Istilah
pasca-modernisme tampil dalam konteks yang lebar, dari wacana akademis sampai
susunan kata yang singkat dalam sebuah iklan. Maknanya berbeda dalam konteks
yang bermacam-macam, seperti “floating
signifier”. Levi-Strauss tidak
banyak mengekspresikan suatu nilai seperti tetap membuka ruang untuk ekspresi
yang luas. Kapasitas pasca-modernisme yang demikian luas menyangkut ruang
lingkup perubahan kultural.
Dalam
mengantar “Psikologi dan Posmodernisme”, Kvale
pasca modernism mulai menjadi wacana di Amerika Serikat untuk bidang
arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi. Kemudian, pada 1970-an,
pasca-modernisme berkembang di Perancis sebelum 1980-an hingga menjadi wacana
mondial.
Kemudian,
ia pun menyataka bahwa tidak ada filsafat pasca-modern yang koheren, tetapi
pemikiran-pemikiran sekitar kondisi pos modern. Misalnya, di Perancis, Lyotard menganalisis status pengetahuan;
Foucault menekankan jaringan
kekuasaan dari pengetahuan dalam studi sejarah; Baudlillard memfokuskan pikirannya pada gairah (fascination), rayuan (seduction) dan penciptaan sebauh
hiper-realitas simulacra oleh media;
Derrida menekankan pada bahasa dan dekonstruksi; sedangkan Lacau menginterpretasikan
kembali ketidaksadarannya pada psikoanalisis. Di Amerika Serikat, Jamesru menganalisis pasca-modern
sebagai logika kapitalisme terkini dan Rorty
mengembangkan sebuah pendekatan neopragmatik terhadap pasca-modernitas.
Namun
yang paling penting adalah memahami pasca-modern ini adalah pemakai atas adanya
tiga pengertian yang berbeda, ialah pasca-modernitas, pasca-modernisme, dan pemikiran
pasca-modern.
Pasca-modernitas
adalah suatu era yang menampilkan ketidakpercayaan atas mumpuninya pengetahuan
dan penelitan ilmiah. Dalam pasca-modernitas terdapat kecenderungan
disentralisasi menuju konteks sosial yang heterogen dengan ciri fleksibilitas
dan perubahan. Adapun masalah uncertainty yang diduga merupakan ciri abad ke-21,
tampaknya merupakan ciri penting untuk disimak.
Pasca-modernisme
merupakan ekspresi kultural di mana terjadi penjabaran antara realitas dan
fiksi media. Tema-tema labirin dalam cerita Borges dan Umberto Eco
yang seolah-olah menjadi pengikut interpretasi penelitian modern dalam mencari
makna.
Pemikiran
pasca-modern adalah pemikiran yang mengganti konsepsi ketidakbergantungan
realitas dari peneliti dengan ide-ide tentang bahasa sebagai hal yang
sebenarnya mengandung struktur realitas sosial yang perspektial.
Namun
pada dasarnya, pasca-modern merupakan sangkalan atas beberapa keyakinan Abad
Modern, khususnya menyangkut filsafat (epistemologi), ilmu pengetahuan, dan
nasionalitas.
Melintas
rentang lebar aktivitas kultural terdapat tantangan yang terus-menerus dan
multivalent untuk berbagai asumsi yang ditemukan dalam budaya Eropa Barat sejak
Abad ke-15. Sejak Abad ke-5 SM, beberapa asumsi ditemukan, di antaranya asumsi
mengenai struktur dan identitas, transenden dan partikularitas, serta hakikat waktu
dan ruang. Pemberian dunia telah berubah dalam hal mengangkat beberapa
keyakinan dasar mengenai modernitas mulai dari fisika sampai dengan filsafat,
dan politik sampai dengan seni. Misalnya, fenomenologi senantiasa mencari
perbedaan dualitas antara subjek dan objek; relativitas fisika memberikan
penekanan dari realitas hingga pengukuran; seni menjauhi realitas; serta
konsensus politik dihadapkan pada totaliterisme dan genocide. Hal-hal dan kejadian-kejadian kultural yang saling
berhubungan terdapat dalam perubahan-perubahan seismik dalam cara kita mencatat
dunia dan berkomunikasi satu dengan lainnya.
Pemikiran
secara historis dan meluas, dalam istilah-istilah rumit yang melibatkan usaha
multidisipliner diperlukan guna memahami prinsip dasar pasca-modernisme.
Tekanan multilingual ini membawa metode dan gagasan, baik dalam disiplin
akademis maupun kehidupan praktis, terutama menandai pasca-modernisme dan
memperhitungkan resistensi yang dibawanya.
Meskipun
bermacam-macam dan bersifat elektis, pasca-modernisme dikenal dalam dua asumsi
kunci. Asumsi pertama, bahwa tidak ada denominator umum dalam “alam”,
“kebenaran”, “Tuhan”, atau “masa depan” –jaminan, baik kesatuan dunia maupun
kemungkinan pikiran netral atau objektif. Asumsi kedua, bahwa semua sistem manusia
beroperasi, seperti bahasa lebih bersifat sistem self reflektif daripada sistem
referensial. Adapun sistem-sistem fungsi diferensial sangat kuat, tetapi
terbatas yang membangun, serta memelihara makna dan nilai.
Pengertian
dan perkembangan pasca-modernisme dalam psikologi merupakan hal penting yang
harus kita perhatikan. Pasca-modernisme merupakan aliran filsafat yang lahir
pada awal Abad ke-20 atau pertengahan abad ke-20. Menurut Hergenhahn, pasca-modernisme mengacu pada keyakinan yang prevalen,
seperti semua hal, termasuk pendapat sepanjang Abad Pertengahan. Perilaku
manusia dapat diterangkan menurut dogma gereja. Pertanyaan otoritas gereja
dimulai pada Abad Renaisans dan mengarah pada cara-cara pendalaman yang lebih
objektif. Orang-orang, seperti Newton,
Bacon, dan Descartes memperlihatkan
keterangan tentang kekuatan bernalar yang tidak terbebani oleh kekuasan dan
bias. Istilah modern itu sendiri sering disamakan artinya dengan pencerahan.
Gagasan-gagasan pencerahan mulai ditantang oleh filosof-filosof, seperti Hume
dan Kant yang memperlihatkan keterbatasan rasionalitas manusia. Romantisme dan
eksistensialisme dapat dipandang sebagai reaksi terhadap keyakinan pencerahan
bahwa perilaku manusia dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian hukum
yang abstrak. Kierkegaard mengkalim,
bahwa kebenaran adalah subjektivitas. Pendapat Nietzsche mengenai
“perfektivisme” merupakan dua contoh nyata oposisi. Selanjutnya, konsep William James mengenai empirisme dan
pragmatisme radikal memperlihatkan peremehan serupa untuk universalisme. Pada
kenyataannya, James mengacu pada absolutisme sebagai “penyakit besar pemikiran
filososfis”.
Sejak
1960-an, pasca-modernisme, baik yang disebut juga konstruksinisme ataupun
dekonstruksinisme telah memperbaiki serangan terhadap gagasan-gagasan
pencerahan. Pada intinya, para pasca-modernis meyakini bahwa “realitas”
diciptakan manusia dan kelompok orang dalam berbagai konteks pribadi, historis,
dan kultural. Hal ini bersifat dan berkedudukan kontras dengan keyakinan modernis
(pencerahan) bahwa kenyataan merupakan beberapa kebenaran yang abadi dan
ditemukan melalui pengalaman, nalar tidak bias, atau metode ilmiah.
Pasca-modernisme memiliki banyak kesamaan, tidak hanya dengan romantisme,
eksistensialisme, dan aspek-aspek psikologi James, tetapi dengan
filsafat-filsafat dari kelompok sofis dan skeptis. Kaum sofis berpendapat,
bahwa tidak hanya terdapat satu kebenaran. Kebenaran-kebenaran ini berkaitan
dengan pengalaman individual. Protagoras mengatakan, bahwa manusia merupakan
alat ukur segala hal. Ia telah mengantisipasi pasca-modernisme. Roochink (2000) mengatakan bahwa sofis
kontemporer disebut pasca-modernisme. Kaum skeptis mempertanyakan semua
dogmatisme, ialah semua ajuan mengenai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Eksistensi
kebenaran universal ini mulai dipertanyakan saat dimulainya filsafat kuno.
Eksistensi kebenaran universal dilahirkan kembali dalam filsafat romantis dan
eksistensial dan telah diabadikan dalam psikologi kontemporer dengan “third force” psychology atau psikologi
humanistic. Sumbangan pasca-modrnisme terhadap sofis, skeptis, romantis,
eksistensialis, dan psikologi humanistik adalah keyakinan bahwa “kebenaran”
selalu bersifat relatif secara kultural, kelompok, atau perspektif personal.
Pada kenyataannya, pasca modernisme telah menjadi acuan bagi relativisme
radikal (Smith, 1994).
Para
penganut pasca-modernisme mendapatkan dukungan untuk relitivisme dalam konsep
permainan bahasa seperti diajukan filosof yang berpengaruh, Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam Philosophical Investigation (1953/1997)
diterbitkan secara anumerta. Wittgenstein menyatakan bahwa satu-satunya makna
yang terdapat dalam istilah dan konsep yang dimiliki diperuntukkan kepada
mereka yang berada dalam suatu komunitas. Kaitannya dengan pendapat
Wittgenstein maka bahasa merupakan alat yang digunakan anggota komunitas untuk
berkomunikasi satu dengan yang lain. Setiap komunitas menentukan makna
bahasanya sendiri dan menentukan aturan yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan.
Hal itu berarti bahwa setiap komunitas menciptakan permainan bahasa sendiri,
sebaliknya menciptakan “bentuk hidup” sendiri. Secara jelas, Wittgenstein tidak
menggunakan istilah “game” dalam
pengertian dangkal dan tidak penting. Dalam memahami suatu komunitas diperlukan
pengertian permainan bahasa. Wittgenstein (1953/1997) mengajukan daftar
permainan bahasa yang memberikan karakteristik suatu komunitas. Mereka
memasukkan cara memberi dan menerima aturan yang diterima, memberikan dan
mengukur objek-objek, melaporkan dan memperbincangkan berbagai kejadian,
membangun dan menguji hipotesisis, menyusun dan membaca cerita, berakting,
menyanyi, dan menceritakan banyolan-banyolan, menyelesaikan soal matematika,
mempertanyakan permasalahan, mengutuk, menghormati, dan melakukan
eksperimen-eksperimen mereka, serta berdoa.
Menurut
Wittgenstein merupakan sesuatu yang salah jika melihat bahasa sebagai cermin
dari realitas. Lebih tepat dikatakan bahwa bahasa menciptakan realitas.
Masalah-masalah komunikasi terjadi jika permainan bahasa dari berbagai
komunitas bercampur atau jika permainan bahasa dalam suatu komunitas
disalahgunakan. Wittgenstein tidak menolak eksistensi dunia fisik ataupun indra
kita dibawa ke dalam kontak dengan dunia itu. Sebaliknya, ia berpendapat, bahwa
orang dapat melakukan, serta memberikan pengalaman-pengalaman dengan varietas
makna yang luas. Slug dan Stern (1996) memberikan contoh, “Sebuah
koin adalah alat pembayaran, tetapi tidak merusak realitasnya sebagai piring
metal yang mandiri dari keyakinan kita”. Selanjutnya, secara regular ia
memberikan pengalaman kita mengenai dunia fisik untuk beberapa permainan bahasa
untuk memiliki makna. Sebagai contoh, pembobolan suatu komoditas untuk
menentukan harga beli dan jual suatu barang. “Prosedur menyimpan segumpal keju
pada harga yang berimbang dan pasti dengan memutar skala akan kehilangan
poinnya jika terjadi banyak peristiwa dadakan untuk gumpalan semacam itu
sehingga menjadi besar tanpa alasan” (1953/2997).
Mengacu
pada pendapat Wittgenstein, diskusi antarfilosof dan psikologis dapat
diputuskan dengan cara memahami paradigma filosofis dan psikologis yang berbeda
mencerminkan permainan bahasa mereka sendiri. Dengan perkataan lain, paradigma
harus dapat dimengerti dalam koneks makna dan agenda mereka sendiri. Menurut
Wittgenstein, debat filosofis yang hebat yang terjadi berabad-abad tidak
menyangkut masalah konflik realitas, tetapi konfilik mengenai permainan bahasa.
Misalnya, “Wittgenstein meminta perhatian kita terhadap fakta mengenai
keterangan (tentang perilaku oleh sebab-sebab dan keterangan dengan alasan yang
sesuai dengan dua permainan bahasa, Bouvrsse
(1995). Sebaliknya, debat-debat tradisional memperbincangkan mengenai
materialisme vs idealisme, kemauan bebas vs determinisme, rasionalisme vs empirisme,
nominalisme vs realisme, ilmu vs nonilmu, dan lain-lain yang menyangkut masalah
hubungan jiwa –badan. Menurut Wittgenstein, hal tersebut merupakan debat
mengenai praksis linguistik. Lantas, apa peranan filsafat? Mengacu pada
Wittgenstein, filsafat adalah perang Gergen
(2001) mengatakan pemahaman teoretis mengenai dunia, bukan sebagai cermin
refleksi dunia melainkan tindakan diskursif dalam suatu komunitas. Hal ini akan
tampak jelas pada filsafat ilmu dan Kuhn
yang memiliki banyak kesamaan dengan filsafat Wittgenstein. Pada kenyataannya,
Kuhn membuat kesimpulan revolusi struktur ilmu yang sangat berpengaruh. Pada
1996 dengan pernyataan yang sangat bercorak, Wittgenstein mengemukakan bahwa
pengetahuan ilmiah, seperti bahasa, secara intrinsik merupakan perlengkapan
biasa suatu kelompok atau apa pun, sama sekali bukan apa-apa. Dalam
memahaminya, kita perlu mengetahui karakteristik khusus kelompok yang
menciptakan dan menggunakannya.
Wittgenstein
ataupun kalangan pasca-modern setuju bahwa apa yang disebut “benar” dalam suatu
komunitas bisa jadi tidak memiliki validitas di luar komunitas itu. Gergen
(1994) memberikan contoh, sebagai berikut.
Kita
berargumentasi untuk mempertimbangkan akibat terhadap budaya, seperti depresi
yang didefinisikan sebagai gangguan psikologis dan ditangani secara kimiawi.
Bagaimana dengan orang pada kultur lain dan telah berabad-abad menanganinya
tanpa menggunakan konsep itu. Sementara itu, psikologi kontemporer mendeteksi
depresi di setiap sudut society, bahkan sekarang pada bayi. Lebih dari enam
juta orang Amerika “mensyaratkan” Prozac?
Mungkinkah masyarakat telah dilayani sebagai korban yang tidak sadar?
Mengacu
pada pendapat Gergen dan lain-lain, misalnya Szasz (1974) bahwa komunitas psikologis telah menciptakan konsep
depresi, dan bentuk “sakit mental” lainnya karena melakukannya memiliki makna,
dan keuntungan bagi komunitas tersebut. Bagaimana pun, hal ini tidak akan
diambil sebagai penyakit, tetapi secara aktual, eksis dalam pengertian yang
lebih objektif. Mereka menampilkan permainan bahasa yang diciptakan dan
digunakan oleh komunitas psikologis yang spesifik untuk tujuan-tujuan mereka
sendiri. Dengan demikian, terdapat banyak hal di antara konsep permainan bahasa
Wittgenstein dan relativisme pasca-modernisme.
Ketegangan
antara modernisme dan pasca-modernisme berlanjut dalam psikologi kontemporer.
Saat psikologi menjadi ilmu pengetahuan pada akhir Abad ke-19, telihat hukum
yang mengatur jiwa manusia. Tujuannya adalah untuk mengerti jiwa manusia secara
umum, bukan secara khusus. Selama bertahun-tahun, teknik-teknik dan teori-teori
telah berubah, tetapi pencarian terhadap hukum-hukum umum yang mengatur
tindakan manusia tidak pernah pudar. Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dapat
membuka rahasia kebenaran mengenai hakikat manusia telah terjadi, dan merupakan
tema utama dalam sejarah psikologi. Berdasarkan cara ilmiah psikologi,
meode-metode yang digunakan untuk memahami perilaku manusia sama dengan yang
digunakan ahli ilmu alam untuk memahami dunia fisik. Pasca-modernisme menolak
model alam ini.
Cara
lain dalam memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam psikologi, seyogianya
didiskusikan terlebih dahulu dalam lingkup modernisme dan pasca-modernisme.
Psikologi merangkul nilai metode-metode ilmu alam dalam pencarian hukum-hukum
umum yang mengatur perilaku manusia. Psikologi merangkul pasca-modernisme di
antara banyak pendekatan untuk memahami kemanusiaan. Dalam setiap kasus, suatu
debat yang kadang-kadang panas antara modernisme dan pasca-modernisme, tampak
dalam psikologi kontemporer. Argumen yang paling disukai dalam pasca-modernisme
adalah argumentasi Gergen, (1991, 1994, dan 2001), sedangkan argumen yang
melawan pasca-modernisme, misalnya Smith (1994).
Beberapa
kasus yang ada sekarang ini, terutama masalah dikotomi-dikotomi dalam sejarah
psikologi, beberapa kata sepakat pun telah banyak dilakukan antara modernisme
dan pasca-modernisme. Usulan-usulan mengenai unsur-unsur isi, baik modernisme
maupun pasca-modernisme terlihat pada Fishman
(1999) yang menampilkan pragmatisme di dalam kata sepakatnya, dan Schmaide (1998) yang menampilkan
romantisme. Juga, pendekatan untuk menyatukan psikologi dikemukakan Sternberg dan Grigorenko (2001) yang lebih dahulu didiskusikan, begitu pula
dengan studi psikologi yang disarankan oleh pasca-modernisme. Keduanya
mengajukan bahwa masalah-masalah psikologi dapat diselesaikan paling baik
dengan mendekatinya dari perspektif multiple.
John Lechte
(1994), dalam bukunya “Fifty Key
Contempory Thinkers”, mengambil pengertian pasca-modernisme dari buku-buku
karya Jean-Francois Lyotard dan Jean Baudrilard. Keduanya menyatakan,
bahwa pasca-modernitas adalah upaya untuk mempertanyakan epistemologi modernis
yang berdasar pada perbedaan subjek dan objek secara jelas. Hal lain adalah
ketidakpercayaan terhadap metanarsi. Artinya, tidak adanya penjelasan global
tentang perilaku yang dapat dipercaya pada zaman rasionalitas yang bermuatan
tujuan. Teknologi dianggap bertentangan dengan paradigma produksi modernis
karena menitikberatkan pada reproduksi.
Beberapa
nama yang termasuk sebagai komponen pasca-modernisme, yaitu Jean Baudrillard, Marguerite Duras, Frans Kafka, dan Jean-Francois Lyotard.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar