Pengantar
Nampak seorang gadis
kecil berdiri sambil menerawang ke luar jendela dengan penuh selidik. Tiba-tiba
ia berbalik dan berkata pada ibunya, “Bu, betapa saya tidak mengerti bagaimana
semua yang ada di sana menjadi dunia.” Dengan berpikir reflektif seperti ini
anak tersebut telah menjadi seorang filsuf. Sebagian besar anak-anak hanya
menerima dunia sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja. Sebagian besar
laki-laki dan wanita dewasa juga berprilaku sama dengan mereka. Tetapi beberapa
anak dan remaja dengan penuh selidik dan reflektif ingin mengetahui apa
sesungguhnya dunia itu, bagaimana dunia menjadi ada, apa bahan dasar untuk
membuat dunia dan untuk apa dunia diciptakan? Ketika keingintahuan dan
penyelidikan mereka mulai serius dan sistematis maka mereka menjadi seorang
filsuf.
Plato mengatakan bahwa
filsafat dimulai dengan rasa kagum disertai dengan keingintahuan yang dalam.
Bangsa Yunani kuno telah lebih dahulu menekuni dunia filsafat tetapi jika
dibandingkan dengan kita sekarang ini cara berpikir mereka tentang dunia begitu
lugu dan kekanak-kanakan karena tidak disertai dengan proses meragukan.
Syukurlah mereka dianugerahi banyak rasa ingin tahu yang dalam dan
keingintahuan mereka segera menjadi serius dan bijaksana.
Keraguan
dan kebingungan
Seperti diungkapkan di
atas, berfilsafat pada zaman kuno dimulai dengan rasa heran, kagum dan rasa
ingin tahu yang dalam sedangkan pada zaman modern sekarang ini biasanya dimulai
dengan proses meragukan terlebih dahulu. Pada masa kesulitan ekonomi, politik
dan budaya seperti sekarang ini keraguan menjai serius dan mengganggu
ketenangan umat manusia.
Tidak pernah ada suatu
zaman ketika betapa banyak orang-orang yang begitu tidak yakin dengan segala
sesuatunya selain saat seperti sekarang ini. Begitu banyak dari diri kita
merasa tidak yakin dengan pemerintahan saat ini, dengan sistem sosial dan
ekonomi, dengan hal0hal yang benar dan yang salah, dengan keberadaan Tuhan,
jiwa dan taqdir-Nya. Kita tidak yakin apakah orang-orang sekarang ini hidup
lebih baik daripada orang-orang yang pernah hidup pada zaman kakek buyut kita
atau justru sebaliknya merekal ebih baik dibanding dengan zaman sekarang.
Kita semua yakin
sebelumnya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik bagi semua warga
sipil. Kita juga yakin bahwa bentuk organisasi sosial terbaik adalah yang
memberikan kesempatan penuh pada kebebasan dan inisiatif individu. Kita juga
percaya bahwa kebaikan dan kejahatan adalah apa yang seperti orang tua kita
ajarkan. Kita percaya bahwa Tuhan ada karena otoritas Mesjid, Pesantren,
Al-qur’an, gereja, Injil atau Bible dan Upanisad dst. dst. Sekarang keyakinan
kita akan semua kepercayaan lam itu goncang dan ada banyak hal yang
membingungkan dan meragukan atas semua itu.
Situasi yang sebenarnya, jauh labih buruk dari
apa yang terjadi di atas. Memang kita bisa dengan mudah meragukan
prinsip-prinsip moral, teologi (pemahaman keagamaan), sistem sosial, ekonomi
dan teori pemerintahan lalu kita mengira masih ada satu otoritas di mana
dalamnya sungguh-sungguh terdapat hukum-hukum yang ditegakkan dan tidak bisa
diragukan oleh apa pun dan siapa pun juga. Otoritas itu adalah sain. Akan
tetapi, sekarang ini kita juga sudah mendengar bahwa fondasi dari sain itu
sendiri telah ambruk.
Pada zaman sekarang ini, para
ilmuwan teknik menemukan bahwa dengan berbagai persamaan yang mereka temukan
sendiri, mereka tidak bisa menafsirkan dan dengan berbagai teori yang mereka
temukan sendiri mereka juga tidak bisa menjelaskan tanpa melibatkan
pernyataan-pernyataan yang memiliki karakter filosofis, yang pasti, teman
sejawat mereka tidak menerimanya. Ini berarti bahwa ilmuwan tidak sepenuhnya
mengerti atas berbagai penemuan mereka sendiri karena prinsip pertama yang
membuat semua penemuan teknik dapat dimengerti selalu dalam keadaan berubah.
Ini adalah alasan mengapa para fisikawan seperti Eddington, Einstein, dan
Whitehead serta para psikolog sperti Driesch, Haldane dan Henderson juga para
ahli matematika murni seperti Brouwer, Hilbert dan Weyl menulis filsafat. Watak
dan semangat baru tersebar ke seluruh dunia. Latar belakang dan bingkai lama
yang mengandung muatan tentang gambar alam para ilmuwan, telah larut di dalam
tangannya sendiri dan dia tengah dipaksa mengubah perhatiannya dari unsur pokok
sain yang terperinci menjadi sebuah struktur umum agar dapat mencegah sain
dibanjiri penemuannya dan dirusak oleh keberhasilannya. Suatu perubahan yang
membongkar fondasi berbagai hal pada kita.
Dalam situasi seperti
ini apa yang harus kita lakukan? Saya pikir ada satu hal yang tidak akan kita
lakukan yaitu bersikap skeptis atau sinis. Persoalan ini harus segera
dipecahkan. Kita hidup dalam suatu zaman transisi di mana banyak ilmu
pengetahuan dan kepercayaan lama mengalami perubahan (in the state of flux). Dalam periode transisional seperti ini,
layaknya anak remaja, ada dua situasi pilihan dalam menjalani kehidupan.
Situasi tersebut semacam pengembaraan antara pilihan menempuh bahaya (danger) dan menumbuhkan harapan yang
menjanjikan (promise). Artinya dalam
situasi seperti ini ada banyak hal untuk dipikirkan dan tidak ada hal yang
lebih menggembirakan daripada adanya lahan latihan berpikir seperti situasi
ini. Ada banyak hal untuk dipikirkan terus-menerus dan filsafat dalam situasi
seperti ini sangat mungkin di definisikan sebagai seni berpikir terus-menerus
tentang segala hal. Atau barangkali kamu akan lebih memilih bahwa filsafat
adalah kebiasaan untuk mencoba berpikir segala sesuatu sampai ke akar-akarnya.
Persisnya melibatkan
apa? Filsafat melibatkan berpikir secara
logis tentang (the subject in hand) berbagai persoalan pokok yang dikuasai,
baik secara sistematis maupun secara terus menerus. Kita harus mendefinisikan
secara hati-hati istilah-istilah yang telah digunakan atau selama ini kita
gunakan sendiri seraya menguji makan dan implikasi dari istilah-istilah
tersebut. Kebiasaan mengklasifikasikan adalah watak yang amat melekat pada
filsuf. Berfilsafat adalah melihat gagasan dengan jelas seperti yang telah
dilakukan oleh Plato. Dalam bahasa yang lebih teknis filsafat adalah analisa
kritis tentang berbagai konsep dan berusaha menemukan hubungan di antara
konsep-konsep tersebut. Harapannya adalah menyatukan pengetahuan kita kemudian
menafsirkannya. Maka filsafat menempatkan logika sebagai bagian yang esensial
dari peralatan seorang filsuf. Tetapi jika semata-mata hanya menganalisis
secara kritis konsep-konsep maka filsafat menjadi satu disiplin yang suram dan
redup. Akan tetapi kesuraman akan berhenti ketika berbagai gagasan yang
diselidiki diambil dari beberapa bentuk kehidupan dan minat yang labih tinggi
dan lebih besar.
Tentang beberapa yang
tengah diragukan, ada satu hal yang pasti yang harus dijelaskan dengan segera.
Saya tidak takut masyarakat yang telah terorganisir menjadi kacau, seperti yang
banyak kita dengar tentang adanya kehancuran peradaban kita (“downfall our
civilization”) tetapi kalau kita dapat menerima begitu saja beberapa (prinsip)
mral dan sosial kita dan merasa sudah memecahkan persoalan-persoalan ekonomi,
ada bahaya yang sangat gawat yakni merosot dengan tajamnya standar hidup, jika
bukan adanya degenarasi sosial.
Sebenarnya, bukan
tujuan filsafat untuk mencoba memecahkan persoalan-persoalan politik, sosial
dan ekonomi kita. Filsafat hanya bertujuan memikirkan dengan sistematis dan
hati-hati tentang persoalan-persoalan fundamental tertentu, misalnya tentang
perilaku dan dunia tempat di mana kita hidup yang kita persoalkan sendiri. Saya
telah mengatakan bahwa zaman tradisional seperti sekarang ini penuh dengan
bahaya sekaligus juga harapan yang sangat menjanjikan. Saya percaya bahwa
harapan tetap lebih besar dibanding dengan bahaya. Misalnya, fakta-fakta apa
yang mengancam macetnya sain? Memang macetnya sain bisa menjadikan bahwa apa
yang dihasilkan sain kurang dari yang kita perkirakan tetapi mengenai ancaman
macetnya prinsip-prinsip sain kita menemukannya dalam penyelidikan bahwa tidak
hal yang serius tentangnya. Sejauh sain berkenaan dengan hal-hal yang secara
langsung berhubungan dengan kebutuhan manusia dan kebahagiaan manusia maka
prinsip-prinsip tersebut menyisakan sesuatu yang tidak bisa tergoyahkan. Ini
hampir tidak penting untuk menempatkan kebenaran ini benar dengan sendirinya (evident).
Apa yang telah terjadi
dengan semua ini? Seluruh bangunan besar fisika, seperti kita yang telah
terbiasa mempelajarinya, sekarang telah menemukan bagian terluas dari dunia
yang belum kita konsep sebelumnya. Bidang sain telah berkembang dengan sangat
luasnya lalu kita sedikit pusing. Kita memperoleh beberapa sikap baru dan
membiasakan diri dengan horizon yang lebih luas. Teori relativitas, quantum
teori, prinsip baru ketidakpastian, penemuan bahaya hukum-hukum fisika kurang
lebih sama baiknya dengan hukum-hukum sosial yang berada dalam karakter
statistik, fakta bahwa kita tidak bisa memprediksi bagaimana individu-individu
akan berprilaku juga individu-individu atom dan elektron akan menunjukkan
reaksi, semua ini adalah penemuan baru, agak mengejutkan dan sebagian besar
dari mereka sukar untuk dimengerti.
Kita mengira bahwa
makna semua ini adalah, kita tidak begitu banyak dikurung oleh tembok alam
semesta mekanistik yang mengenal belas kasihan, seperti yang sain abad 19
ajarkan kepada kita. Barangkali ada banyak kemungkinan di dunia kita yang kita
tidak sangka-sangka. Ini mungkin juga sebuah rang kebebasan. Mungkin kita telah
mempelajari fisika dan kimia terlalu banyak sementara biologi dan psikologi
terlalu sedikit. Ini boleh jadi bahwa biologi tidak hanya sekedar cabang dari
fisika juga tidak berarti bahwa psikologi sekadar cabang dari biologi. Para
matematikawan juga mengerjakan hal-hal yang asing. Mereka kelihatannya mampu
mengerti dengan kedalaman, tidak dengan ukuran fisikan dan alat-alat yang
cermat. Persamaan tiba-tiba nampak memperoleh kemungkinan yang tidak
disangka-sangka.
Dunia baru kita memang
penuh dengan harapan dan kaya dengan kemungkinan-kemungkinan tetapi dalam
menghargai hubungan manusia, dunia baru ini merupakan periode kebingungan yang
sangat besar dan tanpa harus dibuktikan lagi, hal ini merupakan saatnya untuk
berpikir kritis dan ini adalah apa yang barusan filsafat lakukan.
Sekarang
kita harus berpikir
Di bawah judul
“Sekarang Kita harus Berpikir” (Now We
Must Think). Chester Rowell mendiskusikan keuntungan dan kerugian dari
berbagai zaman ketidakpastian.
Siapa
yang tidak rindu dengan zaman yang statis ketika manusia tidak butuh berpikir?
Zaman
perdamaian Romawi, misalnya, saat tidak ada lagi perang karena semua dunia
telah tertundukkan; saat kemakmuran berpihak pada Roma dan kesengsaraan hanya
berlaku bagi budak-budak yang tak bersuara. Atau pada Eropa abad 13, saat agama
merupkan urusan utama uma manusia dan semua doktrin dan institutnya telah
ditetapkan. Atau pada aba 19 akhir, saat demokrasi liberal dalam pemerintahan
dan kapitalisme individualistik dalam bisnis berhasil di Negara-Negara maju dan
Negara-negara lain sedang berada di jalan yang sama. Atau sama dengan zaman Coolidge di mana kita sekarang ini
sia-sia bermimpi kembali, saat semua yang terbaik berada dalam dunia
kemungkinan yang terbaik ini.
Lalu
berbagai hal ditetapkan. Kita tahu apa yang benar dan yang salah, apa yang baik
atau yang buruk. Pemikiran kita mengenai latar belakang berbagai hal telah
dikerjakan untuk kita; kita hanya memiliki tugas yang lebih kecil yakni
menyesuaikan diri kita sendiri dengan latar belakang yang telah ditetapkan atau
dibakukan tadi. Ada kepastian dengan benda-benda yang dpat kita ukur. Kita
tidak menyelidiki, menguji dan menimbangnya. Kita tahu masa depan juga pasti
karena hal-hal yang esensial semuanya telah ditetapkan dan bisa menjadi tidak
berubah karena sudah terperinci. Ini merupakan dunia yang selesai dan kita tiba
padanya, di mana kita sendiri sibuk dengan urusan personal kita dengan tanpa
perlu memikirkan kembali hal-hal yang fundamental.
Sekarang
kita menemukan diri kita sendiri berada dalam pusaran air, di mana tidak ada
sesuatu yang tetap dan pasti, tidak mantapnya petunjuk atas arus zaman ini,
sekarang kita mengambang.
Setelah
semuanya terjadi, apakah kita tidak memiliki kesempatan untuk hidup dalam zaman
yang serba tidak pasti ini? Zaman yang penuh kepastian merupakan zaman yang
stagnan. Ketika kita tahu, untuk apa berpikir maka berhenti berpikir. Ketika
kondisi kehidupan telah ditetapkan kita semata-mata gelandangan yang
membosankan yang hidup dalam zaman seperti sekarang ini. Zaman yang besar
adalah zaman yang baru karena ketika semuanya belum dikerjakan dan belum
diselesaikan maka apa pun itu harus diselesaikan dan dikerjakan. The Pax Romana
tak berdaya dengan kemalasan Byzantine di kekaisaran Timur dan di wilayah Barat
hanya mampu bertahan dari serbuan invasi kaum barbar. Ketetapan teologis pada
abad ke 13 membuka jalan pada gejolak Renaissance dan Reformasi, saat tidak ada
sesuatu pun yang meyakinkan tetapi juga tidak ada sesuatu yang tumpul.
Kemalangan
kita bukan berarti kita percaya dengan zaman bahwa ketika berpikir, pasti
segala sesuatunya bisa diselesaikan tetapi yang penting bagi kita adalah
mengerjakan bukan menyelesaikan (do not
do it). Sekarang sekitar seribu tahunan setelah kekaisaran Roma jatuh
sebelum manusia mewujudkan bahwa mereka tidak lama hidup di dalamnya. Banyak
dari kita yang membayangkan bahwa kita hidup dalam dunia yang selamanya mati
pada tanggal 1 Agustus 1914. Peristiwa kini mengguncang kita pada sebuah ilusi.
Prosesnya penuh dengan penderitaan dan pengorbanan tetapi barangkali masih bisa
bermanfaat. Ini merubah cara berpikir kita dengan pemikiran baru. Tahap pertama
dan paling utama dalam proses tersebut adalah tidak berpikir dengan cara yang
lama dan beberapa orang dari kita senantiasa berpikir akan semua hal. Yang
jelas tidak ada waktu untuk bermalas-malasan.
Pada zaman dahulu,
otoritas tertentu senantiasa dipertahankan, misalnya, budaya tradisi dan
kepercayaan agama kelompok, untuk menjawab pertanyaan besar kita, untuk
menetapkan keraguan-keraguan kita, untuk membimbing arah kita. Kita telah
menentukan bahwa semua otoritas ini sayangnya memerlukan revisi dan revisi
tersebut masih belum dilakukan. Sesaat, hanya ada satu otoritas dimana manusia
percaya yaitu otoritas sain dan walaupun batas-batas sain seperti yang baru saja
telah kita sebutkan dan kepercayaan kita di dalamnya telah seluruhnya teruji
tetapi masalahnya adalah bahwa sain bukan sebuah usaha untuk menjawab
pertanyaan penting tentang nilai, kehidupan dan petunjuk yang membenam dalam
diri kita. Sain dapat mengatakan banyak pada kita tentang faedah udara, laut
dan tanah tentang bintang-bintang berikut ukuran, jarak dan susunannya, tentang
bebatuan yang jauh di atas permukaan bumi, tentang atom dan gelombang cahaya,
tentang tumbuhan dan hewan dan tentang tubuh kita sendiri. Tetapi tentang
sesuatu yang berbeda di balik kenyataan fisik, suara sain sangat diragukan.
Barangkali sebagian besar dari kita hanya memiliki minat terbatas (semacam
keingintahuan ilmiah yang sedikit) mengenai struktur bebatuan, jarak
bintang-bintang juga dengan tulang belulang kita. Tetapi kita memiliki minat
yang amat sangat dalam dan penuh dengan ketekunan berkenaan dengan berbagai hal
yang berhubungan dengan manusia, sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama.
Semua ini tentang kehidupan yang ingin kita ketahui, maknanya, masa depannya
dan petunjuk-petunjuknya.
Apa yang mesti kita
lakukan kemudian? Pertanyaan ini berada di balikb idang sain sekarang ini. Kita
lalu menjadi skeptis terhadap berbagai otoritas yang jwabannya telah disediakan
oleh tua kita.
Kita
hidup dalam suatu momen sejarah yang sangat luar biasa. Ini adalah zaman krisi
dan secara hrfiah memang begitu. Pada semua bidang perdaban material dan
spiritual kita, nampaknya kita tiba pada
suatu titik balik yang kritis. Semangat ini menujukkan dirinya sendiri tidak
hanya dalam kenyataan yang sebenarnya mengenai urusan publik tetapi juga dalam
sikap umum terhadap nilai-nilai fundamental perorangan dan kehidupan sosial.
Banyak orang mengatakan bahwa gejala ini menandai dimulainya suatu renaissance
besar (a Great renaissance) tetapi ada juga orang lain yang menunggu mereka,
para ilmuwan mengabari kehancuran peradaban kita yang ditakdirkan dalam keadaan
menuju kepunahan.
Dalam keadaan krisis
seperti ininampaknya ada satu hal di anatara banyak hal yang mesti kita
perbuat. Artinya masih ada satu otoritas yang diperkenankan untuk memeriksa.
Otoritas tersebut adalah berpikir reflektif (reflective thought). Otoritas yang dimaksud merupakan kekuatan khas
dan istimewa (prerogative) manusia
untuk berpikir. Melalui media berfikir reflektif sebagian terbesar dari
kemajuan dunia telah tercapai dalam semua bidang khususnya berpikir tentang
manusia besar pada segala zaman (the
great men of all times). Ketika semua ini menjadi serius, berkelanjutan,
logis dan langsung menunjuk pada pertanyaan hidup dan nilai ia menjadi
filsafat. Seperti Wiliam James katakan filsafat adalah upaya luar biasa dan
penuh dengan ketekunan untuk berpikir jelas dan jernih (to think clearly).
Saya tidak melihat
bahwa ada sesuatu yang lain yang dapat kita lakukan dalam situasi yang sekarang
berhadapan dengan kita kecuali memikirkan terus persoalan-persoalan kita,
mempertimbangkan dengan hati-hati berbagai pendapat para tokoh filsafat baik
tokoh-tokoh masa lalu maupun masa sekarang dan menguji kesimpulan kita dengan
pengalaman dan berbagai eksperimen. Untuk bisa melakukan ini kita perluas
metode ilmiah ke dalam bidang-bidang dan berbagai persoalan kemanusiaan (human relation).
Berdasarkan uraian di
atas, jelasnya, saya akan mengatakan bahwa kebutuhan mendesak pada zaman
sekarang ini adalah memperluas ruang lingkup pengetahuan alam dan menangkap
semua pokok persoalan dan kepentingan umat manusia (human interest). Hal ini akan dengan sendirinya memperluas bidang
sain ke dalam apa yang sekarang dikerjakan dan ditangkap oleh filsafat.
Filsafat biasanya sibuk dengan persoalan-persoalan perbatasan, berada di balik
bidang ilmu-ilmu alam yang hampir belum menyentuh pusat kepentingan manusia.
Ketika persoalan-persoalan ini terpecahkan mereka menjadi bagian dari kemajuan
sain dan filsafat bergerak pindah ke bidang baru yang selalu berada dibalik
bidang sain.
Dari semua penjelasan
di atas, lebih lanjut, akan ada yang hilang dan muncul di mana sain tidak akan
hanya meluas ruang lingkupnya tetapi akan mengubah fokus penyelidikannya dari
dunia fisik beralih kepada hubungan kemanusiaan. Barangkali kita telah
menemukan semua yang kita butuhkan untuk kita ketahui sekaran ini misalnya
tentang ruang dan waktu, gelombang eter (ether
waves) neutron dan elektron.
Belum lama ini dalam
suatu pertemuan Asosiasi ilmuwan Inggris bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
diusulkan bahwa sain harus mengambil waktu liburan selama lima tahun. Berulang
kali lembaga ini telah mengajukan pandangan bahwa usaha ilmiah, saat ini mesti
lebih berusaha mengembalikan ke dalam jurusan lain daripada melanjutkan
menambah pengetahuan kita tentang lingkungan fisik kita atau bahkan meneruskan
pengendalian kita atasnya. Perkenalan kita dengan dunia fisik telah melebihi
pengetahuan tentang kita sendiri. Kontrol dan pengendalian kita terhadap
kekuatan alam telah melebihi kekuatan kontrol diri kita sendiri. Sekarang ini
ilmu pengetahuan (science) harus lebih memperhatikan persoalan-persoalan
sosial, ekonomi, moral, filosofis dan agama. Kekuatan intelektual yang dahsyat
yang ditunjukkan dalam pemikiran ilmiah dan riset harus lebih berusaha
dikembalikan kepada jurusan-jurusan seperti ini.
Apa yang kita butuhkan
sekarang adalah meraih kehiduapn itu sendiri. Makna dan nilai-nilai relatifnya
kita tafsirkan untuk kita sendiri. Hal ini senantiasa menjadi tugas filsafat di
mana kadang-kadang didefinisikan sebagai studi budaya tentang nilai dan makna
atau sebagai penafsiran akan kehidupan. Matthew Arnold mengatakan tentang syair
tragis Sophocles bahwa dia melihat hidup secara teratur dan menyeluruh. Dalam
ungkapan frase ini tujuan maupun
metode filsafat biasa-biasa saja. Tujuan filsafat yaitu melihat hidup secara
keseluruhan dan tidak dengan pandangan-pandangan atau aktivitas perkumpulan
atau perupa, seniman, penyair, pendeta atau profesor universitas tidak juga
dengan cara pandangan gabungan semuanya. Tetapi untuk melihat seluruh kehidupan
sebagaimana adanya dan akan terlihat jika dilakukan oleh “pengamat sepanjang
waktu atas semua yang ada” (“the
spectator of all time and all existence”) dan metode untuk mengamatinya
secara terus-menerus mesti dengan tanpa prasangka, tanpa bias dan bukan dengan
pengetahuan yang setengah-setengah.
Sumber : Buku
Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar