Minggu, 05 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Hukum Syara’




Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam kajian ini, maka lebih dulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta berbagai macamnya.

Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syari’at Islam. Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim (pembuat hukum), al-mahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf). Oleh karena itu, pada Bab II ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.

HUKUM SYARA’

1.      Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminology Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:
Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).
Wahbah az-Zuhaili memasukkan ke dalam kategori hukum wadh’i di atas hukum sah, fasad/batal, ‘azimah, dan rukhshah.
Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka popular di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia.
Kalam Allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsnug karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadis ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti Sunnah Rasulullah, ijma’, dan dalil-dalil syara’ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya. Sunnah Rasulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan petunjuk-Nya juga sesuai dengan firman Allah:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum di atas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi di atas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misanya firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu tentang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang popular disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam.
Bila dicermati definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam;
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintah itu sifatnya wajib.
b.      Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.       Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilih untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.       Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).
i.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.

Pembagian ayat hukum dan hadis hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang ciri-ciri ayat ahkam dan hadis ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau hadis ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digarisbawahi adalah:
Pertama, bahwa dalam pemakaiannya di kalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum di samping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat-ayat atau hadis-hadis hukum, juga digunakan untuk menyebut sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum syara’. Dengan demikian, hukum shalat, misalnya, adalah wajib dan meminum khamr adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadis karena melihat kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan teks hadis ahkam dan teks hadis ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan sifat perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fikih dari kalangan mayoritas ulama. Di bawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila dilihat kepada hasilnya.
Perbedaannya pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.
Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam atau hadis ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya itu ada yang secara langsung ditunjukkan oleh teks Al-Qur’an dan Sunnah dan ada pula yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadis yang disimpulkan oleh para ahlinya (mujtahid) dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
2.      Pembagian Hukum Syara’
Secara garis besar pula ulama Ushul Fiqh membagai hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat’ dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
1.      Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
2.      Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, seperti dalam contoh di atas tadi, keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat zuhur.

a.      Hukum Taklifi
Seperti dikemukakan di atas, istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada asalnya adalah teks ayat atau hadis hukum Teks ayat hukum dan hadis hukum yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
1)      Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan shalat.
2)      Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3)      Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
4)      Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
5)      Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Pembagian tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil hukum. Selanjutnya, dalam membicarakan pembagian hukum taklifi ini, seperti pernah disinggung sebelumnya, istilah hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, terbagi kepada lima macam, yaitu a) wajib; b) mandub; c) haram; d) makruh; dan e) mubah. Dasar pembagian tersebut adalah, bahwa ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa perintah terhadap suatu perbuatan maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan yang berupa anjuran untuk melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan menimbulkan hukum haram, anjuran untuk meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum makruh, dan ketentuan yang memberi kebebasan untuk melakukan dan tidak melakukan menimbulkan hukum mubah. Masing-masing dari beberapa istilah hukum di atas akan dijelaskan secara singkat di bawah ini.
1)      Wajib 
a)      Pengertian wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan (wajib) bisa diketahui langsung dari bentuk perintah, atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri orang yang tidak melaksanakannya. Misalnya, shalat fardu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa sipa yang meninggalkannya. Hukum wajib sahalat itu diketahui dari adanya perintah dalam Al-Qur’an, anatara lain dalam Surat al-‘Ankabur ayat 45:
Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS al-‘Ankabut/29: 45).
Hukum wajib ditunjukkan oleh berbagai perintah (amar), baik secara langsung atau oleh qarinah-qarinah yang ada dalam suatu redaksi. Selanjutnya masalah ini akan dibahas dalam pembahasan amar nanti.
b)      Pembagian Wajib
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada beberapa macam pembagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam, yaitu wajib ‘ainy dan wajib kifa’i.
(1)   Wajib ‘Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balig berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
Berkaitan dengan kewajiban seperti ini, muncul sebuah pertanyaan, di waktu tidak mampu melakukan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan oleh orang lain?. Ulama Ushul Fiqh membagi hal tersebut kepada tiga kategori. (1) kewajiban yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiba membayar zakat, atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemilikinya. Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaannya bisa digantikan oleh orang lain; (2) Kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kewajiban seperti ini disepakati tidak bisa digantikan oleh orang lain; dan (3) kewajiban yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi ibadah harta. Misalnya, kewajiban melaksanakan haji. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Kalangan Malikiyah dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dari kalangan Hanafaiyah berpendapat, ibadah seperti ini tidak sah digantikan oleh orang lain karena ibadah haji di samping syarat dan rukunnya, juga mengandung rahasia-rahasia yang akan dirasakan oleh pihak yang melakukan haji yang tidak mungkin dirasakan bilamana digantikan oleh orang lain. Perasaan bagaimana berpisah dengan kampong halaman, pendidikan dalam bentuk larangan memakai pakaian tidak berjahit, melontar jumrah, sa’i, wukuf dan lainnya, adalah hal-hal yang mengandung hikmah yang hanya mungkin dirasakan oleh pihak yang melakukan haji.
Berbeda dengan pendapat tersebut, kalangan mayoritas ulama berpendapat bahwa haji adalah sah digantikan oleh orang lain, bilamana seseorang berhalangan melaksanakan kewajibannya. Alasan mereka, banyak hadis Rasulullah membenarkan hal tersebut. Antara lain, hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas: 
 
Dari Ibnu Abbas, ra. Sesungguhnya ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW, dan bercerita bahwa ibu saya pernah bernadzar untuk melaksanakan haji, tetapi sampai beliau meninggal tidak sempat menjalankannya, apakah saya bisa menghajikannya?, Nabi SAW. menjawab ya, berhajilah atas nama dia, bagaimana menurut pendapat Anda jika ibu Anda punya utang, apa anda harus membayarkannya?, Maka bayarkanlah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar. (HR. al-Bukhari)
(2)   Wajib Kifa’i (wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah adalah kewajiban seluruh umat Islam, tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun bilamana tidak seorang pun ada yang mengerjakannya maka seluruh umat Islam diancam dengan dosa. Demikian pula dengan kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menjawab salam, belajar ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.
Wajib kifayah merupakan kewajiban seluruh umat. Namun seperti dikemukakan di atas, bilamana dilaksanakan oleh sebagiannya, gugurlah kewajiban itu dari anggota masyarakat yang lain. Itu tidak berarti pihak yang tidak melaksanakannya dibolehkan bersikap pasif. Orang yang mampu melakukannya secara langsung hendaklah melakukannya. Dan yang tidak mampu, hendaklah ia mendukung pelaksanannya baik dengan materi atau dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk lancarnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Dari adanya kerja sama seperti ini, maka bilamana sebagiannya telah melaksanakannya secara langsung, maka anggota masyarakat yang lain dianggap lepas dari kewajiban tersebut.
Wajib kifayah terkadang berubah status menjadi wajib ‘aini, bilamana di satu negeri tidak ada lagi orang yang mampu melaksanakannya selain dia. Misalnya, bilamana dalam sebuah desa hanya ada seorang dokter, maka untuk melayani kesehatan masyarakat menjadi wajib ‘aini atas diri dokter yang hanya seorang tersebut.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam:
(1)   Wajib Mu’ayyan
 
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di bulan Ramadahn, membayar zakat, dan menegakkan keadilan. Kewajiban seperti ini tidak dianggap terlaksana, kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan itu.
(2)   Wajib Mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah. Dalam Surat al-Maidah ayat 89 Allah berfirman:  
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya berpuasa selama tiga hari. (QS. al-Maidah/5: 89)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang yang dikenakan kaffarat karena melanggar sumpahnya itu boleh memilih antara beberapa macam kaffarat tersebut.
Bila dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, Hukum Wajib terbagi kepada dua macam:
(1)   Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya, kewajiban untuk membayar puasa Ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa Ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa yang tertinggal itu boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu. Berbeda dengan itu, menurut Imam Syafi’i kewajiban membayar puasa yang tertinggal itu harus dibayar sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya. Contoh lain, kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
(2)   Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (lapang waktunya), dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya). Wajib muwassa’ adalah kewajiban di mana waktu yang tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada waktu itu, seperti shalat lima waktu. Waktu shalat zuhur, misalnya, di samping melaksanakan shalat zuhur, mungkin pula dilakukan padanya beberapa shalat sunat. Sedangkan wajib mudhayyaq adalah kewajiban di mana waktu yang tersedia hanya (mencukupi untuk melaksanakan ke wajiban itu). Misalnya puasa di bulan Ramadhan. Waktu puasa yang tersedia yaitu bulan Ramadhan, tidak mungkin dilakukan padanya selain puasa wajib Ramadhan. 
Kalangan Hanafiyah menyebutkan macam ketiga, yaitu wajib dzu al-syubhan (wajib berwajah dua), yaitu kewajiban bila dipandang dari satu sisi, ia termasuk ke dalam kategori wajib muawassa’, dan dari sudut lain ia termasuk ke dalam kategori wajib muwassa’, dan dari sudut lain ia termasuk wajib mudhayyaq. Misalnya, kewajiban melaksanakan haji. Ibadah haji dari satu sisi adalah kewajiban muwassa’, karena waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan haji tidak menghabisi beberapa bulan yang disebut sebagai bulan-bulan haji. Dan ibadah haji dari sisi yang lain adalah wajib mudhayyaq karena tidak mungkin seseorang melaksanakan dua kali haji pada tahun yang sama.
Pembagian wajib kepada beberapa kategori tersebut di atas terasa penting dalam hubungannya dengan kewajiban meniatkan secara khusus bentuk ibadah yang dilakukan. Pada wajib muwassa’ seperti shalat lima waktu, wajib hukumnya menyebutkan macam shalat yang akan dilaksanakannya dalam berniat. Seseorang yang akan menunaikan shalat zuhur, misalnya, hendaklah ia menegaskan dalam niatnya bahwa shalat yang akan dilaksanakannya itu adalah shalat zuhur. Demikian pula halnya dengan shalat-shalat lainnya. 
Adapun pada wajib mudhayyaq, menurut kalangan Hanafiyah, tidak mesti adanya ketegasan tersebut di atas. Seseorang yang akan melaksanakan puasa Ramadhan, untuk syarat sahnya cukup dengan meniatkan puasa saja, tanpa menegaskan bahwa yang dipuasakannya itu adalah kewajiban puasa Ramadhan. Sebab, tidak mungkin bagi seseorang melakukan puasa selain puasa Ramadhan. Oleh sebab itu, jika seseorang meniatkan puasa sunah pada bulan Ramadhan, maka puasa itu tetap saja terhitung sebagai puasa fardhu Ramadhan.
Berbeda dengan hal tersebut di atas, mayoritas ulama berpendapat, tidak ada bedanya antara wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq dari segi kewajiban menegaskan macam ibadah, menurut mereka merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ibadah itu sendiri. Maka sebagaimana kewajiban menegaskan macam shalat yang akan dilaksanakan, demikian halnya kewajiban menegaskan macam puasa yang akan dilaksanakan. Adapun meniatkan puasa sunah pada bulan Ramadhan, berarti meniatkan sebuah ibadah yang disyari’atkan dalam Islam. Oleh karena itu, puasa sunah itu tidak sah hukumnya di bulan Ramadhan.
Adapun wajib dzu al-syubhan, Pada akhir pembahasan tentang hukum wajib ada baiknya dikemukakan perbedaan pendapat ulama tentang pemakaian istilah wajib dan istilah fardhu. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat, istilah wajib sama dengan pengertian isitlah fardhu. Misalnya, melaksanakan shalat lima waktu boleh dikatakan wajib hukumnya dan boleh juga dikatakan fardhu.     
Kedua istilah tersebut menunjukkan kemestian suatu perbuatan untuk dilaksanakan, tanpa melihat kepada kuat atau tidak kuatnya dalil yang menjadi dasarnya. Berbeda dengan itu kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwa istilah wajib berbeda dengan istilah fardhu. Istilah wajib digunakan untuk  hukum yang ditetapkan dengan dalil yang zhanni. Misalnya, menyembelih hewan kurban adalah wajib hukumnya karena ditetapkan dengan dalil yang zhanni bukan qath’i, yaitu hadis yang bukan hadis mutawatir. Sedangkan istilah fardhu digunakan untuk hukum yang ditetapkan dengan dalil yang qathi’i (pasti), misalnya melaksanakan shalat lima waktu hukumnya fardhu karena ditetapkan dengan dalil yang qath’i yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak lagi diragukan kebenaran menunjukkan hukum shalat.
Perbedaan pendapat tersebut berawal dari perbedaan segi memandang hukum wajib dan fardhu. Mayoritas ulama memandang dari segi kemestian untuk melakuakan suatu perbuatan tanpa melihat bobot dalil yang menetapkannya, dan tanpa melihat apakah orang yang mengingkarinya menjadi kafir atau tidak menjadi kafir. Dari segi ini, wajib dan fardhu adalah sama, karena sama-sama mesti dilakukan, dalam arti berdosa siapa yang meninggalkannya. Namun kalangan ini mengakui bahwa ada hukum wajib atau fardhu yang ditetapkan dengan dalil qath’i dan ada pula dengan dalil zhanni. Sedangkan kalangan Hanafiyah melihat dari sudut dalil yang menjadi landasan hukum wajib dan hukum fardhu. Dalil yang zhanni menimbulkan hukum wajib dan tidak menjadi kafir siapa yang mengingkarinya, dan dalil yang qath’i menimbulkan hukum fardhu dan menjadi kafir siapa yang mengingkariny. Namun demiian, kalangan ini juga mengakui bahwa kedua bentuk istilah itu menunjukkan kemestian untuk dilakukan oleh mukalaf.
Menurut Muhammad Najib al-Muthi’, dalam kitabnya Sullamul-Wushul, perbedaan pendapat tersebut hanyalah perbedaan yang tidak prinsipil (khalaf lafzy). Namun, bila kita perhatikan hasil-hasil ijtihad mereka, di antaranya ada perbedaan kesimpulan yang disebabkan oleh perbedaan dalam pemakaian dua istilah tersebut. Antara lain, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, meninggalkan membaca ayat Al-Qur’an dalam shalat membuat shalat itu tidak sah karena dalil yang menunjukkan kemestian membaca ayat Al-Qur’an dalam shalat adalah dalil qath’i, dalam bentuk ayat Al-Qur’an. Sedangkan meninggalkan membaca al-Fatihah dalam shalat tidak membatalkan shalat karena kemestian membaca al-fatihah hukumnya wajib yang ditetapkan dengan dalil zhanni, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perorangan (Tidaklah [sempurna] shalat, orang yang tidak membaca al-Fatihah).
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yang menyamakan pengertian istilah wajib dan fardhu karena membedakan antara keduanya berakibat adanya dua sifat hukum bagi satu pekerjaan, di mana satu pekerjaan disebut fardhu hukumnya bagi sahabat yang mengetahui secara pasti kebenaran suatu dalil (qath’i), dan kemudian menjadi wajib bagi umat yang datang sesudahnya karena mereka tidak mengetahui benar kebenaran suatu dalil (zhanni).
2)      Mandub
a)      Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama.
b)      Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, mandub terbagi kepada beberapa tingkatan:
(1)   Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunah dua raka’at sebelum fajar.
(2)   Sunnah ghair al-Muakkadah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah, namun bukan mnjadi kebiasannya. Mislanya, melakukan shalat sunah dua kali dua raka’at sebelum shalat zuhur, dan seperti memberikan sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan terdesak, maka hukum membantunya adalah wajib. 
(3)   Sunnah al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya dalam makan, minum, dan tidur. Mengikuti Rasulullah dalam masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun tingkatannya di bawah dua macam sunnah di atas dan yang lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama tadi.

3)      Haram 
a)      Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meniggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan berzina dalam firman Allah:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS. al-Isra’/17: 32)
larangan mencuri dalam ayat:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)
larangan membunuh dalam firman Allah:
… Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa’/3: 29)
dan larangan menganiaya seperti dalam firman Allah:
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisi riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS. al-Baqarah/2: 279)
Dalam kajian Ushul Fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
b)      Pembagian Haram
Para ulama Ushul Fiqh, antara lain Abdul-Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
(1)   al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan berzina seperti dalam ayat:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS. al-Isra’/17: 32)
Larangan menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung dan saudara kandung sebagaimana dalam firman Allah:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan… (QS. an-Nisa’/3: 23)
Seperti ketentuan hukum haram memakan bangkai sebagaimana dalam ayat:  
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (QS. al-Maidah/5: 23)
kemudian tentang haramnya mencuri, Allah berfirman:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)
Dan mengenai ketentuan haramnya membunuh jiwa manusia, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa’: 29).
Di antara ketentuan yang berlaku pada ketentuan hukum haram semacam ini adalah bahwa sesuatu yang diharamkan karena esensinya, bilamana dilakukan juga, hukumnya tidak sah. Tindakan mencuri misalnya diharamkan dan oleh karena itu tidak sah menjadi sebab pemilikan harta yang dicuri itu, perbuatan zina tidak sah menjadi sebab bagi akibat-akibat pernikahan yang sah seperti menisbahkan (menyandarkan) anak kepada ayahnya, dan tidak dianggap sah sebagai sebab untuk waris mewarisi.
(2)   al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apa diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Jumu’ah/62: 9)
Jual beli bilamana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah (shalat Jum’at). Ketentuan yang berlaku dalam hal ini, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, adalah bahwa larangan seperti itu adalah perpindahan miliki dari penjual kepada pembeli, namun pelakunya berdosa di sisi Allah.
4)      Makruh 
a)      Pengertian Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya seperti dikemukakan Wahhab az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
b)      Pembagian Makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam:
(1)   Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain sebagaimana dalam sabda Nabi:   
Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW. Melarang untuk membeli suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain dan melarang seseorang untuk meminang seorang wanita yang ada dalam pinangan orang lain sampai mendapatkan izin atau telah ditinggalkannya. (HR. al-Bukhari)
Hadis tersebut, adalah hadis ahad (hadis yang diriwayatkan perorangan atau bebearapa orang yang tidak sampai ke batas mutawatir), di mana dalam kajian Ushul Fiqh di anggap hanya sampai pada tingkat dugaan keras (zhanni) kebenaran datangnya dari Rasulullah, tidak sampai meyakinkan. Makruh tahrim ini, menurut kalangan Hanafiayah, sama dengan hukum haram dalam istilah mayoritas ulama dari segi sama-sama diancam dengan siksaan atas pelanggarnya, meskipun tidak kafir orang yang mengingkarinya karena dalilnya bersifat zhanni.
(2)   Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya, memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang. Menurut Sebagian kalangan Hanafiyah, pada dasarnya memakan daging kuda hukumnya haram karena ada larangan memakannya berdasarkan hadis riwayat Daraquthni. Namun ketika sangat butuh waktu perang dibenarkan memakannya mekipun dianggap makruh.
5)      Mubah 
a)      Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan”. Menurut Istilah ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, berarti:
Yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya, ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan lagi akan dapat hidup bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan petunjuk Allah dan firman-Nya:
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (sumi istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah/2: 229)
Istilah mubah, menurut Abu Zahrah, sama pengertiannya dengan halal atau jaiz.
b)      Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:
(1)   Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rezeki. Mubah seperti ini, demikian Abu Ishaq al-Syathibi menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan dan minuman halal mana yang akan diminum. Akan tetapi, seseorang tidak diberi kebebasan memilih untuk makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
(2)   Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya, bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
(3)   Sesuatu yang mubah yang befungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya, memebeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.

b.      Hukum Wadh’i
Seperti telah disinggung di atas, hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, atau sebagai mani’. Dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1)      Sebab
a)      Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, sebab berarti:
Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
b)     Pembagian Sebab
Para ulama Ushul Fiqh membagi sebab kepada dua macam:
(1)   Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukalaf dan berada di luar kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Misalnya, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat zuhur, masuknya bulan Ramadahn menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa Ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharamkan.
(2)   Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas kemampunnya. Misalnya, perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman qisas atas pelakunya, dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum taklifi. Oleh sebab itu, di antaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinaan, di antaranya ada yang dilarang seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.

c)      Perbedaan antara Sebab dan ‘Illat
Abdul-Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antara sebab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama, antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabab) mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan di antara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran.
Bentuk pertama di atas, di samping disebut sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan bentuk yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah sebab dan juga illat bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Bulan Ramadhan, dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau ‘illat bagi haramnya meminum khamar. Sedangkan contoh bentuk kedua, yaitu sebab yang bukan ‘illat seperti terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajib melaksanakan shalat maghrib dan terbit fajar menjadi sebab bagi masuk waktu shalat subuh.
Pada sebab semacam ini, Allah menjadikan terbenam matahari sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar menjadi tanda bagi masuknya waktu shalat subuh, tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam matahari dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.
2)      Syarat 
a)      Pengerian Syarat 
Menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu.
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah, namun kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Di sinilah perbedaan antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan di mana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti dikemukakan di atas, bukan merupakan bagian dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut, sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.
b)      Pembagian Syarat
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
(1)   Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syarat sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampaun untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya sebagaimana firman Allah:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendaptmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisa’/3: 6)
(2)   Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.

3)      Mani’
a)      Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul-karim Zaidan, kata mani’ berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai tanda penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyia akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang (mani’). Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
b)      Pembagian Mani’
Para ahli Ushul Fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
(1)   Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.
Dari Aisyah sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya kepadanya apakah seorang wanita yang sedang haid harus mengqadha’ shalat, Aisyah berkata: Anda terbebas, sebab dulu di masa Nabi SAW. kami pernah haid dan setelah suci beliau tidak menyuruh mengqadha’ shalat. (HR. Ibnu Majjah)
(2)   Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang di mana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih keadaan berutang itu menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan seseorang dalam berutang itu, telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.           


Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...