Rabu, 22 Oktober 2014

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


 

Dalam menghadapi berbagai ilmu pengetahuan, orang akan bertanya tentang jenis ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan, kita golongkan menurut jenis tertentu. Hal ini merupakan masalah klasifikasi ilmu pengetahuan karena setiap kalsifikasi menuntut suatu dasar. Dengan demikian, kita akan mempersoalkan dasar itu terlebih dahulu.

Telaah kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan berhubungan dengan pengertian “mengetahui” yang menuntut hubungan antara subjek dan objek. Berdasarkan hal tersebut, baik pada subjek maupun objek dicari jenis hubungan di antara keduanya.

1.      Klasifikasi berdasarkan subjek

Francis Bacon (15611-1626) mendasarkan klasifikasi ilmunya pada subjek, yaitu daya manusia untuk mengetahui sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, ia membeda-bedakannya sebagai berikut.

1)      Ilmu pengetahuan ingatan, seperti sejarah, yaitu membicarakan masalah-masalah atau kejadian yang telah lalu, meskipun dimanfaatkan untuk masa depan.

2)      Ilmu pengetahuan khayal, seperti kesusastraan, yaitu membicarakan kejadian-kejadian dalam dunia khayal, meskipun berdasar dan untuk keperluan dunia nyata.

3)      Ilmu pengetahuan akal, seperti filsafat, yaitu umumnya, pembahasannya mengandalkan diri pada logika dan kemampuan berpikir.

Klasifikasi tersebut tidak dapat dibenarkan apabila pemikiran kita berpangkal pada pandangan bahwa kita tidak akan mungkin mengenal dengan akal, ingatan, atau daya khayal semata, tetapi dengan seluruh pribadi kita.

2.      Klasifikasi berdasarkan objek

A.M. Ampere (1775-1836) mendasarkan klasifikasinya pada objek material. Berdasarkan hal itu, ia membedakan ilmu pengetahuan kosmologis yang mempersoalkan benda materi dengan ilmu pengetahuan noologis yang mempersoalkan benda rohaniah.

Auguste Comte (1798-1836) mendasarkan klasifikasinya pada objek material pula. Ia membuat deretan ilmu pengetahuan berdasarkan perbedaan objek material, yaitu

1)      ilmu pasti/matematika,

2)      ilmu falak/astronomi,

3)      ilmu fisika,

4)      ilmu kimia,

5)      ilmu hayat/biologi, dan

6)      sosiologi.

Deretan tersebut menunjukkan perbedaan objek dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Objek ilmu pasti adalah yang paling bersahaja karena hanya menyangkut angka yang mengikuti aturan tertentu, pasti. Oleh karena itu, matematika disebut juga ilmu pasti. Meskipun paling bersahaja, matematika juga merupakan alat bagi segenap ilmu paling bersahaja, matematika juga merupakan alat bagi segenap ilmu pengetahuan. Sementara itu, ilmu falak menambakan unsur gerak terhadap matematika, misalnya kinematika. Objek ilmu alam adalah ilmu falak atau matematika ditambah dengan zat dan gaya, sedangkan objek ilmu kimia merupakan objek ilmu fisika ditambah dengan perubahan zat. Unsur gejala kehidupan dimasukkan pada objek ilmu hayat. Adapun sosiologi mempelajari gejala kehidupan manusia berkelompok sebagai makhluk sosial.

Menurut Comte, deretan tersebut merupakan ilmu yang fundamental. Dengan perkataan lain, ilmu lain dapat dikembalikan satu di antara ilmu tersebut..

Selanjutnya, Comte mengemukakan pula bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang menurut tiga taraf, yakni berturut-turut melalui taraf teologis, metafisis, dan fositif (atau ilmiah). Baru pada taraf terakhir, pengetahuan benar bertaraf ilmu pengetahuan. Hal ini sering disalahartikan, seolah-olah ilmu teologi lebih rendah daripada ilmu metafisika, dan metafisika lebih rendah daripada ilmu-ilmu positif. Seyogianya, hal tersebut dilihat sebagai tiga ilmu yang berbeda , bahwa ketiganya memiliki pemahaman sendiri-sendiri, tidak dapat dibandingkan dalam hal taraf atau tingginya mutu. Berdasarkan kategori ilmu pengetahuan, taraf positiflah yang tertinggi. Berdasarkan segi agamanya, tentulah taraf teologis yang tertinggi, sedangkan dari sudut filsafat, tentu saja metafisikalah yang tertingii.

Dalam perkembangannya, keenam jenis ilmu pengetahuan pada deret itu terletak lebih depan. Misalnya, ilmu alam lebih dahulu berkembang daripada sosiologi.

Aristoteles (384-322 SM) memberikan suatu klasifikasi berdasarkan objek formal. Ia membedakannya antara ilmu teoretis (spekulatif), praktis, dan poietis (produktif). Perbedaannya terletak pada tujuannya masing-masing. Ilmu teoretis bertujuan bagi pengetahuan itu sendiri, ialah untuk keperluan perkembangan ilmu, misalnya dalam hal preposisi atau asumsi-asumsinya. Ilmu teoretis fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu praktis, ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran bagi perbuatan kita, termasuk di dalamnya adalah etika, ekonomia, dan politika. Poietis, ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil karya, alat, dan teknologi.

Selain ketiga jenis ilmu tersebut, dikenal pula logika yang senantiasa memberikan alat bagi segenap ilmu pengetahaun. Banyak penafsir mengecam perbedaan antara ilmu praktis dan poietis, dengan alasan bahwa kedua jenis ilmu tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang hakiki. Menurut Aristoteles, ada perbedaan esensial di antaranya, yaitu ilmu praktis bersangkutan dengan penggunaan dan pemanfaatannya, sedangkan poietis bersangkutan dengan menghasilkan sesuatu, termasuk alat yang akan digunakan untuk penerapan.

Berdasarkan taraf abstraksinya, aristoteles membaig ilmu teoretis menjadi tiga jenis. Taraf pertama, abstraksi dilakukan terhadap individualitas gejala kenyataan sehingga ketika berbicara tentang rumah dan manusia, yang tinggal hanya rumah dan manusia, yang tinggal hanya rumah atau manusia pada umumnya. Universitas abstraksi ini menimbulkan fisika yang tidak terbatas pada ilmu alam, tetapi mencakup berbagai ilmu pengetahuan alam lainnya, seperti ilmu hayat. Abstraksi pada taraf kedua meninggalkan kuantitas serta menimbulkan matematika yang mencakup geometri (ilmu ukru), dan aritmatika (ilmu hitung). Abstrkasi pada taraf ketiga menghasilkan sesuatu yang tidak bermateri (immaterialitas) yang dipelajari dalam metafisika.

Menurut Aristoteles, kenyataan itu dapat ditinjau dari sudut universalitas, kuantitas, dan immaterialitas yang berarti berdasarkan objek formal.

3.      Klasifikasi berdasrkan metode

Wilhelm Windelband (1848-1915) membeda-bedakan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaf) dan ilmu sejarah (Geschichtswissenschaft). Menurut Wildelband, kedua jenis ilmu pengetahuan itu tidak berbeda dalam hal objek karena objeknya satu, ialah kenyataan. Adapun perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk Naturwissenschaft disebut nomotetis, sedangkan metode Geschichtswissenchaft menggunakan metode ideografis. Nomotetis berhubungan dengan nomos atau norma yang menunjuk pada adanya usaha untuk membuat hal umum atau generalisasi.

Untuk waktu yang lama, terutama sepanjang Abad ke-19, dunia ilmiah hanya berpegangan pada satu jenis ilmu yang berdasar pada metode nomotetis. Metode tersebut tertuju pada perumusan hukum (nomos). Dengan kata lain, metode nomotetis mencari sesuatu yang bersifat (generalisasi) yang dapat diulangi dalam eksperimen sehingga dapat diramalkan. Ciri terakhir dipandang sebagai tujuan tiap ilmu.

Pengetahuan yang tidak berdasar pada metode tersebut, dipandang tidak ilmiah. Pandangan yang menuntut metode itu sebagai satu-satunya metode untuk mencapai ilmu pengetahuan yang disebut metode monisme. Sampai saat ini, pandangan tersebut belum lenyap seluruhnya. Dalam bahasa Inggris, istilah science dan scientific kerap kali menunjuk pada pengertian Naturwissenschaft dengan metode nomotetisnya.

Windelband menolak metode monisme serta menuntut pengakuan terhadap metode lain yang disebut metode ideografis. Sebaliknya, metode ini tertujut pada hal yang sifatnya individual atau tidak umum, tetapi menuju individualisasi, serta yang hanya terjadi sekali atau bersifat einmalig. Artinya, tidak dapat diulangi dan tidak pula dapat diduga atau diramalkan. Metode ini tidak mungkin tertuju pada hukum yang umum, tetapi semata-mata suatu usaha untuk melukiskan gagasan atau ide dari objek (ideografis).

Heinrich Rickert (1863-1936) berpedoman pada klasifikasi tersebut. Ia membedakan ilmu alam (Naturwissenschaft) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaft). Naturwissenschaft memandang objeknya terlepas dari penilaian atau bebas nilai. Sebaliknya, Kulturwissennschaft menuntut penilaian atas objeknya. Jika di antara objeknya terdapat apa yang dapat dipandang dan apa yang tidak dapat dipandang terlepas dari penilaian, pada asasnya, klasifikasi ini berdasar pada objek.

Sebelum Windelband dan Rickert, Wilhelm Dilthey (1833-1911) telah membedakan ilmu alam (Naturwissenschaft) dan ilmu rohaniah (Geisteswissenshaft). Menurut Dilthey, kehidupan rohaniah manusia tidak mungkin diselidiki dengan metode Naturwissenshaft yang memandang segala sesuatu dari sudut hubungan kausal. Dilthey menuntut “verstehn” terhadap Geisteswissenschaft, yakni memandang sesuatu dari sudut hubungan makna. Kita akan menerangkan gejala panas dengan menyelidiki sebabnya, sedangkan makna Hitler kita coba menjangkaunya dengan menghubungkannya dengan gerakan Nazi Jerman. Tuntutan terhadap perbedaan metode itu berdasarkan pandangan bahwa di antara gejala kenyataan, ada yang tidak cukup diselidiki atas dasar hubungan kausal. Pada asasnya, pandangan itu mengakui perbedaan hakiki antara manusia objek dari (Geisteswissensschaft) dan bukan manusia (objek dari Naturwissenschaft).

Seperti telah dikemukakan, Dilthey, Rickert, dan Windelband berusaha mematahkan kekuasaan metode monisme dalam bentuk naturalisme, yaitu aliran yang menuntut penyelesaian segala masalah atas dasar metode Naturwissenschaft. Akibat buruk metode Naturwissenschaft, sampai saat ini belum lenyap dan ternyata tidak hanya dalam bentuk naturalisme. Di samping itu, historisme, psikologisme, sosiologisme, dan isme lain yang sejenis dikembalikan pada gejala historis, psikologis, dan sposiologis. Ilmu pengetahuan tertuju pada kenyataan yang beragam dan berusaha untuk menjangkaunya sebagai keseluruhan. Hal itu tidak dapat dibenarkan untuk menetap pada satu metode yang meniadakan segi-segi hakiki kenyataan, misalnya metafisika yang mempersoalkan segi-segi hakiki kenyataan. Demikian, tiap jenis kenyataan akan menuntut penggunaan metode-metode tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut, kesimpulannya, bahwa suatu klasifikasi hendaknya tidak berdasarkan subjek ataupun metode semata, tetapi bedasarkan ketiga hal tersebut karena pengetahuan menuntut ketiga faktor tersebut.       

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...