Sebagai bagian dari
filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru
muncul pada pertengahan Abad ke-19. Meskipun sejak Zaman Yunani Kuno,
masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu
khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengnai
aksiologi pada prinsipnya. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti
nilai atau berharga. Jadi, aksiologi dapat diartikan sebagai wacana filosofis
yang membicarakan nilai dan penilaian. Menurut Mautner, aksiologi mulai digunakan sebagaimana adanya saat ini oleh
Lotze, kemudian Brentano, Husserl Scheeler, Nicolai Hartmann. Aksiologi digunakan terutama sebagai teori umum
mengenai nilai. Scheeler mengontraskannya dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan, tetapi lebih
sering dikontraskan dengan deontology,
yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
Sebagaimana
telah diutarakan, bahwa dalam membahas aksiologi nilai dan penilaian, terdapat
banyak pendapat menyangkut isinya. Apakah nilai dan apakah penilaian?
Pertanyaan ini tentu saja merupakan masalah utama pada bagian filsafat ini.
Dalam pikiran seorang yang awam, masalah ini memang tidak sederhana. Dalam
filsafat lama, termasuk filsafat Yunani Kuno, temanya lebih banyak bertautan
dengan masalah-masalah yang konkret, substansi material, seperti api, udara,
dan air. Masalah ini perlu pembahasan khusus. Oleh karena itu, kita perlu
membahas nilai ini berdasarkan dua hal, ialah ada (being) dan nilai (value).
Pada masa lalu, nilai berada di bawah masalah ada, tetapi diukur berdasarkan
patokan dan tolok ukur yang sama. Tentu saja masalahnya menjadi tidak selaras.
Sebagian
orang mengartikan nilai dengan menggunakan sebagai reduksi. Dengan kata lain,
memperlihatkan adanya tiga sektor besar realitas, yaitu benda, esensi, dan
keadaan psikologis. Nilai yang diberikan orang pada sesuatu akan dikaitkan
antara lain dengan apa yang diinginkannya, apa yang menyenangkannya, dan apa
yang membuatnya senang atau nikmat. Teori-teori lainnya, seperti yang
dikemukakan oleh teori Nicolai Hartmann,
bahwa nilai adalah esensi dan ide platonik. Nilai selalu berhubungan dengan
benda yang menjadi pendukungnya, misalnya indah dengan kain dan baik untuk
perilaku. Artinya, bahwa nilai tidak nyata.
Pada
kenyataannya terdapat banyak tingkatan dalam kualitas, yaitu kualitas primer,
sekunder, dan tersier. Kualitas primer bersangkutan dengan adanya benda itu,
jika tidak ada, nilai tidak mungkin terbentuk. Kualitas sekunder adalah
kualitas yang timbul sebagai sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra kita,
seperti warna, rasa, dan bau. Adapun kualitas tersier terjadi ketika penilaian
berbeda berdasarkan dua kualitas terdahulu. Jelas, bahwa kualitas ini tidak
nyata, tetapi suatu sifat, sui generis, ialah bahwa nilai tidak mandiri, kata
Husserl.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar