Jumat, 17 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Sejarah Filsafat I Zaman Patristik dan Pertengahan (200 M-1600 M)


Zaman Patristik dan Pertengahan (200 M-1600 M)

Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu erat, bahkan berada di bawah naungan agama. Zaman ini, dibagi ke dalam empat periode, yaitu Zaman Patristik, Zaman Awal Skolastik, Zaman Keemasan Skolastik, dan Zaman Akhir Abad Pertengahan.

1.      Zaman Patristik

Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam masyarakat luas, terdapat pemikiran filosof yang disebut sebagai kebudayaan kafir. Jadi, ada dua pendirian yang berlainan, yaitu yang berdasarkan agama Kristen dan berdasarkan filsafat Yunani. Pandangan pemikir agama pun terbagi tiga dalam menanggapi filsafat ini. Pandangan pertama berpendapat, bahwa setelah ada wahyu Illahi yang terwujud dalam Yesus Kristus, seharusnya tidak ada lagi pemikira filosofis sehingga tidak diakuinya. Pandangan kedua, berusaha untuk menengahinya dengan mensintesiskan kedua pemikiran tersebut. Pandangan ketiga bahkan menyatakan bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica) yang harus diterima dan dikembangkan.

Beberapa nama perlu ditampilkan dalam uraian singkat ini, yaitu Yustinus Martyr, Clemens (150-215 M), dan Origenes (185-254 M). Martyr adalah pemikir yang sejak semula telah mempelajari berbagai sistem filsafat, dan ketika masuk agama Kristen, ia menyebut dirinya sebagai filosof. Ia menulis dua buku tentang membela hak agama Kristen. Clemens dan Origenes berasal dari Alexandria, kota yang merupakan pusat intelektual pada akhir Zaman Kuno yang merancang suatu teologi yang tersusun secara ilmiah berdasarkan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Stoisisme.

Zaman Keemasan Pratristik, meliputi Yunani maupun Latin yang muncul pada masa yang kurang lebih sama. Di Yunani, Zaman Keemasan terbangun setelah kaisar Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam dan untuk mengantu agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami penindasan di bawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga Bapak Gereja yang penting untuk dikenal mewakili kehidupan pemikiran masa kini, adalah Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius dari Nyssa (335-394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan kebudayaan helenitas. Di antara ketiga orang tersebut yang paling pandai adalah Gregorius dari Nyssa. Pada dasarnya, mereka menggunakan neoplatonisme, namun mereka menolak disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada Abad ke-8, Zaman Keemasan Patristik Yunani berakhir dengan Johannes Damascenus sebagai raja yang menulis suatu karya berjudul “Sumber Pengetahuan” yang secara sistematis menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada Zaman Patristik Yunani, sebanyak tiga jilid.

Sekitar Abad ke-8, orang Arab (Islam) merebut Siria, Mesir, Afrika Utara, dan bagian selatan Spanyol. Alexandria jatuh dan sekolah-sekolahnya ditutup. Melalui filosof Kristen, orang Arab berkenalan dengan filsafat Yunani, antara lain menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Pada saat itu terjadi pusat filsafat di Baghdad dan Cordova.

Pada Abad ke-4, Zaman Keemasan Patristik Latin terjadi. Nama besar dari jajaran Bapak Gereja Barat adalah Augustinus (354-430) yang dinilai menjadi pemikir terbesar untuk seluruh Zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan dari pemikiran Augustinus adalah bahwa pemikirannya merupakan integrasi dari teologi kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani pribadinya. Ia sendiri tidak sepaham dengan pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu otonom atau lepas dari iman kristiani. Menurut pendapatnya, filsafat dapat dipahami sebagai “filsafat kristiani” atau “kebijaksanaan kristiani” saja. Dalam filsafat, ia tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme juga. Pemikiran lain yang memengaruhi Augustinus adalah stoisisme.

Pada pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami, yaitu sebagai berikut.

a.       Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggal dalam batin kita dan menerangi roh manusia.

b.      Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang, tetapi bergantung kepada Allah. Mula-mula, Allah menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetapi mengandung benih (rationes seminales) berupa prinsip bagi perkembangan jasmani. Prinsip perkembangannya berbeda dengan evolusi Darwin karena tidak mengandung mutasi jenis. Menurut pandangannya, bahwa di dalam benih itu segala hal telah ada, seperti sesudah telor maka lahirlah ayam. Suatu masalah tidak akan mencapai jalan buntu apabila berdasarkan alkitab.

c.       Menurut pemikiran Augustinus, bahwa manusia yang dipengeruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualisme ekstrim Plato, jiwanya senantiasa terkurung tubuh. Tubuh bukan merupakan sumber kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas.

 

2.      Zaman Awal Skolastik

Zaman ini berhubungan dengan terjadinya perpindahan penduduk, yaitu perpindahan bangsa Hun dari Asia masuk ke Eropa sehingga bangsa Jerman pindah melewati perbatasan kekaisaran Romawi yang secara politik sudah mengalami kemerosotan. Karena situasi yang ricuh, tidak banyak pemikiran filsafati yang patut ditampilkan pada masa ini. Namun, ada beberapa tokoh dan situasi penting yang harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa ini.

Pertama, ahli pikir Boethius (480-524 M), dalam usianya yang ke-44 tahun, ia dikenai hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai filosof akhir Romawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkannya logika Aristoteles ke dalam bahasa Latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.

Ia adalah guru logika pada Abad Pertengahan dan mengarang beberapa trkatat teologi yang dipelajari sepanjang Abad Pertengahan.

Kedua, Kaisar Karel Agung yang memerintah pada awal Abad ke-9 yang telah berhasil mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Pendidikan yang dibangunnya terdiri dari tiga jenis, yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau kerabat kerajaan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran Abad Pertengahan berada dalam naungan teologi. Seperti dikatakan Thomas Aquinas pada Abad ke-13, ilmu pengetahuan adalah pembantu teologi. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran Augustinus.

Ketiga, beberapa nama penting lainnya, seperti Johannes Scotus Eriugena, Anselmus, dan Abelardus.

Eriugena (810-877) bekerja di sekolah lingkungan istana Karel Agung. Ia berjasa dalam menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi referensi bagi dunia pemikiran abad-abad selanjutnya. Berdasarkan filsafat neoplatonisme, ia membangun sintesis teologi. Akan tetapi, pemikirannya agak sulit dicerna sehingga pemikirannya tidak dapat diteruskan orang lain.

Anselmus (1033-1109) memimpin biara di Normandi, Perancis, dan uskup agung di Canterbury, Inggris. Ia meluruskan perkataan Augustinus dengan mengatakan, “Saya percaya supaya saya mengerti” (credo ut intelligam). Ia terkenal terutama karena argumentasinya bahwa Allah itu benar-benar ada. Ada tiga langkah pembuktian filsafatinya. Pertama, Allah itu maha besar sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar (id quo nihil malus cogitari potest). Kedua, hal yang terbesar tentulah berada dalam kenyataan karena apa yang ada dalam pikiran saja tidak mungkin lebih besar. Ketiga, bahwa Allah tidak hanya berada dalam pemikiran, tetapi ada dalam kenyataan juga. Jadi, Allah benar-benar ada.

Abelardus (1079-1142) berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah memberikan sumbangan terhadap penyelesaian masalah yang ramai dibicarakan dalam kalngan skolastik, ialah masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep tersebut. Dalam hal ini, ada dua pendirian, yaitu realisme bahkan sering disebut ultra-realisme dengan tokohnya Gulielmus yang membicarakan masalah “kemanusiaan”. Pendirian yang kedua nominalisme dengan tokohnya Roscelinus. Ia berpendapat, bahwa selain individu-indivdiu tidak ada sesuatu yang nyata. Menurut mereka, bahwa yang termasuk konsep-konsep umum hanyalah bunyi (flatus vocis).

Keempat, adalah cara mengajar yang terdiri dari dua jenis. Pertama, cara kuliah (lectio) yang diberikan seorang mahaguru. Kedua, diskusi yang dipimpin seorang mahaguru. Suatu topik dibahas secara sistematis dengan menampung semua argumen pro dan konra (disputation). Pelaksanaannya, baik kuliah maupun diskusi dibuat buku pegangan yang disebut sententiae, artinya pendapat-pendapat, kemudian dibuat buku pegangan lain yang disebut Summa, artinya ikhtisar.

3.      Zaman Keemasan Skolastik

Zaman Keemasan Skolastik terjadi pada Abad ke-13. Sama dengan Abad Pertengahan, pada zaman Keemasan Skolastik ini, filsafat dipelajari dalam hubungannya dengan teologi, tidak berarti bahwa wacana filsafat hilang. Filsafat tetap dipelajari meskipun tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini dibangun sintesis filosofis yang penting. Sintesisnya berkaiatan dengan tiga hal. Pertama, didirikannya universitas-universitas pada 1200. Kedua, beberapa ordo baru dibentuk. Ketiga, ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat yang sebelumnya tidak dikenal. Adapun penjelasannya, sebagai berikut.

Pertama, universitas. Sekolah-sekolah di Paris secara bersama-sama membangun universitas yang meliputi guru dan mahasiswa (magistorum et scolarium). Sejak Abad ke-9, di seluruh Eropa Barat didirikan sekolah, setelah akademia ditutup pada Abad ke-2. Di Paris, sekolah-sekolah itu merupakan yang terbanyak. Sekolah-sekolah ini merupakan universitas pertama di dunia yang pertama bekerja sama antarsekolah di Paris. Di sekolah tersebut terdapat hak-hak khusus dari pihak gereja sehingga menjadikan universitas berkembang pesat. Hal ini ditiru oleh daerah lain, seperti Oxford, Bologna, dan Cambridge di Inggris serta banyak kota lainnya. Pada Abad Pertengahan umumnya universitas terdiri atas empat fakultas, yaitu kedoteran, hukum, sastra (facultas atrium), dan teologi.

Kedua, ordo-ordo yang baru merupakan faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan hidup intelektual. Dua ordo yang terkenal adalah ordo fransiskan yang didirikan Fransiskus pada 1209, dan ordo dominikan yang didirikan Dominikus pada 1215. Di berbagai kota, para eksponen dominikan mendirikan rumah studi (studium generale) yang digabungkan dengan universitas setempat.

Ketiga, penemuan karya filsafat Yunani, terutama karya Aristoteles. Penemuan ini merupakan faktor terpenting dalam perkembangan intelektual. Mula-mula, dunia Barat hanya mengenal Aristoteles sebagai  filosof bidang logika. Mereka sadar, bahwa pemikiran Aristoteles itu sangat luas. Ajaran Aristoteles masuk ke dunia Barat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, ajaran ini masuk melalui Arab dengan tokoh-tokohnya Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198), serta beberapa filosof Yahudi, sedangkan secara langsung, ajaran ini masuk melalui Sisilia.

Beberapa nama yang patut ditampilkan sebagai pengembangan intelektual, ialah Bonaventura yang memberi komentar atas sententiae sebanyak empat jilid hasil pemberian kuliahnya antara 1250 dan 1253, Siger dari Fakultas Sastra, Albertus Agung, Thomas Aquinas, dan J.D.Scotus.

1.      Zaman Akhir Abad Pertengahan

Pada akhir Abad ke-14 terjadi sikap kritis atas berbagai usaha pemikiran yang mensintesiskan pemikiran filsafati dan teologi yang semakin menyimpang dari pendapat Aristoteles. Dua pusat pada Abad ke-14 yang berjasa dalam mempersiapkan ilmu pengetahuan alam modern, ialah Johannes Buridanus (1298-1359) di Paris, dan Thomas Bradwardine (1300-1349) di Oxford. Dalam filsafat, perkembangan tampil dalam bentuk “jalan modern” (via moderna) yang dipertentangkan dengan “jalan kuno” (via antique).

“Jalan kuno” adalah mazhab-mazhab skolastik tradisional, terutama thomisme dan scotisme, serta neoplatonisme, aristotelisme moderat, juga albertisme. Pada jalan lama ini tidak terdapat pemikir-pemikir besar sehingga lebih penting untuk membicarakan jalan baru.

“Jalan baru” didasari oleh pemikiran Gulielmus (1285-1349) dari Inggris yang menjadi anggota ordo fransiskan. Pendapat-pendapatnya sering bertentangan dengan pemikiran gereja, dalam hal ini Paus di Vatikan sehingga terjadilah pertengkaran yang menyebabkan ia lebih memerhatikan masalah-masalah logika, meskipun masih menulis komentar atas “sententiae”.

Pikiran-pikiran Gulielmus lebih terkenal dengan Ockham. Nama kota kelahirannya, cenderung pada empirisme. Ia menolak individuasi, tetapi lebih cenderung pada sifat individual. Bentuk pengenalan paling sempurna adalah bersifat indrawi, lebih langsung. Oleh karena itu, pengenalan indrawi harus dianggap intuitif, dibedakan dengan pengenalan abstrak. Pengenalan intelektual yang abstrak mempunyai konsep-konsep umum sebagai objeknya. Masalahnya, apakah konsep umum itu? Ockham mempunyai pendirian ekstrim mengenai hal ini yang biasanya disebut terminisme dan nominalisme. Menurut pendapatnya, manusia tidak mengenal kodrat, sementara konsep, seperti “kemanusiaan” sama sekali tidak dimiliki oleh siapa pun. Ockham menekankan bahwa konsep merupakan suatu “tanda wajar” (signum natural), sedangkan term atau istilah yang menjelma konsep dalam bahasa bersifat konvensional sehingga dapat berlainan.

Dalam metafisika, Ockham menggunakan dua prinsip yang berpengaruh pada pemikiran filsafat pada waktu itu. Pertama, “Ockham’s razor” bahwa keberadaan tidak dapat dilipatgandakan, apabila tidak perlu (entia non sunt multiplicanda praeter necessitate). Artinya, suatu realitas metafisika tidak dapat diterima jika dasarnya tidak kuat. Kedua, “apa yang dapat dibedakan, dapat dipisahkan pula”, paling tidak Allah-lah yang dapat memisahkannya. Berdasarkan dua prinsip tersebut, ia membersihkan metafisika dari perdebatan steril yang merajalela dalam mazhab skolastik. Melalui jalan modern ini, Ockham sangat berhasil karena banyak orang sudah bosan dengan perselisihan yang tidak memberi manfaat nyata.

Dalam mengenal Allah, Ockham bersikap lebih kritis terhadap pengenalan manusia kepada Allah. Menurutnya, bahwa dengan rasio saja tidak mungkin manusia mengenal Allah. Pengenalan hanya dapat terjadi melalui iman dan kepercayaan. Kekuasaan Allah adalah absolut. Tata susunan moral yang dibuat manusia tidak bersifat absolut dan sama sekali bergantung pada kehendak Allah.

Filsafat Abad Pertengahan diawali oleh Boethius, dan diakhiri oleh Nicolaus Cusanus (1401-1464). Nicolaus Cusanus membedakan tiga macam pengenalan, ialah pancaindra, rasio, dan intuisi. Pengenalan indrawi kurang sempurna. Rasio membentuk konsep berdasarkan, sedangkan aktivitasnya dikuasai prinsip nonkontradiksi (tidak mungkin sesuatu ada dan tidak ada). Kita akui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignoratia). Dengan intuisi, manusia dapat mencapai segala sesuatu yang tidak terhingga. Allah merupakan objek intuisi manusia. Dalam diri Allah, seluruh hal yang berlawanan akan mencapai kesatuan (coincidentia oppositorium).

Pengetahuan yang luas membuat Nicolas tidak sekadar menjadi eksponen Abad Pertengahan. Ia juga mencintai ekperimen sehingga membawanya pada pemikiran ilmu masa modern.

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...