Jumat, 18 Juli 2014

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Ruang Lingkup dan Kegunaannya I Psikologi Agama dan Pendidikan Islam




Ruang Lingkup dan Kegunaannya 

Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memililiki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lain-lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagaman tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless: 25).

Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama, yang dianut-pen). Oleh karena itu, menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:

1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah, dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin.
3.      Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.

Semuanya itu menurut Zakiah Dardjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah). Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau masuk akal dan tidaknya keyakinan agama (Zakiah Daradjat: 12-15). Tegasnya psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia. Ke dalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur keyakinan yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentara Tuhan, surga dan neraka, kebenaran sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji secara empiris.

Dengan demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya (Zakiah Daradjat: 15). Persoalan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama, kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran agama (Robert H. Thouless: 11).

Seperti diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah satu cabang dari psikologi juga merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu, ataupun bagaimana perasaan keagungan itu dapat mempengaruhi ketenteraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seseorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu sama sekali.

Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk kepentingan politik. Pendekatan agama yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje terhadap para pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di tanah air, barangkali dapat dijadikan salah-satu contoh kegunaan psikologi agama. 

Di bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun 1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan Sungai Gerong) diselenggarakan ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Para penceramah adalah para pemuka agama setempat. Kegiatan berkala ini diselenggarakan didasarkan atas asumsi bahwa ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat menyadarkan para buruh dari perbuatan yang tak terpuji dan merugikan perusahaan. Sebaliknya dari hasil kegiatan tersebut dievaluasi, dan ternyata pengaruh ini dapat mengurangi kebocoran seperti pencurian, manipulasi maupun penjualan barang-barang perusahaan yang sebelumnya sukar dilacak.

Sebaliknya sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah melarang buruhnya menunaikan shalat Jumat. Menurut pimpinan perusahaan waktu istirahat siang dan shalat Jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangi produksi. Tetapi setelah larangan dilaksanakan, dan buruh dipaksakan tetap bekerja, ternyata produksi menurun secara drastis. Di sini terlihat hubungan antara tingkat produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dengan kesadaran agama.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Jepang ternyata menggunakan pendekatan psikologi agama dalam membangun negaranya. Bermula dari mitos bahwa Kaisar jepang adalah titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omikami), mereka dapat menumbuhkan jiwa Bushido, yaitu ketaatan terhadap pemimpin. Mitos ini telah dapat membangkitkan perasaan agama para prajurit Jepang dalam Perang Dunia II untuk melakukan Harakiri (bunuh diri) dan ikut dalam pasukan Kamikaze (pasukan berani mati). Dan setelah usai Perang Dunia II, jiwa Bushido tersebut bergeser menjadi etos kerja dan disiplin serta tanggung jawab moral.

Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran agama. Pengobatan pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan menggunakan psikologi agama ini. Demikian pula dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik.  

Psikologi Agama dan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.

Adapun dimaksud yang bertanggung jawab dalam pengertian ini adalah orang tua. Sedangkan para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangan tangan para orangtua. Maksudnya, tepat tidaknya para guru atau pendidik yang dipilih oleh orang tua untuk mendidik anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab para orang tua. Maka pendidikan Islam meletakkan dasarnya adalah pada rumah tangga. Seiring dengan tanggung jawab itu, maka para orang tua dan para guru dalam pendidikan Islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing, pengembang serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar mereka menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat pencipta manusia (QS 51:56) dan juga dapat berperan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di dunia (QS 2:30). Selain itu dalam pelaksanaannya aktivitas pendidikan seperti itu diterapkan sejak usia bayi dalam buaian hingga ke akhir hayat, seperti tuntunan Rasul Allah Saw.

Pendidikan Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjurkan Rasul Allah Saw. inilah yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang seutuhnya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah-satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi agama dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan agama ini.

Pada suatu hari, Rasul Allah Saw. didatangi seorang laki-laki yang masih awam tentang Islam. Laki-laki tersebut menanyakan tentang kewajiban Islam yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw menjelaskan kelima prinsip (rukun) Islam kepada laki-laki dimaksud. Setelah mendengar penjelasan itu, maka orang tadi mengatakan kepada Rasul: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menyatakan, bahwa jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya adalah surga. (Bukhari, 19).

Kali yang lain, Rasul Allah Saw. sedang menunaikan shalat. Saat beliau sujud, cucu beliau naik ke panggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah Saw. memperlambat sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun. Rasul Allah Saw. memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu beliau turun hingga tidak mecederakan mereka. (Bukahari).

Setelah mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah dihadapkan pada seorang dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasul Saw. tersebut tidak menegur orang tadi, walaupun mereka berdua sudah tahu bagaimana tata cara berwudhu yang benar. Menegur langsung, bagaimanapun kurang etis, apalagi terhadap orang yang lebih tua.

Dalam situasi yang seperti itu Hasan dan adiknya Husein menggunakan pendekatan yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya, tanpa menyinggung perasaan yang bersangutan. Mereka berdua kemudian pura-pura mengadakan perlombaan cara berwudhu yang benar.

Lelaki yang berada di samping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat cucu Rasul Allah Saw. sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan dialog antara keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Sadar akan kekeliruannya itu, maka laki-laki tersebut minta ditunjukkan cara berwudhu yang sebenarnya.

Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. sendiri, agar dalam memberikan pendidikan harus disesuikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang. Dengan demikian, dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang pendidikan agama. Sebaliknya menghadapi orang dewasa harus dibedakan dengan cara menghadapi anak-anak dalam mengajarkan agama. Didiklah anak-anakmu dengan cara belajar sambil bemain atau bergurau pada tujuh tahun pertama usia mereka, dan pada tujuh tahun kedua didiklah mereka dengan disiplin dan moral, kemudian pada tujuh tahun ketiga didiklah mereka dengan memperlakukan mereka sebagai sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir Mursyi, 1989:32).

Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan Islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan para orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.

Seorang bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayng juga akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini oleh Sigmund Freud disebut citra bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut mempengaruhi sikap keagamaan pada anak. 

Jika kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan oleh ahli psikologi agama (Barat) sekitar awal abad ke-20, maka jauh sebelum itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan menurut pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra pada keberagamaan anak-anak mereka. Bermula dari tuntunan Al-quran yang memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah merupakan kezaliman yang amat besar. (QS 31: 12).    

Dalam informasi Al-quran ini terungkap bagaimana seharusnya seorang bapak menuntun dan membimbing anak-anak mereka mereka mengenal Tuhannya. Anak mengenal Tuhan melalui bimbingan orang tua mereka. Kemudian upaya membimbing pengenalan terhadap Tuhan dan agama hendaknya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Tidak dengan perintah, melainkan melalui keteladanan orang tua.

Diceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya terhadap perlakuan Rasul Allah Saw. kepada Fathimah puteri beliau. Menurut al-Aqra’, ia mempunyai anak sepuluh orang tetapi tak satu pun di antaranya yang pernah ia perlakukan seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium puteri beliau dengan penuh kasih sayang.

Pernyataan al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasul Allah Saw. bahwa Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasul Allah Saw. menyatakan: “Siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka tidak akan memperoleh kasih sayang”. Bahkan menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah segala yang ada di bumi maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu”.

Mencium anak seperti, yang diteladankan oleh Rasul, merupakan bagian dari pendidikan Islam yang diteladankan beliau kepada umatnya. Sebagai contoh bagi para orang tua.

Dalam pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Agar kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh karena itu, Rasul Allah Saw. menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua orang tua.

“Setiap bayi dilahirkan dalam fitrahnya (potensi keberagamaan), maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Majusi, Yahudi, atau Nasrani,” sabda Rasul Allah Saw. Pernyataan ini mengindikasikan, bahwa pngaruh bimbingan ibu-bapa memiliki peran strategis dalam membentuk jiwa agama pada diri anak. Demikian pentingnya pengaruh bimbingan itu, hingga dikaitkan dengan akidah. Sebab bila dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka potensi keberagamaan pada anak akan salah arah. Kecenderungan untuk tunduk kepada sesuatu, dapat saja diarahkan kepada yang salah.

Kajian ilmiah, terutama sejarah, psikologi, maupun antropologi budaya mengungkapkan adanya kecenderungan untuk tunduk itu pada manusia. Pada suku bangsa primitif ketundukan itu ditujukan kepada benda-benda alam, roh leluhur. Sedangkan pada bangsa modern, ketundukan tersebut disalurkan kepada tokoh yang dikagumi. Kultus individu atau sikap fanatis terhadap isme-isme tertentu, tampaknya tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan suku-suku primitif.

Sejarah mencatat, bagaimana orang memuja dan mengkultuskan Adolf Hitler, tokoh Nazi Jerman. Begitu pula yang dilakukan masyarakat China terhadap Mao Tse Tung di zaman komunis berkuasa di negara ini. Masyarakat Rusia memuja Stalin, sedangkan orang Jepang menganggap Kaisar mereka sebagai titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami). Bahkan secara umum, di zaman modern sekalipun masih tersisa keyakinan terhadap tokoh pujian ini. Gerakan mesionisme dan ratu adil, merupakan bagian dari kecenderungan (motif) ketundukan ini.   

Ternyata manusi akan sesat, bila potensi keberagamaan yang dimilikinya tidak dibimbing ke arah yang benar. Untuk itu pula Tuhan mengutus Rasul-Nya. Risalah kenabian merupakan pedoman bagi manusia, dan bimbingan yang paling absah. Dengan mempedomaninya, manusia akan terbimbing untuk menyalurkan keberagamaannya, yakni tunduk kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Tidak kepada yang lain.

Demikian pentingnya bimbingan itu, hingga Rasul Allah Saw. menegaskan sebagai tanggung jawab kedua orang tua. Para orang tua dibebankan tanggung jawab untuk membimbing potensi keagamaan (fithrah) anak-anak mereka, agar terbentuk menjadi nyata dan benar. Diharapkan pada diri mereka terbentuk kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Anak-anak diberi bimbingan agar tahu dan memahami, kepada “siapa” mereka wajib tunduk dan bagaimana tata cara sebagai bentuk pernyataan dari sikap tunduk tersebut.

Pembentukan jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan. Kepadanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke telinga kananannya dan iqamat ke telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaliknya) sang bayi diaqiqahkan, dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa dan titipan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang saleh. Di samping itu, kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan perbuatan yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.

Rasul Allah Saw. tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan timbal balik antara jiwa (psycho) dengan tubuh (soma). Demikian pula mengenai hubungan antara biokimia dengan jiwa dan raga. Juga tentang pengaruh suara dengan pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam formulasi dan konsep ajaran yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada anak-anak mereka.

Dalam konsep ajaran Rasul Allah Saw. tampaknya pembentukan kesadaran agama dan pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh. Makan dan minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh (soma) agar tetap sejalan dan terpeliharanya fithrah keagamaan. Kemudian azan dan iqamah, mana yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan nilai-nilai ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu berkomunikasi, mereka diperkenalkan dengan perlakuan kasih sayang (keteladanan).

Lebih lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka dibiasakan untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia sepuluh tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu diperketat (disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada nilai-nilai ajaran agamnya. Diajarkan membaca Kitab Suci, sunnah Rasul, maupun cerita-cerita yang bernilai pendidikan.

Bimbingan kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin dititkberatkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui porses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal saleh (pengalaman agama).

Anak dibimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sesuai dengan fithrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu, direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan aktivitas yang bermanfaat, sesuai dengan perintah-Nya.         

  
 
Sumber : Buku Psikologi Agama, Jalaluddin

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...