Minggu, 19 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Sejarah Filsafat I Pasca Modernisme (1950-…)


 

Istilah pasca-modernisme tampil dalam konteks yang lebar, dari wacana akademis sampai susunan kata yang singkat dalam sebuah iklan. Maknanya berbeda dalam konteks yang bermacam-macam, seperti “floating signifier”. Levi-Strauss tidak banyak mengekspresikan suatu nilai seperti tetap membuka ruang untuk ekspresi yang luas. Kapasitas pasca-modernisme yang demikian luas menyangkut ruang lingkup perubahan kultural.

Dalam mengantar “Psikologi dan Posmodernisme”, Kvale pasca modernism mulai menjadi wacana di Amerika Serikat untuk bidang arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi. Kemudian, pada 1970-an, pasca-modernisme berkembang di Perancis sebelum 1980-an hingga menjadi wacana mondial.

Kemudian, ia pun menyataka bahwa tidak ada filsafat pasca-modern yang koheren, tetapi pemikiran-pemikiran sekitar kondisi pos modern. Misalnya, di Perancis, Lyotard menganalisis status pengetahuan; Foucault menekankan jaringan kekuasaan dari pengetahuan dalam studi sejarah; Baudlillard memfokuskan pikirannya pada gairah (fascination), rayuan (seduction) dan penciptaan sebauh hiper-realitas simulacra oleh media; Derrida menekankan pada bahasa dan dekonstruksi; sedangkan Lacau menginterpretasikan kembali ketidaksadarannya pada psikoanalisis. Di Amerika Serikat, Jamesru menganalisis pasca-modern sebagai logika kapitalisme terkini dan Rorty mengembangkan sebuah pendekatan neopragmatik terhadap pasca-modernitas.

Namun yang paling penting adalah memahami pasca-modern ini adalah pemakai atas adanya tiga pengertian yang berbeda, ialah pasca-modernitas, pasca-modernisme, dan pemikiran pasca-modern.

Pasca-modernitas adalah suatu era yang menampilkan ketidakpercayaan atas mumpuninya pengetahuan dan penelitan ilmiah. Dalam pasca-modernitas terdapat kecenderungan disentralisasi menuju konteks sosial yang heterogen dengan ciri fleksibilitas dan perubahan. Adapun masalah uncertainty yang diduga merupakan ciri abad ke-21, tampaknya merupakan ciri penting untuk disimak.

Pasca-modernisme merupakan ekspresi kultural di mana terjadi penjabaran antara realitas dan fiksi media. Tema-tema labirin dalam cerita Borges dan Umberto Eco yang seolah-olah menjadi pengikut interpretasi penelitian modern dalam mencari makna.

Pemikiran pasca-modern adalah pemikiran yang mengganti konsepsi ketidakbergantungan realitas dari peneliti dengan ide-ide tentang bahasa sebagai hal yang sebenarnya mengandung struktur realitas sosial yang perspektial.

Namun pada dasarnya, pasca-modern merupakan sangkalan atas beberapa keyakinan Abad Modern, khususnya menyangkut filsafat (epistemologi), ilmu pengetahuan, dan nasionalitas.

Melintas rentang lebar aktivitas kultural terdapat tantangan yang terus-menerus dan multivalent untuk berbagai asumsi yang ditemukan dalam budaya Eropa Barat sejak Abad ke-15. Sejak Abad ke-5 SM, beberapa asumsi ditemukan, di antaranya asumsi mengenai struktur dan identitas, transenden dan partikularitas, serta hakikat waktu dan ruang. Pemberian dunia telah berubah dalam hal mengangkat beberapa keyakinan dasar mengenai modernitas mulai dari fisika sampai dengan filsafat, dan politik sampai dengan seni. Misalnya, fenomenologi senantiasa mencari perbedaan dualitas antara subjek dan objek; relativitas fisika memberikan penekanan dari realitas hingga pengukuran; seni menjauhi realitas; serta konsensus politik dihadapkan pada totaliterisme dan genocide. Hal-hal dan kejadian-kejadian kultural yang saling berhubungan terdapat dalam perubahan-perubahan seismik dalam cara kita mencatat dunia dan berkomunikasi satu dengan lainnya.

Pemikiran secara historis dan meluas, dalam istilah-istilah rumit yang melibatkan usaha multidisipliner diperlukan guna memahami prinsip dasar pasca-modernisme. Tekanan multilingual ini membawa metode dan gagasan, baik dalam disiplin akademis maupun kehidupan praktis, terutama menandai pasca-modernisme dan memperhitungkan resistensi yang dibawanya.

Meskipun bermacam-macam dan bersifat elektis, pasca-modernisme dikenal dalam dua asumsi kunci. Asumsi pertama, bahwa tidak ada denominator umum dalam “alam”, “kebenaran”, “Tuhan”, atau “masa depan” –jaminan, baik kesatuan dunia maupun kemungkinan pikiran netral atau objektif. Asumsi kedua, bahwa semua sistem manusia beroperasi, seperti bahasa lebih bersifat sistem self reflektif daripada sistem referensial. Adapun sistem-sistem fungsi diferensial sangat kuat, tetapi terbatas yang membangun, serta memelihara makna dan nilai.

Pengertian dan perkembangan pasca-modernisme dalam psikologi merupakan hal penting yang harus kita perhatikan. Pasca-modernisme merupakan aliran filsafat yang lahir pada awal Abad ke-20 atau pertengahan abad ke-20. Menurut Hergenhahn, pasca-modernisme mengacu pada keyakinan yang prevalen, seperti semua hal, termasuk pendapat sepanjang Abad Pertengahan. Perilaku manusia dapat diterangkan menurut dogma gereja. Pertanyaan otoritas gereja dimulai pada Abad Renaisans dan mengarah pada cara-cara pendalaman yang lebih objektif. Orang-orang, seperti Newton, Bacon, dan Descartes memperlihatkan keterangan tentang kekuatan bernalar yang tidak terbebani oleh kekuasan dan bias. Istilah modern itu sendiri sering disamakan artinya dengan pencerahan. Gagasan-gagasan pencerahan mulai ditantang oleh filosof-filosof, seperti Hume dan Kant yang memperlihatkan keterbatasan rasionalitas manusia. Romantisme dan eksistensialisme dapat dipandang sebagai reaksi terhadap keyakinan pencerahan bahwa perilaku manusia dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian hukum yang abstrak. Kierkegaard mengkalim, bahwa kebenaran adalah subjektivitas. Pendapat Nietzsche mengenai “perfektivisme” merupakan dua contoh nyata oposisi. Selanjutnya, konsep William James mengenai empirisme dan pragmatisme radikal memperlihatkan peremehan serupa untuk universalisme. Pada kenyataannya, James mengacu pada absolutisme sebagai “penyakit besar pemikiran filososfis”.     

Sejak 1960-an, pasca-modernisme, baik yang disebut juga konstruksinisme ataupun dekonstruksinisme telah memperbaiki serangan terhadap gagasan-gagasan pencerahan. Pada intinya, para pasca-modernis meyakini bahwa “realitas” diciptakan manusia dan kelompok orang dalam berbagai konteks pribadi, historis, dan kultural. Hal ini bersifat dan berkedudukan kontras dengan keyakinan modernis (pencerahan) bahwa kenyataan merupakan beberapa kebenaran yang abadi dan ditemukan melalui pengalaman, nalar tidak bias, atau metode ilmiah. Pasca-modernisme memiliki banyak kesamaan, tidak hanya dengan romantisme, eksistensialisme, dan aspek-aspek psikologi James, tetapi dengan filsafat-filsafat dari kelompok sofis dan skeptis. Kaum sofis berpendapat, bahwa tidak hanya terdapat satu kebenaran. Kebenaran-kebenaran ini berkaitan dengan pengalaman individual. Protagoras mengatakan, bahwa manusia merupakan alat ukur segala hal. Ia telah mengantisipasi pasca-modernisme. Roochink (2000) mengatakan bahwa sofis kontemporer disebut pasca-modernisme. Kaum skeptis mempertanyakan semua dogmatisme, ialah semua ajuan mengenai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Eksistensi kebenaran universal ini mulai dipertanyakan saat dimulainya filsafat kuno. Eksistensi kebenaran universal dilahirkan kembali dalam filsafat romantis dan eksistensial dan telah diabadikan dalam psikologi kontemporer dengan “third force” psychology atau psikologi humanistic. Sumbangan pasca-modrnisme terhadap sofis, skeptis, romantis, eksistensialis, dan psikologi humanistik adalah keyakinan bahwa “kebenaran” selalu bersifat relatif secara kultural, kelompok, atau perspektif personal. Pada kenyataannya, pasca modernisme telah menjadi acuan bagi relativisme radikal (Smith, 1994).     

Para penganut pasca-modernisme mendapatkan dukungan untuk relitivisme dalam konsep permainan bahasa seperti diajukan filosof yang berpengaruh, Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam Philosophical Investigation (1953/1997) diterbitkan secara anumerta. Wittgenstein menyatakan bahwa satu-satunya makna yang terdapat dalam istilah dan konsep yang dimiliki diperuntukkan kepada mereka yang berada dalam suatu komunitas. Kaitannya dengan pendapat Wittgenstein maka bahasa merupakan alat yang digunakan anggota komunitas untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Setiap komunitas menentukan makna bahasanya sendiri dan menentukan aturan yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan. Hal itu berarti bahwa setiap komunitas menciptakan permainan bahasa sendiri, sebaliknya menciptakan “bentuk hidup” sendiri. Secara jelas, Wittgenstein tidak menggunakan istilah “game” dalam pengertian dangkal dan tidak penting. Dalam memahami suatu komunitas diperlukan pengertian permainan bahasa. Wittgenstein (1953/1997) mengajukan daftar permainan bahasa yang memberikan karakteristik suatu komunitas. Mereka memasukkan cara memberi dan menerima aturan yang diterima, memberikan dan mengukur objek-objek, melaporkan dan memperbincangkan berbagai kejadian, membangun dan menguji hipotesisis, menyusun dan membaca cerita, berakting, menyanyi, dan menceritakan banyolan-banyolan, menyelesaikan soal matematika, mempertanyakan permasalahan, mengutuk, menghormati, dan melakukan eksperimen-eksperimen mereka, serta berdoa.

Menurut Wittgenstein merupakan sesuatu yang salah jika melihat bahasa sebagai cermin dari realitas. Lebih tepat dikatakan bahwa bahasa menciptakan realitas. Masalah-masalah komunikasi terjadi jika permainan bahasa dari berbagai komunitas bercampur atau jika permainan bahasa dalam suatu komunitas disalahgunakan. Wittgenstein tidak menolak eksistensi dunia fisik ataupun indra kita dibawa ke dalam kontak dengan dunia itu. Sebaliknya, ia berpendapat, bahwa orang dapat melakukan, serta memberikan pengalaman-pengalaman dengan varietas makna yang luas. Slug dan Stern (1996) memberikan contoh, “Sebuah koin adalah alat pembayaran, tetapi tidak merusak realitasnya sebagai piring metal yang mandiri dari keyakinan kita”. Selanjutnya, secara regular ia memberikan pengalaman kita mengenai dunia fisik untuk beberapa permainan bahasa untuk memiliki makna. Sebagai contoh, pembobolan suatu komoditas untuk menentukan harga beli dan jual suatu barang. “Prosedur menyimpan segumpal keju pada harga yang berimbang dan pasti dengan memutar skala akan kehilangan poinnya jika terjadi banyak peristiwa dadakan untuk gumpalan semacam itu sehingga menjadi besar tanpa alasan” (1953/2997).

Mengacu pada pendapat Wittgenstein, diskusi antarfilosof dan psikologis dapat diputuskan dengan cara memahami paradigma filosofis dan psikologis yang berbeda mencerminkan permainan bahasa mereka sendiri. Dengan perkataan lain, paradigma harus dapat dimengerti dalam koneks makna dan agenda mereka sendiri. Menurut Wittgenstein, debat filosofis yang hebat yang terjadi berabad-abad tidak menyangkut masalah konflik realitas, tetapi konfilik mengenai permainan bahasa. Misalnya, “Wittgenstein meminta perhatian kita terhadap fakta mengenai keterangan (tentang perilaku oleh sebab-sebab dan keterangan dengan alasan yang sesuai dengan dua permainan bahasa, Bouvrsse (1995). Sebaliknya, debat-debat tradisional memperbincangkan mengenai materialisme vs idealisme, kemauan bebas vs determinisme, rasionalisme vs empirisme, nominalisme vs realisme, ilmu vs nonilmu, dan lain-lain yang menyangkut masalah hubungan jiwa –badan. Menurut Wittgenstein, hal tersebut merupakan debat mengenai praksis linguistik. Lantas, apa peranan filsafat? Mengacu pada Wittgenstein, filsafat adalah perang Gergen (2001) mengatakan pemahaman teoretis mengenai dunia, bukan sebagai cermin refleksi dunia melainkan tindakan diskursif dalam suatu komunitas. Hal ini akan tampak jelas pada filsafat ilmu dan Kuhn yang memiliki banyak kesamaan dengan filsafat Wittgenstein. Pada kenyataannya, Kuhn membuat kesimpulan revolusi struktur ilmu yang sangat berpengaruh. Pada 1996 dengan pernyataan yang sangat bercorak, Wittgenstein mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah, seperti bahasa, secara intrinsik merupakan perlengkapan biasa suatu kelompok atau apa pun, sama sekali bukan apa-apa. Dalam memahaminya, kita perlu mengetahui karakteristik khusus kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.

Wittgenstein ataupun kalangan pasca-modern setuju bahwa apa yang disebut “benar” dalam suatu komunitas bisa jadi tidak memiliki validitas di luar komunitas itu. Gergen (1994) memberikan contoh, sebagai berikut.

Kita berargumentasi untuk mempertimbangkan akibat terhadap budaya, seperti depresi yang didefinisikan sebagai gangguan psikologis dan ditangani secara kimiawi. Bagaimana dengan orang pada kultur lain dan telah berabad-abad menanganinya tanpa menggunakan konsep itu. Sementara itu, psikologi kontemporer mendeteksi depresi di setiap sudut society, bahkan sekarang pada bayi. Lebih dari enam juta orang Amerika “mensyaratkan” Prozac? Mungkinkah masyarakat telah dilayani sebagai korban yang tidak sadar?

Mengacu pada pendapat Gergen dan lain-lain, misalnya Szasz (1974) bahwa komunitas psikologis telah menciptakan konsep depresi, dan bentuk “sakit mental” lainnya karena melakukannya memiliki makna, dan keuntungan bagi komunitas tersebut. Bagaimana pun, hal ini tidak akan diambil sebagai penyakit, tetapi secara aktual, eksis dalam pengertian yang lebih objektif. Mereka menampilkan permainan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh komunitas psikologis yang spesifik untuk tujuan-tujuan mereka sendiri. Dengan demikian, terdapat banyak hal di antara konsep permainan bahasa Wittgenstein dan relativisme pasca-modernisme.

Ketegangan antara modernisme dan pasca-modernisme berlanjut dalam psikologi kontemporer. Saat psikologi menjadi ilmu pengetahuan pada akhir Abad ke-19, telihat hukum yang mengatur jiwa manusia. Tujuannya adalah untuk mengerti jiwa manusia secara umum, bukan secara khusus. Selama bertahun-tahun, teknik-teknik dan teori-teori telah berubah, tetapi pencarian terhadap hukum-hukum umum yang mengatur tindakan manusia tidak pernah pudar. Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dapat membuka rahasia kebenaran mengenai hakikat manusia telah terjadi, dan merupakan tema utama dalam sejarah psikologi. Berdasarkan cara ilmiah psikologi, meode-metode yang digunakan untuk memahami perilaku manusia sama dengan yang digunakan ahli ilmu alam untuk memahami dunia fisik. Pasca-modernisme menolak model alam ini.

Cara lain dalam memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam psikologi, seyogianya didiskusikan terlebih dahulu dalam lingkup modernisme dan pasca-modernisme. Psikologi merangkul nilai metode-metode ilmu alam dalam pencarian hukum-hukum umum yang mengatur perilaku manusia. Psikologi merangkul pasca-modernisme di antara banyak pendekatan untuk memahami kemanusiaan. Dalam setiap kasus, suatu debat yang kadang-kadang panas antara modernisme dan pasca-modernisme, tampak dalam psikologi kontemporer. Argumen yang paling disukai dalam pasca-modernisme adalah argumentasi Gergen, (1991, 1994, dan 2001), sedangkan argumen yang melawan pasca-modernisme, misalnya Smith (1994).

Beberapa kasus yang ada sekarang ini, terutama masalah dikotomi-dikotomi dalam sejarah psikologi, beberapa kata sepakat pun telah banyak dilakukan antara modernisme dan pasca-modernisme. Usulan-usulan mengenai unsur-unsur isi, baik modernisme maupun pasca-modernisme terlihat pada Fishman (1999) yang menampilkan pragmatisme di dalam kata sepakatnya, dan Schmaide (1998) yang menampilkan romantisme. Juga, pendekatan untuk menyatukan psikologi dikemukakan Sternberg dan Grigorenko (2001) yang lebih dahulu didiskusikan, begitu pula dengan studi psikologi yang disarankan oleh pasca-modernisme. Keduanya mengajukan bahwa masalah-masalah psikologi dapat diselesaikan paling baik dengan mendekatinya dari perspektif multiple.

John Lechte (1994), dalam bukunya “Fifty Key Contempory Thinkers”, mengambil pengertian pasca-modernisme dari buku-buku karya Jean-Francois Lyotard dan Jean Baudrilard. Keduanya menyatakan, bahwa pasca-modernitas adalah upaya untuk mempertanyakan epistemologi modernis yang berdasar pada perbedaan subjek dan objek secara jelas. Hal lain adalah ketidakpercayaan terhadap metanarsi. Artinya, tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang dapat dipercaya pada zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan. Teknologi dianggap bertentangan dengan paradigma produksi modernis karena menitikberatkan pada reproduksi.

Beberapa nama yang termasuk sebagai komponen pasca-modernisme, yaitu Jean Baudrillard, Marguerite Duras, Frans Kafka, dan Jean-Francois Lyotard.

 

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...