Jumat, 01 Agustus 2014

Perkembangan Psikologi Agama I Sejarah Perkembangannya




Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum menjadi ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup lama. Karena itu, psikologi agama dinilai sebagai cabang psikologi yang relatif masih muda.

Sejarah Perkembangannya

Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang teras agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.

Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja Kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan  pengalaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama Budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.

Sidharta Gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, Sidaharta menyaksikan segala bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit, dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah dilihat Sidharta sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, Sidharta berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut, sakit, dan akhirnya akan mati.

Segala yang disaksikan oleh Sidharta itu kemudian membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia ke luar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Ia mengasingkan diri menjadi pertapa, hingga kemudian memberi arah baru dalam kehidupan selanjutnya. Sidharta Gautama mengalami konversi agama dari pemeluk agama Hindu menjadi pendakwah agama baru, yaitu agama Budha. Sidharta kemudian dikenal sebagai Budha  Gautama.

Proses yang hampir serupa dilukiskan pula dalam Alquran tentang cara Ibrahim as. memimpin umatnya untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) berkata:

“Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian, tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar” maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-79)

Perumpamaan ini melukiskan bagaimana proses konvensi terjadi, walaupun dalam informasi kitab suci tersebut dikiaskan kepada Ibrahim as. yang berusaha meyakinkan pengikutnya tentang kekeliruan mereka menyembah benda-benda alam, yang hakikatnya hanyalah sebagai ciptaan dan tak layak disembah.

Informasi mengenai proses dan peristiwa keagamaan juga dapat dijumpai dalam pendewaan bangsa Jepang terhadap kaisar mereka. Mitos agama Shinto yang menempatkan Kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami) telah pula mempengaruhi sikap keberagamaan yang khas pada bangsa Jepang. Sikap patuh yang demikian mendalam itu, telah mendorong prajurit Jepang yang ikut dalam Perang Dunia II untuk mengorbankan nyawa mereka demi kaisar, melalui tindakan harakiri (bunuh diri).

Terlalu banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan tentang hubungan antara kesadaran dan pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku para penganut agama, yang kemudian dijadikan objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti itu belum dipelajari secara ilmiah, hingga hanya dianggap sebagai peristiwa-peristiwa keagamaan biasa. Barangkali, kenyataan yang serupa ini pula yang menimbulkan anggapan bahwa kelahirang psikologi agama merujuk pada kajian pemula yang timbul di kalangan ilmuwan Barat.

Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan (Robert H. Thouless, 1992: 1)

Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varieties of Religious Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep yang serupa.

Di anatara buku-buku tersebut adalah The Psychology of Religion karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan William James. Buku E.D. Starbuck yang terbit tahun 1899 ini kemudian disusul sejumlah buku lainnya seperti The Spiritual Life oleh George Albert Coe, tahun 1900, kemudian The Belief in God and Immortality (1921) oleh J.H. Leuba dan oleh Robert H. Thouless, dengan judul An Introduction to the Psychology of Religion, tahun 1925, serta R.A. Nicholson yang khusus mempelajari mengenai aliran sufisme dalam Islam dengan bukunya Studies in Islamic Mysticsm, tahun 1921.  

Sejak itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya The Religious Consciousness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelations of Devine Love tahun 1901. Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja melainkan juga agama-agama yang ada di Timur. A.J. Appasamy dan B.H. Streeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).

Sejalan dengan perkembangan itu, para penulis non-Barat pun mulai menerbitkan buku-buku mereka. Tahun 1947 terbit buku The Song of God Baghavad Gita, terjemahan Isherwod dan Prabhavananda, kemudian tahun 1952 Swani Madhavananda menulis buku Viveka-Chumadami of Sankarcharya yang disusul oleh penulis India lainnya, Thera Nyanoponika dengan judul The Life of Sariptta (1966). Demikian pula, Swami Ghananda menulis tentang Sri Rama dengan judula Sri Ramakrisna, His Unique Massage (1946). 

Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di Indonesia.

Di luar itu, ada sejumlah tulisan yang berkaitan dengan psikologi agama ini. Tulisan tersebut dikembangkan di lingkungan bidang kedokteran seperti yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aulia maupun K. H. SS. Djam’an yang melakukan pendekatan dengan menggunakan ajaran agama Islam. Sedangkan, di bidang akademik tulisan-tulisan mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh kalangan gereja Katolik.

Seperti pernyataan Robert H. Thouless, bahwa kehirauan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan sebagai permasalahan yang menyangkut kesadaran agama ternyata telah membuka jalan bagi pemanfaatan psikologi secara luas dalam tugas pemahaman terhadap permaslahan agama (Robert Thouless, 1992: 12). Namun hingga kini kajian-kajian yang dihasilkan mengenai permasalahan tersebut di Indonesia sangat terbatas. Barangkali, permasalahan tersebut belum banyak menarik perhatian para ahli psikologi di tanah air kita.

Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur, dapat disimpulkan kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama didukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan, psikologi agama dapat dirujuk dari karya penulis Barat, anatara lain karya Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B. Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama suku-suku primitif dan mengenai konversi agama. Kajian sosiologi dan antropologi budaya ini menampilkan sisi kehidupan masyarakat suku primitif dan sikap hidup mereka terhadap sesuatu yang dianggap sebagai yang adikodrati (supernatural). Selanjutnya, tulisan-tulisan yang memuat pembahasan secara khusus tentang psikologi agama baru terbit.

Sumber-sumber Barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin Diller Starbuck dan William James. Buku The Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion Counsciousness karya E.D. Starbuck diterbitkan tahun 1899, dinilai sebagai bukua yang memang khusus membahas masalah yang menyangkut psikologi agama. Setahun kemudian (1990), William James menerbitkan buku The Varieties of Religious Experiencies. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi agama diakui sebagai disiplin ilmu, cabang dari psikologi, seperti ilmu-ilmu cabang psikologi yang lainnya. 

Sebaliknya, di dunia Timur, khususnya di wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muahammad Ishaq ibn Yasar di abad ke-7 Masehi berjudul Al-Siyar wa al-Maghazi memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw. (Ensiklopedi Islam,1992:361), ataupun Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat yang ditulis oleh Abu Bakr Muhammad ibn Abd Al-Malin ibn Tufail (1106-1185 M.) juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan materi psikologi agama.

Demikian pula karya besar Abu hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan muatan permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berisi kajian mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan barat. 

Ada beberapa alasan yang barangkali dapat dijadikan penyebab. Pertama, sejak masa kemunduran negara-negara Islam, perhatian para ilmuwan terhadap kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, bagaimanapun pengembangan ini memerlukan biaya yang cukup banyak. Sering dengan kemunduran Islam di bidang politik, negara-negara Barat mulai berkembang menjadi negara-negara modern. Dengan demikian, negara-negara Islam yang berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan penjajahan Barat disibukkan oleh permasalahan politik.

Kedua, sejak penyerangan bangsa Mongol ke pusat peradaban Islam (Baghdad) dan kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuwan Muslim. Ketiga, sikap kurang terpuji dari para ilmuwan Barat sendiri (terutama setelah zaman kemunduran Islam) yang umumnya kurang menghargai karya-karya ilmuwan Muslim. Seperti tulisan Nurcholish Madjid, umat Islam yang telah dikalahkan oleh bangsa-bangsa Eropa (Barat) adalah umat yang dikagumi dan ditakuti namun, juga dibenci (Nurcholish Madjid, 1984:55). Sikap seperti itu tampaknya juga menjadi sikap para ilmuwan Barat terhadap karya-karya para ilmuwan Muslim. Keempat, karya-karya ilmuwan Muslim di zaman klasik umumnya, ditulis oleh para ilmuwan yang di zamannya dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti mufassirin (ahli tafsir), muhaddisin (ahli hadis), fuqaha (ahli fiqih) ataupun ahl al-hikmat (filsof). Dengan demikian, karya-karya mereka diidentikkan dengan ilmu-ilmu yang murni agama (Islam) atau filsafat.

Lebih jauh, Marshall G.S Hodgson melihat hal itu lebih disebabkan oleh faktor intern umat Islam semdiri. Menurutnya, masyarakat Islam gagal mempelopori kemodernan karena tiga hal, yaitu: 1) konsentrasi yang kelewat besar pada penanaman modal harta dan manusia pada bidang-bidang tertentu, sehingga pengalihannya kepada bidang lain merupakan kesulitan yang luar biasa; 2) kerusakan hebat baik materil maupun mental psikologis, akibat serbuan biadab bangsa Mongol; dan 3) kecemerlangan peradaban Islam sebagai suatu bentuk pemuncakan Abad Agraris membuat kaum Muslimin tidak pernah secara mendesak merasa perlu kepada peningkatan yang lebih tinggi. Ia menyimpulkan bahwa dunia Islam berhenti berkembang karena kejenuhan dan kemantapan kepada dirinya sendiri (Lihat Nurcholis Madjid, 1984: 54).     

Terlepas dari mana alasan dan penyebab yang paling tepat, memang setelah zaman kemunduran umat Islam secara politis, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipelopori oleh Barat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ilmu-ilmu modern, termasuk psikologi agama tumbuh dan berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, yang diakui terinformasikan sebagai produk ilmuwan Barat. Dan baru setelah negara-negara Islam bebas dari kungkungan penjajah Barat, secara bertahap muncul karya-karya ilmuwan Muslim.

Karya penulis Muslim di zaman modern, seperti buku Al-Maghary yang berjudul Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murabid (Perkembangan Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimanapun dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli psikologi agama lainnya. Selain itu juga, bukunya yang mulai mengkhusus kepada disiplin ilmu tertentu, seperti Al-Nummuwu al-Nafsy (Perkembangan Kejiwaan). Kedua karya itu masing-masing diterbitkan tahun 1955 dan 1957.

Karya lain yang lebih khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh al-Din al-Islamy (Jiwa Agama Islam) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956. Demikian pula pada tahun 1963 terbit buku Al-Shihab al-Nafsiyah karangan Moustafa Fahmy. (Jalaluddin dan Ramayulis, 1994: 10). Dan banyak lagi karya-karya ilmuwan Muslim tentang psikologi agama. Tetapi berdasarkan konteks kejiwaan, barangkali buku Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tif; wa al-Murabiq karya Abd Al-Mun’im Abd Al’Aziz Al-Maghary, dapat dianggap sebagai awal dari munculnya kajian psikologi agama di kalangan ilmuwan Muslim modern.

Adapun di tanah air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang profesi sebagai ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran. Di antara karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah buku Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa (1965), tulisan Prof. dr. H. Aulia. Kemudian tahun 1975. K.H. S.S. Djam’an menulis buku Islam dan Psikosomatik. Dr. Nici Sukur Lister, menulis buku Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama.
 
Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan perguruan tinggi (IAIN) dilakukan oleh Prof.Dr.H.A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Tetapi, buku-buku yang khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama (1970), Peranan Agama dalam kesehatan Mental (1970), dan Kesehatan Mental. Selain itu, tokoh ini pun banyak menghasilkan buku-buku yang mengacu kepada kajian psikologi agama.  

Buku-buku karya Prof.Dr. Zakiah Daradjat tersebut, hingga kini telah dilakukan beberapa kali cetak ulang dan dijadikan buku pegangan di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia. Sebagai karya yang memuat berbagai teori tentang Kesehatan Mental, tahun 1986, Prof. Dr. Hasan Langgulung juga menulis buku Teori-Teori Kesehatan Mental yang juga ikut memperkaya khazanah bagi pengembangan psikologi agama di tanah air. Di dalam buku ini, termuat pemikiran para ilmuwan Muslim zaman klasik tentang kesehatan mental menurut pendekatan agama (Islam).

Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan, selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu, sesuai dengan bidang cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitkannya berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, psikologi agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, sejak dari rumah tangga, sekolah, institusi keagamaan, rumah-rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan bahkan hingga ke lembagai kemasyarakatan.

Tampaknya, para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikologi agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.

Sumber : Buku Psikologi Agama, Jalaluddin

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...