Psikologi transpersonal
sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembangan dari psikologi
humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro
dan Denise H. Lajoie (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai
berikut:
Tranpersonal psychology is
concerned with the study of humanitys highest potential, and with the
recognation, understanding, and realization of unitive, spiritual, and
trancendent states of consciousness.
Dari rumusan di atas
terlihat dua unsur penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal,
yaitu potensi-potensi luhur (the highest
potentials) dan fenomena kesadaran (state
of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal
memfokuskan perhatian pada dimensi siritual dan pengalaman-pengalaman ruhaniah
manusia.
The
states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness
adalah pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti
pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan
mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga
mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra sensory perception, transendensi
diri, kerohanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran,
pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin,
pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di
berbagai belahan dunia lainnya, dan sebagainya.
Psikologi transpersonal
berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh
Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian
yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti
“pengalaman-pengalaman puncak” (peak
experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk
memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang.
Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami puncak merasa lebih terintegrasi,
lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri, lebih
spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah mencerap
sesuatu, dan sebagainya.
Dari hasil
penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak
experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab itu kata
Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan
spiritual dan transpersonal. Lebih jauh Maslow, (1968) menulis:
I should say also that I consider
humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a
still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centerd in the cosmos
rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self
actualization, and the like.
Sepanjang sejarah
kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya
dengan menukik jauh ke dalam “wujud spiritual, ruh.” Psikologi modern menjawab
dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi
psikologis” dan psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan
diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil
pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia perennis) agama. Psikologi
transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam
dimensi lain yang luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktek-praktek
untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego,
dan superego-nya Freud.
Peserta
Didik sebagai Makhluk Individual
Dilihat dari sudut
pandang psikologis, peserta didik dapat diartikan sebagai suatu organisme yang
sedang tumbuh dan berkembang. Ia memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti
bakat, minat, kebutuhan sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah.
Potensi-potensi tersebut perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan
pengajaran, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara utuh menjadi manusia
dewasa atau matang.
Sebagai organisme yang
seang tumbuh dan berkembang, peserta didik dipandang sebagai individu yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Secara etimologi, istilah individu
berasal dari kata Latin “individuum”,
yang berarti tidak dapat dibagi, perseorangan atau pribadi. Dalam bahasa
Inggris, individu berasal dari kata “in”
dan “divided”. Kata “in” salah satunya mengandung pengertian
“tidak”, sedangkan “divided” artinya
“terbagi”. Jadi, indivdu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan.
Dalam bahasa Indonesia,
individu diartikan sebagai: :orang seorang diri atau pribadi sebagai
perseorangan”. Menurut Zakiah Daradjat (1995), individu adalah “manusia
perseorangan yang memiliki pribadi/jiwa sendiri, di mana dengan kekhususan jiwa
tersebut menyebabkan individu yang satu berbeda dengan individu yang lain.
Dalam perspektif
psikologi Islam, untuk menyebut pengertian yang sama dengan individu digunakan
istilah “nafs” (bentuk jamaknya nufus), yang sering diartikan sebagai
“pribadi atau diri, totalitas manusia, apa yang terdapat dalam diri manusia
yang menghasilkan tingkah laku (Rahardjo, 1991, Shihab, 1996).
Muhammad Iqbal, seorang
pemikir besar Islam dari India, menggunakan istilah “khudi”-istilah dalam bahasa parsi, yang secara harfiah berarti:
“kedirian” atau “individualitas”. Menurut Iqbal, khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi
kehidupan manusia. Ia merupakan satu kesatuan yang riil dan mantap. Tugas
manusia adalah untuk mewujudkan diri dan dengan berani mengukuhkan realitas
dirinya serta memantapkan ego insaninya dalam suatu pribadi yang lebih kukuh
(Saiyidan, 1981).
Dari pengertian di atas
dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk individual berarti bahwa manusia
itu merupakan keseluruhan atau totalitas yang tidak dapat dibagi. Menurut
pengertian ini, maka manusia tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan raganya,
rohani dan jasmaninya. Manusia tidak terdiri atas penjumlahan dari
potensi-potensi tertentu, yang masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Kegiatan
jiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak lain merupakan kegiatan keseluruhan
jiwa-raganya, dan bukan kegiatan alat-alat tubuh saja atau kemampuan-kemampuan
jiwa saja.
Berdasarkan kesadaran
bahwa manusia merupakan kesatuan jiwa-badan, maka hanya manusia pula yang
merupakan totalitas. Manusia menyadari akan dua momen dalam dirinya sebagai
jiwa dan badan, yang kedua-duanya harus selalu menjadi kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat mengadakan refleksi
bahwa berkat badan manusia adalah bagian dari alam semesta, tetapi berkat jiwa
rohaninya ia melampauinya. Jiwa rohaninya itu membedakan manusia sebagai suatu
totalitas dengan segala sesuatu lainnya dalam alam semesta ini. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jiwa rohani itu merupakan kekhususan manusia dan
menempatkannya sebagai pribadi, dan sebagai pribadi manusia menyadari dirinya
sebagai subjek yang dihadapkan pada dunia luar sebagai objek.
Sebagai subjek, manusia
memiliki kepribadian yang mengatakan atau men-”transendir” dunia luar, alam
sekitar. Artinya, sebagai subjek yang bermartabat pribadi, manusia dapat
mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya, sebagaimana
halnya hewan. Sebagai pribadi, manusia tidak mungkin dapat dijadikan objek. Dia
begitu otonom dan individual, sehingga tidak dapat diulangi dan tidak pernah
ada duanya di dunia ini. Lebih dari itu, manusia sebagai pribadi adalah
substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia
luar merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri mencapai
kematangan dan kesempurnaan (Adisusila, 1985).
Semua ini disadari dan
dilakukan manusia secara khas sesuai dengan corak kepribadian dan kemampuan
masing-masing individu. Oleh karena proses perkembangan dan pengalaman
masing-masing individu tidak sama, maka pribadi yang terbentuk dalam proses
tersebut juga berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainny.
Realitas ini mengindikasikan bahwa dalam proses perkembangan peserta didik yang
wajar harus memperhatikan segi individualitas kemanusiaannya, dalam artian
bahwa setiap individu merupakan kesatuan jiwa raga, yang memiliki struktur dan
kecakapan yang unik.
Sesuai dengan sifat
individual tersebut, perkembangan peserta didik juga bersifat unik. Dalam hal
ini menarik apa yang dikemukakan oleh Saufrock dan Yussen (dalam Rohman Wahab,
1998/199): “each us develops some other individuals, and like individuals, like
some other individuals, and like no other individuals.” Jadi, di samping
terdapat kesamaan-kesamaan dalam pola-pola umum perkembangan setiap individu,
terdapat variasi individual dalam perkembangan yang bisa terjadi pada setiap
saat. Hal ini adalah karena perkembangan itu sendiri merupakan suatu proses
perubahan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur yang sling berpengaruh satu
sama lain.
Sumber : Psikologi
Perkembangan Peserta Didik, Desmita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar