Psikologi
agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki
pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin,
et al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan
secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H.
Thouless, 1992: 13).
Barangkali
masih cukup banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang psikologi.
Tetapi dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi
mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai
gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa
itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia
hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah
laku yang ditampilkannya.
Memang
manusia mungkin saja memanipulasi apa yang dialminya secara kejiawaan, hingga
dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan
dengan keadaan yang sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura
tertawa. Ataupun karena perasaan gembira yang bersangatan, dapat membuat
seseorang menangis. Namun secara umum, sikap dan perilaku yang terlihat adalah
gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik yang tampak dalam
perbuatan maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak
batinnya, baik cipta, rasa dan karsanya.
Selanjutnya,
agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia.
Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal
ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang
tepat tentang agama. Dan walaupun J.H. Leuba dalam bukunya A Psychological
Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48 definisi agama yang
diberikan beberapa penulis (Robert H. Thouless: 17), tampaknya juga belum memuaskannya.
Bahakan ia sampai pada kesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi tentang
agama tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah (Zakiah
Daradjat, 1970: 23). Walter Houston Clark dengan tegas, juga mengakui bahwa
tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan
untuk membuat definisi agama (Zakiah Dardjat: 12).
Pendapat
tersebut bukan berarti agama sama sekali tidak dapat dipahami melalui
pendekatan definitive. Karena itu, walaupun mungkin belum disepakati semua
pihak, barangkali rangkuman definisi yang dikemukakan Prof. Dr. Harun Nasution
dapat memberi gambaran tentang pengertian agama. Beranjak dari pengertian
etimologis, Harun Nasution kemudian merangkumkan sejumlah definisi tentang
agama dan merumuskan unsur-unsur penting yang terdapat di dalam agama tersebut.
Harun
Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi
(relegere, religare) dan agama al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum.
Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau
relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat.
Adapun kata agama terdiri a= tidak; gam= pergi) mengandung arti tidak pergi,
tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun. (Harun Nasution,1974:9-10).
Bertitik
tolak dari pengertian kata-kata tersebut menurut Harun Nasution, intisarinya
adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera,
namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia
sehari-hari (Harun Nasution: 10). Secara definitive, menurut Harun Nasution,
agama adalah:
1. Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat
diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang
berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan
pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu
sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan
gaib.
7. Pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution:
10).
Selanjutnya
Harun Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:
a. Kekuatan
gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia. Di dorong oleh kelemahan
dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara
menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai
realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gaib
itu.
b. Keyakinan
terhadpa kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia.
Dengan demikian manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar
kesejahteraan dan kebahagaiannya terpelihara.
c. Respons
yang bersifat emosional dari manusia. Respons ini dalam realisasinya terlihat
dalam bentuk penyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif)
atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara
hidup tertentu bagi penganutnya.
d. Paham
akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini
adakalanya berupa kekuatan gaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun
tempat-tempat tertentu (Harun Nasution: 11).
Apa
pun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki
ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama-agama primitif (nonteistik) maupun
agama monoteisme (teistik). Namun menurut Robert H. Thouless menyebutkan
sebagai keyakinan (tentang dunia lain). Dan ini membantu Thouless untuk
mengajukan definisinya tentang agama. Menurutnya, dalam kaitan dengan psikologi
agama, ia menyatakan definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian diri)
terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas
daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu-the spatio temporal physical world
(dalam hal ini, yang dimaksud adalah dunia spiritual). Definisi ini secara
empiris lebih cocok untuk membedakan antara sikap-sikap keagamaan (religious) dari yang bukan keagamaan (irreligious), antara lain seperti
Komunisme dan Humanisme. Sebab, dapat saja seseorang jadi baik dan rela
mengorbankan diri tanpa harus menjadi penganut agama (Robert H. Thouless: 23)
Robert
H. Thouless dengan definisi itu ingin membedakan sikap-sikap yang bersumber
dari suatu kepercayaan agama terhadap yang bersumber bukan dari agama, walaupun
dalam realitasnya terdapat sikap yang sama. Sehubungan dengan hal itu, Thouless
berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menghasilkan
prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan
keagamaan (Robert H. Thouless:25).
Menurut
Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan
beragama pada seseorang dan mempelajari besar pengaruhnya keyakinan agama itu
dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu,
psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada
seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah
Daradjat, 1970:11).
Psikologi
agama dengan demikian merupakan cabang psikologi yang meneliti dan
mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan
terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia
masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut
dilakukan melalui pendekatan psikologi. Jadi penelaahan tersebut merupakan
kajian empiris.
Sumber :
Jalaluddin,
H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar