Minggu, 26 Oktober 2014

Aksiologi


 

Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru muncul pada pertengahan Abad ke-19. Meskipun sejak Zaman Yunani Kuno, masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengnai aksiologi pada prinsipnya. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga. Jadi, aksiologi dapat diartikan sebagai wacana filosofis yang membicarakan nilai dan penilaian. Menurut Mautner, aksiologi mulai digunakan sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserl Scheeler, Nicolai Hartmann. Aksiologi digunakan terutama sebagai teori umum mengenai nilai. Scheeler mengontraskannya dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan, tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.

Sebagaimana telah diutarakan, bahwa dalam membahas aksiologi nilai dan penilaian, terdapat banyak pendapat menyangkut isinya. Apakah nilai dan apakah penilaian? Pertanyaan ini tentu saja merupakan masalah utama pada bagian filsafat ini. Dalam pikiran seorang yang awam, masalah ini memang tidak sederhana. Dalam filsafat lama, termasuk filsafat Yunani Kuno, temanya lebih banyak bertautan dengan masalah-masalah yang konkret, substansi material, seperti api, udara, dan air. Masalah ini perlu pembahasan khusus. Oleh karena itu, kita perlu membahas nilai ini berdasarkan dua hal, ialah ada (being) dan nilai (value). Pada masa lalu, nilai berada di bawah masalah ada, tetapi diukur berdasarkan patokan dan tolok ukur yang sama. Tentu saja masalahnya menjadi tidak selaras.

Sebagian orang mengartikan nilai dengan menggunakan sebagai reduksi. Dengan kata lain, memperlihatkan adanya tiga sektor besar realitas, yaitu benda, esensi, dan keadaan psikologis. Nilai yang diberikan orang pada sesuatu akan dikaitkan antara lain dengan apa yang diinginkannya, apa yang menyenangkannya, dan apa yang membuatnya senang atau nikmat. Teori-teori lainnya, seperti yang dikemukakan oleh teori Nicolai Hartmann, bahwa nilai adalah esensi dan ide platonik. Nilai selalu berhubungan dengan benda yang menjadi pendukungnya, misalnya indah dengan kain dan baik untuk perilaku. Artinya, bahwa nilai tidak nyata.

Pada kenyataannya terdapat banyak tingkatan dalam kualitas, yaitu kualitas primer, sekunder, dan tersier. Kualitas primer bersangkutan dengan adanya benda itu, jika tidak ada, nilai tidak mungkin terbentuk. Kualitas sekunder adalah kualitas yang timbul sebagai sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra kita, seperti warna, rasa, dan bau. Adapun kualitas tersier terjadi ketika penilaian berbeda berdasarkan dua kualitas terdahulu. Jelas, bahwa kualitas ini tidak nyata, tetapi suatu sifat, sui generis, ialah bahwa nilai tidak mandiri, kata Husserl.

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...