Seperti dikemukakan
sebelumnya bahwa psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum
menjadi ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki latar belakang sejarah
perkembangan yang cukup lama. Karena itu, psikologi agama dinilai sebagai
cabang psikologi yang relatif masih muda.
Sejarah
Perkembangannya
Untuk menetapkan secara
pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang teras agak sulit. Baik
dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara
jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata
permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai
baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup
Sidharta Gautama dari seorang putra raja Kapilawastu yang bersedia mengorbankan
kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan
bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama
yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan yang mempengaruhi diri
tokoh agama Budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi agama disebut dengan
konversi agama.
Sidharta Gautama yang
putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba
mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, Sidaharta
menyaksikan segala bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit, dan orang
yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah dilihat Sidharta
sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, Sidharta berkesimpulan bahwa
kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut, sakit, dan
akhirnya akan mati.
Segala yang disaksikan
oleh Sidharta itu kemudian membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia
ke luar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Ia mengasingkan
diri menjadi pertapa, hingga kemudian memberi arah baru dalam kehidupan
selanjutnya. Sidharta Gautama mengalami konversi agama dari pemeluk agama Hindu
menjadi pendakwah agama baru, yaitu agama Budha. Sidharta kemudian dikenal
sebagai Budha Gautama.
Proses yang hampir
serupa dilukiskan pula dalam Alquran tentang cara Ibrahim as. memimpin umatnya
untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) berkata:
“Inilah
Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka
kepada yang tenggelam.” Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit, dia
berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian, tatkala dia melihat matahari terbit
dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar” maka tatkala matahari itu
telah terbenam, dia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-79)
Perumpamaan ini
melukiskan bagaimana proses konvensi terjadi, walaupun dalam informasi kitab
suci tersebut dikiaskan kepada Ibrahim as. yang berusaha meyakinkan pengikutnya
tentang kekeliruan mereka menyembah benda-benda alam, yang hakikatnya hanyalah
sebagai ciptaan dan tak layak disembah.
Informasi mengenai
proses dan peristiwa keagamaan juga dapat dijumpai dalam pendewaan bangsa
Jepang terhadap kaisar mereka. Mitos agama Shinto yang menempatkan Kaisar
Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (Amiterasu
Omi Kami) telah pula mempengaruhi sikap keberagamaan yang khas pada bangsa
Jepang. Sikap patuh yang demikian mendalam itu, telah mendorong prajurit Jepang
yang ikut dalam Perang Dunia II untuk mengorbankan nyawa mereka demi kaisar,
melalui tindakan harakiri (bunuh diri).
Terlalu banyak
contoh-contoh yang dapat dikemukakan tentang hubungan antara kesadaran dan
pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku para penganut agama, yang
kemudian dijadikan objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti itu
belum dipelajari secara ilmiah, hingga hanya dianggap sebagai
peristiwa-peristiwa keagamaan biasa. Barangkali, kenyataan yang serupa ini pula
yang menimbulkan anggapan bahwa kelahirang psikologi agama merujuk pada kajian
pemula yang timbul di kalangan ilmuwan Barat.
Berdasarkan sumber
Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama
mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin
berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat
membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan
perasaan keagamaan (Robert H. Thouless, 1992: 1)
Menurut Thouless, sejak
terbitnya buku The Varieties of Religious
Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di
empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama
mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun
kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep yang
serupa.
Di anatara buku-buku
tersebut adalah The Psychology of
Religion karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan William James.
Buku E.D. Starbuck yang terbit tahun 1899 ini kemudian disusul sejumlah buku
lainnya seperti The Spiritual Life
oleh George Albert Coe, tahun 1900, kemudian The Belief in God and Immortality (1921) oleh J.H. Leuba dan oleh
Robert H. Thouless, dengan judul An
Introduction to the Psychology of Religion, tahun 1925, serta R.A.
Nicholson yang khusus mempelajari mengenai aliran sufisme dalam Islam dengan
bukunya Studies in Islamic Mysticsm,
tahun 1921.
Sejak itu,
kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada
masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga
masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran
beragama melalui bukunya The Religious
Consciousness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan
bukunya Revelations of Devine Love
tahun 1901. Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada
agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja melainkan juga agama-agama yang
ada di Timur. A.J. Appasamy dan B.H. Streeter menulis tentang masalah yang
menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).
Sejalan dengan
perkembangan itu, para penulis non-Barat pun mulai menerbitkan buku-buku
mereka. Tahun 1947 terbit buku The Song
of God Baghavad Gita, terjemahan Isherwod dan Prabhavananda, kemudian tahun
1952 Swani Madhavananda menulis buku Viveka-Chumadami
of Sankarcharya yang disusul oleh penulis India lainnya, Thera Nyanoponika
dengan judul The Life of Sariptta
(1966). Demikian pula, Swami Ghananda menulis tentang Sri Rama dengan judula Sri Ramakrisna, His Unique Massage (1946).
Di tanah air sendiri
tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an, yaitu
oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk
kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu,
kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas
Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri.
Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di
Indonesia.
Di luar itu, ada
sejumlah tulisan yang berkaitan dengan psikologi agama ini. Tulisan tersebut
dikembangkan di lingkungan bidang kedokteran seperti yang dilakukan oleh Prof.
Dr. Aulia maupun K. H. SS. Djam’an yang melakukan pendekatan dengan menggunakan
ajaran agama Islam. Sedangkan, di bidang akademik tulisan-tulisan mengenai
psikologi agama banyak dihasilkan oleh kalangan gereja Katolik.
Seperti pernyataan
Robert H. Thouless, bahwa kehirauan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan
tingkah laku keagamaan sebagai permasalahan yang menyangkut kesadaran agama
ternyata telah membuka jalan bagi pemanfaatan psikologi secara luas dalam tugas
pemahaman terhadap permaslahan agama (Robert Thouless, 1992: 12). Namun hingga
kini kajian-kajian yang dihasilkan mengenai permasalahan tersebut di Indonesia
sangat terbatas. Barangkali, permasalahan tersebut belum banyak menarik
perhatian para ahli psikologi di tanah air kita.
Seperti dimaklumi,
bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan
informasi dari berbagai literatur, dapat disimpulkan kelahiran psikologi agama
sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang
cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama didukung
oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Sebagai disiplin ilmu
boleh dikatakan, psikologi agama dapat dirujuk dari karya penulis Barat,
anatara lain karya Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B. Taylor maupun
Stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama suku-suku primitif dan mengenai
konversi agama. Kajian sosiologi dan antropologi budaya ini menampilkan sisi
kehidupan masyarakat suku primitif dan sikap hidup mereka terhadap sesuatu yang
dianggap sebagai yang adikodrati (supernatural). Selanjutnya, tulisan-tulisan
yang memuat pembahasan secara khusus tentang psikologi agama baru terbit.
Sumber-sumber Barat
umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin Diller
Starbuck dan William James. Buku The
Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion Counsciousness
karya E.D. Starbuck diterbitkan tahun 1899, dinilai sebagai bukua yang memang
khusus membahas masalah yang menyangkut psikologi agama. Setahun kemudian
(1990), William James menerbitkan buku The
Varieties of Religious Experiencies. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai
tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari
kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi
agama diakui sebagai disiplin ilmu, cabang dari psikologi, seperti ilmu-ilmu
cabang psikologi yang lainnya.
Sebaliknya, di dunia
Timur, khususnya di wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang
memuat kajian tentang hal serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan
Muahammad Ishaq ibn Yasar di abad ke-7 Masehi berjudul Al-Siyar wa al-Maghazi
memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw. (Ensiklopedi
Islam,1992:361), ataupun Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmat
al-Masyriqiyyat yang ditulis oleh Abu Bakr Muhammad ibn Abd Al-Malin ibn Tufail
(1106-1185 M.) juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan materi psikologi
agama.
Demikian pula karya
besar Abu hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din,
dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)
sebenarnya, kaya akan muatan permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian
psikologi agama. Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang
berisi kajian mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya
tersebut tidak sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu
psikologi agama seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan barat.
Ada beberapa alasan
yang barangkali dapat dijadikan penyebab. Pertama,
sejak masa kemunduran negara-negara Islam, perhatian para ilmuwan terhadap
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, bagaimanapun
pengembangan ini memerlukan biaya yang cukup banyak. Sering dengan kemunduran
Islam di bidang politik, negara-negara Barat mulai berkembang menjadi
negara-negara modern. Dengan demikian, negara-negara Islam yang berhadapan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan penjajahan Barat disibukkan oleh
permasalahan politik.
Kedua,
sejak penyerangan bangsa Mongol ke pusat peradaban Islam (Baghdad) dan
kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuwan Muslim. Ketiga, sikap kurang terpuji dari para
ilmuwan Barat sendiri (terutama setelah zaman kemunduran Islam) yang umumnya
kurang menghargai karya-karya ilmuwan Muslim. Seperti tulisan Nurcholish
Madjid, umat Islam yang telah dikalahkan oleh bangsa-bangsa Eropa (Barat)
adalah umat yang dikagumi dan ditakuti namun, juga dibenci (Nurcholish Madjid,
1984:55). Sikap seperti itu tampaknya juga menjadi sikap para ilmuwan Barat
terhadap karya-karya para ilmuwan Muslim. Keempat,
karya-karya ilmuwan Muslim di zaman klasik umumnya, ditulis oleh para ilmuwan
yang di zamannya dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti mufassirin (ahli tafsir), muhaddisin (ahli hadis), fuqaha (ahli fiqih) ataupun ahl al-hikmat (filsof). Dengan demikian,
karya-karya mereka diidentikkan dengan ilmu-ilmu yang murni agama (Islam) atau
filsafat.
Lebih jauh, Marshall
G.S Hodgson melihat hal itu lebih disebabkan oleh faktor intern umat Islam
semdiri. Menurutnya, masyarakat Islam gagal mempelopori kemodernan karena tiga
hal, yaitu: 1) konsentrasi yang kelewat besar pada penanaman modal harta dan
manusia pada bidang-bidang tertentu, sehingga pengalihannya kepada bidang lain
merupakan kesulitan yang luar biasa; 2) kerusakan hebat baik materil maupun
mental psikologis, akibat serbuan biadab bangsa Mongol; dan 3) kecemerlangan
peradaban Islam sebagai suatu bentuk pemuncakan Abad Agraris membuat kaum
Muslimin tidak pernah secara mendesak merasa perlu kepada peningkatan yang
lebih tinggi. Ia menyimpulkan bahwa dunia Islam berhenti berkembang karena
kejenuhan dan kemantapan kepada dirinya sendiri (Lihat Nurcholis Madjid, 1984:
54).
Terlepas dari mana
alasan dan penyebab yang paling tepat, memang setelah zaman kemunduran umat
Islam secara politis, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dipelopori oleh Barat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ilmu-ilmu
modern, termasuk psikologi agama tumbuh dan berkembang sebagai sebuah disiplin
ilmu yang independen, yang diakui terinformasikan sebagai produk ilmuwan Barat.
Dan baru setelah negara-negara Islam bebas dari kungkungan penjajah Barat,
secara bertahap muncul karya-karya ilmuwan Muslim.
Karya penulis Muslim di
zaman modern, seperti buku Al-Maghary yang berjudul Tatawwur al-Syu’ur al-Diny
‘Inda Tifl wa al-Murabid (Perkembangan Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja),
bagaimanapun dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh
ahli-ahli psikologi agama lainnya. Selain itu juga, bukunya yang mulai
mengkhusus kepada disiplin ilmu tertentu, seperti Al-Nummuwu al-Nafsy
(Perkembangan Kejiwaan). Kedua karya itu masing-masing diterbitkan tahun 1955
dan 1957.
Karya lain yang lebih
khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh
al-Din al-Islamy (Jiwa Agama Islam) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956.
Demikian pula pada tahun 1963 terbit buku Al-Shihab
al-Nafsiyah karangan Moustafa Fahmy. (Jalaluddin dan Ramayulis, 1994: 10).
Dan banyak lagi karya-karya ilmuwan Muslim tentang psikologi agama. Tetapi
berdasarkan konteks kejiwaan, barangkali buku Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tif; wa al-Murabiq karya Abd Al-Mun’im Abd Al’Aziz Al-Maghary, dapat
dianggap sebagai awal dari munculnya kajian psikologi agama di kalangan ilmuwan
Muslim modern.
Adapun di tanah air
perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar
belakang profesi sebagai ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran. Di antara
karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah buku Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa (1965),
tulisan Prof. dr. H. Aulia. Kemudian tahun 1975. K.H. S.S. Djam’an menulis buku
Islam dan Psikosomatik. Dr. Nici
Sukur Lister, menulis buku Pengalaman dan
Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama.
Adapun pengenalan
psikologi agama di lingkungan perguruan tinggi (IAIN) dilakukan oleh
Prof.Dr.H.A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Tetapi, buku-buku yang
khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama
(1970), Peranan Agama dalam kesehatan
Mental (1970), dan Kesehatan Mental.
Selain itu, tokoh ini pun banyak menghasilkan buku-buku yang mengacu kepada
kajian psikologi agama.
Buku-buku karya
Prof.Dr. Zakiah Daradjat tersebut, hingga kini telah dilakukan beberapa kali
cetak ulang dan dijadikan buku pegangan di lingkungan Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia. Sebagai karya yang memuat
berbagai teori tentang Kesehatan Mental, tahun 1986, Prof. Dr. Hasan Langgulung
juga menulis buku Teori-Teori Kesehatan Mental yang juga ikut memperkaya
khazanah bagi pengembangan psikologi agama di tanah air. Di dalam buku ini,
termuat pemikiran para ilmuwan Muslim zaman klasik tentang kesehatan mental
menurut pendekatan agama (Islam).
Sejak menjadi disiplin
ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat,
dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan,
selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara
pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang
menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu, sesuai dengan bidang
cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan yang banyak
manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan psikologi
agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitkannya berbagai
karya tulis, baik berupa buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian
tentang bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,
psikologi agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, sejak
dari rumah tangga, sekolah, institusi keagamaan, rumah-rumah sakit, panti
asuhan, panti jompo, dan bahkan hingga ke lembagai kemasyarakatan.
Tampaknya, para ilmuwan
dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini
seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan
modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikologi agama
dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi
manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.
Sumber
: Buku Psikologi Agama, Jalaluddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar