Zaman
Patristik dan Pertengahan (200 M-1600 M)
Zaman
ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu erat, bahkan berada
di bawah naungan agama. Zaman ini, dibagi ke dalam empat periode, yaitu Zaman
Patristik, Zaman Awal Skolastik, Zaman Keemasan Skolastik, dan Zaman Akhir Abad
Pertengahan.
1.
Zaman
Patristik
Istilah
patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan
gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi
kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam
masyarakat luas, terdapat pemikiran filosof yang disebut sebagai kebudayaan
kafir. Jadi, ada dua pendirian yang berlainan, yaitu yang berdasarkan agama
Kristen dan berdasarkan filsafat Yunani. Pandangan pemikir agama pun terbagi
tiga dalam menanggapi filsafat ini. Pandangan pertama berpendapat, bahwa setelah
ada wahyu Illahi yang terwujud dalam Yesus Kristus, seharusnya tidak ada lagi
pemikira filosofis sehingga tidak diakuinya. Pandangan kedua, berusaha untuk
menengahinya dengan mensintesiskan kedua pemikiran tersebut. Pandangan ketiga
bahkan menyatakan bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica) yang harus
diterima dan dikembangkan.
Beberapa
nama perlu ditampilkan dalam uraian singkat ini, yaitu Yustinus Martyr, Clemens
(150-215 M), dan Origenes (185-254
M). Martyr adalah pemikir yang sejak semula telah mempelajari berbagai sistem
filsafat, dan ketika masuk agama Kristen, ia menyebut dirinya sebagai filosof.
Ia menulis dua buku tentang membela hak agama Kristen. Clemens dan Origenes
berasal dari Alexandria, kota yang merupakan pusat intelektual pada akhir Zaman
Kuno yang merancang suatu teologi yang tersusun secara ilmiah berdasarkan
filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Stoisisme.
Zaman
Keemasan Pratristik, meliputi Yunani maupun Latin yang muncul pada masa yang kurang
lebih sama. Di Yunani, Zaman Keemasan terbangun setelah kaisar Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya
dalam dan untuk mengantu agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami
penindasan di bawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga Bapak Gereja yang
penting untuk dikenal mewakili kehidupan pemikiran masa kini, adalah Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius
dari Nyssa (335-394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan
kebudayaan helenitas. Di antara ketiga orang tersebut yang paling pandai adalah
Gregorius dari Nyssa. Pada dasarnya, mereka menggunakan neoplatonisme, namun
mereka menolak disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada Abad ke-8,
Zaman Keemasan Patristik Yunani berakhir dengan Johannes Damascenus sebagai raja yang menulis suatu karya berjudul
“Sumber Pengetahuan” yang secara sistematis menggambarkan seluruh sejarah
filsafat pada Zaman Patristik Yunani, sebanyak tiga jilid.
Sekitar
Abad ke-8, orang Arab (Islam) merebut Siria, Mesir, Afrika Utara, dan bagian
selatan Spanyol. Alexandria jatuh dan sekolah-sekolahnya ditutup. Melalui
filosof Kristen, orang Arab berkenalan dengan filsafat Yunani, antara lain
menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Pada saat itu terjadi pusat filsafat di
Baghdad dan Cordova.
Pada
Abad ke-4, Zaman Keemasan Patristik Latin terjadi. Nama besar dari jajaran
Bapak Gereja Barat adalah Augustinus
(354-430) yang dinilai menjadi pemikir terbesar untuk seluruh Zaman Patristik.
Adapun kekuatan dan kelemahan dari pemikiran Augustinus adalah bahwa
pemikirannya merupakan integrasi dari teologi kristen dan pemikiran
filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani pribadinya. Ia sendiri tidak
sepaham dengan pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu otonom atau lepas
dari iman kristiani. Menurut pendapatnya, filsafat dapat dipahami sebagai
“filsafat kristiani” atau “kebijaksanaan kristiani” saja. Dalam filsafat, ia
tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme juga. Pemikiran lain yang
memengaruhi Augustinus adalah stoisisme.
Pada
pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami, yaitu
sebagai berikut.
a. Iluminasi atau
penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat
penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggal dalam batin kita
dan menerangi roh manusia.
b. Dunia jasmani
yang terus-menerus berkembang, tetapi bergantung
kepada Allah. Mula-mula, Allah menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk
tertentu, tetapi mengandung benih (rationes seminales) berupa prinsip bagi
perkembangan jasmani. Prinsip perkembangannya berbeda dengan evolusi Darwin karena tidak mengandung mutasi
jenis. Menurut pandangannya, bahwa di dalam benih itu segala hal telah ada,
seperti sesudah telor maka lahirlah ayam. Suatu masalah tidak akan mencapai
jalan buntu apabila berdasarkan alkitab.
c. Menurut
pemikiran Augustinus, bahwa manusia yang dipengeruhi platonisme, tetapi tidak
mengakui dualisme ekstrim Plato, jiwanya senantiasa terkurung tubuh. Tubuh
bukan merupakan sumber kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal
dari kehendak bebas.
2.
Zaman
Awal Skolastik
Zaman
ini berhubungan dengan terjadinya perpindahan penduduk, yaitu perpindahan
bangsa Hun dari Asia masuk ke Eropa sehingga bangsa Jerman pindah melewati
perbatasan kekaisaran Romawi yang secara politik sudah mengalami kemerosotan.
Karena situasi yang ricuh, tidak banyak pemikiran filsafati yang patut
ditampilkan pada masa ini. Namun, ada beberapa tokoh dan situasi penting yang
harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa ini.
Pertama,
ahli pikir Boethius (480-524 M),
dalam usianya yang ke-44 tahun, ia dikenai hukuman mati dengan tuduhan
berkomplot. Ia dianggap sebagai filosof akhir Romawi dan filosof pertama
Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkannya logika Aristoteles ke dalam bahasa
Latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Ia
adalah guru logika pada Abad Pertengahan dan mengarang beberapa trkatat teologi
yang dipelajari sepanjang Abad Pertengahan.
Kedua,
Kaisar Karel Agung yang memerintah
pada awal Abad ke-9 yang telah berhasil mencapai stabilitas politik yang besar.
Hal ini menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Pendidikan
yang dibangunnya terdiri dari tiga jenis, yaitu pendidikan yang digabungkan
dengan biara, pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang
dibangun raja atau kerabat kerajaan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran Abad
Pertengahan berada dalam naungan teologi. Seperti dikatakan Thomas Aquinas pada Abad ke-13, ilmu
pengetahuan adalah pembantu teologi. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari
pemikiran Augustinus.
Ketiga,
beberapa nama penting lainnya, seperti Johannes
Scotus Eriugena, Anselmus, dan Abelardus.
Eriugena
(810-877) bekerja di sekolah lingkungan istana Karel Agung. Ia berjasa dalam
menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios
ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi referensi bagi dunia pemikiran abad-abad
selanjutnya. Berdasarkan filsafat neoplatonisme, ia membangun sintesis teologi.
Akan tetapi, pemikirannya agak sulit dicerna sehingga pemikirannya tidak dapat
diteruskan orang lain.
Anselmus
(1033-1109) memimpin biara di Normandi, Perancis, dan uskup agung di
Canterbury, Inggris. Ia meluruskan perkataan Augustinus dengan mengatakan,
“Saya percaya supaya saya mengerti” (credo
ut intelligam). Ia terkenal terutama karena argumentasinya bahwa Allah itu
benar-benar ada. Ada tiga langkah pembuktian filsafatinya. Pertama, Allah itu
maha besar sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar (id quo nihil malus cogitari potest).
Kedua, hal yang terbesar tentulah berada dalam kenyataan karena apa yang ada
dalam pikiran saja tidak mungkin lebih besar. Ketiga, bahwa Allah tidak hanya
berada dalam pemikiran, tetapi ada dalam kenyataan juga. Jadi, Allah
benar-benar ada.
Abelardus
(1079-1142) berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah memberikan
sumbangan terhadap penyelesaian masalah yang ramai dibicarakan dalam kalngan
skolastik, ialah masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep
tersebut. Dalam hal ini, ada dua pendirian, yaitu realisme bahkan sering
disebut ultra-realisme dengan tokohnya Gulielmus
yang membicarakan masalah “kemanusiaan”. Pendirian yang kedua nominalisme
dengan tokohnya Roscelinus. Ia
berpendapat, bahwa selain individu-indivdiu tidak ada sesuatu yang nyata.
Menurut mereka, bahwa yang termasuk konsep-konsep umum hanyalah bunyi (flatus vocis).
Keempat,
adalah cara mengajar yang terdiri dari dua jenis. Pertama, cara kuliah (lectio) yang diberikan seorang mahaguru.
Kedua, diskusi yang dipimpin seorang mahaguru. Suatu topik dibahas secara
sistematis dengan menampung semua argumen pro dan konra (disputation). Pelaksanaannya, baik kuliah maupun diskusi dibuat
buku pegangan yang disebut sententiae,
artinya pendapat-pendapat, kemudian dibuat buku pegangan lain yang disebut
Summa, artinya ikhtisar.
3.
Zaman
Keemasan Skolastik
Zaman
Keemasan Skolastik terjadi pada Abad ke-13. Sama dengan Abad Pertengahan, pada
zaman Keemasan Skolastik ini, filsafat dipelajari dalam hubungannya dengan
teologi, tidak berarti bahwa wacana filsafat hilang. Filsafat tetap dipelajari
meskipun tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini dibangun sintesis
filosofis yang penting. Sintesisnya berkaiatan dengan tiga hal. Pertama,
didirikannya universitas-universitas pada 1200. Kedua, beberapa ordo baru dibentuk.
Ketiga, ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat yang sebelumnya
tidak dikenal. Adapun penjelasannya, sebagai berikut.
Pertama,
universitas. Sekolah-sekolah di Paris secara bersama-sama membangun universitas
yang meliputi guru dan mahasiswa (magistorum
et scolarium). Sejak Abad ke-9, di seluruh Eropa Barat didirikan sekolah,
setelah akademia ditutup pada Abad ke-2. Di Paris, sekolah-sekolah itu
merupakan yang terbanyak. Sekolah-sekolah ini merupakan universitas pertama di
dunia yang pertama bekerja sama antarsekolah di Paris. Di sekolah tersebut
terdapat hak-hak khusus dari pihak gereja sehingga menjadikan universitas
berkembang pesat. Hal ini ditiru oleh daerah lain, seperti Oxford, Bologna, dan
Cambridge di Inggris serta banyak kota lainnya. Pada Abad Pertengahan umumnya
universitas terdiri atas empat fakultas, yaitu kedoteran, hukum, sastra (facultas atrium), dan teologi.
Kedua,
ordo-ordo yang baru merupakan faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan hidup
intelektual. Dua ordo yang terkenal adalah ordo fransiskan yang didirikan Fransiskus
pada 1209, dan ordo dominikan yang didirikan Dominikus pada 1215. Di berbagai kota, para eksponen dominikan
mendirikan rumah studi (studium generale)
yang digabungkan dengan universitas setempat.
Ketiga,
penemuan karya filsafat Yunani, terutama karya Aristoteles. Penemuan ini
merupakan faktor terpenting dalam perkembangan intelektual. Mula-mula, dunia
Barat hanya mengenal Aristoteles sebagai
filosof bidang logika. Mereka sadar, bahwa pemikiran Aristoteles itu
sangat luas. Ajaran Aristoteles masuk ke dunia Barat, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, ajaran ini masuk melalui Arab
dengan tokoh-tokohnya Ibn Sina
(980-1037), Ibn Rushd (1126-1198),
serta beberapa filosof Yahudi, sedangkan secara langsung, ajaran ini masuk
melalui Sisilia.
Beberapa
nama yang patut ditampilkan sebagai pengembangan intelektual, ialah Bonaventura yang memberi komentar atas sententiae sebanyak empat jilid hasil
pemberian kuliahnya antara 1250 dan 1253, Siger
dari Fakultas Sastra, Albertus Agung,
Thomas Aquinas, dan J.D.Scotus.
1.
Zaman
Akhir Abad Pertengahan
Pada
akhir Abad ke-14 terjadi sikap kritis atas berbagai usaha pemikiran yang
mensintesiskan pemikiran filsafati dan teologi yang semakin menyimpang dari
pendapat Aristoteles. Dua pusat pada Abad ke-14 yang berjasa dalam
mempersiapkan ilmu pengetahuan alam modern, ialah Johannes Buridanus (1298-1359) di Paris, dan Thomas Bradwardine (1300-1349) di Oxford. Dalam filsafat,
perkembangan tampil dalam bentuk “jalan modern” (via moderna) yang dipertentangkan dengan “jalan kuno” (via antique).
“Jalan
kuno” adalah mazhab-mazhab skolastik tradisional, terutama thomisme dan scotisme,
serta neoplatonisme, aristotelisme moderat, juga albertisme. Pada jalan lama
ini tidak terdapat pemikir-pemikir besar sehingga lebih penting untuk
membicarakan jalan baru.
“Jalan
baru” didasari oleh pemikiran Gulielmus
(1285-1349) dari Inggris yang menjadi anggota ordo fransiskan. Pendapat-pendapatnya sering bertentangan dengan
pemikiran gereja, dalam hal ini Paus
di Vatikan sehingga terjadilah pertengkaran yang menyebabkan ia lebih
memerhatikan masalah-masalah logika, meskipun masih menulis komentar atas “sententiae”.
Pikiran-pikiran
Gulielmus lebih terkenal dengan Ockham.
Nama kota kelahirannya, cenderung pada empirisme. Ia menolak individuasi,
tetapi lebih cenderung pada sifat individual. Bentuk pengenalan paling sempurna
adalah bersifat indrawi, lebih langsung. Oleh karena itu, pengenalan indrawi
harus dianggap intuitif, dibedakan dengan pengenalan abstrak. Pengenalan
intelektual yang abstrak mempunyai konsep-konsep umum sebagai objeknya.
Masalahnya, apakah konsep umum itu? Ockham
mempunyai pendirian ekstrim mengenai hal ini yang biasanya disebut terminisme
dan nominalisme. Menurut pendapatnya, manusia tidak mengenal kodrat, sementara
konsep, seperti “kemanusiaan” sama sekali tidak dimiliki oleh siapa pun. Ockham menekankan bahwa konsep merupakan
suatu “tanda wajar” (signum natural),
sedangkan term atau istilah yang
menjelma konsep dalam bahasa bersifat konvensional sehingga dapat berlainan.
Dalam
metafisika, Ockham menggunakan dua
prinsip yang berpengaruh pada pemikiran filsafat pada waktu itu. Pertama, “Ockham’s razor” bahwa keberadaan tidak
dapat dilipatgandakan, apabila tidak perlu (entia
non sunt multiplicanda praeter necessitate). Artinya, suatu realitas
metafisika tidak dapat diterima jika dasarnya tidak kuat. Kedua, “apa yang
dapat dibedakan, dapat dipisahkan pula”, paling tidak Allah-lah yang dapat
memisahkannya. Berdasarkan dua prinsip tersebut, ia membersihkan metafisika
dari perdebatan steril yang
merajalela dalam mazhab skolastik. Melalui jalan modern ini, Ockham sangat berhasil karena banyak
orang sudah bosan dengan perselisihan yang tidak memberi manfaat nyata.
Dalam
mengenal Allah, Ockham bersikap lebih
kritis terhadap pengenalan manusia kepada Allah. Menurutnya, bahwa dengan rasio
saja tidak mungkin manusia mengenal Allah. Pengenalan hanya dapat terjadi
melalui iman dan kepercayaan. Kekuasaan Allah adalah absolut. Tata susunan
moral yang dibuat manusia tidak bersifat absolut dan sama sekali bergantung
pada kehendak Allah.
Filsafat
Abad Pertengahan diawali oleh Boethius, dan diakhiri oleh Nicolaus Cusanus
(1401-1464). Nicolaus Cusanus
membedakan tiga macam pengenalan, ialah pancaindra, rasio, dan intuisi.
Pengenalan indrawi kurang sempurna. Rasio membentuk konsep berdasarkan,
sedangkan aktivitasnya dikuasai prinsip nonkontradiksi (tidak mungkin sesuatu
ada dan tidak ada). Kita akui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignoratia). Dengan intuisi,
manusia dapat mencapai segala sesuatu yang tidak terhingga. Allah merupakan
objek intuisi manusia. Dalam diri Allah, seluruh hal yang berlawanan akan
mencapai kesatuan (coincidentia oppositorium).
Pengetahuan
yang luas membuat Nicolas tidak sekadar menjadi eksponen Abad Pertengahan. Ia
juga mencintai ekperimen sehingga membawanya pada pemikiran ilmu masa modern.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar