Jumat, 01 Agustus 2014

Perkembangan Psikologi Agama I Psikologi Agama dalam Islam





Secara terminologis, memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur Barat. Dan di kalangan ilmuwan Barat yang mula-mula menggunakan sebutan psikologi agama adalah Edwin Diller Starbuck, melalui karangannya Psychology of Religion yang terbit tahun 1899. Namun, hal ini tidak berarti bahwa di luar itu studi yang berkaitan dengan psikologi agama belum pernah dilakukan oleh para ilmuwan non-Barat.

Meskipun di kalangan ilmuwan Muslim kajian-kajian dalam psikologi agama mulai dilakukan secara khusus sekitar pertengahan abad ke-20, namun permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan bidang kajian ini sudah berlangsung sejak awal perkembangan Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran islam yang dapat dijadikan acuan dalam studi psikologi agama. 

Sudah sejak lama Alquran menginformasikan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan nonfisik. Secara anatomis, pemahaman terhadap unsur fisik tampaknya tak jauh berbeda dari konsep manusia menurut pandangan ilmuwan Barat, meskipun dalam pengertian khusus konsep Islam tentang manusia lebih rinci.

Manusia menurut terminologi Alquran dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan pendekatan aspek biologisnya. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk biologis yang memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan, seksual) dan makhluk generatif (berketurunan). Sedangkan, dilihat dari fungsi dan potensi yang dimilikinya manusia disebut al-Insan. Konsep al-Insan menggambarkan fungsi manusia sebagai penyandang khalifah Tuhan yang dikaitkan dengan proses penciptaan dan pertumbuhan serta perkembangannya (QS 2:30 dan QS 23:12-14). Selain itu, konsep al-Insan juga menunjukkan potensi yang dimiliki manusia seperti kemampuan untuk mengembangkan ilmi(QS 96:4-5). Di samping itu, konsep ini juga menggambarkan sejumlah sifat-sifat dan tanggunq jawab manusia seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir, tidak bersyukur, dan sebagainya. Namun, kepadanya dibebankan amanah dan tanggung jawab untuk berbuat baik (QS 29:8). 

Kemudian manusia disebut al-Nas yang umumya dilihat dari sudut pandang hubungan sosial yang dilakukannya. Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga dibebankan tanggung jawab sosial, baik dalam bentuk lingkungan sosial yang paling kecil (keluarga) maupun yang lebih besar seperti masyarakat, etnik maupun bangsa. Manusia pun disebut sebagai al-Ins untuk menggambarkan aspek spiritual yang dimilikinya.

Dalam bentuk pengertian umum, Alquran menyebut manusia sebagai Bani Adam. Konsep ini untuk menggambarkan nilai-nilai universal yang ada pada diri setiap manusia tanpa melihat latar belakang perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa ataupun aliran kepercayaan masing-masing. Bani Adam menggambarkan tentang kesamaan dan persamaan manusia, yang tampak lebih ditekankan pada aspek fisik. Walaupun tidak sama persis dengan konsep Homo (makhluk manusia), namun dari sudut pandang ini pemahaman konsep Barat tentang aspek fisik manusia dapat dikatakan mirip dengan konsep Bani Adam. Bedanya terletak pada nilai kemakhlukannya.

Pada konsep Barat, manusia dilihat dari aspek fisik berada dalam keadaan bebas niali. Sebaliknya, konsep Bani Adam memuat nilai kemakhlukan yang jelas, yaitu sebagai makhluk ciptaan tuhan. Hubungan makhluk—Khalik termuat dalam konsep Bani Adam yang menggambarkan manusia dari aspek fisik. Karena itu, secara fisik manusia terikat kepada nilai-nilai yang sejalan dengan hakikat penciptaannya.

Selanjutnya, manusia menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis. Dari sudut pandang ini, pemahaman manusia berdasarkan aspek psikis ini sama sekali berbeda dengan pandangan ilmuwan Barat. Umumnya, pemahaman Barat tentang aspek psikis manusia terbatas pada unsur-unsur kejiwaan yang terdiri atas unsur cognist, roh dan akal merupakan potensi manusia untuk dapat dikembangkan. Tetapi yang jelas unsur-unsur psikis manusia itu menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama.

Nafs terbagi menjadi: (1) nafs al-muthmainnah yang memberi ketenangan batin; (2) nafs al-ammarah yang mendorong ke tindakan negatif; dan (3) nafs al-lawwamah yang menyadarkan manusia dari kesalahan hingga timbul penyesalan. Nafs mencakup gejala ambang sadar dan yang berada di bawah ambang sadar. Sedangkan qalb sebagai wadah dari gejala ambang sadar manusia.

Selanjutnya, meskipun unsur roh yang menjadi bagian dari psikis hanya dijelaskan melalui informasi yang sangat terbatas, namun roh dapat diartikan sebagai unsur psikis yang mengisyaratkan manusia memiliki kecenderungan berbeda-beda (M.Quraishi Shihab, 1994: 12). Selanjutnya Hasan Langgulung memahami roh sebagai potensi atau kebolehan yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas (Hasan Langgulung,1986:5). 

Kemudian unsur akal merupakan potensi psikis manusia yang mencakup dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindarkan kesalahn, karena adanya kemampuan manusia untuk berpikir dan memahami persoalan (M. Quraishi Shihab, 1994: 14). Potensi ini memberi kemungkinan manusia untuk mengembangkan dirinya dan meningkatkan harkat kemanusiannya selaku makhluk ciptaan Tuhan.

Konsep tentang manusia seperti dikemukakan di atas menjadikan pendekatan Islam berbeda dengan pendekatan psikologi yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian, psikologi agama sebagai telaah terhadap kesadaran dan pengalaman agama melalui pendekatan psikologi akan jadi berbeda pula. Pendekatan psikologi terhadap kedua aspek keagamaan itu bersumber dari pandangan aliran psikologi terhadap manusia.

Aliran Behaviorisme, misalnya, berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh hukum stimulus dan respons sedangkan menurut aliran psikoanalisis, perilaku manusia didorong oleh kebutuhan libidonya (Djamaluddin Ancok, 1994: 63). Pandangan behaviorisme mengisyaratkan bahwa perilaku agama erat kaitannya dengan stimulus lingkungan seseorang. Jika stimulus keagamaan dapat menimbulkan respons terhadap diri seseorang, maka akan muncul dorongan untuk berperilaku agama. Sebaliknya jika stimulus tidak ada maka tertutup kemungkinan seseorang untuk berperilaku agama. Jadi, perilaku agama menurut pandangan behaviorisme bersifat kondisional (tergantung dari kondisi yang diciptakan lingkungan).

Sebaliknya, menurut psikoanalisis (khususnya Sigmund Freud), sikap dan tingkah laku agama bersumber dari pemuasan kebutuhan libido manusia. Menurut Freud, dalam perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Karena tak puas dengan superioritas ini, maka manusia menciptakan jurang perbedaan antara sifatnya dengan sifat makhluk lain. Ia menyangkal bahwa, makhluk lain memiliki akal, sedangkan dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi dan mengklaim dirinya sebagai bercitra ilahi agar putus pertaliannya dengan kerajaan binatang (Djamaluddin Ancok, 1994:68). Dalam pandangan ini Freud melihat bahwa agama merupakan ciptaan manusia karena kebutuhannya.  

Selanjutnya, psikologi humanistik mendasarkan pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk penentu yang serba bisa. Pandangan yang sangat optimistik ini menempatkan manusia sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan peran Tuhan (play-God). Di sinilah letak kejanggalan pandangan psikologi humanistik, menurut Malik B. Badri (Djamaluddin Ancok, 1994: 69).

Pendekatan psikologi Barat ini bagaimanapun belum dapat menggambarkan konsep manusia secara utuh dan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan psikologi dalam menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata dirinya sehingga mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Psikologi sangat mudah mereduksi fenomena-fenomena siapa sesungguhnya manusia (Djamaluddin Ancok, 1994: 63). Maka tak mengherankan jika para psikolog Muslim berupaya menemukan alternatif melalui pendekatan konsep yang bersumber dari ajaran Islam, yang bagaimanapun berbeda dari pendekatan Barat.

Beranjak dari pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-Khalik secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut. Anugerah tersebut antara lain, berupa dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan akal, dan fitrah agama yang jika dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan mampu mengantarkan manusia mencapai sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk yang taat mengabdi kepada Penciptanya.

Berangkat dari pandangan ini terungkap bahwa manusia merupakan makhluk terpola oleh fitrah ciptaannya. Dan sikap ketundukan kepada Penciptanya merupakan salah-satu unsur yang termuat dalam pola tersebut. Potensi ini pula yang merupakan benih dari rasa keberagamaan yang terdapat pada diri manusia. Dengan demikian, psikologi agama dalam pandangan Islam berawal dari pendekatan fitrah keagamaan itu sendiri. Kesadaran dan pengalaman keagamaan dinilai sebagai faktor bawaan yang berkembang melalui bimbingan. Pengembangan awal berpangkat pada aktivitas kedua orang tua dalam lingkungan keluarga.

Ajaran Islam juga telah menjelaskan bagaimana hubungan antara tingkat perkembangan anak dengan perilaku agama dan kaitannya dengan kematangan seksual. Awal periode pubertas sudah harus mulai diwaspadai serta diperhatikan para orang tua. Upaya yang dilakukan antara lain menurut Rasul Allah Saw. adalah dengan membiasakan anak-anak usia tujuh tahun untuk melaksanakan shalat dan mulai diperkeras ketika mereka menginjak usia sepuluh tahun, serta memisahkan tempat tidur mereka (Abdullah ‘Ulwan,1978:860). Cara menanamkan kesadaran agama yang dilakukan sejak usia dini menurut pandangan Islam sangat efektif. Dengan demikian, diharapkan kesadaran agama ini akan membentuk sikap yang positif dalam diri anak.

Selain itu, kematangan seksual perlu pengarahan yang benar. Dengan menanamkan kesadaran agama melalui pembiasaan sejak usia dini, anak-anak diharapkan dapat mengekang dorongan seksualnya ketika mereka mencapai usia remaja. Karena itu, Islam menganjurkan bagi mereka yang kelak sudah mampu untuk berkeluarga segera menikah. “Wahai pemuda, jika kalian sudah mampu untuk menikah, maka laksanakanlah karena hal itu akan menjaga terjadinya penyelewengan dan menahan pandangan mata dari keinginan untuk berbuat yang tidak senonoh. Namun jika belum mampu untuk menikah, maka berpuasalah.” Demikian kira-kira pesan Rasul Allah Saw.

Jika dikaji secara cermat, sebenarnya permasalahan yang berkaitan dengan psikologi agama memang sudah sejak permulaan pengembangan Islam sudah ada. Tetapi, karena ajaran Islam merupakan ajaran yang berpusat pada upaya pembentukan akhlak yang mulia dalam upaya memenuhi tuntutan agar dapat menjadi pengabdi Allah yang patuh, maka Islam cenderung dilihat dari aspek ajaran yang tunggal, yaitu agam. Ilmu-ilmu keislaman dipandang tak terpisahkan dari isalam sebagai agama wahyu. Dengan demikia, baru abad-abad terakhir ini timbul kesadaran para ilmuwan untuk melalui ajaran Islam tersebut dari pendekatan disiplin ilmu, layaknya sistem pendekatan keilmuwan yang berkembang di kalangan ilmuwan Barat. 

Dengan demikian, tak mengherankan, jika hingga kini di Indonesia baru diakui delapan disiplin ilmu-ilmu keislaman. Dan hal yang seperti ini agaknya tak jauh berbeda dari negara-negara lainnya, seperti Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Irak, dan Iran yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sebuah disiplin ilmu yang otonom, bagaimanapun harus didukung oleh perangkat-perangkat tertentu antara lain, para ilmuwan yang ahli di bidangnya, metode kajian yang dimiliki maupun tulisan-tulisan yang khusus mengkaji permasalahan yang menjadi ruang lingkup disiplin ilmu dimaksud.

Dalam konteks ini pula, barangkali psikologi agama dalam Islam sulit dilacak dan diangkat menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama sudah memiliki latar belakang sejarah yang cukup lama, namun dalam statusnya sebagai disiplin ilmu di antara ilmu-ilmu keislaman yang lainnya dinilail lebih belakangan. Dari berbagai sumber yang dijumpai, tampaknya memang perkembangan psikologi agama di dunia Islam baru tampak sekitar abad ke-20. Kajian-kajian secara khusus mengenai psikologi agama sebagai disiplin ilmu seakan mengadopsi langkah keilmuwan Barat. Padahal, landasan yang telah disediakan untuk pengembangan psikologi agama termuat dalam ajaran Islam. Semuanya itu telah dipraktikan dalam kehidupan di masa Rasul Allah Saw. dan para sahabat beliau. Selanjutnya, dikaji dan dibukukan oleh para ilmuwan Muslim di zaman klasik.

Buku-buku karya ilmuwan Muslim di zaman Kalsik, seperti Tahzib al-Akhlaq, al-Fauz al-Ashqar oleh Abu Ali ibn Muhammad Maskawaih ataupun Mizan al-Amal, Ihya’ Ulum al-Din maupun Al-Munqidh Min al-Dhalal oleh Abu Hamid Al-Ghazali dapat dijadikan sebagai contoh. Buku-buku ini banyak menyinggung tentang hubungan perilaku agama, kesadaran agama serta pengalaman agama seperti yang dikaji oleh psikologi agama di zaman modern sekarang. Tetapi, karena baik Ibn Maskawaih maupun Al-Ghazali lebih dikenal sebagai karya filsafat. Namun demikian, hasil karya tersebut paling tidak telah merupakan bukti tentang adanya kajian-kajian yang menyangkut permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama.

Cikal bakal karya-karya klasik ilmuwan Muslim tersebut tampaknyakurang dikenal, karena antara lain dinilai sebagai karya-karya ilmu keislaman yang ketika itu masih menyatu dalam filsafat, fiqih, tauhid maupun akhlak serta tasawuf. Sehingga karya-karya yang dihasilkan para ilmuwan Muslim tersebut masih dinilai sebagai bagian dari disiplin keilmuwan yang ada di masa itu. Dan barulah di pertengahan abadke-20 kajian-kajian khusus mengenai psikologi agama mulai dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim terutama di Mesir.

Barangkali karya Abd Al-Mun’im Abd Al-Aziz Al-Malighy, Afif Abd Al-Fatah maupun Moustafa Fahmi yang diterbitkan antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-an dapat dikelompokkan sebagai karya ilmuwan Muslim modern mengenai psikologi agama. Karya Al-Malighy Tatawwur Al-Syu’ur Al-Diny Inda Tifl wa al-Muhariq dan Al-Numuww Al-Nafsy yang terbit tahun 1955 dan 1957, ataupun karya afif Abd Al-Fatah berjudul Ruh al-Din al-Islamy tahun 1956, serta karya Moustafa Fahmi berjudul Al-Shihab al-Nafsiyah tahun 1963 menunjukkan pesatnya perkembangan kajian psikologi agama di kalangan ilmuwan Muslim. Sayangnya di Indonesia sendiri karya-karya seperti itu baru dimulai sekitar tahun 1970-an oleh Dr. Zakiah Dardjat. Padahal khazanah Islam yang memuat bahan baku tentang psikologi agama, khusus untuk kajian teoritis cukup banyak.    


 
Sumber : Buku Psikologi Agama, Jalaluddin

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...