Rabu, 25 Juni 2014

Pandangan Psikologi Transpersonal


Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembangan dari psikologi humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoie (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut:

Tranpersonal psychology is concerned with the study of humanitys highest potential, and with the recognation, understanding, and realization of unitive, spiritual, and trancendent states of consciousness.

Dari rumusan di atas terlihat dua unsur penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi siritual dan pengalaman-pengalaman ruhaniah manusia.

The states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra sensory perception, transendensi diri, kerohanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya, dan sebagainya.

Psikologi transpersonal berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti “pengalaman-pengalaman puncak” (peak experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang. Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami puncak merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya.

Dari hasil penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Lebih jauh Maslow, (1968) menulis:

I should say also that I consider humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centerd in the cosmos rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self actualization, and the like.

Sepanjang sejarah kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh ke dalam “wujud spiritual, ruh.” Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis” dan psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia perennis) agama. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktek-praktek untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego-nya Freud.  

Peserta Didik sebagai Makhluk Individual

Dilihat dari sudut pandang psikologis, peserta didik dapat diartikan sebagai suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Ia memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti bakat, minat, kebutuhan sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi tersebut perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pengajaran, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara utuh menjadi manusia dewasa atau matang.

Sebagai organisme yang seang tumbuh dan berkembang, peserta didik dipandang sebagai individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Secara etimologi, istilah individu berasal dari kata Latin “individuum”, yang berarti tidak dapat dibagi, perseorangan atau pribadi. Dalam bahasa Inggris, individu berasal dari kata “in” dan “divided”. Kata “in” salah satunya mengandung pengertian “tidak”, sedangkan “divided” artinya “terbagi”. Jadi, indivdu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan.

Dalam bahasa Indonesia, individu diartikan sebagai: :orang seorang diri atau pribadi sebagai perseorangan”. Menurut Zakiah Daradjat (1995), individu adalah “manusia perseorangan yang memiliki pribadi/jiwa sendiri, di mana dengan kekhususan jiwa tersebut menyebabkan individu yang satu berbeda dengan individu yang lain.

Dalam perspektif psikologi Islam, untuk menyebut pengertian yang sama dengan individu digunakan istilah “nafs” (bentuk jamaknya nufus), yang sering diartikan sebagai “pribadi atau diri, totalitas manusia, apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (Rahardjo, 1991, Shihab, 1996).

Muhammad Iqbal, seorang pemikir besar Islam dari India, menggunakan istilah “khudi”-istilah dalam bahasa parsi, yang secara harfiah berarti: “kedirian” atau “individualitas”. Menurut Iqbal, khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Ia merupakan satu kesatuan yang riil dan mantap. Tugas manusia adalah untuk mewujudkan diri dan dengan berani mengukuhkan realitas dirinya serta memantapkan ego insaninya dalam suatu pribadi yang lebih kukuh (Saiyidan, 1981).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk individual berarti bahwa manusia itu merupakan keseluruhan atau totalitas yang tidak dapat dibagi. Menurut pengertian ini, maka manusia tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan raganya, rohani dan jasmaninya. Manusia tidak terdiri atas penjumlahan dari potensi-potensi tertentu, yang masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Kegiatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak lain merupakan kegiatan keseluruhan jiwa-raganya, dan bukan kegiatan alat-alat tubuh saja atau kemampuan-kemampuan jiwa saja.

Berdasarkan kesadaran bahwa manusia merupakan kesatuan jiwa-badan, maka hanya manusia pula yang merupakan totalitas. Manusia menyadari akan dua momen dalam dirinya sebagai jiwa dan badan, yang kedua-duanya harus selalu menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat mengadakan refleksi bahwa berkat badan manusia adalah bagian dari alam semesta, tetapi berkat jiwa rohaninya ia melampauinya. Jiwa rohaninya itu membedakan manusia sebagai suatu totalitas dengan segala sesuatu lainnya dalam alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jiwa rohani itu merupakan kekhususan manusia dan menempatkannya sebagai pribadi, dan sebagai pribadi manusia menyadari dirinya sebagai subjek yang dihadapkan pada dunia luar sebagai objek.

Sebagai subjek, manusia memiliki kepribadian yang mengatakan atau men-”transendir” dunia luar, alam sekitar. Artinya, sebagai subjek yang bermartabat pribadi, manusia dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya, sebagaimana halnya hewan. Sebagai pribadi, manusia tidak mungkin dapat dijadikan objek. Dia begitu otonom dan individual, sehingga tidak dapat diulangi dan tidak pernah ada duanya di dunia ini. Lebih dari itu, manusia sebagai pribadi adalah substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luar merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri mencapai kematangan dan kesempurnaan (Adisusila, 1985).

Semua ini disadari dan dilakukan manusia secara khas sesuai dengan corak kepribadian dan kemampuan masing-masing individu. Oleh karena proses perkembangan dan pengalaman masing-masing individu tidak sama, maka pribadi yang terbentuk dalam proses tersebut juga berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainny. Realitas ini mengindikasikan bahwa dalam proses perkembangan peserta didik yang wajar harus memperhatikan segi individualitas kemanusiaannya, dalam artian bahwa setiap individu merupakan kesatuan jiwa raga, yang memiliki struktur dan kecakapan yang unik.

Sesuai dengan sifat individual tersebut, perkembangan peserta didik juga bersifat unik. Dalam hal ini menarik apa yang dikemukakan oleh Saufrock dan Yussen (dalam Rohman Wahab, 1998/199): “each us develops some other individuals, and like individuals, like some other individuals, and like no other individuals.” Jadi, di samping terdapat kesamaan-kesamaan dalam pola-pola umum perkembangan setiap individu, terdapat variasi individual dalam perkembangan yang bisa terjadi pada setiap saat. Hal ini adalah karena perkembangan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur yang sling berpengaruh satu sama lain.  

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...