Secara
pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebaga prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak
teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat
menonjol, yakni: connectionism, classical
conditioning, dan operan conditioning.
Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen
lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar
seperti Contigious Conditioning
(Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.
1.
Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah
teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949)
berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Throndike
ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor
kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang
tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan
bagian dalam sangkar yang disebut puzzle
box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing
untuk bereaksi melepaskan diri dan memeroleh makanan yang ada di muka pintu.
Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian,
namun gagal membuka pintu untuk memeroleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya,
entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan
terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari
berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran
yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan
eksperimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara
stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R
Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga
terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan
(Hilgard & Bower, 1975).
Apabila
kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita
dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar.
Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk
keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak
akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubangan dengan hal ini,
hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang
sangat vital dalam belajar.
Kedua,
tersedianya makanan di muka pintu puzzle
box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh
respons kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan berhubungan antara stimulus dengan
respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu)
efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons
tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforce dalam
teori operant conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.
Disamping
law of effect. Thorndike juga
mengemukakan dua macam hukum lainnya yang maing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam
hukum ini sesungguhnya tidak begitu populer, namun cukup berguna sebagai
tambahan kajian dan perbandingan.
Law of readiness
(hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasaan
organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions
unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini
semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat
historis.
Law of exercise
(hukum pelatihan) ialah generalisasi atas
law of use dan law of disuse.
Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar)
sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin
kuat (law of use). Sebaliknya, jika
perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka perilaku tersebut
akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).
2.
Pembiasaan
Klasik
Teori
pembiasaan klasik (classical conditioning)
ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel
pada tahun 1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Kata
classical yang mengawali nama teori
ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling
dahulu di bidang conditioning (upaya
pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena
fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat respondent
conditioning (pembiasaan dituntut).
Dalam
eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara conditional stimulus (CS), unconditional stimulus (UCS), conditional response (CR), dan unconditional-response (UCR). CS adalah
rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari
itu disebut UCR.
Anjing
percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air
liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum
dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air
liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami
pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan
air liur.
Kemudian,
dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS)
bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah
latihan yang berulang-ulang ini selesai, suaru bel tadi (CS) diperdengarkan
lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan
tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suaru bel (CS).
Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan
bersama-sama.
Berdasarkan
eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perbuatan yang
ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada
prinsipnya hasil eksperimen E.L Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasi
eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai perubahan dan anutan Thorndike
yang behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen
Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan
stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan
menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya,
Skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen
Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara
harfiah, law of respondent conditioning
berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.
Menurut
Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law
of respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara
bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga
yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS, sedangkan
refleks ketiga adalah hubungan antara CS dan CR. Sebaliknya, law of respondent extinction ialah jika
refleks yang sudah diperlukan melalui respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
3.
Pembiasaan
Perilaku Respons
Teori
pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar
yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli
psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernam Biurhus Frederic Skinner (lahir
tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontraversial. Karya
tulisnya yang masyur berjudul About Behaviorism diterbitkan pada tahun 1974.
Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk
oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri
(Bruno, 1987).
“Operant” adalah sejumlah perilaku atau
respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber,
1988). Tidak seperti dalam respondent
conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons
dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam
salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan
dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen
pokok, yakni: manipulandum dan alat pemberi reinforcement
yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat
dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini
terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam
eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara
lari ke sana kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar
dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku
yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian
pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan
moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan
munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir
makanan yang muncul itu merupakan reinforcer
bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku
operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang
muncul pada wadah makanan.
Jelas
sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and error learning yang ditmukan oleh Thorndike. Dalam hal ini,
fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/ kepuasaan, sedangkan
menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan. Dengan demikian, baik belajar dalam teori
S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya
mengakui arti penting law of effect.
Selanjutnya,
proses belajar dalam operant conditioning
juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law
of operant extinction. Menurut law of
operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya,
menurut law of operant extinction,
jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan
musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan
hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang
klasik.
Teori-teori
belajar hasil eksperimen Throndike, Skinner, dan Pavlov di atas secara
prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku
jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan
teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat
teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli
pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Di
antara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni:
a. proses
belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian
gejalanya;
b. proses
belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin
dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction
(kemampuan mengarahkan diri) dan self
control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa
menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau
berlawanan dengan kata hati;
c. proses
belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dengan hewan.
4.
Teori
Pendekatan Kognitif
Teori
psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah
memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan.
Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi
kognitif, ilmu-ilmu komputer, linguistik, intelegensi buatan, matematika,
epistemologi, dan neuropsychology
(psikologi syaraf).
Pendekatan
psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental
Indonesia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak
tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti,
motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Meskipun
pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik,
tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap
sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang
berdimensi ranah cipta seperti berikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil
keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah
rasa.
Dalam
perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar
siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan
tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku
mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan
kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental
yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar
psikologi terkemuka, menyimpulkan: …
Children have a built-in desire to learn (Barlow, 1985), bahwa anak-anak
memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Sementara
itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910)
dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen Pavlov, Thorndike, dan
Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran behaviorisme di bawah
kepemimpinan John Broadus Watson (1878-1958). Aliran behaviorisme yang terkenal
radikal dan menantang itu kini sedang mengalami fase keruntuhannya. Karena kini
semakin banyak pakar psikologi kelas dunia yang merasa tidak puas terhadap
teori-teori behavioristik, apalagi setelah dibandingkan dengan hasil-hasil
riset para pakar psikologi (Reber, 1988).
Di
antara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik ialah setiap
anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan,
dan warisan-abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan
baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam
pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan
berperasaan hanya bergantung pada cara individu itu dididik.
Keyakinan
prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan “refleks”, yakni reaksi jasmaniah yang
dianggap tidak memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan manusia,
termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia
atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan
menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai
manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah
peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan
yang dikuasai siswa tersebut.
Dalam
perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan seperti tadi
adalah naïf (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit
dipertanggungjawabkan secara psikologis. Sebagai bukti dan bahan perbandingan,
berikut ini penyusun kemukakan dua contoh kritik terhadap kepercayaan
behavioristik tadi.
Pertama,
memang tak dapat dimungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya berpengaruh terhadap
kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimnya menyalin pelajaran, juga dengan
kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan siswa tersebut
demikian lancarnya karena sudah terbiasa menuju sejak tahun pertama masuk
sekolah.
Perlu
diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara yang biasa ia
lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan mengenai ia akan menyalin
pelajaran sekarang nanti, atau sama sekali tidak. Jadi, kebiasaan dapat
berfungsi sebagai pelaksanaan aktivitas menyalin pelajaran dari awal hingga
akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan dimulainya aktivitas
menyalin pelajaran oleh siswa tadi dengan kebiasaan yang ia kuasai. Keputusan
tersebut tentu bukan peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu
sendiri.
Kedua,
kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan siswa itu
sendiri. Contoh: menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian di
perpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi, ketika tiba saat berpuasa pada
bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen.
Dalam hal ini, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan
mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebut karena sedang menunaikan
ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan
peristiwa mental (konatif), meskipun secara lahiriah yang menerima akibat
kemauan tersebut adalah perilaku behavioral.
Dari
uraian contoh-contoh di atas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu,
dalam hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekadar peristiwa S-R Bond
(ikatan antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak melibatkan proses
kognitif. Hanya dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang
lingkupnya (umpamanya belajar meniru sopan santun di meja makan dan bertegur
sapa), peranan ranah cipta siswa tidak menonjol.
Sumber : Buku
Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar