Dalam
menghadapi berbagai ilmu pengetahuan, orang akan bertanya tentang jenis ilmu
pengetahuan. Dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan, kita golongkan menurut
jenis tertentu. Hal ini merupakan masalah klasifikasi ilmu pengetahuan karena
setiap kalsifikasi menuntut suatu dasar. Dengan demikian, kita akan
mempersoalkan dasar itu terlebih dahulu.
Telaah kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan berhubungan dengan
pengertian “mengetahui” yang menuntut hubungan antara subjek dan objek.
Berdasarkan hal tersebut, baik pada subjek maupun objek dicari jenis hubungan
di antara keduanya.
1.
Klasifikasi berdasarkan subjek
Francis Bacon (15611-1626)
mendasarkan klasifikasi ilmunya pada subjek, yaitu daya manusia untuk
mengetahui sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, ia membeda-bedakannya sebagai
berikut.
1)
Ilmu
pengetahuan ingatan, seperti sejarah, yaitu membicarakan masalah-masalah atau kejadian
yang telah lalu, meskipun dimanfaatkan untuk masa depan.
2)
Ilmu
pengetahuan khayal, seperti kesusastraan, yaitu membicarakan kejadian-kejadian
dalam dunia khayal, meskipun berdasar dan untuk keperluan dunia nyata.
3)
Ilmu
pengetahuan akal, seperti filsafat, yaitu umumnya, pembahasannya mengandalkan
diri pada logika dan kemampuan berpikir.
Klasifikasi tersebut tidak dapat dibenarkan apabila pemikiran kita
berpangkal pada pandangan bahwa kita tidak akan mungkin mengenal dengan akal,
ingatan, atau daya khayal semata, tetapi dengan seluruh pribadi kita.
2.
Klasifikasi berdasarkan objek
A.M.
Ampere (1775-1836) mendasarkan
klasifikasinya pada objek material. Berdasarkan hal itu, ia membedakan ilmu
pengetahuan kosmologis yang mempersoalkan benda materi dengan ilmu pengetahuan
noologis yang mempersoalkan benda rohaniah.
Auguste Comte (1798-1836)
mendasarkan klasifikasinya pada objek material pula. Ia membuat deretan ilmu
pengetahuan berdasarkan perbedaan objek material, yaitu
1)
ilmu
pasti/matematika,
2)
ilmu
falak/astronomi,
3)
ilmu
fisika,
4)
ilmu
kimia,
5)
ilmu
hayat/biologi, dan
6)
sosiologi.
Deretan tersebut menunjukkan perbedaan objek dari yang paling
sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Objek ilmu pasti adalah yang
paling bersahaja karena hanya menyangkut angka yang mengikuti aturan tertentu,
pasti. Oleh karena itu, matematika disebut juga ilmu pasti. Meskipun paling
bersahaja, matematika juga merupakan alat bagi segenap ilmu paling bersahaja,
matematika juga merupakan alat bagi segenap ilmu pengetahuan. Sementara itu,
ilmu falak menambakan unsur gerak terhadap matematika, misalnya kinematika.
Objek ilmu alam adalah ilmu falak atau matematika ditambah dengan zat dan gaya,
sedangkan objek ilmu kimia merupakan objek ilmu fisika ditambah dengan
perubahan zat. Unsur gejala kehidupan dimasukkan pada objek ilmu hayat. Adapun
sosiologi mempelajari gejala kehidupan manusia berkelompok sebagai makhluk sosial.
Menurut Comte, deretan tersebut merupakan ilmu yang fundamental.
Dengan perkataan lain, ilmu lain dapat dikembalikan satu di antara ilmu
tersebut..
Selanjutnya, Comte mengemukakan pula bahwa ilmu pengetahuan itu
berkembang menurut tiga taraf, yakni berturut-turut melalui taraf teologis,
metafisis, dan fositif (atau ilmiah). Baru pada taraf terakhir, pengetahuan
benar bertaraf ilmu pengetahuan. Hal ini sering disalahartikan, seolah-olah
ilmu teologi lebih rendah daripada ilmu metafisika, dan metafisika lebih rendah
daripada ilmu-ilmu positif. Seyogianya, hal tersebut dilihat sebagai tiga ilmu
yang berbeda , bahwa ketiganya memiliki pemahaman sendiri-sendiri, tidak dapat
dibandingkan dalam hal taraf atau tingginya mutu. Berdasarkan kategori ilmu
pengetahuan, taraf positiflah yang tertinggi. Berdasarkan segi agamanya,
tentulah taraf teologis yang tertinggi, sedangkan dari sudut filsafat, tentu
saja metafisikalah yang tertingii.
Dalam perkembangannya, keenam jenis ilmu pengetahuan pada deret itu
terletak lebih depan. Misalnya, ilmu alam lebih dahulu berkembang daripada
sosiologi.
Aristoteles (384-322 SM) memberikan suatu klasifikasi berdasarkan
objek formal. Ia membedakannya antara ilmu teoretis (spekulatif), praktis, dan
poietis (produktif). Perbedaannya terletak pada tujuannya masing-masing. Ilmu
teoretis bertujuan bagi pengetahuan itu sendiri, ialah untuk keperluan
perkembangan ilmu, misalnya dalam hal preposisi atau asumsi-asumsinya. Ilmu
teoretis fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu praktis, ialah ilmu
pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran bagi perbuatan kita,
termasuk di dalamnya adalah etika, ekonomia, dan politika. Poietis, ialah ilmu
pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil karya, alat, dan teknologi.
Selain ketiga jenis ilmu tersebut, dikenal pula logika yang
senantiasa memberikan alat bagi segenap ilmu pengetahaun. Banyak penafsir
mengecam perbedaan antara ilmu praktis dan poietis, dengan alasan bahwa kedua
jenis ilmu tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang hakiki. Menurut
Aristoteles, ada perbedaan esensial di antaranya, yaitu ilmu praktis
bersangkutan dengan penggunaan dan pemanfaatannya, sedangkan poietis
bersangkutan dengan menghasilkan sesuatu, termasuk alat yang akan digunakan
untuk penerapan.
Berdasarkan taraf abstraksinya, aristoteles membaig ilmu teoretis
menjadi tiga jenis. Taraf pertama, abstraksi dilakukan terhadap individualitas
gejala kenyataan sehingga ketika berbicara tentang rumah dan manusia, yang
tinggal hanya rumah dan manusia, yang tinggal hanya rumah atau manusia pada
umumnya. Universitas abstraksi ini menimbulkan fisika yang tidak terbatas pada
ilmu alam, tetapi mencakup berbagai ilmu pengetahuan alam lainnya, seperti ilmu
hayat. Abstraksi pada taraf kedua meninggalkan kuantitas serta menimbulkan
matematika yang mencakup geometri (ilmu ukru), dan aritmatika (ilmu hitung).
Abstrkasi pada taraf ketiga menghasilkan sesuatu yang tidak bermateri
(immaterialitas) yang dipelajari dalam metafisika.
Menurut Aristoteles, kenyataan itu dapat ditinjau dari sudut
universalitas, kuantitas, dan immaterialitas yang berarti berdasarkan objek
formal.
3.
Klasifikasi berdasrkan metode
Wilhelm Windelband
(1848-1915) membeda-bedakan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaf) dan
ilmu sejarah (Geschichtswissenschaft). Menurut Wildelband, kedua jenis
ilmu pengetahuan itu tidak berbeda dalam hal objek karena objeknya satu, ialah
kenyataan. Adapun perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk Naturwissenschaft
disebut nomotetis, sedangkan metode Geschichtswissenchaft menggunakan
metode ideografis. Nomotetis berhubungan dengan nomos atau norma yang menunjuk
pada adanya usaha untuk membuat hal umum atau generalisasi.
Untuk waktu yang lama, terutama sepanjang Abad ke-19, dunia ilmiah
hanya berpegangan pada satu jenis ilmu yang berdasar pada metode nomotetis.
Metode tersebut tertuju pada perumusan hukum (nomos). Dengan kata lain,
metode nomotetis mencari sesuatu yang bersifat (generalisasi) yang dapat
diulangi dalam eksperimen sehingga dapat diramalkan. Ciri terakhir dipandang
sebagai tujuan tiap ilmu.
Pengetahuan yang tidak berdasar pada metode tersebut, dipandang
tidak ilmiah. Pandangan yang menuntut metode itu sebagai satu-satunya metode
untuk mencapai ilmu pengetahuan yang disebut metode monisme. Sampai saat ini,
pandangan tersebut belum lenyap seluruhnya. Dalam bahasa Inggris, istilah science
dan scientific kerap kali menunjuk pada pengertian Naturwissenschaft
dengan metode nomotetisnya.
Windelband menolak metode
monisme serta menuntut pengakuan terhadap metode lain yang disebut metode
ideografis. Sebaliknya, metode ini tertujut pada hal yang sifatnya individual
atau tidak umum, tetapi menuju individualisasi, serta yang hanya terjadi sekali
atau bersifat einmalig. Artinya, tidak dapat diulangi dan tidak pula
dapat diduga atau diramalkan. Metode ini tidak mungkin tertuju pada hukum yang
umum, tetapi semata-mata suatu usaha untuk melukiskan gagasan atau ide dari
objek (ideografis).
Heinrich Rickert
(1863-1936) berpedoman pada klasifikasi tersebut. Ia membedakan ilmu alam (Naturwissenschaft)
dan ilmu budaya (Kulturwissenschaft). Naturwissenschaft memandang
objeknya terlepas dari penilaian atau bebas nilai. Sebaliknya, Kulturwissennschaft
menuntut penilaian atas objeknya. Jika di antara objeknya terdapat apa yang
dapat dipandang dan apa yang tidak dapat dipandang terlepas dari penilaian,
pada asasnya, klasifikasi ini berdasar pada objek.
Sebelum Windelband dan Rickert, Wilhelm Dilthey (1833-1911)
telah membedakan ilmu alam (Naturwissenschaft) dan ilmu rohaniah (Geisteswissenshaft).
Menurut Dilthey, kehidupan rohaniah manusia tidak mungkin diselidiki dengan
metode Naturwissenshaft yang memandang segala sesuatu dari sudut hubungan
kausal. Dilthey menuntut “verstehn” terhadap Geisteswissenschaft,
yakni memandang sesuatu dari sudut hubungan makna. Kita akan menerangkan gejala
panas dengan menyelidiki sebabnya, sedangkan makna Hitler kita coba
menjangkaunya dengan menghubungkannya dengan gerakan Nazi Jerman. Tuntutan
terhadap perbedaan metode itu berdasarkan pandangan bahwa di antara gejala
kenyataan, ada yang tidak cukup diselidiki atas dasar hubungan kausal. Pada
asasnya, pandangan itu mengakui perbedaan hakiki antara manusia objek dari (Geisteswissensschaft)
dan bukan manusia (objek dari Naturwissenschaft).
Seperti telah dikemukakan, Dilthey, Rickert, dan Windelband
berusaha mematahkan kekuasaan metode monisme dalam bentuk naturalisme, yaitu
aliran yang menuntut penyelesaian segala masalah atas dasar metode Naturwissenschaft.
Akibat buruk metode Naturwissenschaft, sampai saat ini belum lenyap dan
ternyata tidak hanya dalam bentuk naturalisme. Di samping itu, historisme,
psikologisme, sosiologisme, dan isme lain yang sejenis dikembalikan pada gejala
historis, psikologis, dan sposiologis. Ilmu pengetahuan tertuju pada kenyataan
yang beragam dan berusaha untuk menjangkaunya sebagai keseluruhan. Hal itu
tidak dapat dibenarkan untuk menetap pada satu metode yang meniadakan segi-segi
hakiki kenyataan, misalnya metafisika yang mempersoalkan segi-segi hakiki
kenyataan. Demikian, tiap jenis kenyataan akan menuntut penggunaan
metode-metode tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut, kesimpulannya, bahwa suatu klasifikasi
hendaknya tidak berdasarkan subjek ataupun metode semata, tetapi bedasarkan
ketiga hal tersebut karena pengetahuan menuntut ketiga faktor tersebut.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar