Pembahasan
tentang hukum syara’ adalah salah
satu dari beberapa objek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi
Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan
hukum syara’ dalam kajian ini, maka lebih dulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta berbagai
macamnya.
Istilah
hukum syara’ bermakna hukum-hukum
yang digali dari syari’at Islam. Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim (pembuat hukum), al-mahkum
fih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum
‘alaih (mukalaf). Oleh karena itu, pada Bab II ini akan dipaparkan
penjelasan tentang hal-hal tersebut.
HUKUM
SYARA’
1.
Pengertian
Hukum Syara’
Secara
etimologi kata hukum (al-hukm)
berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminology Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:
Khitab (kalam) Allah yang mengatur
amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang
mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl
(ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
[penghalang]).
Wahbah
az-Zuhaili memasukkan ke dalam kategori hukum wadh’i di atas hukum sah, fasad/batal,
‘azimah, dan rukhshah.
Kitab
Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah
sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi
(kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam
Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam
lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini,
ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan
petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam
nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat
Al-Qur’an, maka popular di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud
dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal
perbuatan manusia.
Kalam
Allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau
secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam Sunnah Rasulullah yang
mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah
secara tidak langsnug karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari
Allah juga.
Dengan
demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadis ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada
sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan
pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara
langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak
langsung seperti Sunnah Rasulullah, ijma’,
dan dalil-dalil syara’ lain yang
dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya. Sunnah
Rasulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan
petunjuk-Nya juga sesuai dengan firman Allah:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).
Kedua
ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang
hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma harus mempunyai
sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu
dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali
setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah
dalam definisi hukum di atas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh
syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi di atas adalah
ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misanya firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu tentang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.
Bagian
awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji.
Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah
Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang popular disebut sebagai
ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam.
Bila
dicermati definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau
hadis-hadis hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam;
a. Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintah itu sifatnya
wajib.
b. Larangan
melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c. Anjuran
untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan
itu sifatnya mandub.
d. Anjuran
untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan
yang diberi pilih untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f. Menetapkan
sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan
sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan
sesuatu sebagai mani (penghalang).
i.
Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.
Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan
rukhshah.
Pembagian ayat hukum dan hadis hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang ciri-ciri ayat ahkam dan hadis ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau hadis ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digarisbawahi adalah:
Pertama,
bahwa dalam pemakaiannya di kalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum di samping
digunakan untuk menyebut teks-teks ayat-ayat atau hadis-hadis hukum, juga
digunakan untuk menyebut sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum
itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan
shalat sifatnya wajib, perbuatan yang
dilarang sifatnya haram, yang
dianjurkan sifatnya mandub, yang
dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya mubah.
Maka sifat wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah yang merupakan sifat dari
perbuatan itu dikenal dengan hukum syara’.
Dengan demikian, hukum shalat, misalnya, adalah wajib dan meminum khamr adalah
haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab,
pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadis karena melihat kepada dalil
dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat perbuatan
mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.
Penggunaan
istilah hukum kepada teks ayat ahkam
dan teks hadis ahkam dan teks hadis
ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan
tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat
perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan sifat
perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fikih dari
kalangan mayoritas ulama. Di bawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila
dilihat kepada hasilnya.
Perbedaannya
pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas
ulama hukum adalah qadim karena merupakan kalam
nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut kalangan
Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap
perbuatan manusia.
Kedua,
seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam atau hadis ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya
terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya itu ada yang
secara langsung ditunjukkan oleh teks Al-Qur’an dan Sunnah dan ada pula yang
secara tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau
hadis yang disimpulkan oleh para ahlinya (mujtahid)
dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang
penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah
dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
2.
Pembagian
Hukum Syara’
Secara
garis besar pula ulama Ushul Fiqh membagai hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi
menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam
bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat.
Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum wadh’i
ialah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat’ dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan
mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui perbedaan
antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
1. Hukum
taklifi adalah hukum yang mengandung
perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan
hukum wadh’i berupa penjelasan
hubungan suatu peristiwa dengan taklifi.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan
bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
2. Hukum
taklifi dalam berbagai macamnya
selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang di luar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, seperti
dalam contoh di atas tadi, keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan
manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan
manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai
tanda bagi masuknya waktu shalat zuhur.
a.
Hukum
Taklifi
Seperti
dikemukakan di atas, istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada asalnya adalah
teks ayat atau hadis hukum Teks ayat hukum dan hadis hukum yang berhubungan
dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
1) Ijab
(mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan
untuk melakukan shalat.
2) Nadb
(anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk
melakukan suatu perbuatan.
3) Tahrim
(melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu
perbuatan.
4) Karahah,
yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
5) Ibahah,
yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan.
Pembagian
tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil hukum. Selanjutnya, dalam
membicarakan pembagian hukum taklifi
ini, seperti pernah disinggung sebelumnya, istilah hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, terbagi kepada
lima macam, yaitu a) wajib; b) mandub; c) haram; d) makruh; dan e) mubah. Dasar
pembagian tersebut adalah, bahwa ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa
perintah terhadap suatu perbuatan maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan
yang berupa anjuran untuk melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan menimbulkan hukum haram, anjuran untuk
meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum makruh, dan ketentuan yang memberi
kebebasan untuk melakukan dan tidak melakukan menimbulkan hukum mubah.
Masing-masing dari beberapa istilah hukum di atas akan dijelaskan secara
singkat di bawah ini.
1)
Wajib
a) Pengertian
wajib
Secara
etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti
dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib
berarti:
Sesuatu yang diperintahkan
(diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila
tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan
dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala
dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk
dilakukan (wajib) bisa diketahui langsung dari bentuk perintah, atau dengan
adanya qarinah (indikasi) yang ada
dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri orang yang tidak
melaksanakannya. Misalnya, shalat fardu lima waktu dalam satu hari satu malam
hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa sipa yang
meninggalkannya. Hukum wajib sahalat itu diketahui dari adanya perintah dalam
Al-Qur’an, anatara lain dalam Surat al-‘Ankabur ayat 45:
Bacalah apa-apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an), dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(QS al-‘Ankabut/29: 45).
Hukum
wajib ditunjukkan oleh berbagai perintah (amar), baik secara langsung atau oleh
qarinah-qarinah yang ada dalam suatu redaksi. Selanjutnya masalah ini akan
dibahas dalam pembahasan amar nanti.
b) Pembagian
Wajib
Hukum
wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada beberapa macam pembagian. Bila
dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban Hukum Wajib dapat dibagi kepada
dua macam, yaitu wajib ‘ainy dan
wajib kifa’i.
(1) Wajib
‘Aini
Yaitu
kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balig berakal
(mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali
dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban melaksanakan puasa di bulan Ramadhan,
dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
Berkaitan
dengan kewajiban seperti ini, muncul sebuah pertanyaan, di waktu tidak mampu
melakukan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu
dengan dilaksanakan oleh orang lain?. Ulama Ushul Fiqh membagi hal tersebut
kepada tiga kategori. (1) kewajiban yang berhubungan dengan harta, seperti
kewajiba membayar zakat, atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada
pemilikinya. Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaannya bisa digantikan
oleh orang lain; (2) Kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kewajiban seperti ini disepakati
tidak bisa digantikan oleh orang lain; dan (3) kewajiban yang mempunyai dua
dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi ibadah harta. Misalnya,
kewajiban melaksanakan haji. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Kalangan
Malikiyah dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dari kalangan Hanafaiyah
berpendapat, ibadah seperti ini tidak sah digantikan oleh orang lain karena
ibadah haji di samping syarat dan rukunnya, juga mengandung rahasia-rahasia
yang akan dirasakan oleh pihak yang melakukan haji yang tidak mungkin dirasakan
bilamana digantikan oleh orang lain. Perasaan bagaimana berpisah dengan kampong
halaman, pendidikan dalam bentuk larangan memakai pakaian tidak berjahit,
melontar jumrah, sa’i, wukuf dan lainnya,
adalah hal-hal yang mengandung hikmah yang hanya mungkin dirasakan oleh pihak
yang melakukan haji.
Berbeda
dengan pendapat tersebut, kalangan mayoritas ulama berpendapat bahwa haji
adalah sah digantikan oleh orang lain, bilamana seseorang berhalangan
melaksanakan kewajibannya. Alasan mereka, banyak hadis Rasulullah membenarkan
hal tersebut. Antara lain, hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas:
Dari Ibnu Abbas, ra. Sesungguhnya
ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW, dan bercerita bahwa
ibu saya pernah bernadzar untuk melaksanakan haji, tetapi sampai beliau
meninggal tidak sempat menjalankannya, apakah saya bisa menghajikannya?, Nabi
SAW. menjawab ya, berhajilah atas nama dia, bagaimana menurut pendapat Anda
jika ibu Anda punya utang, apa anda harus membayarkannya?, Maka bayarkanlah
utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.
(HR. al-Bukhari)
(2) Wajib
Kifa’i (wajib kifayah)
Yaitu
kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bilamana telah
dilaksanakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap
terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah adalah kewajiban seluruh
umat Islam, tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana dilaksanakan oleh sebagian
anggota masyarakat. Namun bilamana tidak seorang pun ada yang mengerjakannya
maka seluruh umat Islam diancam dengan dosa. Demikian pula dengan kewajiban
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menjawab salam, belajar
ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.
Wajib
kifayah merupakan kewajiban seluruh
umat. Namun seperti dikemukakan di atas, bilamana dilaksanakan oleh
sebagiannya, gugurlah kewajiban itu dari anggota masyarakat yang lain. Itu
tidak berarti pihak yang tidak melaksanakannya dibolehkan bersikap pasif. Orang
yang mampu melakukannya secara langsung hendaklah melakukannya. Dan yang tidak
mampu, hendaklah ia mendukung pelaksanannya baik dengan materi atau dengan
menciptakan suasana yang kondusif untuk lancarnya pelaksanaan kewajiban tersebut.
Dari adanya kerja sama seperti ini, maka bilamana sebagiannya telah
melaksanakannya secara langsung, maka anggota masyarakat yang lain dianggap
lepas dari kewajiban tersebut.
Wajib
kifayah terkadang berubah status
menjadi wajib ‘aini, bilamana di satu negeri tidak ada lagi orang yang mampu
melaksanakannya selain dia. Misalnya, bilamana dalam sebuah desa hanya ada
seorang dokter, maka untuk melayani kesehatan masyarakat menjadi wajib ‘aini atas diri dokter yang hanya
seorang tersebut.
Bila
dilihat dari segi kandungan perintah, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua
macam:
(1) Wajib
Mu’ayyan
Yaitu
suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan
lain. Misalnya, kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari semalam, kewajiban
melakukan puasa di bulan Ramadahn, membayar zakat, dan menegakkan keadilan.
Kewajiban seperti ini tidak dianggap terlaksana, kecuali dengan melaksanakan
kewajiban yang telah ditentukan itu.
(2) Wajib
Mukhayyar
Yaitu
suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa
alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
(denda melanggar) sumpah. Dalam Surat al-Maidah ayat 89 Allah berfirman:
Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya berpuasa selama tiga hari.
(QS. al-Maidah/5: 89)
Dalam
ayat di atas dijelaskan bahwa orang yang dikenakan kaffarat karena melanggar sumpahnya itu boleh memilih antara beberapa
macam kaffarat tersebut.
Bila
dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, Hukum Wajib terbagi kepada dua macam:
(1) Wajib
Mutlaq
Yaitu
kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya,
kewajiban untuk membayar puasa Ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah,
puasa Ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa yang tertinggal itu
boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu. Berbeda dengan
itu, menurut Imam Syafi’i kewajiban membayar puasa yang tertinggal itu harus
dibayar sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya. Contoh lain, kewajiban
membayar kaffarat sumpah, boleh
dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
(2) Wajib
Muaqqat
Yaitu
kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam
ini, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (lapang waktunya), dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya). Wajib muwassa’ adalah kewajiban di mana waktu
yang tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri
sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada waktu
itu, seperti shalat lima waktu. Waktu shalat zuhur, misalnya, di samping
melaksanakan shalat zuhur, mungkin pula dilakukan padanya beberapa shalat
sunat. Sedangkan wajib mudhayyaq
adalah kewajiban di mana waktu yang tersedia hanya (mencukupi untuk
melaksanakan ke wajiban itu). Misalnya puasa di bulan Ramadhan. Waktu puasa
yang tersedia yaitu bulan Ramadhan, tidak mungkin dilakukan padanya selain
puasa wajib Ramadhan.
Kalangan
Hanafiyah menyebutkan macam ketiga, yaitu wajib dzu al-syubhan (wajib berwajah dua), yaitu kewajiban bila dipandang
dari satu sisi, ia termasuk ke dalam kategori wajib muawassa’, dan dari sudut lain ia termasuk ke dalam kategori wajib
muwassa’, dan dari sudut lain ia termasuk wajib mudhayyaq. Misalnya, kewajiban melaksanakan haji. Ibadah haji dari
satu sisi adalah kewajiban muwassa’,
karena waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan haji tidak menghabisi beberapa
bulan yang disebut sebagai bulan-bulan haji. Dan ibadah haji dari sisi yang
lain adalah wajib mudhayyaq karena
tidak mungkin seseorang melaksanakan dua kali haji pada tahun yang sama.
Pembagian
wajib kepada beberapa kategori tersebut di atas terasa penting dalam
hubungannya dengan kewajiban meniatkan secara khusus bentuk ibadah yang
dilakukan. Pada wajib muwassa’
seperti shalat lima waktu, wajib hukumnya menyebutkan macam shalat yang akan
dilaksanakannya dalam berniat. Seseorang yang akan menunaikan shalat zuhur,
misalnya, hendaklah ia menegaskan dalam niatnya bahwa shalat yang akan
dilaksanakannya itu adalah shalat zuhur. Demikian pula halnya dengan
shalat-shalat lainnya.
Adapun
pada wajib mudhayyaq, menurut
kalangan Hanafiyah, tidak mesti adanya ketegasan tersebut di atas. Seseorang
yang akan melaksanakan puasa Ramadhan, untuk syarat sahnya cukup dengan
meniatkan puasa saja, tanpa menegaskan bahwa yang dipuasakannya itu adalah
kewajiban puasa Ramadhan. Sebab, tidak mungkin bagi seseorang melakukan puasa
selain puasa Ramadhan. Oleh sebab itu, jika seseorang meniatkan puasa sunah
pada bulan Ramadhan, maka puasa itu tetap saja terhitung sebagai puasa fardhu
Ramadhan.
Berbeda
dengan hal tersebut di atas, mayoritas ulama berpendapat, tidak ada bedanya
antara wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq dari segi kewajiban menegaskan
macam ibadah, menurut mereka merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian ibadah itu sendiri. Maka sebagaimana kewajiban menegaskan
macam shalat yang akan dilaksanakan, demikian halnya kewajiban menegaskan macam
puasa yang akan dilaksanakan. Adapun meniatkan puasa sunah pada bulan Ramadhan,
berarti meniatkan sebuah ibadah yang disyari’atkan dalam Islam. Oleh karena
itu, puasa sunah itu tidak sah hukumnya di bulan Ramadhan.
Adapun
wajib dzu al-syubhan, Pada akhir
pembahasan tentang hukum wajib ada baiknya dikemukakan perbedaan pendapat ulama
tentang pemakaian istilah wajib dan istilah fardhu. Mayoritas ulama dari
kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat, istilah wajib sama
dengan pengertian isitlah fardhu. Misalnya, melaksanakan shalat lima waktu
boleh dikatakan wajib hukumnya dan boleh juga dikatakan fardhu.
Kedua
istilah tersebut menunjukkan kemestian suatu perbuatan untuk dilaksanakan,
tanpa melihat kepada kuat atau tidak kuatnya dalil yang menjadi dasarnya.
Berbeda dengan itu kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwa istilah wajib berbeda
dengan istilah fardhu. Istilah wajib digunakan untuk hukum yang ditetapkan dengan dalil yang zhanni. Misalnya, menyembelih hewan
kurban adalah wajib hukumnya karena ditetapkan dengan dalil yang zhanni bukan qath’i, yaitu hadis yang bukan hadis mutawatir. Sedangkan istilah fardhu
digunakan untuk hukum yang ditetapkan dengan dalil yang qathi’i (pasti), misalnya melaksanakan shalat lima waktu hukumnya fardhu karena ditetapkan dengan dalil
yang qath’i yaitu ayat-ayat Al-Qur’an
yang tidak lagi diragukan kebenaran menunjukkan hukum shalat.
Perbedaan
pendapat tersebut berawal dari perbedaan segi memandang hukum wajib dan fardhu. Mayoritas ulama memandang dari segi kemestian untuk
melakuakan suatu perbuatan tanpa melihat bobot dalil yang menetapkannya, dan
tanpa melihat apakah orang yang mengingkarinya menjadi kafir atau tidak menjadi
kafir. Dari segi ini, wajib dan fardhu adalah sama, karena sama-sama mesti dilakukan,
dalam arti berdosa siapa yang meninggalkannya. Namun kalangan ini mengakui
bahwa ada hukum wajib atau fardhu yang ditetapkan dengan dalil qath’i dan ada pula dengan dalil zhanni. Sedangkan kalangan Hanafiyah
melihat dari sudut dalil yang menjadi landasan hukum wajib dan hukum fardhu.
Dalil yang zhanni menimbulkan hukum wajib dan tidak menjadi kafir siapa yang
mengingkarinya, dan dalil yang qath’i
menimbulkan hukum fardhu dan menjadi kafir siapa yang mengingkariny. Namun
demiian, kalangan ini juga mengakui bahwa kedua bentuk istilah itu menunjukkan
kemestian untuk dilakukan oleh mukalaf.
Menurut
Muhammad Najib al-Muthi’, dalam kitabnya Sullamul-Wushul,
perbedaan pendapat tersebut hanyalah perbedaan yang tidak prinsipil (khalaf lafzy). Namun, bila kita
perhatikan hasil-hasil ijtihad mereka, di antaranya ada perbedaan kesimpulan
yang disebabkan oleh perbedaan dalam pemakaian dua istilah tersebut. Antara
lain, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, meninggalkan membaca ayat
Al-Qur’an dalam shalat membuat shalat itu tidak sah karena dalil yang
menunjukkan kemestian membaca ayat Al-Qur’an dalam shalat adalah dalil qath’i, dalam bentuk ayat Al-Qur’an.
Sedangkan meninggalkan membaca al-Fatihah dalam shalat tidak membatalkan shalat
karena kemestian membaca al-fatihah hukumnya wajib yang ditetapkan dengan dalil
zhanni, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh perorangan (Tidaklah [sempurna] shalat, orang yang tidak membaca
al-Fatihah).
Pendapat
yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yang menyamakan pengertian istilah wajib dan fardhu
karena membedakan antara keduanya berakibat adanya dua sifat hukum bagi satu
pekerjaan, di mana satu pekerjaan disebut fardhu hukumnya bagi sahabat yang
mengetahui secara pasti kebenaran suatu dalil (qath’i), dan kemudian menjadi wajib bagi umat yang datang
sesudahnya karena mereka tidak mengetahui benar kebenaran suatu dalil (zhanni).
2)
Mandub
a) Pengertian
Mandub
Kata
mandub dari segi bahasa berarti
“sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul
Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang
yang tidak melaksanakannya. Mandub
disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama.
b) Pembagian
Mandub
Seperti
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, mandub
terbagi kepada beberapa tingkatan:
(1) Sunnah Muakkadah
(sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh
Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunah dua raka’at
sebelum fajar.
(2) Sunnah ghair
al-Muakkadah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang
dilakukan Rasulullah, namun bukan mnjadi kebiasannya. Mislanya, melakukan
shalat sunah dua kali dua raka’at sebelum shalat zuhur, dan seperti memberikan
sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam
keadaan terdesak, maka hukum membantunya adalah wajib.
(3) Sunnah al-Zawaid,
yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya,
sopan santunnya dalam makan, minum, dan tidur. Mengikuti Rasulullah dalam
masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun tingkatannya di bawah dua macam
sunnah di atas dan yang lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama
tadi.
3)
Haram
a) Pengertian
Haram
Kata
haram secara etimologi berarti
“sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi Ushul Fiqh kata
haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang
yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meniggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan berzina
dalam firman Allah:
Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk (QS. al-Isra’/17: 32)
larangan mencuri dalam
ayat:
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)
larangan membunuh dalam
firman Allah:
… Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(QS. an-Nisa’/3: 29)
dan larangan menganiaya
seperti dalam firman Allah:
Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisi riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
(QS. al-Baqarah/2: 279)
Dalam
kajian Ushul Fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan
kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram
disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
b) Pembagian
Haram
Para
ulama Ushul Fiqh, antara lain Abdul-Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa
macam, yaitu:
(1) al-Muharram li
Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu
tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan berzina seperti dalam ayat:
Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk (QS. al-Isra’/17: 32)
Larangan
menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung dan saudara kandung sebagaimana
dalam firman Allah:
Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan… (QS.
an-Nisa’/3: 23)
Seperti
ketentuan hukum haram memakan bangkai sebagaimana dalam ayat:
Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. (QS. al-Maidah/5: 23)
kemudian
tentang haramnya mencuri, Allah berfirman:
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)
Dan
mengenai ketentuan haramnya membunuh jiwa manusia, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS. an-Nisa’: 29).
Di
antara ketentuan yang berlaku pada ketentuan hukum haram semacam ini adalah
bahwa sesuatu yang diharamkan karena esensinya, bilamana dilakukan juga,
hukumnya tidak sah. Tindakan mencuri misalnya diharamkan dan oleh karena itu
tidak sah menjadi sebab pemilikan harta yang dicuri itu, perbuatan zina tidak
sah menjadi sebab bagi akibat-akibat pernikahan yang sah seperti menisbahkan (menyandarkan) anak kepada
ayahnya, dan tidak dianggap sah sebagai sebab untuk waris mewarisi.
(2) al-Muharram li
Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya
karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi
tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan
membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, larangan
melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apa
diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Jumu’ah/62: 9)
Jual
beli bilamana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan
melakukannya pada waktu azan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari
memenuhi panggilan Allah (shalat Jum’at). Ketentuan yang berlaku dalam hal ini,
seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, adalah bahwa larangan seperti itu
adalah perpindahan miliki dari penjual kepada pembeli, namun pelakunya berdosa
di sisi Allah.
4)
Makruh
a) Pengertian
Makruh
Secara
bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh
kata makruh, menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang
dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan
mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya seperti
dikemukakan Wahhab az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali ditegaskan makruh hukumnya
berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan ketika akan berwudhu di
siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan
dan tertelan.
b) Pembagian
Makruh
Menurut
kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam:
(1) Makruh Tahrim,
yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu
bersifat zhanni al-wurud (kebenaran
datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti.
Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan
larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain sebagaimana dalam
sabda Nabi:
Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata
bahwa Nabi SAW. Melarang untuk membeli suatu barang yang masih dalam tawaran
orang lain dan melarang seseorang untuk meminang seorang wanita yang ada dalam
pinangan orang lain sampai mendapatkan izin atau telah ditinggalkannya.
(HR. al-Bukhari)
Hadis
tersebut, adalah hadis ahad (hadis
yang diriwayatkan perorangan atau bebearapa orang yang tidak sampai ke batas mutawatir), di mana dalam kajian Ushul
Fiqh di anggap hanya sampai pada tingkat dugaan keras (zhanni) kebenaran datangnya dari Rasulullah, tidak sampai
meyakinkan. Makruh tahrim ini,
menurut kalangan Hanafiayah, sama dengan hukum haram dalam istilah mayoritas
ulama dari segi sama-sama diancam dengan siksaan atas pelanggarnya, meskipun
tidak kafir orang yang mengingkarinya karena dalilnya bersifat zhanni.
(2) Makruh Tanzih,
yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya,
memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu
perang. Menurut Sebagian kalangan Hanafiyah, pada dasarnya memakan daging kuda
hukumnya haram karena ada larangan memakannya berdasarkan hadis riwayat
Daraquthni. Namun ketika sangat butuh waktu perang dibenarkan memakannya mekipun
dianggap makruh.
5)
Mubah
a) Pengertian
Mubah
Secara
bahasa kata mubah berarti “sesuatu
yang dibolehkan atau diizinkan”. Menurut Istilah ushul Fiqh, seperti
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, berarti:
Yaitu sesuatu yang diberi pilih
oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya,
dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya,
ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan lagi
akan dapat hidup bersama, maka boleh (mubah)
bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu
menceraikannya, sesuai dengan petunjuk Allah dan firman-Nya:
Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(sumi istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
(QS. al-Baqarah/2: 229)
Istilah
mubah, menurut Abu Zahrah, sama
pengertiannya dengan halal atau jaiz.
b) Pembagian
Mubah
Abu
Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat
membagi mubah kepada tiga macam:
(1) Mubah
yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi
untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rezeki. Mubah
seperti ini, demikian Abu Ishaq al-Syathibi menjelaskan, hanya dianggap mubah
dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan dan minuman halal mana
yang akan diminum. Akan tetapi, seseorang tidak diberi kebebasan memilih untuk
makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini
akan membahayakan dirinya.
(2) Sesuatu
baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram
hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya, bermain dan mendengar nyanyian
hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya
menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
(3) Sesuatu
yang mubah yang befungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Misalnya, memebeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang
hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat
persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk
mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang
dilarang.
b.
Hukum
Wadh’i
Seperti
telah disinggung di atas, hukum wadh’i
adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, atau sebagai mani’.
Dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1)
Sebab
a)
Pengertian
Sebab
Sebab
menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu
yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,
sebab berarti:
Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh
syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda
bagi tidak adanya hukum.
Misalnya,
tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada
pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban
mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
b)
Pembagian
Sebab
Para
ulama Ushul Fiqh membagi sebab kepada dua macam:
(1) Sebab
yang bukan merupakan perbuatan mukalaf dan berada di luar kemampuannya. Namun
demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Misalnya,
tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat zuhur,
masuknya bulan Ramadahn menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa
Ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan
sesuatu yang diharamkan.
(2) Sebab
yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas kemampunnya. Misalnya,
perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Ramadhan,
pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman qisas atas pelakunya, dan akad transaksi jual beli menjadi sebab
bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Sebab yang
merupakan perbuatan mukalaf ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum taklifi. Oleh sebab itu, di antaranya
ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad nikah
ketika khawatir akan terjadi perzinaan, di antaranya ada yang dilarang seperti
larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang
mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan
milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.
c) Perbedaan
antara Sebab dan ‘Illat
Abdul-Karim
Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antara sebab dan ‘illat. Sesuatu
yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua
bentuk. Bentuk pertama, antara tanda
(sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabab) mempunyai hubungan logis, dalam
pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan
bentuk kedua, hubungan di antara
keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran.
Bentuk
pertama di atas, di samping disebut sebagai sebab, juga disebut ‘illat, sedangkan bentuk yang kedua
hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah sebab dan juga illat bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Bulan Ramadhan, dan
keadaan memabukkan menjadi sebab atau
‘illat bagi haramnya meminum khamar.
Sedangkan contoh bentuk kedua, yaitu sebab yang bukan ‘illat seperti terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajib
melaksanakan shalat maghrib dan terbit fajar menjadi sebab bagi masuk waktu
shalat subuh.
Pada
sebab semacam ini, Allah menjadikan terbenam matahari sebagai tanda bagi
masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar menjadi tanda bagi masuknya waktu
shalat subuh, tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam matahari dan
terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.
2)
Syarat
a)
Pengerian
Syarat
Menurut
bahasa kata syarat berarti “sesuatu
yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut
istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya
ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu.
Misalnya,
wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat
tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi
menjadi syarat bagi sahnya akad nikah, namun kedua orang saksi itu merupakan
bagian dari akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Di sinilah
perbedaan antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi
ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya terdapat
perbedaan di mana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti dikemukakan di
atas, bukan merupakan bagian dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut,
sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat
misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian
dari hakikat pelaksanaan shalat.
b) Pembagian
Syarat
Para
ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
(1) Syarat Syar’i,
yaitu syarat yang datang langsung dari syarat sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampaun untuk mengatur
pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan
oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya
sebagaimana firman Allah:
Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendaptmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)
bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
(QS. An-Nisa’/3: 6)
(2) Syarat Ja’ly,
yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya,
seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan,
maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru
bersedia menjamin untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu
tidak mampu membayar utangnya itu.
3)
Mani’
a)
Pengertian
Mani’
Kata
mani’ secara etimologi berarti
“penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh
Abdul-karim Zaidan, kata mani’ berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai tanda penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya
suatu sebab.
Sebuah
akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad
yang sah itu mempunyia akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu
penghalang (mani’). Misalnya, akad
perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai
sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan
pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk
mewarisi istrinya. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi
antara pembunuh dan terbunuh.
b) Pembagian
Mani’
Para
ahli Ushul Fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
(1) Mani’ al-Hukm,
yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang)
bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat
tidak wajib dilakukannya waktu haid.
Dari Aisyah sesungguhnya ada
seorang wanita yang bertanya kepadanya apakah seorang wanita yang sedang haid
harus mengqadha’ shalat, Aisyah berkata: Anda terbebas, sebab dulu di masa Nabi
SAW. kami pernah haid dan setelah suci beliau tidak menyuruh mengqadha’ shalat.
(HR. Ibnu Majjah)
(2) Mani’ al-Sabab,
yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang bagi berfungsinya
suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena
pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam
keadaan berutang di mana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari
satu nisab, maka dalam kajian fikih
keadaan berutang itu menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta
yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan seseorang dalam berutang itu,
telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya sehingga tidak lagi
dikenakan kewajiban zakat harta.
Sumber : Buku Ushul
Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar