Sabtu, 06 Oktober 2012

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Ruang Lingkup dan Kegunaannya



Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan pemahamaman terhadao agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless:25)

Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup peroses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama, yang dianut-pen.). Oleh karena itu, menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:

1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragam orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, persaan tenang, pasrah, dan menyerah setlah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin.
3.      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memeberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh pengahayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelagaan batinnya.

Semuanya itu menurut Zakiah Daradjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciusness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkannya oleh tindakan (amaliyah). Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau masuk akal atau tidaknya keyakinan agama (Zakiah Daradjat:12-15). Tegasnya psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia. Ke dalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur keyakinan yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentang Tuhan, surga dan neraka, kebenaran sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji secara empiris.

Dengan demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya (Zakiah Daradjat: 15). Persoalaan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama, kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran agama (Robert H. Thouless: 11).

Seperti diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah-satu cabang dari psikologi juga merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu, ataupun bagaimana perasaan keagamaan itu dapat mempengaruhi ketenteraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seeorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu sama sekali.

Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanafaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk kepentingan politik. Pendekatan agama yang dilakuka oleh Snouck Hurgronje terhadap para pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di tanah air, barangkali dapat dijadikan salah-satu contoh kegunaan psikologi agama.

Di bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun 1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan sungai Gerong) diselenggarakan ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Kegiatan berkala ini diselenggarkan didasarkan atas asumsi bahwa ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat menyadarkan para buruh dari perbuatan yang tak terpuji dan merugikan perusahaan. Sebaliknya dari hasil kegiatan tersebut dievaluasi, dan ternyata pengaruh ini dapat mengurangi kebocoran seperti pencurian, manipulasi maupun penjualan barang-barang perusahaan yang sebelumnya sukar dilacak.

Sebaliknya sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah melarang buruhnya menunuaikan shalat Jumat. Menurut pimipinan perusahaan waktu istirahat siang dan shalat Jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangi produksi. Tetapi setelah larangan dilaksanakan, dan buruh tetap dipaksakan bekerja, ternyata produksi menurun secara drastis. Disini terlihat hubungan antara tingkat produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dengan kesadaran agama.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Jepang ternyata menggunakan pendekatan psikologi agama dalam membangun negaranya. Bermula dari mitos bahwa Kaisar Jepang adalah titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omikami), mereka dapat menumbuhkan jiwa Bushido, yaitu ketaatan terhadap pemimipin. Mitos ini telah dapat membangkitkan perasaan agama para prajurit Jepang dalam Perang Dunia II untuk melakukan Harakiri (bunuh diri) dan ikut dalam pasukan Kamikaze (pasukan berani mati). Dan setelah usai Perang Dunia II, jiwa Bushido tersebut bergeser menjadi etos kerja dan disiplin serta tanggung jawab moral.

Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran agama. Pengobatan pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan menggunakan psikologi agama ini. Demikian pula dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik.

Sumber :
Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...