Sebagai
disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya
tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama
yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu
perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan
pemahamaman terhadao agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang
bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan
agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitif dan eksotis
tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu
agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan
Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya
suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman
terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi
(Robert H. Thouless:25)
Lebih
lanjut, Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa lapangan penelitian
psikologi agama mencakup peroses beragama, perasaan dan kesadaran beragama
dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan
(terhadap suatu agama, yang dianut-pen.). Oleh karena itu, menurut Zakiah
Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi
kajian mengenai:
1. Bermacam-macam
emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragam
orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa
lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, persaan
tenang, pasrah, dan menyerah setlah berzikir dan ingat kepada Allah ketika
mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2. Bagaimana
perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya
rasa tenteram dan kelegaan batin.
3. Mempelajari,
meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati
(akhirat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti
dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memeberi
pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti
dan mempelajari bagaimana pengaruh pengahayatan seseorang terhadap ayat-ayat
suci kelagaan batinnya.
Semuanya
itu menurut Zakiah Daradjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciusness) dan pengalaman
agama (religious experience). Yang
dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa)
dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan
pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan
yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkannya oleh tindakan (amaliyah).
Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang
menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau
masuk akal atau tidaknya keyakinan agama (Zakiah Daradjat:12-15). Tegasnya
psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul
dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan
pengalaman agama manusia. Ke dalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur keyakinan
yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentang Tuhan, surga dan neraka, kebenaran
sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji secara
empiris.
Dengan
demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah mempelajari
kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak
agama orang itu dalam hidupnya (Zakiah Daradjat: 15). Persoalaan pokok dalam
psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama,
kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran
agama (Robert H. Thouless: 11).
Seperti
diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah-satu cabang dari psikologi juga
merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya
telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia
dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian bagaimana rasa keagamaan
itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu,
ataupun bagaimana perasaan keagamaan itu dapat mempengaruhi ketenteraman
batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seeorang hingga ia
menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu
sama sekali.
Hasil
kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanafaatkan dalam berbagai
lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin
pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah
kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk kepentingan
politik. Pendekatan agama yang dilakuka oleh Snouck Hurgronje terhadap para
pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di tanah
air, barangkali dapat dijadikan salah-satu contoh kegunaan psikologi agama.
Di
bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun 1950-an
di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan sungai Gerong) diselenggarakan ceramah
agama Islam untuk para buruhnya. Kegiatan berkala ini diselenggarkan didasarkan
atas asumsi bahwa ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat
menyadarkan para buruh dari perbuatan yang tak terpuji dan merugikan
perusahaan. Sebaliknya dari hasil kegiatan tersebut dievaluasi, dan ternyata
pengaruh ini dapat mengurangi kebocoran seperti pencurian, manipulasi maupun
penjualan barang-barang perusahaan yang sebelumnya sukar dilacak.
Sebaliknya
sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah melarang buruhnya
menunuaikan shalat Jumat. Menurut pimipinan perusahaan waktu istirahat siang
dan shalat Jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangi produksi.
Tetapi setelah larangan dilaksanakan, dan buruh tetap dipaksakan bekerja,
ternyata produksi menurun secara drastis. Disini terlihat hubungan antara
tingkat produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dengan kesadaran agama.
Dalam
ruang lingkup yang lebih luas, Jepang ternyata menggunakan pendekatan psikologi
agama dalam membangun negaranya. Bermula dari mitos bahwa Kaisar Jepang adalah
titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omikami),
mereka dapat menumbuhkan jiwa Bushido,
yaitu ketaatan terhadap pemimipin. Mitos ini telah dapat membangkitkan perasaan
agama para prajurit Jepang dalam Perang Dunia II untuk melakukan Harakiri (bunuh diri) dan ikut dalam
pasukan Kamikaze (pasukan berani
mati). Dan setelah usai Perang Dunia II, jiwa Bushido tersebut bergeser menjadi
etos kerja dan disiplin serta tanggung jawab moral.
Dalam
banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran agama. Pengobatan
pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan penyuluhan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan menggunakan psikologi agama ini.
Demikian pula dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada
pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik.
Sumber :
Jalaluddin,
H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar