Secara terminologis,
memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena
latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur Barat. Dan di
kalangan ilmuwan Barat yang mula-mula menggunakan sebutan psikologi agama
adalah Edwin Diller Starbuck, melalui karangannya Psychology of Religion yang
terbit tahun 1899. Namun, hal ini tidak berarti bahwa di luar itu studi yang
berkaitan dengan psikologi agama belum pernah dilakukan oleh para ilmuwan
non-Barat.
Meskipun di kalangan
ilmuwan Muslim kajian-kajian dalam psikologi agama mulai dilakukan secara
khusus sekitar pertengahan abad ke-20, namun permasalahan yang ada sangkut
pautnya dengan bidang kajian ini sudah berlangsung sejak awal perkembangan
Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran islam yang dapat
dijadikan acuan dalam studi psikologi agama.
Sudah sejak lama
Alquran menginformasikan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki
sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan nonfisik. Secara anatomis,
pemahaman terhadap unsur fisik tampaknya tak jauh berbeda dari konsep manusia
menurut pandangan ilmuwan Barat, meskipun dalam pengertian khusus konsep Islam
tentang manusia lebih rinci.
Manusia menurut
terminologi Alquran dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan pendekatan aspek
biologisnya. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk biologis
yang memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan, seksual) dan makhluk
generatif (berketurunan). Sedangkan, dilihat dari fungsi dan potensi yang
dimilikinya manusia disebut al-Insan. Konsep al-Insan menggambarkan fungsi
manusia sebagai penyandang khalifah Tuhan yang dikaitkan dengan proses
penciptaan dan pertumbuhan serta perkembangannya (QS 2:30 dan QS 23:12-14).
Selain itu, konsep al-Insan juga menunjukkan potensi yang dimiliki manusia
seperti kemampuan untuk mengembangkan ilmi(QS 96:4-5). Di samping itu, konsep
ini juga menggambarkan sejumlah sifat-sifat dan tanggunq jawab manusia seperti
lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir, tidak bersyukur, dan sebagainya.
Namun, kepadanya dibebankan amanah dan tanggung jawab untuk berbuat baik (QS
29:8).
Kemudian manusia
disebut al-Nas yang umumya dilihat
dari sudut pandang hubungan sosial yang dilakukannya. Selain sebagai makhluk
sosial, manusia juga dibebankan tanggung jawab sosial, baik dalam bentuk
lingkungan sosial yang paling kecil (keluarga) maupun yang lebih besar seperti
masyarakat, etnik maupun bangsa. Manusia pun disebut sebagai al-Ins untuk
menggambarkan aspek spiritual yang dimilikinya.
Dalam bentuk pengertian
umum, Alquran menyebut manusia sebagai Bani Adam. Konsep ini untuk
menggambarkan nilai-nilai universal yang ada pada diri setiap manusia tanpa
melihat latar belakang perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa ataupun
aliran kepercayaan masing-masing. Bani Adam menggambarkan tentang kesamaan dan
persamaan manusia, yang tampak lebih ditekankan pada aspek fisik. Walaupun
tidak sama persis dengan konsep Homo (makhluk manusia), namun dari sudut
pandang ini pemahaman konsep Barat tentang aspek fisik manusia dapat dikatakan
mirip dengan konsep Bani Adam. Bedanya terletak pada nilai kemakhlukannya.
Pada konsep Barat,
manusia dilihat dari aspek fisik berada dalam keadaan bebas niali. Sebaliknya,
konsep Bani Adam memuat nilai kemakhlukan yang jelas, yaitu sebagai makhluk
ciptaan tuhan. Hubungan makhluk—Khalik termuat dalam konsep Bani Adam yang
menggambarkan manusia dari aspek fisik. Karena itu, secara fisik manusia
terikat kepada nilai-nilai yang sejalan dengan hakikat penciptaannya.
Selanjutnya, manusia
menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis. Dari sudut
pandang ini, pemahaman manusia berdasarkan aspek psikis ini sama sekali berbeda
dengan pandangan ilmuwan Barat. Umumnya, pemahaman Barat tentang aspek psikis
manusia terbatas pada unsur-unsur kejiwaan yang terdiri atas unsur cognist, roh
dan akal merupakan potensi manusia untuk dapat dikembangkan. Tetapi yang jelas
unsur-unsur psikis manusia itu menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan
dengan nilai-nilai agama.
Nafs terbagi menjadi:
(1) nafs al-muthmainnah yang memberi ketenangan batin; (2) nafs al-ammarah yang
mendorong ke tindakan negatif; dan (3) nafs al-lawwamah yang menyadarkan
manusia dari kesalahan hingga timbul penyesalan. Nafs mencakup gejala ambang
sadar dan yang berada di bawah ambang sadar. Sedangkan qalb sebagai wadah dari
gejala ambang sadar manusia.
Selanjutnya, meskipun
unsur roh yang menjadi bagian dari psikis hanya dijelaskan melalui informasi
yang sangat terbatas, namun roh dapat diartikan sebagai unsur psikis yang
mengisyaratkan manusia memiliki kecenderungan berbeda-beda (M.Quraishi Shihab,
1994: 12). Selanjutnya Hasan Langgulung memahami roh sebagai potensi atau
kebolehan yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia
dalam bentuk dan cara yang terbatas (Hasan Langgulung,1986:5).
Kemudian unsur akal
merupakan potensi psikis manusia yang mencakup dorongan moral untuk melakukan
kebaikan dan menghindarkan kesalahn, karena adanya kemampuan manusia untuk
berpikir dan memahami persoalan (M. Quraishi Shihab, 1994: 14). Potensi ini
memberi kemungkinan manusia untuk mengembangkan dirinya dan meningkatkan harkat
kemanusiannya selaku makhluk ciptaan Tuhan.
Konsep tentang manusia
seperti dikemukakan di atas menjadikan pendekatan Islam berbeda dengan
pendekatan psikologi yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian, psikologi
agama sebagai telaah terhadap kesadaran dan pengalaman agama melalui pendekatan
psikologi akan jadi berbeda pula. Pendekatan psikologi terhadap kedua aspek
keagamaan itu bersumber dari pandangan aliran psikologi terhadap manusia.
Aliran Behaviorisme,
misalnya, berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh hukum stimulus dan
respons sedangkan menurut aliran psikoanalisis, perilaku manusia didorong oleh
kebutuhan libidonya (Djamaluddin Ancok, 1994: 63). Pandangan behaviorisme
mengisyaratkan bahwa perilaku agama erat kaitannya dengan stimulus lingkungan
seseorang. Jika stimulus keagamaan dapat menimbulkan respons terhadap diri
seseorang, maka akan muncul dorongan untuk berperilaku agama. Sebaliknya jika
stimulus tidak ada maka tertutup kemungkinan seseorang untuk berperilaku agama.
Jadi, perilaku agama menurut pandangan behaviorisme bersifat kondisional
(tergantung dari kondisi yang diciptakan lingkungan).
Sebaliknya, menurut
psikoanalisis (khususnya Sigmund Freud), sikap dan tingkah laku agama bersumber
dari pemuasan kebutuhan libido manusia. Menurut Freud, dalam perkembangannya ke
arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam
kerajaan binatang. Karena tak puas dengan superioritas ini, maka manusia
menciptakan jurang perbedaan antara sifatnya dengan sifat makhluk lain. Ia
menyangkal bahwa, makhluk lain memiliki akal, sedangkan dirinya sendiri
dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi dan mengklaim dirinya sebagai
bercitra ilahi agar putus pertaliannya dengan kerajaan binatang (Djamaluddin
Ancok, 1994:68). Dalam pandangan ini Freud melihat bahwa agama merupakan
ciptaan manusia karena kebutuhannya.
Selanjutnya, psikologi
humanistik mendasarkan pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk penentu
yang serba bisa. Pandangan yang sangat optimistik ini menempatkan manusia
sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan peran Tuhan (play-God). Di sinilah
letak kejanggalan pandangan psikologi humanistik, menurut Malik B. Badri
(Djamaluddin Ancok, 1994: 69).
Pendekatan psikologi
Barat ini bagaimanapun belum dapat menggambarkan konsep manusia secara utuh dan
lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan psikologi dalam menerangkan siapa
sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata dirinya sehingga
mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Psikologi sangat mudah mereduksi
fenomena-fenomena siapa sesungguhnya manusia (Djamaluddin Ancok, 1994: 63).
Maka tak mengherankan jika para psikolog Muslim berupaya menemukan alternatif
melalui pendekatan konsep yang bersumber dari ajaran Islam, yang bagaimanapun
berbeda dari pendekatan Barat.
Beranjak dari
pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-Khalik secara fitrah. Untuk menjadikan
hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi
yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut. Anugerah
tersebut antara lain, berupa dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan
akal, dan fitrah agama yang jika dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan
mampu mengantarkan manusia mencapai sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk
yang taat mengabdi kepada Penciptanya.
Berangkat dari
pandangan ini terungkap bahwa manusia merupakan makhluk terpola oleh fitrah
ciptaannya. Dan sikap ketundukan kepada Penciptanya merupakan salah-satu unsur
yang termuat dalam pola tersebut. Potensi ini pula yang merupakan benih dari
rasa keberagamaan yang terdapat pada diri manusia. Dengan demikian, psikologi
agama dalam pandangan Islam berawal dari pendekatan fitrah keagamaan itu
sendiri. Kesadaran dan pengalaman keagamaan dinilai sebagai faktor bawaan yang
berkembang melalui bimbingan. Pengembangan awal berpangkat pada aktivitas kedua
orang tua dalam lingkungan keluarga.
Ajaran Islam juga telah
menjelaskan bagaimana hubungan antara tingkat perkembangan anak dengan perilaku
agama dan kaitannya dengan kematangan seksual. Awal periode pubertas sudah
harus mulai diwaspadai serta diperhatikan para orang tua. Upaya yang dilakukan
antara lain menurut Rasul Allah Saw. adalah dengan membiasakan anak-anak usia
tujuh tahun untuk melaksanakan shalat dan mulai diperkeras ketika mereka
menginjak usia sepuluh tahun, serta memisahkan tempat tidur mereka (Abdullah
‘Ulwan,1978:860). Cara menanamkan kesadaran agama yang dilakukan sejak usia
dini menurut pandangan Islam sangat efektif. Dengan demikian, diharapkan
kesadaran agama ini akan membentuk sikap yang positif dalam diri anak.
Selain itu, kematangan
seksual perlu pengarahan yang benar. Dengan menanamkan kesadaran agama melalui
pembiasaan sejak usia dini, anak-anak diharapkan dapat mengekang dorongan
seksualnya ketika mereka mencapai usia remaja. Karena itu, Islam menganjurkan
bagi mereka yang kelak sudah mampu untuk berkeluarga segera menikah. “Wahai
pemuda, jika kalian sudah mampu untuk menikah, maka laksanakanlah karena hal
itu akan menjaga terjadinya penyelewengan dan menahan pandangan mata dari
keinginan untuk berbuat yang tidak senonoh. Namun jika belum mampu untuk
menikah, maka berpuasalah.” Demikian kira-kira pesan Rasul Allah Saw.
Jika dikaji secara
cermat, sebenarnya permasalahan yang berkaitan dengan psikologi agama memang
sudah sejak permulaan pengembangan Islam sudah ada. Tetapi, karena ajaran Islam
merupakan ajaran yang berpusat pada upaya pembentukan akhlak yang mulia dalam
upaya memenuhi tuntutan agar dapat menjadi pengabdi Allah yang patuh, maka
Islam cenderung dilihat dari aspek ajaran yang tunggal, yaitu agam. Ilmu-ilmu
keislaman dipandang tak terpisahkan dari isalam sebagai agama wahyu. Dengan
demikia, baru abad-abad terakhir ini timbul kesadaran para ilmuwan untuk
melalui ajaran Islam tersebut dari pendekatan disiplin ilmu, layaknya sistem pendekatan
keilmuwan yang berkembang di kalangan ilmuwan Barat.
Dengan demikian, tak
mengherankan, jika hingga kini di Indonesia baru diakui delapan disiplin
ilmu-ilmu keislaman. Dan hal yang seperti ini agaknya tak jauh berbeda dari
negara-negara lainnya, seperti Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Irak, dan Iran
yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sebuah disiplin ilmu yang otonom,
bagaimanapun harus didukung oleh perangkat-perangkat tertentu antara lain, para
ilmuwan yang ahli di bidangnya, metode kajian yang dimiliki maupun
tulisan-tulisan yang khusus mengkaji permasalahan yang menjadi ruang lingkup
disiplin ilmu dimaksud.
Dalam konteks ini pula,
barangkali psikologi agama dalam Islam sulit dilacak dan diangkat menjadi ruang
lingkup kajian psikologi agama sudah memiliki latar belakang sejarah yang cukup
lama, namun dalam statusnya sebagai disiplin ilmu di antara ilmu-ilmu keislaman
yang lainnya dinilail lebih belakangan. Dari berbagai sumber yang dijumpai,
tampaknya memang perkembangan psikologi agama di dunia Islam baru tampak
sekitar abad ke-20. Kajian-kajian secara khusus mengenai psikologi agama
sebagai disiplin ilmu seakan mengadopsi langkah keilmuwan Barat. Padahal,
landasan yang telah disediakan untuk pengembangan psikologi agama termuat dalam
ajaran Islam. Semuanya itu telah dipraktikan dalam kehidupan di masa Rasul
Allah Saw. dan para sahabat beliau. Selanjutnya, dikaji dan dibukukan oleh para
ilmuwan Muslim di zaman klasik.
Buku-buku karya ilmuwan
Muslim di zaman Kalsik, seperti Tahzib
al-Akhlaq, al-Fauz al-Ashqar oleh
Abu Ali ibn Muhammad Maskawaih ataupun Mizan
al-Amal, Ihya’ Ulum al-Din maupun
Al-Munqidh Min al-Dhalal oleh Abu
Hamid Al-Ghazali dapat dijadikan sebagai contoh. Buku-buku ini banyak
menyinggung tentang hubungan perilaku agama, kesadaran agama serta pengalaman
agama seperti yang dikaji oleh psikologi agama di zaman modern sekarang.
Tetapi, karena baik Ibn Maskawaih maupun Al-Ghazali lebih dikenal sebagai karya
filsafat. Namun demikian, hasil karya tersebut paling tidak telah merupakan
bukti tentang adanya kajian-kajian yang menyangkut permasalahan yang menjadi
ruang lingkup kajian psikologi agama.
Cikal bakal karya-karya
klasik ilmuwan Muslim tersebut tampaknyakurang dikenal, karena antara lain
dinilai sebagai karya-karya ilmu keislaman yang ketika itu masih menyatu dalam
filsafat, fiqih, tauhid maupun akhlak serta tasawuf. Sehingga karya-karya yang
dihasilkan para ilmuwan Muslim tersebut masih dinilai sebagai bagian dari
disiplin keilmuwan yang ada di masa itu. Dan barulah di pertengahan abadke-20
kajian-kajian khusus mengenai psikologi agama mulai dikembangkan oleh para
ilmuwan Muslim terutama di Mesir.
Barangkali karya Abd Al-Mun’im Abd Al-Aziz
Al-Malighy, Afif Abd Al-Fatah maupun Moustafa Fahmi yang diterbitkan antara
tahun 1950-an hingga tahun 1960-an dapat dikelompokkan sebagai karya ilmuwan
Muslim modern mengenai psikologi agama. Karya Al-Malighy Tatawwur Al-Syu’ur
Al-Diny Inda Tifl wa al-Muhariq dan Al-Numuww Al-Nafsy yang terbit tahun 1955
dan 1957, ataupun karya afif Abd Al-Fatah berjudul Ruh al-Din al-Islamy tahun 1956, serta karya Moustafa Fahmi
berjudul Al-Shihab al-Nafsiyah tahun
1963 menunjukkan pesatnya perkembangan kajian psikologi agama di kalangan
ilmuwan Muslim. Sayangnya di Indonesia sendiri karya-karya seperti itu baru
dimulai sekitar tahun 1970-an oleh Dr. Zakiah Dardjat. Padahal khazanah Islam
yang memuat bahan baku tentang psikologi agama, khusus untuk kajian teoritis
cukup banyak.
Sumber : Buku
Psikologi Agama, Jalaluddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar