Sabtu, 06 Oktober 2012

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Psikologi Agama dan Pendidikan Islam

Psikologi Islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.

Adapun yang dimaksud yang bertanggung jawab dalam pengertian ini adalah orang tua. Sedangkan para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangan tangan para orang tua. Maksudnya, tepat tidaknya para guru atau pendidik yang dipilih oleh orang tua untuk mendidik anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab para orang tua. Maka pendidikan Islam meletakkan dasarnya adalah pada rumah tangga. Seiring dengan tanggung jawab itu, maka para orang tua dan para guru dalam pendidikan Islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing, pengembang serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar merek menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia (QS 51:56) dan juga dapat berperan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di dunia (QS 2:30). Selain itu dalam pelaksanaannya aktivitas pendidikan seperti itu diterapkan sejak usia bayi dalam buaian hingga ke akhir hayat, seperti tuntunan Rasul Allah Saw.

Pendidikan Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjutkan Rasul Allah Saw. inilah yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang seutuhnya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah-satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi agama dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan agama ini.

Pada suatu hari, Rasul Allah Saw. Didatangi seorang laki-laki yang masih awam tentang Islam. Laki-laki tersebut menanyakan tentang kewajiban Islam yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw. menjelaskan kelima prinsip (rukun) Islam kepada laki-laki dimaksud. Setelah mendengar penjelasan itu, maka orang tadi mengatakan kepada Rasul: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menyatakan, bahwa jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya adalah surga. (Bukhari, 19).

Kali yang lain, Rasul Allah Saw. Sedang menunaikan shalat. Saat beliau sujud, cucu beliau naik ke punggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah Saw. Memperlambat sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun. Rasul Allah Saw. Memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu beliau turun hingga tidak mencederakan mereka. (Bukhari)

Setelah mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah dihadapkan pada seorang dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasul Saw. tersebut tidak menegur orang tadi, walaupun mereka berdua sudah tahu bagaimana tata cara berwudhu yang benar. Menegur langsung, bagaimanapun kurang etis, apalagi terhadap orang yang lebih tua.

Dalam situasi seperti itu Hasan dan adiknya Husein menggunakan pendekatan yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya, tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan. Mereka berdua kemudian pura-pura mengadakan perlombaan cara berwudhu yang benar.

Lelaki yang berada di samping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat cucu Rasul Allah Saw. sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan dialog antara keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Sadar akan kekeliruannya itu, maka laki-laki tersebut minta ditunjukkan cara berwudhu yang sebenarnya.

Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. sendiri, agar dalam memberikan pendidikan harus disesuaikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang. Dengan demikian, dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang pendidikan agama. Sebaliknya menghadapi orang dewasa harus debedakan dengan cara menghadapi anak-anak dalam mengajarkan agama. Didiklah anak-anakmu dengan cara belajar sambil bermain atau bergurau pada tujuh tahun pertama usia mereka, dan pada tujuh tahun kedua didiklah mereka dengan disiplin dan moral, kemudian pada tujuh tahun ketiga didiklah mereka dengan memperlakukan mereka sebagai sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir Mursyi, 1989:32).

Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan agama Islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan para orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.

Seorang bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayang juga akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini Sigmund Freud disebut citra bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut mempengaruhi sikap keagamaan pada anak.

Jika kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan oleh ahli psikologi agama (Barat) sekitar awal abad ke-20, maka jauh sebelum itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Bahakan menurut pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra pada keberagamaan anak-anak mereka. Bermula dari tuntunan Al-Quran yang memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu memepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah merupakan kezaliman yang amat besar. (QS 31: 12).

Dalam informasi Al-Quran ini terungkap bagaimana seharusnya seorang bapak menuntun dan membimbing anak-anak mereka mengenal Tuhannya. Anak mengenal Tuhan melalaui bimbingan orang tua mereka. Kemudian upaya membimbing pengenalan terhadap Tuhan dan agama hendaknya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Tidak dengan perintah, melainkan melalui keteladanan orang tua. 

Diceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya terhadap perlakuan Rasul Allah Saw. kepada Fathimah puteri beliau. Menurut al-Aqra’, ia mempunyai anak sepuluh orang tetapi tak satu pun di antaranya yang pernah ia perlakukan seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium puteri beliau dengan penuh kasih sayang.

Pernyataan al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasul Allah Saw. bahwa Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasul Saw. menyatakan: “Siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka tidak akan memperoleh kasih sayang”. Bahakan menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah segala yang ada di bumi maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu”.

Mencium anak seperti, yang diteladankan oleh Rasul, merupakan bagian dari pendidikan Islam yang diteladankan beliau kepada umatnya. Sebagai contoh bagi para orang tua.

Dalam pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Agar kecendrungan untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh karena itu, Rasul Allah Saw. menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua orang tua.

“Setiap bayi dilahirkan dalam fitrahnya (potensi keberagamaan), maka kedua orangtuanyalah yang kan menjadikannya sebagai Majusi, Yahudi, atau Nasrani,” sabda Rasul Allah Saw. pernyataan ini mengindikasikan, bahwa pengaruh bimbingan ibu-bapak memiliki peran strategis dalam membentuk jiwa agama pada diri anak. Demikian pentingnya pengaruh bimbingan itu, hingga dikaitkan dengan akidah. Sebab bila dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka potensi kebaragamaan pada anak akan salah arah. Kecendrungan untuk tunduk kepada sesuatu, dapat saja diarahkan kepada yang salah.

Kajian ilmiah, terutama sejarah, psikologi, maupun antropologi budaya mengungkapkan adanaya kecendrungan untuk tunduk itu pada manusia. Pada suku bangsa primitif ketundukan itu ditujukan kepada benda-benda alam, roh leluhur. Sedangkan pada bangsa modern, ketundukan tersebut disalurkan kepada tokoh yang dikagumi. Kultus individu atau sikap fanatis terhadap isme-isme tertentu, tampaknya tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan suku-suku primitif.

Sejarah mencatat, bagaimana orang memuja dan mengkultuskan Adolf Hitler, tokoh Nazi Jerman. Bergitu pula yang dilakukan masyarakat China terhadap Mao Tse Tung di zaman komunis berkuasa di negara ini. Masyarakat Rusia memuja Stalin, sedangkan orang Jepang menganggap Kaisar mereka sebagai titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami). Bahkan secara umum, di zaman modern sekalipun masih tersisa keyakinan terhadap tokoh pujaan ini. Gerakan mesionisme dan ratu adil, merupakan bagian dari kecendrungan (motif) ketundukan ini.

Ternyata manusia akan sesat, bila potensi keberagamaan yang dimilikinya tidak dibimbing ke arah yang benar. Untuk itu pula Tuhan mengutus Rasul-Nya. Risalah kenabian merupakan pedoman bagi manusia, dan bimbingan yang paling absah. Dengan mempedomaninya, manusia akan terbimbing untuk menyalurkan potensi keberagamaannya, yaitu tunduk kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Tidak kepada yang lain.

Demikian pentingnya bimbingan itu, hingga Rasul Allah Saw. menegaskan sebagai tanggung jawab kedua orang tua. Para orang tua dibebankan tanggung jawab untuk membimbing potensi keagamaan (fithrah) anak-anak mereka, agar terbentuk menjadi nyata dan benar. Diaharapakan pada diri mereka terbentuk kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Anak-anak diberi bimbingan agar tahu dan memahami, kepada “siapa” mereka wajib tunduk dan bagaimana tata cara sebagai bentuk penyataan dari sikap tunduk tersebut.

Pembentukan jiwa keagaaman pada anak diawali sejak dilahirkan. Kepadanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke telinga kanannya dan iqamat ke telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaiknya) sang bayi diaqiqahkan, dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa dan titipan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Di samping itu, kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan perbuatan yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.

Rasul Allah Saw. tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan timbal balik antara jiwa (psycho) dengan tubuh (soma). Demikian pula mengenai hubungan antara biokimia dengan jiwa dan raga. Juga tentang pengaruh suara dengan pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam formulasi dan konsep ajaran yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada anak-anak mereka.

Dalam konsep ajaran Rasul Allah Saw. tampaknya pembentukan kesadaran agama dan pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh. Makan dan minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh (soma) agar tetap sejalan dan terpeliharanya fithrah keagamaaan. Kemudian azan dan iqamah, mana yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan dengan pembentukan nilai-nilai ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu berkomunikasi, mereka diperkenalkan dengan perlakukan kasih sayang (keteladanan).

Lebih lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka dibiasakan untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia sepuluh tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu diperketat (disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada nilai-nilai ajaran agamanya. Diajarkan membaca Kitab Suci, sunnah Rasul, maupun cerita-cerita yang bernilai pendidikan.

Bimbingan kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin dititikberatkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui proses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal saleh (pengalaman agama).

Anak dibimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sesuai dengan fithrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu, direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan aktivitas yang bermanfaat, seseuai dengan perintah-Nya. 

Sumber :

Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...