliran ini disebut sebagai aliran rasionalisme.
Leibnitz, seorang Jerman yang pada usia 17 tahun telah menjadi sarjana. Ia menjadi duta, tetapi tidak meninggalkan ilmu pasti dan filsafatnya. Teorinya menyatakan, bahwa segala sesuatu itu terjadi dari monade, tidak ada hubungannya dengan luar dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Pengetahuan tidak berpangkal di luar diri kita, tetapi berpangkal diri kita sendiri, yaitu akal. Ia mengemukakan “Doctrine of innate ide” (Innate = dibawa sejak lahir). Gagasan-gagasan inilah yang membawa kita pada pengetahuan. Pikiran diperoleh dari diri kita sendiri, dibawa sejak lahir. Misalnya, bujur sangkar tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat dipikirkan. Jadi, bujur sangkar ada pada diri kita, dari gagasan kita.
Wolf, seorang Jerman yang merupakan eksponen dari rasionalisme. Ia seorang guru besar yang menyebarkan filsafat yang berkembang pada masa itu, sifatnya rasional.
Kesimpulannya, kaum rasionalis yakin, bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan atas dasar rasio, terlepas dari pengalaman. Apa yang dikatakan berdasarkan rasio, itulah yang benar. Pengetahuan kita senantiasa berdasarkan innate ideas yang berpangkal pada rasio kita.
Empirisme merupakan aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya berdasarkan pengalaman atau empiris melalui alat indra. Empirisme menolak pengetahuan yang semata-mata berdasarkan akal karena dipandang sebagai spekulasi belaka yang tidak berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan sejati harus berdasarkan kenyataan sejati, yaitu realitas.
Tiga tokoh terkenal dalam kelompok empiris, yaitu John Locke, Berkeley, dan David Hume.
John Locke, seorang dokter Inggris yang juga penasihat raja Inggris yang sangat hati-hati dalam berbicara. Ucapannya, “Tidak ada sesuatu pada akal yang sebelumnya tidak ada pada indra kita (kebalikan dari Descartes)”. Jadi, indra sebagai hal primer, sedangkan akal sebagai hal sekunder yang fungsinya sebagai penerima. Dengan demikian, ia menolak “Doctrine of innate ideas”.
George Berckeley (1685-1753) adalah seorang uskup yang dinobatkan sebagai pendeta pada 1707. Berckeley lebih radikal daripada John Locke. Ucapannya sangat tegas, “Esse est percipi atau ada karena diamati”. Karena kemampuan yang luar biasa, ia dapat memadukan kecenderungan metafisis dan keyakinan agamanya. Ia pernah mengkritik pendahulunya, John Locke. Kritiknya, ia lontarkan dalam bahasa yang membuat pikiran John Locke sukar memahaminya. Ia menyatakan, bahwa hakikat bahasa terdapat dalam penggunaan dan pemahaman ungkapannya yang digunakan dalam struktur tertentu.
David Hume memberikan contoh penolakannya terhadap “Doctrine of innate ideas” berupa kejadian dalam permainan billiard. Bola A digerakkan dan bola ini membentur bola B sehingga dengan sendirinya bola B bergerak. Dalam permainan bola sodok, ada kemungkinan bola A menyebabkan bola B bergerak. Hume mengatakan sesuatu yang sesuai dengan ucapan Berckeley “Esse est percipi”. Mata saya akan menatap pada apa yang saya amati. Kita mengamati bola A bergerak, kemudian bola B bergerak. Saya tidak mengamati bola A yang menyebabkan bola B bergerak, kemudian bola B bergerak. Akibat itu tidak ada karena tidak teramati. Sebab-akibat ini termasuk innate ideas atau idea.
Terhadap kedua aliran yang ekstrim atau radikal itu, Immanuel Kant mengemukakan pendiriannya yang disebut kritisisme. Aliran ini dianggap sebagai suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Menurut Kant, pengetahuan berpangkal pada pengalaman. Hal ini merupakan segi empirisme dari kritisisme. Pengalaman itu sendiri belum merupakan pengetahuan karena merupakan bahan yang belum berbentuk. Pengalaman akan menjadi pengetahuan setelah diolah dan dibentuk oleh akal. Adapun kesanggupan membentuk pada akal merupakan kesanggupan yang berbentuk apriori, yaitu kesanggupan yang kita miliki tanpa pengalaman. Hal ini adalah segi rasionalisme teori Kant.      
Umumnya, kritisisme dapat dibenarkan. Akan tetapi, tidak semua jenis pengetahuan dapat dijangkau atas dasar akal dari pengalaman, misalnya pengetahuan atas bidang kesusilaan, kesenian, dan keagamaan. Perlu ditinjau pula kemungkinan terhadap sumber lainnya.
Kita perlu mengemukakan filsafat Kant lebih jauh karena filsafatnya kerap dianggap sebagai awal dari filsafat modern. Filsafat sebelum Kant disebut sebagai filsafat lama, sedangkan filsafat setelah Kant disebut sebagai filsafat modern. Sebagian orang berpendapat, bahwa filsafat modern dibangun oleh kaum rasionalis dan empiris, seperti Descartes dan John Locke. Penulis berpendapat, bahwa Bapak Filsafat Modern adalah Immanuel Kant karena kritisisme telah memperlihatkan wajah esensial ilmu pengetahuan modern, yaitu berupa keterangan teoretis dan bukti nyata. Keterangan teoretis di antaranya deduktif, apriori, dan rasional, sedangkan bukti nyata di antaranya induktif, aposterioris, dan empirisme. Adapun kaum empiris dan rasionalis dinilai sebagai peletak dasarnya (founding fathers).
Kant (1724-1804) berasal dari keluarga yang sangat bersahaja. Ayahnya, pembuat pelana kuda, sedangkan ibunya seorang yang sangat patuh pada suatu aliran dalam agama Kristen yang disebut pietisme. Ibunya mempunyai keinginan, kelak Kant menjadi pendeta. Ia berada di Koeningsberg dan tidak pernah keluar dari kota itu. Mula-mula, ia mempelajari kependetaan, kemudian meninggalkan ilmu agama. Ketika di universitas, perhatiannya tertujua pada semua ilmu, kecuali agama. Setelah menyelesaikan studi universitasnya, ia tidak menjadi pendeta. Ia berkeinginan menjadi guru besar di negerinya, tetapi terlebih dahulu ia harus menjadi dosen privat. Ia harus mempunyai banyak uang karena tidak mungkin mengharapkan dari honorarium kuliahnya. Kemudian, ia menjadi guru pada seorang bangsawan. Oleh karena itu, ia mendapat banyak uang dan menabungnya. Ia berharap, setelah ia mempunyai uang, ia dapat mewujudkan keinginannya menjadi dosen privat. Akan tetapi, untuk kedua kalinya, keinginannya belum dapat terwujud karena Kant bukan seorang bangsawan. Ia hanya menjadi guru biasa. Menjelang usianya yang tua, ia mendapat pengangkatan sebagai guru besar. Pada saat ia menjadi guru besar, banyak perhatian tertuju padanya. Mahasiswa dari segenap penjuru tanah airnya belajar kepadanya. Kant hidup sangat teratur dan tidak beristri.
Latar belakang pemikiran yang memengaruhi pemikiran Kant adalah pietisme. Di samping itu, ia juga berkenalan dengan Newton yang menyusun ilmu pengetahuan alam. Selain pengaruh pietisme, Kant terpengaruh juga oleh beberapa ajaran, seperti ajaran Newton yang berdasarkan sebab-akibat dan ajaran rasionalisme Wolf, salah satunya filsafat Jerman.
Kant membaca karangan Hume dan berpendapat bahwa Hume telah membangunkannya dari tidurnya karena Kant tidak pernah memikirkan persoalan innate ideas yang ditemukan Hume. Jika Hume benar, sebaliknya Newton omong kosong. Kant serupa dengan Gause menolak Hume, tetapi tidak dapat menimbulkannya. Ia berpendapat, tidak mungkin pendapat Hume benar. Oleh karena itu, pada usianya yang agak lanjut, terbitlah buku pertamanya (1781) yang berjudul “Kritik der reinen Vernunft” (Penelaahan Mengenai Budi yang Murni). Adapun yang dimaksud dengan istilah murni, artinya bahwa masalah itu belum dipengaruhi pengalaman atau apriori (x aposteriori).
Ada tiga segi budi (Vernunft), yaitu sebagai berikut.
1.      Sinnlichkeit atau keindraan menimbulkan pengetahuan melalui alat indra.
2.      Verstand atau akal melahirkan pengertian yang diolah oleh pengertian akali.
3.      Vernunft atau budi dalam arti sempit melahirkan pengetahuan tentang pengertian akali itu.
Kant berpendirian bahwa pengetahuan kita tidak mungkin berdasarkan pada akal (rasionalisme) ataupun pengalaman (empirisme) semata. Kant menolak rasionalisme ataupun empirisme. Ia cenderung mengawinkan kedua aliran itu sehingga timbullah ajaran Kant yang disebut “Kritisisme”. Ungkapannya, “Pengertian tanpa pengamatan adalah hampa, pengamatan tanpa pengertian adalah buta”. Ungkapannya merupakan ungkapan yang menjadi ciri esensial pemahaman ilmu pengetahuannya yang kemudian mendasari pengetahuan modern.
Ikhtisar dari Kritik der reinen Vernunft adalah
I.            Transcendentale Elementenlehre
1.      Tr.Aestetis –keindraan
2.      Tr. Logis
a.       Tr. Analitis –akal
b.      Tr. Dialektis –budi
II.            Transcendentale Methodenlehre
Transcendental dan transenden
Transenden tidak ada hubungan sama sekali dengan transcendental. Artinya, dalam teori pengetahuan tentang objek ada dua aliran, ialah realisme dan idealisme. Apabila saya mengatakan bahwa meja itu ada di depan saya, berarti bahwa ada benda di luar diri saya. Pendirian ini dibenarkan oleh realisme.
Idealisme menyatakan, bahwa apa yang sampai kepada saya adalah warna, dan bentuk meja. Dengan kata lain, apa yang sampai kepada saya ialah tanggapan penglihatan. Jika meja itu dipegang, apa yang sampai kepada saya ialah tanggapan perabaan.
Adapun tanggapan-tanggapan itu, seluruhnya ada pada diri saya dan tidak di luar diri saya. Selanjutnya, idealimse menyatakan bahwa meja itu sebagai benda di luar diri saya tidak mungkin dijangkau.
Realisme merupakan aliran yang mengakui adanya benda di luar diri kita, sedangkan idealisme merupakan aliran yang mengakui bahwa apa yang sampai pada diri kita terbatas pada tanggapan.
Benda yang berada di luar diri kita disebut benda yang transenden. Dengan demikian, terhadap realisme ada benda-benda yang transenden, objek-objek yang transenden. Terhadap idealisme, tiada objek yang transenden, tetapi hanya mengenal objek yang immanen, yakni tanggapan yang ada pada diri kita.
Transcendental berarti tidak mengenai objek, tetapi mengenai kesanggupan kita untuk mengenal objek ataupun mengenai –Kant –struktur budi kita. Transendental tidak mengenai objek, tetapi mengenai subjek.
Penyelidikan transendental ialah penyelidikan untuk menyelesaikan masalah.
Bilamanakah pengetahuan itu disebut ilmiah? Apakah pengetahuan itu merupakan keharusan, berlaku mutlak, dan tidak bersyarat? Pandangan Kant ini lain dengan pandangan sekarang. Perlu  ditegaskan di sini, bahwa Kant dalam menghadapi masalah ini berpangkal pada anggapan dasar, bahwa ilmu pengetahuan yang sejati itu terbatas pada ilmu pasti dan pengetahuan alam. Pendirian ini kelak akan disambung oleh positvismus (Comte). Sampai saat ini, pendirian ini masih hidup dalam neo positivismus (Weiner Kreis).   
Berikut ini penjelasan mengenai masalah tersebut


Pendapat Analitis
1.      Rumah itu beratap
Subjek mencakup predikat
2.      Apriori
Pendapat Sintesis
1.      Rumah itu putih
Subjek tidak mencakup predikat
2.      Aposteriori


Kesimpulan


1.      merupakan keharusan;
2.      bukan pengetahuan baru; dan
3.      rationalismus.
 
1.      bukan keharusan;
2.      pengetahuan baru; dan
3.      empirismus.


Apabila kita mendasarkan pengetahuan semata-mata atas akal (rasionalisme), jenis pendapat yang kita peroleh terbatas pada pendapat analitis. Sebaliknya, jika kita mendasarkan pengetahuan semata-mata atas pengalaman (empirisme), pengetahuan yang akan kita peroleh terbatas pada pendapat sintesis.

Pengertian = sejenis pikiran

Istilah = kata-kata yang disampaikan, lambang = wakil pengertian

Pendapat dilambangkan oleh kalimat. Setiap pengertian mempunyai ciri hakiki. Misalnya, rumah berlantai dan berjendela. Dengan demikian, subjek telah mencakup predikat. Namun, tidak demikian pada contoh, “Rumah itu putih”. Jika saya sudah mengenal rumah, saya akan mengenai atap.

Pendapat sintesis apriori:

1.      merupakan keharusan; dan

2.      merupakan pengetahuan baru karena alasan sebagai berikut.

·         Sintesis merupakan pembaharuan.

·         Apriori merupakan keharusan.

Menurut Kant, pengetahuan ilmiah terdiri dari pendapat sintesis apriori.

Memikirkan sesuatu berarti menambah masalah.

Masalah pokok Kritik der reinen Vernunft adalah “Bagaimanakah penyusunan pendapat sintesis apriori?”

“Apakah perbedaan antara “istilah” dan “pengertian”?”

Pengertiannya adalah jika mendengar istilah bangku, timbul pikiran mengenai bangku itu. Pikiran adalah hasil berpikir.

Istilah atau lambang adalah kata yang diucapkan atau dituliskan, disampaikan dengan cara apa saja.

Pendapat dilambangkan dalam kalimat. Istilah tidak dapat disebut kata karena istilah ini kadang-kadang lebih dari satu kata, misalnya rumah batu.

Transendental estetis

Bagian ini meneliti keindraan. Alat indra kita menimbulkan tanggapan. Contoh, rumah dapat diabstraksikan sebagai sifatnya (cirinya), seperti atap dan lantai. Akan tetapi, tidak mungkin kita mengabstraksikan ruang, waktu, dan benda itu tanpa meniadakan pengetahuan itu sendiri. Mengabstraksikan = mengurangi.

Menurut Kant, setiap benda harus memenuhi ruang serta berlangsung dalam waktu. Tanggapan ruang dan waktu merupakan satu syarat mutlak bagi setiap pengalaman atau pengamatan suatu benda. Menurut Kant, ruang dan waktu disebut sebagai bentuk pengamatan yang apriori (sebelum pengalaman). Dengan kata lain, kita mengamati sesuatu dalam ruang dan waktu bukan karena adanya ruang dan waktu pada objek, melainkan berkat keindraan yaitu suatu kesanggupan budi kita. Dengan kata lain, suatu makhluk yang tidak memiliki keindraan, tidak mungkin mengamati ruang dan waktu.

Adapun ruang dan waktu tersebut bukan innate idea, melainkan termasuk struktur budi kita. Misalnya, seseorang yang memakai kaca mata biru, segala sesuatu yang dilihatnya biru.

Ilmu pasti dimungkinkan oleh bentuk pengamatan apriori karena ada keindraan pada budi yang memiliki struktur bentuk-bentuk apriori sehingga dapat menyusun ruang dan waktu. Ilmu pasti terbagi menjadi dua, yaitu ilmu ukur dan ilmu hitung.

Ilmu ukur berdasarkan ruang. Dalam menyusun ilmu ukur dibutuhkan kesanggupan-kesanggupan untuk mengamati ruangan.

Contoh, pendapat ilmu, bahwa garis lurus merupakan hubungan terpendek di antara dua titik. Pembuktian bahwa pendapat itu adalah pendapat sintesis apriori adalah tugas kita selanjutnya.

Sintesis karena pengertian pendek dalam predikat tidak tercakup dalam subjek garis lurus. Apriori di sini berdasarkan ruang. Dengan demikian, pendapat tersebut merupakan pendapat sintetis apriori, sedangkan ilmu ukur merupakan ilmu pengetahuan.

Ilmu hitung dibentuk berdasarkan waktu. Contohnya, pendapat ilmu hitung: 7 + 5 = 12

                                                                                                                              S        P

Sintetis subjek 7 + 5 hanya mencakup pengertian 5 dan pengertian +7, tetapi tidak mencakup pengertian 12. Apriori, tiap-tiap bilangan diperoleh dengan cara menghitung. Menghitung berlangsung dalam waktu yang sifatnya apriori.

Ilmu hitung terdiri atas pendapat sintetis apriori. Ilmu hitung merupakan ilmu pengetahuan.

Transendental logika

Sebelumnya, Kant memakai logika Aristoteles. Ia menyatakan, bahwa logika Aristoteles sudah lengkap dan sempurna. Masalah yang terdapat dalam logika Aristoteles adalah “Bagaimanakah saya dapat menghubungkan suatu pengertian lain agar diperoleh pendapat yang tepat?”

Transendental logika dari Kant mempertanyakan, “Bagaimanakah akal kita dapat membentuk pengertian yang berhubungan serta bersesuaian dengan suatu objek?”

Pikiran             _ _ _ _ _ _       Lambang

Pengertian       _ _ _ _ _ _       Istilah

Pendapat         _ _ _ _ _ _       Kalimat

Perdalilan        _ _ _ _ _ _       Uraian

Transendental Analitika

Menurut Kant, serupa dengan keindraan kita, struktur akal kita mencakup bentuk-bentuk akal atau kategori antara lain kausalitas (sebab-akibat).

Kant setuju dengan Hume bahwa sebab-akibat tidak dapat diamati. Oleh karena itu, kausalitas itu tidak ada Kant berpendapat, bahwa A menyebabkan B dimungkinkan oleh adanya kategori kausalitas yang termasuk struktur akal kita. Suatu makhluk yang tidak mencakup kesanggupan itu tidak akan “melihat” sebab-akibat.

Dengan demikian, baik dalam hubungan keindraan maupun akal kita, terjadi apa yang disebut Kant perkisaran Copernicus, yaitu pergantian dari teori geosentris menjadi heliosentris. Bukan matahari yang beredar di sekitar bumi, melainkan bumi yang beredar di sekitar matahari.

Menurut Kant, bukan pengamatan serta pengertian kita yang bergantung pada objek, melainkan objek yang bergantung pada pengamatan atau keindraan. Pengertian (akal) kita, yaitu pengertian pada empirisme yang berpangkal pada objek. Menurut Kant, pengetahuan berpangkal pada subjek (budi dalam arti yang luas), dan materi yang dihampiri subjek itu.

Bagaimanakah Kant sampai pada kategori-kategori tersebut? Pada dasarnya, kategori itu merupakan pengertian yang paling umum. Untuk mengenal struktur pengertian itu, hendaknya kita menelaah pembentukan pengertian. Pada hakikatnya, pembentukan suatu pengertian berarti menghubungkan ciri dengan ciri. Pada asasnya, pembentukan pengertian identik dengan penyusunan pendapat (= hubungan antara pengertian dan pengertian).

Atas dasar ini, Kant berkesimpulan, bahwa dengan meneliti jenis-jenis pendapat, kita akan mencapai jenis-jenis struktur hubungan. Inilah kategori yang dicari.

Pengertian ------------> Pendapat

Hubungan                    Hubungan

Kategori

Jenis-jenis pendapat

Jenis-jenis pendapat berguna untuk mengetahui kategori.

 I.            Kuantitas

1.      singular, keesaan: A = B: Akhmad itu anak pandai

2.      partikular, kejamakan: Beberapa A=B:Beberapa anak sakit

3.      umum, kesemestaan: Segenap A=B:Segenap murid sekolah itu adalah laki-laki   

II.            Kualitas

1.      positif, keadaan:A=B:Akhmad itu anak pandai

2.      negatif, ketiadan:A=B:Akhmad itu tidak pandai

3.      infinitif, ketidakterbatasaan:A=non B:Man is unpredictable

III.            Relasi

1.      kategori, aksidensi A=B:Akhmad anak pandai

2.      hipotesis, sebab-akibat:Jika A maka B:Jika diberi pupuk, tanaman itu subur.

3.      disjunktif, hubungan timbal-balik:A=B atau C:Orang itu sehat atau sakit

IV.            Modalitas

1.      problematis, kemungkinan –ketidakmungkinan:A mungkin B:Hari ini saya mungkin ke Jakarta

2.      asertoris, keadaan –ketidakadaan:A=B:Hari ini saya ke Jakarta

3.      apodiktis, keharusan –kebetulan:A harus = B:Hari ini saya harus ke Jakarta

Keterangan:

 I.            singular = satu yang tertentu

partikular = khusus, setiap kalimat yang mengatakan tentang beberapa

umum = segenap

II.            infinitif = tidak terbatas

negatif = sanggahan pada kopula

infinitif = sanggahan pada predikat, dalam hal ini infinitif dan finitif sama saja, bergantung pada bagaimana kita memandangnya

infintif = limited

III.            kualitas mempersoalkan kebenaran (to be)

IV.            modalitas mempersoalkan eksistensi, dan keberadaan membicarakan mungkin, harus, dan demikian adanya

Demikianlah, Kant sampai pada jawaban terhadap pertanyaan, “Bagaimanakah kita memperoleh pengalaman atau mengalami (mengamati) suatu objek?”

Jawaban:Berdasarkan bentuk apriori yang ada pada keindraan, serta akal saja, saya menghampiri sesuatu di luar diri saya sehingga terbentuklah objek.

Demikianlah, tidak ada objek yang terlepas dari subjek, yaitu budi dalam arti luas.

Pengertian pengalaman menurut Kant berbeda dengan pengalaman mengenai empirisme. Menurut Kant, objek dibedakan antara neumenon (an-sich) yang tidak menampakan diri dan phaenomenon (fuer-sich), yakni objek yang menampakka diri.

Neumenon menimbulkan phaenomenon, tetapi tidak dapat dan tidak mungkin dikenal. Adapun ilmu pengetahuan empiris terbatas pada fenomenon. Masalahnya sekarang, “Bagaimanakah akal itu senantiasa mengetahui dengan tepat? Kategori mana yang harus digunakan untuk menghampiri materi yang belum terolah itu?” Menurut Kant, hal itu berdasarkan Einbildungskraft yang ada pada akal kita. Tanpa adanya daya tersebut, tidak ada objek, tetapi chaos, khaos (sesuatu yang tidak berbentuk). Daya menjadikan khaos itu kosmos (cosmos), yaitu dunia yang berobjek. Daya menyatakan mensintesis sehingga hal-hal tertentu menunjukkan hubungan-hubungan tertentu sehingga menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa daya, keindraan kita hanya menimbulkan berbagai tanggapan yang tidak berhubungan.

4.      Batas pengetahuan

Wajar saja jika ada orang yang mengubah pendapatnya, meskipun ketika pendapat itu lahir, ia mempertahankan dan mengemukakannya dengan penuh keyakinan. Mengenai banyak hal, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, kerap kita temukan suatu teori dibantah oleh teori lain yang lebih baru. Oleh karena itu, timbullah pertanyaan, “Apakah ilmu pengetahuan, teori, bahkan asumsi itu berlaku seumur hidup, tidak berubah, dan bersifat mutlak, atau sementara saja? Dapatkah kita mencapai kebenaran mutlak?

Sebagian orang berpendapat, bahwa kebenaran mutlak dapat kita capai dan ada pula yang menolak kemungkinan itu. Pendirian pertama disebut dogmatisme dan yang kedua disebut skeptisme.

Dogmatisme ialah aliran yang berpendapat, bahwa kebenaran mutlak dapat dicapai. Artinya, bahwa manusia melalui ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran sempurna dan abadi, setidaknya pengetahuan itu dapat mencapai taraf yang sempurna. Sebagian besar penganut aliran ini adalah kaum agama yang meyakini adanya kebenaran yang datang atau ditemukan melalui wahyu. Pendapat ini ditolak skeptisisme karena keyakinan dogmatisme dianggap tidak didasari oleh penelaahan yang dilakukan secara tertib mengenai dasar diperolehnya kebenaran.

Sebaliknya skpetisisme berpendapat, bahwa orang tidak mungkin mencapai pengetahuan yang benar karena mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut, terbatas pada penggunaan akal yang akan berubah secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Apa yang dicapai ilmu pengetahuan saat ini akan berbeda jika dibandingkan dengan apa yang dicapai pada masa lalu, begitu pula pada masa yang akan datang. Skeptisisme disebut juga relativisme.

Aliran yang sangat terkenal saat ini adalah pragmatisme. Pragmatisme menekankan pada hal-hal yang berguna untuk diperbincangkan, termasuk aliran skeptisisme. Mereka berpendapat, bahwa orang tidak mungkin mengetahui apakah pengetahuan itu benar atau tidak. Namun, hal itu bukan masalah karena kebenaran pengetahuan itu tidak penting. Hal yang penting adalah “Apakah kita dapat berbuat atas dasar pendapat atau pengetahuan kita? Apakah perbuatan yang berdasarkan pengetahuan itu bermanfaat atau tidak?”Dengan perkataan lain,”Apakah pendapat kita itu berguna atau tidak?”Dengan demikian, pragmatisme berpendapat, bahwa sesuatu yang berguna, itulah yang benar.

5.      Objek pengetahuan

Apakah objek pengetahuan itu? Apakah objek pengetahuan itu ada di luar diri kita ataukah terbatas pada sesuatu yang mewakilinya pada diri kita (subjek)? Pendirian yang pertama disebut realisme, ialah yang berpendapat bahwa objek pengetahuan itu ada pada dunia nyata atau realitas, sedangkan yang kedua disebut idealisme, ialah yang meyakini bahwa objek pengetahuan itu ada di dalam diri, di dalam pikiran manusia.

Menurut realisme, pengetahuan kita merupakan suatu reproduksi, gambaran dari objek yang ada di luar diri kita. Subjek dapat diumpamakan sebagai suatu alat potret yang memantulkan bayangan objek yang sesungguhnya. Ada dua jenis realisme, ialah yang berifat natif atau natur yang tidak memberi alasan, dan yang bersifat kritis yang memberi alasan.

Hal ini berbeda dengan pandangan idealisme. Menurut idealisme, pengetahuan itu merupakan hasil pembentukan dan penyusunan. Menurut realisme, objek pengetahuan kita adalah objek yang ada di luar diri kita. Menurut idealisme, objek itu terbatas pada sesuatu yang mewakili objek pada subjek dan meragukan adanya objek di luar diri subjek.

Baik realisme maupun idealisme mengakui sesuatu yang mewakili objek pada subjek. Hanya bagi realisme, objek merupakan reproduksi kenyataan, yaitu ada sesuatu yang datang pada diri kita dari luar diri kita. Sebaliknya menurut idealisme, sesuatu itu menuntut pembentukan yang berasal dari diri kita sendiri.

Ada dua jenis idealisme, yaitu idealisme objektif yang tidak mengakui objek di luar diri kita (membentuk objek), dan idealisme subjektif yang menerima objek di luar diri kita.   
Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...