Jumat, 05 Oktober 2012

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Pengertian Psikologi Agama


Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992: 13).

Barangkali masih cukup banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang psikologi. Tetapi dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

Memang manusia mungkin saja memanipulasi apa yang dialminya secara kejiawaan, hingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura tertawa. Ataupun karena perasaan gembira yang bersangatan, dapat membuat seseorang menangis. Namun secara umum, sikap dan perilaku yang terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik yang tampak dalam perbuatan maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik cipta, rasa dan karsanya.

Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang tepat tentang agama. Dan walaupun J.H. Leuba dalam bukunya A Psychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48 definisi agama yang diberikan beberapa penulis (Robert H. Thouless: 17), tampaknya juga belum memuaskannya. Bahakan ia sampai pada kesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi tentang agama tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah (Zakiah Daradjat, 1970: 23). Walter Houston Clark dengan tegas, juga mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama (Zakiah Dardjat: 12).

Pendapat tersebut bukan berarti agama sama sekali tidak dapat dipahami melalui pendekatan definitive. Karena itu, walaupun mungkin belum disepakati semua pihak, barangkali rangkuman definisi yang dikemukakan Prof. Dr. Harun Nasution dapat memberi gambaran tentang pengertian agama. Beranjak dari pengertian etimologis, Harun Nasution kemudian merangkumkan sejumlah definisi tentang agama dan merumuskan unsur-unsur penting yang terdapat di dalam agama tersebut.

Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri a= tidak; gam= pergi) mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun. (Harun Nasution,1974:9-10).

Bertitik tolak dari pengertian kata-kata tersebut menurut Harun Nasution, intisarinya adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari (Harun Nasution: 10). Secara definitive, menurut Harun Nasution, agama adalah:

1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.   Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.      Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.   Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.    Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution: 10).

Selanjutnya Harun Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:

a.   Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia. Di dorong oleh kelemahan dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gaib itu.

b.    Keyakinan terhadpa kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia. Dengan demikian manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar kesejahteraan dan kebahagaiannya terpelihara.

c.  Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respons ini dalam realisasinya terlihat dalam bentuk penyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif) atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara hidup tertentu bagi penganutnya.

d.   Paham akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini adakalanya berupa kekuatan gaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun tempat-tempat tertentu (Harun Nasution: 11).

Apa pun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama-agama primitif (nonteistik) maupun agama monoteisme (teistik). Namun menurut Robert H. Thouless menyebutkan sebagai keyakinan (tentang dunia lain). Dan ini membantu Thouless untuk mengajukan definisinya tentang agama. Menurutnya, dalam kaitan dengan psikologi agama, ia menyatakan definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu-the spatio temporal physical world (dalam hal ini, yang dimaksud adalah dunia spiritual). Definisi ini secara empiris lebih cocok untuk membedakan antara sikap-sikap keagamaan (religious) dari yang bukan keagamaan (irreligious), antara lain seperti Komunisme dan Humanisme. Sebab, dapat saja seseorang jadi baik dan rela mengorbankan diri tanpa harus menjadi penganut agama (Robert H. Thouless: 23)

Robert H. Thouless dengan definisi itu ingin membedakan sikap-sikap yang bersumber dari suatu kepercayaan agama terhadap yang bersumber bukan dari agama, walaupun dalam realitasnya terdapat sikap yang sama. Sehubungan dengan hal itu, Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menghasilkan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan (Robert H. Thouless:25).

Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari besar pengaruhnya keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah Daradjat, 1970:11).

Psikologi agama dengan demikian merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi. Jadi penelaahan tersebut merupakan kajian empiris.

Sumber :
Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.            

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...