Rabu, 25 Juni 2014

Variasi Individual Peserta Didik


Pengertian Peserta Didik

Dalam proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan dan tumpuan  perhatian dalam semua proses transformasi yang disebut pendidikan. Sebagai salah satu komponen penting dalam sistem  pendidikan, peserta didik sering disebut sebagai “raw material” (bahan mentah).

Dalam perspektif pedagogis, peserta didik diartikan sebagai sejenis makhluk “homo educandum”, makhluk yang menghajatkan pendidikan. Dalam pengertian ini, peserta didik dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi yang bersifat laten, sehingga dibutuhkan binaan dan bimbingan untuk mengaktualisasikannya agar ia dapat menjadi manusia susila yang cakap.

Dalam perspektif psikologis, peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya (Arifin, 1996).

Dalam perspektif Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4, “peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.”

Berdasarkan beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik individu yang memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya:

1.      Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya ini perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf perkembangan yang optimal.
2.      Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan lingkungannya.
3.      Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Sebagai individu yang sedang berkembang, maka proses pemberian bantuan dan bimbingan perlu mengacu pada tingkat perkembangannya.
4.      Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Di samping itu, dalam diri peserta didik juga terdapat kecenderungan untuk melepaskan diri dari kebergantungan pada pihak lain. Karena itu setahap demi setahap orangtua atau pendidik perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mandiri dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.

Teori-Teori Psikologi tentang Hakikat Peserta Didik

Karena peserta didik merupakan komponen manusiawi yang terpenting dalam proses pendidikan, maka seorang guru dituntut memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat peserta didik tersebut. Sebagai komponen manusiawi, berarti pemahaman tentang hakikat peserta didik tidak terlepas tentang hakikat manusia secara umum. Dalam kajian psikologi terdapat sejumlah teori yang berupaya untuk menjelaskan tentang hakikat manusia, terutama tentang bagaimana manusia berkembang dan bertingkah laku, faktor-faktor apa yang mempengaruhi manusia sehingga mampu mendinamisasikan dirinya dalam berbagai perilaku kehidupan.

Berikut ini akan diuraikan beberapa teori psikologi tentang hakikat manusia tersebut.

Pandangan Psikodinamika
Teori psikodinamika adalah teori psikologi yang berupaya menjelaskan hakikat dan perkembangan tingkah laku (kepribadian) manusia. Teori psikodinamika dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939). Model psikodinamika yang diajukan Freud disebut “teori psikoanalisis” (psychoanalytic theory). Menurut teori ini, tingkah laku manusia merupakan hasil tenaga yang beroperasi di dalam pikiran, yang sering tanpa disadari oleh individu. Bagi Freud, ketidaksadaran merupakan bagian dari pikiran yang terletak di luar kesadaran yang umum dan berisi dorongan-dorongan instinktual. Hanya sebagian kecil dari tingkah laku manusia yang muncul dari proses mental yang disadari, sebaliknya yang paling besar mempengaruhi tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran.

Oleh sebab itu, menurut pandangan psikoanalisis, tingkah laku manusia hanya dapat dipahami melalui pengkajian yang mendalam terhadap ketidaksadaran. Freud meyakini bahwa tingkah laku kita didorong oleh motif-motif di luar alam sadar kita dan konflik-konflik yang tidak kita sadari. Konflik-konflik itu didasari oleh hal-hal di seputar instink-instink atau dorongan-dorongan seksual dan agresif primitif serta kebutuhan untuk mempertahankan impuls-impuls primitif tersebut di luar kesadaran langsung kita.

Jadi, menurut pandangan ini, tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis, naluri-naluri irrasional (terutama naluri menyerang dan naluri seks) yang memang sudah ada sejak semula pada setiap diri individu. Menurut Freud, hanya sedikit ide-ide, harapan-harapan, dan impuls-impuls yang ada dalam diri individu dan yang menentukan tingkah laku mereka. Sebaliknya, bagian dari pikiran yang lebih besar, yang meliputi harapan-harapan, kekuatan-kekuatan, dorongan-dorongan yang bersifat instinktif kita yang terdalam, tetap berada di bawah permukaan keasadaran (unconscious). Berdasarkan keyakinan inilah maka para teoretisi psikodinamika menganggap perkembangan manusia (human development) sebagai suatu proses aktif dan dinamis yang sangat dipengaruhi oleh dorongan-dorongan atau impuls-impuls individual yang dibawa sejak lahir.

Berdasarkan ide-ide pokok tentang tingkah laku manusia tersebut, Freud kemudian membedakan kepribadian manusia atas tiga unit mental atau struktur psikis, yaitu id, ego, dan superego. Struktur psikis tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung, tetapi keberadaannya ditandai oleh perilaku yang dapat diamati dan diekspresikan pada pikiran dan emosi. Meskipun ketiga struktur psikis tersebut mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dan dinamikanya sendiri-sendiri, tetapi ketiganya saling berhubungan, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya satu sama lain dalam fenomena tingkah laku manusia.

Id merupakan aspek biologis kepribadian karena berisikan unsur-unsur biologis, termasuk di dalamnya dorongan-dorongan dan impuls-impuls instinktif yang lebih dasar (lapar, haus, seks, dan agresi). Id merupakan realitas psikis yang sesungguhnya karena hanya merupakan dunia batin/dunia subjektif manusia dan sama sekali tidak berhubungan dengan dunia objektif. Id, yang sepenuhnya beroperasi pada ketidaksadaran dan telah ada sejak lahir, dan tidak memperoleh campur tangan dari dunia luar. Id bekerja mengikuti prinsip (pleasure principle), yang dioperasikan pada dua proses; pertama, refleks dan reaksi otomatis (seperti: bersin, berkedip); kedua, proses berpikir primer (primary process thinking), yang merupakan proses dalam berhubungan dengan dunia luar melalui imajinasi dan fantasi, yakni mencapai pemuasan dengan memanipulasi gambaran mental dari objek yang diinginkan (seperti: orang lapar membayangkan makanan). Karena mengikuti prinsip kesenangan, id menuntut pemuasan dari instink-instink tanpa memperhitungkan norma-norma sosial atau kebutuhan orang lain.

Ego merupakan aspek psikologis kepribadian karena timbul dari kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara kebutuhan instinktif organisme dengan keadaan lingkungan. Ego berkembang pada tahun pertama dan merupakan aspek eksekutif atau “executive branch” (badan pelaksana) kepribadian, karena fungsi utama ego adalah: (1) menahan penyaluran dorongan, (2) mengatur desakan dorongan-dorongan yang sampai pada kesadaran, (3) mengarahkan suatu perbuatan agar mencapai tujuan-tujuan yang dapat diterima, (4) berpikir logis, dan (5) mempergunakan pengalaman emosi-emosi kecewa atau kesal sebagai tanda adanya sesuatu yang salah, yang tidak benar, sehingga kemudian dapat dikategorikan dengan hal-hal lain untuk memutuskan apa yang akan dilakukan sebaik-baiknya.

Ego terikat oleh proses berpikir sekunder (secondary process thinking), yaitu proses berpikir realistis melalui perencanaan pemuasan kebutuhan dan menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dunia luar. Prinsip kerja ego diatur oleh prinsip realitas (reality principle), yaitu menghilangkan ketegangan dengan mencari objek yang tepat di dunia nyata.

Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal realitas subjektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.

Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal realitas subjektif-jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.

Superego adalah aspek sosiologis kepribadian karena merupakan wakil nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak-anaknya melalui berbagai perintah dan larangan. Perhatian utama superego adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, sehingga ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh masyarakat. Superego mencerminkan nilai-nilai moral dari self yang ideal, yang disebut “ego ideal” dan berfungsi : (1) sebagai hati nurani atau penjaga moral internal, yang mengawasi ego dan memberikan penilaian tentang benar atau salah; (2) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif; (3) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan moralitas; (4) menentukan cita-cita mana yang akan diperjuangkan; dan (4) mengajar kesempurnaan.  

Superego bekerja menurut prinsip moral (moral principle), yaitu menuntur kepatuhan yang ketat terhadap standar moral. Karena mengikuti prinsip moral, superego cenderung untuk menentang, baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. Tetapi, superego sama seperti id, bersifat tidak rasional, dan sama seperti ego, melaksanakan kontrol atas instink-instink. Berbeda dengan ego, superego tidak hanya menunda pemuasan instink, tetapi tetap berusaha untuk merintanginya.

Dalam dinamika dan realitas kehidupan pribadi, kalau id lebih cenderung pada nafsu, sedangkan superego lebih cenderung pada hal-hal yang moralis. Agar tercipta keseimbangan hidup, id dan superego harus dijembatani oleh hal yang bersifat realistis (ego). Artinya, agar manusia tidak terlalu mengembangkan nafsu saja dan juga tidak terlalu cenderung pada hal-hal yang idealis dan moralis, perlu ada imbangan melalui dunia kenyataan atau dijembatani oleh ego.

Pandangan Behavioristik
Behavioristik adalah sebuah aliran dalam pemahaman tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ali psikologi amerika, pada tahun 1930, sebagai reaksi atas teori psikodinamika. Perspektif behavioral ini berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dikendalikan.

Watson dan teoritikus behavioristik lainnya, seperti Skinner (1904-1990) meyakini bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau situasional. Kalau Freud melihat bahwa tingkah laku kita dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional, teoretikus behavioristik melihat kita sebagai hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi tingkah laku kita. Menurut teoretikus behavioristik, manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif, yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar. Faktor lingkungan inilah yang menjadi penentu terpenting dari tingkah laku manusia. Berdasarkan pemahaman ini, maka kepribadian individu menurut teori ini dapat dikembalikan kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Manusia datang ke dunia ini tidak dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya “baik atau buruk”, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu selanjutnya semata-mata bergantung pada lingkungannya.

Menurut teori ini, orang terlibat di dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah. Orang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut dalam diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Semua tingkah laku, baik bermanfaat ataupun merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.

Gagasan utama dalam aliran behavioristik ini adalah bahwa untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan pendekatan yang objektif, mekanistik dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengondisian. Dengan perkataan lain, mempelajarinya tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tampak, bukan dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Menurut Watson, adalah tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tamapak, bukan dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Menurut Watson, adalah tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah mempelajari tingkah laku manusia semata-mata didasarkan atas kejadian-kejadian subjektif, yakni kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi di dalam pikiran, tetapi tidak dapat diamati dan diukur.

Pandangan Humanistik
Teori humanistik muncul pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi terhadap teori psikodinamik dan behavioristik. Para teoretikus humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1907) meyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengondisian (conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self-direction.  

Aliran humanistik berhubungan erat dengan aliran filosofis Eropa yang disebut sebagai “eksistensialisme”. Para eksistensialis, seperti filososf martin heidegger (1889-11976) dan Jean Paul Sartre (1905-1980), memfokuskan perhatian pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada eksistensi manusia. Para eksistensialis juga meyakini bahwa kemanusiaan kita membuat kita bertanggung jawab atas arah yang akan diambil dalam kehidupan kita.   

Para teoretikus humanistik mempertahankan bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk melakukan self-actualization- untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap manusia memiliki serangkaian perangai dan bakat-bakat yang mendasari perasaan dan kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam hidup kita. Meskipun pada akhirnya setiap manusia akan mati, tetapi masing-masing dapat mengisi kehidupan dengan penuh arti dan bertujuan apabila kita mengenali dan menerima kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Kita hidup secara autentik. Kesadaran diri terhadap perasaan-perasaan autentik dan pengalaman subjektif dapat membantu kita untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih bermakna.

Menurut Rogers, salah seorang tokoh aliran humanistik, prasyarat yang terpenting bagi aktualisasi-diri adalah konsep diri yang luas dan fleksibel, sesuatu yang memungkinkan kita untuk menyerap secara luas seluruh pengalaman dan mengekspresikan diri kita secara penuh. Konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman kita pada waktu kecil, terutama pengalaman bersama orangtua kita sendiri. Semua anak secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan.

Rogers meyakini bahwa orangtua mempunyai peran yang besar dalam membantu anak-anak merka mengembangkan self-esteem dan menempatkan mereka pada jalur self-actualization dengan menunjukkan pada mereka unconditional positive regard-memuji mereka berdasarkan nilai dari dalam diri mereka, tanpa memandang perilaku mereka pada saat itu. Dengan cara pemberian penghargaan dan penilaian yang bersifat positif inilah anak dapat mengembangkan self-actualization dan self-concept yang positif. Sebaliknya, penilaian yang bersifat negatif terhadap anak akan memberikan penglaman yang tidak menyenangkan bagi mereka. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini cenderung dikeluarkan anak dari konsep diri mereka sehingga menghasilkan konsep diri yang tidak selaras dengan organisme. Dengan konsep diri yang demikian, anak akan berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang lain, dan tidak berusaha menjadi apa yang sebenanya ia inginkan.

Lebih jauh Rogers mengatakan bahwa orang saling menyakiti satu sama lain atau menajdi antisosial dalam tingkah laku mereka sebenarnya adalah karena mereka frustasi dalam usaha untuk mencapai potensi unik mereka. Namun ketika orangtua dan orang lain memperlakukan anak-anak dengan cinta dan toleransi untuk perbedaan mereka, anak-anak juga akan tumbuh menjadi penuh cinta, sekalipun beberapa dari nilai dan kesukaan mereka berbeda dengan pilihan orangtua mereka.

Jadi, dalam teori humanistik, manusia digambarkan secara optimistik dan penuh harapan. Di dalam diri manusia terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Manusia digambarkan sebagai individu yang aktif, bertanggung jawab, mempunyai potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), beroerientasi ke depan, dan selalu berusaha untuk self-fulfillment (mengisi diri sepenuhnya untuk beraktualisasi). Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini lebih disebabkan oleh pengaruh yang bersifat menjerat dan keliru dari pendidikan dan latihan yang diberikan oleh orangtua serta pengaruh-pengaruh sosial lainnya.   

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...