Jumat, 18 Juli 2014

Filsafat I Pengantar I Keraguan dan kebingungan I Sekarang kita harus berpikir




Pengantar

Nampak seorang gadis kecil berdiri sambil menerawang ke luar jendela dengan penuh selidik. Tiba-tiba ia berbalik dan berkata pada ibunya, “Bu, betapa saya tidak mengerti bagaimana semua yang ada di sana menjadi dunia.” Dengan berpikir reflektif seperti ini anak tersebut telah menjadi seorang filsuf. Sebagian besar anak-anak hanya menerima dunia sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja. Sebagian besar laki-laki dan wanita dewasa juga berprilaku sama dengan mereka. Tetapi beberapa anak dan remaja dengan penuh selidik dan reflektif ingin mengetahui apa sesungguhnya dunia itu, bagaimana dunia menjadi ada, apa bahan dasar untuk membuat dunia dan untuk apa dunia diciptakan? Ketika keingintahuan dan penyelidikan mereka mulai serius dan sistematis maka mereka menjadi seorang filsuf.

Plato mengatakan bahwa filsafat dimulai dengan rasa kagum disertai dengan keingintahuan yang dalam. Bangsa Yunani kuno telah lebih dahulu menekuni dunia filsafat tetapi jika dibandingkan dengan kita sekarang ini cara berpikir mereka tentang dunia begitu lugu dan kekanak-kanakan karena tidak disertai dengan proses meragukan. Syukurlah mereka dianugerahi banyak rasa ingin tahu yang dalam dan keingintahuan mereka segera menjadi serius dan bijaksana.   

Keraguan dan kebingungan

Seperti diungkapkan di atas, berfilsafat pada zaman kuno dimulai dengan rasa heran, kagum dan rasa ingin tahu yang dalam sedangkan pada zaman modern sekarang ini biasanya dimulai dengan proses meragukan terlebih dahulu. Pada masa kesulitan ekonomi, politik dan budaya seperti sekarang ini keraguan menjai serius dan mengganggu ketenangan umat manusia.

Tidak pernah ada suatu zaman ketika betapa banyak orang-orang yang begitu tidak yakin dengan segala sesuatunya selain saat seperti sekarang ini. Begitu banyak dari diri kita merasa tidak yakin dengan pemerintahan saat ini, dengan sistem sosial dan ekonomi, dengan hal0hal yang benar dan yang salah, dengan keberadaan Tuhan, jiwa dan taqdir-Nya. Kita tidak yakin apakah orang-orang sekarang ini hidup lebih baik daripada orang-orang yang pernah hidup pada zaman kakek buyut kita atau justru sebaliknya merekal ebih baik dibanding dengan zaman sekarang.

Kita semua yakin sebelumnya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik bagi semua warga sipil. Kita juga yakin bahwa bentuk organisasi sosial terbaik adalah yang memberikan kesempatan penuh pada kebebasan dan inisiatif individu. Kita juga percaya bahwa kebaikan dan kejahatan adalah apa yang seperti orang tua kita ajarkan. Kita percaya bahwa Tuhan ada karena otoritas Mesjid, Pesantren, Al-qur’an, gereja, Injil atau Bible dan Upanisad dst. dst. Sekarang keyakinan kita akan semua kepercayaan lam itu goncang dan ada banyak hal yang membingungkan dan meragukan atas semua itu.

Situasi yang sebenarnya, jauh labih buruk dari apa yang terjadi di atas. Memang kita bisa dengan mudah meragukan prinsip-prinsip moral, teologi (pemahaman keagamaan), sistem sosial, ekonomi dan teori pemerintahan lalu kita mengira masih ada satu otoritas di mana dalamnya sungguh-sungguh terdapat hukum-hukum yang ditegakkan dan tidak bisa diragukan oleh apa pun dan siapa pun juga. Otoritas itu adalah sain. Akan tetapi, sekarang ini kita juga sudah mendengar bahwa fondasi dari sain itu sendiri telah ambruk.

Pada zaman sekarang ini, para ilmuwan teknik menemukan bahwa dengan berbagai persamaan yang mereka temukan sendiri, mereka tidak bisa menafsirkan dan dengan berbagai teori yang mereka temukan sendiri mereka juga tidak bisa menjelaskan tanpa melibatkan pernyataan-pernyataan yang memiliki karakter filosofis, yang pasti, teman sejawat mereka tidak menerimanya. Ini berarti bahwa ilmuwan tidak sepenuhnya mengerti atas berbagai penemuan mereka sendiri karena prinsip pertama yang membuat semua penemuan teknik dapat dimengerti selalu dalam keadaan berubah. Ini adalah alasan mengapa para fisikawan seperti Eddington, Einstein, dan Whitehead serta para psikolog sperti Driesch, Haldane dan Henderson juga para ahli matematika murni seperti Brouwer, Hilbert dan Weyl menulis filsafat. Watak dan semangat baru tersebar ke seluruh dunia. Latar belakang dan bingkai lama yang mengandung muatan tentang gambar alam para ilmuwan, telah larut di dalam tangannya sendiri dan dia tengah dipaksa mengubah perhatiannya dari unsur pokok sain yang terperinci menjadi sebuah struktur umum agar dapat mencegah sain dibanjiri penemuannya dan dirusak oleh keberhasilannya. Suatu perubahan yang membongkar fondasi berbagai hal pada kita.

Dalam situasi seperti ini apa yang harus kita lakukan? Saya pikir ada satu hal yang tidak akan kita lakukan yaitu bersikap skeptis atau sinis. Persoalan ini harus segera dipecahkan. Kita hidup dalam suatu zaman transisi di mana banyak ilmu pengetahuan dan kepercayaan lama mengalami perubahan (in the state of flux). Dalam periode transisional seperti ini, layaknya anak remaja, ada dua situasi pilihan dalam menjalani kehidupan. Situasi tersebut semacam pengembaraan antara pilihan menempuh bahaya (danger) dan menumbuhkan harapan yang menjanjikan (promise). Artinya dalam situasi seperti ini ada banyak hal untuk dipikirkan dan tidak ada hal yang lebih menggembirakan daripada adanya lahan latihan berpikir seperti situasi ini. Ada banyak hal untuk dipikirkan terus-menerus dan filsafat dalam situasi seperti ini sangat mungkin di definisikan sebagai seni berpikir terus-menerus tentang segala hal. Atau barangkali kamu akan lebih memilih bahwa filsafat adalah kebiasaan untuk mencoba berpikir segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. 

Persisnya melibatkan apa? Filsafat melibatkan berpikir  secara logis tentang (the subject in hand) berbagai persoalan pokok yang dikuasai, baik secara sistematis maupun secara terus menerus. Kita harus mendefinisikan secara hati-hati istilah-istilah yang telah digunakan atau selama ini kita gunakan sendiri seraya menguji makan dan implikasi dari istilah-istilah tersebut. Kebiasaan mengklasifikasikan adalah watak yang amat melekat pada filsuf. Berfilsafat adalah melihat gagasan dengan jelas seperti yang telah dilakukan oleh Plato. Dalam bahasa yang lebih teknis filsafat adalah analisa kritis tentang berbagai konsep dan berusaha menemukan hubungan di antara konsep-konsep tersebut. Harapannya adalah menyatukan pengetahuan kita kemudian menafsirkannya. Maka filsafat menempatkan logika sebagai bagian yang esensial dari peralatan seorang filsuf. Tetapi jika semata-mata hanya menganalisis secara kritis konsep-konsep maka filsafat menjadi satu disiplin yang suram dan redup. Akan tetapi kesuraman akan berhenti ketika berbagai gagasan yang diselidiki diambil dari beberapa bentuk kehidupan dan minat yang labih tinggi dan lebih besar. 

Tentang beberapa yang tengah diragukan, ada satu hal yang pasti yang harus dijelaskan dengan segera. Saya tidak takut masyarakat yang telah terorganisir menjadi kacau, seperti yang banyak kita dengar tentang adanya kehancuran peradaban kita (“downfall our civilization”) tetapi kalau kita dapat menerima begitu saja beberapa (prinsip) mral dan sosial kita dan merasa sudah memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, ada bahaya yang sangat gawat yakni merosot dengan tajamnya standar hidup, jika bukan adanya degenarasi sosial.

Sebenarnya, bukan tujuan filsafat untuk mencoba memecahkan persoalan-persoalan politik, sosial dan ekonomi kita. Filsafat hanya bertujuan memikirkan dengan sistematis dan hati-hati tentang persoalan-persoalan fundamental tertentu, misalnya tentang perilaku dan dunia tempat di mana kita hidup yang kita persoalkan sendiri. Saya telah mengatakan bahwa zaman tradisional seperti sekarang ini penuh dengan bahaya sekaligus juga harapan yang sangat menjanjikan. Saya percaya bahwa harapan tetap lebih besar dibanding dengan bahaya. Misalnya, fakta-fakta apa yang mengancam macetnya sain? Memang macetnya sain bisa menjadikan bahwa apa yang dihasilkan sain kurang dari yang kita perkirakan tetapi mengenai ancaman macetnya prinsip-prinsip sain kita menemukannya dalam penyelidikan bahwa tidak hal yang serius tentangnya. Sejauh sain berkenaan dengan hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan manusia dan kebahagiaan manusia maka prinsip-prinsip tersebut menyisakan sesuatu yang tidak bisa tergoyahkan. Ini hampir tidak penting untuk menempatkan kebenaran ini benar dengan sendirinya (evident).

Apa yang telah terjadi dengan semua ini? Seluruh bangunan besar fisika, seperti kita yang telah terbiasa mempelajarinya, sekarang telah menemukan bagian terluas dari dunia yang belum kita konsep sebelumnya. Bidang sain telah berkembang dengan sangat luasnya lalu kita sedikit pusing. Kita memperoleh beberapa sikap baru dan membiasakan diri dengan horizon yang lebih luas. Teori relativitas, quantum teori, prinsip baru ketidakpastian, penemuan bahaya hukum-hukum fisika kurang lebih sama baiknya dengan hukum-hukum sosial yang berada dalam karakter statistik, fakta bahwa kita tidak bisa memprediksi bagaimana individu-individu akan berprilaku juga individu-individu atom dan elektron akan menunjukkan reaksi, semua ini adalah penemuan baru, agak mengejutkan dan sebagian besar dari mereka sukar untuk dimengerti.

Kita mengira bahwa makna semua ini adalah, kita tidak begitu banyak dikurung oleh tembok alam semesta mekanistik yang mengenal belas kasihan, seperti yang sain abad 19 ajarkan kepada kita. Barangkali ada banyak kemungkinan di dunia kita yang kita tidak sangka-sangka. Ini mungkin juga sebuah rang kebebasan. Mungkin kita telah mempelajari fisika dan kimia terlalu banyak sementara biologi dan psikologi terlalu sedikit. Ini boleh jadi bahwa biologi tidak hanya sekedar cabang dari fisika juga tidak berarti bahwa psikologi sekadar cabang dari biologi. Para matematikawan juga mengerjakan hal-hal yang asing. Mereka kelihatannya mampu mengerti dengan kedalaman, tidak dengan ukuran fisikan dan alat-alat yang cermat. Persamaan tiba-tiba nampak memperoleh kemungkinan yang tidak disangka-sangka.

Dunia baru kita memang penuh dengan harapan dan kaya dengan kemungkinan-kemungkinan tetapi dalam menghargai hubungan manusia, dunia baru ini merupakan periode kebingungan yang sangat besar dan tanpa harus dibuktikan lagi, hal ini merupakan saatnya untuk berpikir kritis dan ini adalah apa yang barusan filsafat lakukan.

Sekarang kita harus berpikir 

Di bawah judul “Sekarang Kita harus Berpikir” (Now We Must Think). Chester Rowell mendiskusikan keuntungan dan kerugian dari berbagai zaman ketidakpastian.

Siapa yang tidak rindu dengan zaman yang statis ketika manusia tidak butuh berpikir?

Zaman perdamaian Romawi, misalnya, saat tidak ada lagi perang karena semua dunia telah tertundukkan; saat kemakmuran berpihak pada Roma dan kesengsaraan hanya berlaku bagi budak-budak yang tak bersuara. Atau pada Eropa abad 13, saat agama merupkan urusan utama uma manusia dan semua doktrin dan institutnya telah ditetapkan. Atau pada aba 19 akhir, saat demokrasi liberal dalam pemerintahan dan kapitalisme individualistik dalam bisnis berhasil di Negara-Negara maju dan Negara-negara lain sedang berada di jalan yang sama. Atau sama dengan zaman Coolidge di mana kita sekarang ini sia-sia bermimpi kembali, saat semua yang terbaik berada dalam dunia kemungkinan yang terbaik ini.

Lalu berbagai hal ditetapkan. Kita tahu apa yang benar dan yang salah, apa yang baik atau yang buruk. Pemikiran kita mengenai latar belakang berbagai hal telah dikerjakan untuk kita; kita hanya memiliki tugas yang lebih kecil yakni menyesuaikan diri kita sendiri dengan latar belakang yang telah ditetapkan atau dibakukan tadi. Ada kepastian dengan benda-benda yang dpat kita ukur. Kita tidak menyelidiki, menguji dan menimbangnya. Kita tahu masa depan juga pasti karena hal-hal yang esensial semuanya telah ditetapkan dan bisa menjadi tidak berubah karena sudah terperinci. Ini merupakan dunia yang selesai dan kita tiba padanya, di mana kita sendiri sibuk dengan urusan personal kita dengan tanpa perlu memikirkan kembali hal-hal yang fundamental. 

Sekarang kita menemukan diri kita sendiri berada dalam pusaran air, di mana tidak ada sesuatu yang tetap dan pasti, tidak mantapnya petunjuk atas arus zaman ini, sekarang kita mengambang.

Setelah semuanya terjadi, apakah kita tidak memiliki kesempatan untuk hidup dalam zaman yang serba tidak pasti ini? Zaman yang penuh kepastian merupakan zaman yang stagnan. Ketika kita tahu, untuk apa berpikir maka berhenti berpikir. Ketika kondisi kehidupan telah ditetapkan kita semata-mata gelandangan yang membosankan yang hidup dalam zaman seperti sekarang ini. Zaman yang besar adalah zaman yang baru karena ketika semuanya belum dikerjakan dan belum diselesaikan maka apa pun itu harus diselesaikan dan dikerjakan. The Pax Romana tak berdaya dengan kemalasan Byzantine di kekaisaran Timur dan di wilayah Barat hanya mampu bertahan dari serbuan invasi kaum barbar. Ketetapan teologis pada abad ke 13 membuka jalan pada gejolak Renaissance dan Reformasi, saat tidak ada sesuatu pun yang meyakinkan tetapi juga tidak ada sesuatu yang tumpul.

Kemalangan kita bukan berarti kita percaya dengan zaman bahwa ketika berpikir, pasti segala sesuatunya bisa diselesaikan tetapi yang penting bagi kita adalah mengerjakan bukan menyelesaikan (do not do it). Sekarang sekitar seribu tahunan setelah kekaisaran Roma jatuh sebelum manusia mewujudkan bahwa mereka tidak lama hidup di dalamnya. Banyak dari kita yang membayangkan bahwa kita hidup dalam dunia yang selamanya mati pada tanggal 1 Agustus 1914. Peristiwa kini mengguncang kita pada sebuah ilusi. Prosesnya penuh dengan penderitaan dan pengorbanan tetapi barangkali masih bisa bermanfaat. Ini merubah cara berpikir kita dengan pemikiran baru. Tahap pertama dan paling utama dalam proses tersebut adalah tidak berpikir dengan cara yang lama dan beberapa orang dari kita senantiasa berpikir akan semua hal. Yang jelas tidak ada waktu untuk bermalas-malasan.       
Pada zaman dahulu, otoritas tertentu senantiasa dipertahankan, misalnya, budaya tradisi dan kepercayaan agama kelompok, untuk menjawab pertanyaan besar kita, untuk menetapkan keraguan-keraguan kita, untuk membimbing arah kita. Kita telah menentukan bahwa semua otoritas ini sayangnya memerlukan revisi dan revisi tersebut masih belum dilakukan. Sesaat, hanya ada satu otoritas dimana manusia percaya yaitu otoritas sain dan walaupun batas-batas sain seperti yang baru saja telah kita sebutkan dan kepercayaan kita di dalamnya telah seluruhnya teruji tetapi masalahnya adalah bahwa sain bukan sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan penting tentang nilai, kehidupan dan petunjuk yang membenam dalam diri kita. Sain dapat mengatakan banyak pada kita tentang faedah udara, laut dan tanah tentang bintang-bintang berikut ukuran, jarak dan susunannya, tentang bebatuan yang jauh di atas permukaan bumi, tentang atom dan gelombang cahaya, tentang tumbuhan dan hewan dan tentang tubuh kita sendiri. Tetapi tentang sesuatu yang berbeda di balik kenyataan fisik, suara sain sangat diragukan. Barangkali sebagian besar dari kita hanya memiliki minat terbatas (semacam keingintahuan ilmiah yang sedikit) mengenai struktur bebatuan, jarak bintang-bintang juga dengan tulang belulang kita. Tetapi kita memiliki minat yang amat sangat dalam dan penuh dengan ketekunan berkenaan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan manusia, sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama. Semua ini tentang kehidupan yang ingin kita ketahui, maknanya, masa depannya dan petunjuk-petunjuknya.

Apa yang mesti kita lakukan kemudian? Pertanyaan ini berada di balikb idang sain sekarang ini. Kita lalu menjadi skeptis terhadap berbagai otoritas yang jwabannya telah disediakan oleh tua kita.

Kita hidup dalam suatu momen sejarah yang sangat luar biasa. Ini adalah zaman krisi dan secara hrfiah memang begitu. Pada semua bidang perdaban material dan spiritual  kita, nampaknya kita tiba pada suatu titik balik yang kritis. Semangat ini menujukkan dirinya sendiri tidak hanya dalam kenyataan yang sebenarnya mengenai urusan publik tetapi juga dalam sikap umum terhadap nilai-nilai fundamental perorangan dan kehidupan sosial. Banyak orang mengatakan bahwa gejala ini menandai dimulainya suatu renaissance besar (a Great renaissance) tetapi ada juga orang lain yang menunggu mereka, para ilmuwan mengabari kehancuran peradaban kita yang ditakdirkan dalam keadaan menuju kepunahan. 

Dalam keadaan krisis seperti ininampaknya ada satu hal di anatara banyak hal yang mesti kita perbuat. Artinya masih ada satu otoritas yang diperkenankan untuk memeriksa. Otoritas tersebut adalah berpikir reflektif (reflective thought). Otoritas yang dimaksud merupakan kekuatan khas dan istimewa (prerogative) manusia untuk berpikir. Melalui media berfikir reflektif sebagian terbesar dari kemajuan dunia telah tercapai dalam semua bidang khususnya berpikir tentang manusia besar pada segala zaman (the great men of all times). Ketika semua ini menjadi serius, berkelanjutan, logis dan langsung menunjuk pada pertanyaan hidup dan nilai ia menjadi filsafat. Seperti Wiliam James katakan filsafat adalah upaya luar biasa dan penuh dengan ketekunan untuk berpikir jelas dan jernih (to think clearly).

Saya tidak melihat bahwa ada sesuatu yang lain yang dapat kita lakukan dalam situasi yang sekarang berhadapan dengan kita kecuali memikirkan terus persoalan-persoalan kita, mempertimbangkan dengan hati-hati berbagai pendapat para tokoh filsafat baik tokoh-tokoh masa lalu maupun masa sekarang dan menguji kesimpulan kita dengan pengalaman dan berbagai eksperimen. Untuk bisa melakukan ini kita perluas metode ilmiah ke dalam bidang-bidang dan berbagai persoalan kemanusiaan (human relation).

Berdasarkan uraian di atas, jelasnya, saya akan mengatakan bahwa kebutuhan mendesak pada zaman sekarang ini adalah memperluas ruang lingkup pengetahuan alam dan menangkap semua pokok persoalan dan kepentingan umat manusia (human interest). Hal ini akan dengan sendirinya memperluas bidang sain ke dalam apa yang sekarang dikerjakan dan ditangkap oleh filsafat. Filsafat biasanya sibuk dengan persoalan-persoalan perbatasan, berada di balik bidang ilmu-ilmu alam yang hampir belum menyentuh pusat kepentingan manusia. Ketika persoalan-persoalan ini terpecahkan mereka menjadi bagian dari kemajuan sain dan filsafat bergerak pindah ke bidang baru yang selalu berada dibalik bidang sain.

Dari semua penjelasan di atas, lebih lanjut, akan ada yang hilang dan muncul di mana sain tidak akan hanya meluas ruang lingkupnya tetapi akan mengubah fokus penyelidikannya dari dunia fisik beralih kepada hubungan kemanusiaan. Barangkali kita telah menemukan semua yang kita butuhkan untuk kita ketahui sekaran ini misalnya tentang ruang dan waktu, gelombang eter (ether waves) neutron dan elektron.  

Belum lama ini dalam suatu pertemuan Asosiasi ilmuwan Inggris bagi kemajuan ilmu pengetahuan, diusulkan bahwa sain harus mengambil waktu liburan selama lima tahun. Berulang kali lembaga ini telah mengajukan pandangan bahwa usaha ilmiah, saat ini mesti lebih berusaha mengembalikan ke dalam jurusan lain daripada melanjutkan menambah pengetahuan kita tentang lingkungan fisik kita atau bahkan meneruskan pengendalian kita atasnya. Perkenalan kita dengan dunia fisik telah melebihi pengetahuan tentang kita sendiri. Kontrol dan pengendalian kita terhadap kekuatan alam telah melebihi kekuatan kontrol diri kita sendiri. Sekarang ini ilmu pengetahuan (science) harus lebih memperhatikan persoalan-persoalan sosial, ekonomi, moral, filosofis dan agama. Kekuatan intelektual yang dahsyat yang ditunjukkan dalam pemikiran ilmiah dan riset harus lebih berusaha dikembalikan kepada jurusan-jurusan seperti ini.

Apa yang kita butuhkan sekarang adalah meraih kehiduapn itu sendiri. Makna dan nilai-nilai relatifnya kita tafsirkan untuk kita sendiri. Hal ini senantiasa menjadi tugas filsafat di mana kadang-kadang didefinisikan sebagai studi budaya tentang nilai dan makna atau sebagai penafsiran akan kehidupan. Matthew Arnold mengatakan tentang syair tragis Sophocles bahwa dia melihat hidup secara teratur dan menyeluruh. Dalam ungkapan frase ini tujuan maupun metode filsafat biasa-biasa saja. Tujuan filsafat yaitu melihat hidup secara keseluruhan dan tidak dengan pandangan-pandangan atau aktivitas perkumpulan atau perupa, seniman, penyair, pendeta atau profesor universitas tidak juga dengan cara pandangan gabungan semuanya. Tetapi untuk melihat seluruh kehidupan sebagaimana adanya dan akan terlihat jika dilakukan oleh “pengamat sepanjang waktu atas semua yang ada” (“the spectator of all time and all existence”) dan metode untuk mengamatinya secara terus-menerus mesti dengan tanpa prasangka, tanpa bias dan bukan dengan pengetahuan yang setengah-setengah. 

Sumber : Buku Filsafat

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...