Pandangan
Dunia
Filsafat juga bisa
didefinisikan sebagai usaha dengan menggunakan metode ilmiah untuk memahami
dunia di mana kita hidup.
Usaha ini dimaksudkan
untuk memahami dunia dengan cara menggabungkan hasil ilmu pengetahuan khusus ke
dalam semacam suatu pandangan dunia yang konsisten. Hal ini selalu menjadi
tujuan filsafat sejak Thales (filsuf Yunani pertama) sampai dengan zaman
sekarang. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud oleh kita dengan dunia? Di antara
pemikir Yunani ada mengatakan bahwa dunia adalah cosmos (teratur) atau kita
mengatakan universe (alam semesta) berikut dengan luas, durasi (ruang dan
waktu), pencipta (Tuhan), jiwa dan nasibnya. Demi mencapai tujuan ini,
Democritus, Plato, Aristoteles, Saint Agustinus, Bruno, Descartes, Spinoza,
Kant, Hegel, Herbert Spencer dan filsuf besar lainnya bekerja dan persoalan
dunia yang luas sekali ini masih mengalami kita dan ini semua harus dipelajari.
Pada zaman sekarang,
makna astronomis “dunia” ini tak sebanyak dalam pemikiran kita. Dengan sikap
individualistis modern kita, suasana romantis dan humanistis kita lebih kembali
kepada minat yang paling dekat dan “dunia” bermakna sebagai sesuatu yang lain
bagi kita. Dengan iklim utara kita, kehidupan “rumahan” kita, kota besar kita,
populasi penduduk yang menyesakkan kita dan kehidupan sosial kita, sebenarnya dunia
tempat di mana kita hidup di dalamnya bukan semata-mata dunia astronomis. Dunia
dalam arti yang kita maksudkan adalah lebih merupakan dunia sosial, politis,
kesusastraan, moral, dan dunia religius.
Orang-orang Yunani Kuno
banyak dimasalahkan dengan persoalan prinsip ketetapan (permanence) dan prinsip perubahan (change). Dengan prinsip perubahan mereka memaknai perubahan fisik,
gagasan tentang atom material, partikel dan memahami fenomena tumbuh dan
berkembang serta rusak. Persoalan-persoalan seperti ini masih tidak terjawab
tetapi minat kita sekarang berhubungan dengan semacam dunia perubahan yang lain
yaitu perubahan sosial-budaya, perubahan hubungan politis, perubahan moral,
perubahan agama, dan perubahan standar kesusatraan. “Dunia” semacam ini sesungguhnya
membutuhkan penafsiran lain dan filsafat menyisakannya bagi kita.
Sekarang persoalan
tersebut di atas menjadi semacam upaya penafsiran tentang kehidupan, nilai dan
maknanya, sumber-sumbernya dan nasib-nasibnya. Oleh karena itu evolusi,
kemajuan, pengetahuan, pola pikir, persoalan-persoalan tuntunan dan persoalan
masyarakat telah berada di bagian terdepan. Hal ini sama benar dengan yang
pernah filsafat kerjakan yaitu sebagai usaha untuk memahami dunia tempat di
mana kita hidup.
Kehidupan yang kita pimpin
sekarang ini lebih sibuk. Kesibukan kita itu lebih banyak ditunjukkan dengan
aktifitas olah raga, sosial, buku, majalah, rutinitas kampus, rekreasi dan
hiburan. Saya percaya bahwa kita berpikir dan “membatin” lebih serius dibanding
dengan zaman sebelumnya dan bahwa dorongan filosofis akan menyingsing pertama-tama dalam kehidupan kita. Tradisi tidak bisa
dipungkiri dan filsafat lama diterima begitu saja tanpa pertanyaan. Semangat
baru penyelidikan muncul di mana-mana tetapi masalah dari semua itu muncul
dengan kuat dalam kehidupan sosial kita sementara, waktu bagi studi yang tekun
dan hati-hati atas berbagai persoalan hidup begitu kurangnya. Dalam studi
filsafat kita mestinya dengan mudah bisa meluangkan dan menghabiskan waktu
untuk berpikir terus-menerus tentang berbagai persoalan kita.
Mungkin sangat sedikit
dari kita yang tidak serius bertanya sebagaimana pertanyaan ini. Apakah alam
semesta merupakan suatu semesta pikiran, atau hanya materi yang mati? Adakah
aturan di balik hukum-hukum mekanis? Apakah aturan tersebut mencakup semua
rencana, maksud dan tujuan? Dapatkah kita mempertahankan lebih lama lagi
pandangan religius kita tentang dunia? Apakah di balik semua itu karena ada
Tuhan atau tidak ada apa pun kecuali energi dan materi? Dibuat dari apa materi?
Apakah pikiran saya yang sekarang sedang berpikir dan mengagumi merupakan
sesuatu yang berbeda dari materi atau apakah ini hanya sekedar sekumpulan atom
atau sebuah fungsi dari tubuh saya? Saya hidup. Apa itu hidup? Suatu saat saya
akan mati. Apa itu kematian dan kemana saya harus pergi dari sini? Besok saya
akan melakukan banyak hal. Dari semua hal itu ada yang benar dan ada yang
salah. Apa yang dimaksud dengan benar dan salah? Semuanya mengenai saya. Saya
melihat manusia bekerja keras demi uang, popularitas dan kesenangan. Apakah ini
benar-benar merupakan nilai paling tinggi atau adakah nilai lain yang lebih
tinggi dan lebih baik, seperti perdamaian, kesederhanaan, keyakinan, cinta,
kerja, kenikmatan seni, penyelidikan ilmiah? Dari semua itu apa yang paling
bernilai? Saya dapat menanyakan semua ini. Apakah mungkin menemukan jawaban
bagi semua pertanyaan itu? Apa batas-batas pengetahuan?
Objek kita selanjutnya
adalah keindahan yang mengelilingi kita di alam raya dan di dalam berbagai
kesenian. Beberapa bangunan di kota kita atau di dalam kampus universitas kita
begitu indah dan beberapa bangunan juga jelek. Selanjutnya apa itu indah?
Apakah ketika kita sedang menikmati musik klasik dan apakah ketika kita sedang
mengagumi bangunan-bangunan tua, di Katedral Gothic, atau di puing-puing
kerajaan Yunani? Saya mengagumi matahari terbenam, bulan nampak melewati awan,
bunga-bunga liar, daun-daun di musim gugur dsb. Akankah alam menjadi indah jika
tidak ada mata untuk melihatnya atau tidak ada pikiran untuk mengapresiasinya?
Saya berjalan melewati
semrawutnya kota dan melihat manusia bekerja keras dan bersusah payah mencari
kekayaan, posisi, jabatan dan kekuasaan. Beberapa di antara mereka turun ke
jalan dan dengan keras-keras mengecam ketidakadilan. Saya juga telah lama ingin
mengetahui apa keadilan itu dan mengapa manusia mempertahankan serta
memperjuangkannya. Semua ini adalah persoalan-persoalan filsafat. Menanyakan
pertanyaan besar ini, merefleksikan dalam semua itu, mempelajari mereka dalam
jalan ilmiah dan mencoba menjawab semuanya, itulah filsafat.
Mencari
kesatuan
Herbert Spencer
mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang menyatukan secara lengkap (completely unified knowledge), bertolak
belakang dengannya adalah sain yaitu pengetahuan yang menyatukan tetapi tidak
lengkap (partially unified knowledge).
Gagasan Spencer tentang filsafat adalah bahwa filsafat mencoba menyatukan
beberapa sain ke dalam suatu sistem yang tersatukan sebagaimana masing-masing
sain khusus mencoba menyatukan fakta-fakta khusus dalam bidangnya sendiri ke
dalam satu sistem yang tersatukan juga. Konsep filsafat dari Spencer adalah
konsep filsafat yang paling ambisius. Kita tidak berharap pelaksanaannya
terjadi sekarang-sekarang ini. Usaha ini berada dalam cara dan jalan yang
kurang sempurna. Usaha ini tersusun pada akhir abad 20 ketika kita berharap
bahwa dalam terang ilmu-ilmu alam, fisika, biologi, psikologi, sosiologi, akan
memecahkan teka-teki dunia. Harapan ini sedikit tidak memuaskan. Ada sisa (residu) yang tidak dapat dijelaskan,
misalnya unsur-unsur romantis dalam hidup termasuk juga unsur tragedi yang
pasti banyak diperoleh dalam jalan kebenaran filsafat. Disamping itu filsafat
juga merupakan sesuatu yang lebih jauh daripada penyatuan sain-sain khusus
sebab filsafat tidak hanya harus meyakinkan minat ilmiah tetapi juga memenuhi
kebutuhan religius dan moral kita, aspirasi dan kerinduan kita. Filsafat juga
merupakan fakta di mana banyak sistem pemikiran harus sama-sama memikirkan.
Jika kita bisa mengambil “semua” fakta-fakta ini dan “memikirkan mereka secara
bersama-sama” hal tersebut akan menjadi filsafat.
Kebijakasanaan
Akhirnya, filsafat
didefinisikan sebagai “kebijaksanaan”. Kata filsafat atau philosophy, berasal
dari bahasa Yunani dan terdiri atas kata benda, Sophia yang berarti
kebijaksanaan (wisdom) dan kata kerja, philein yaitu mencintai. Jadi filsafat
adalah semata-mata mencintai kebijaksanaan. Socrates tidak mengatakan memiliki
kebijaksanaan tetapi dia mengatakan mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu memang
persisnya adalah seperti apa yang Socrates milik pada zamannya. Socrates
tipikal manusia bijaksana dan seorang filsuf dunia. Namun kebijaksanaan dalam
arti ini ternyata mengalami kesulitan ketika mencoba menjelaskan secara tepat
bagaimana kebijaksanaan dapat dibedakan dari pengetahuan. Kita dapat merasakan
perbedaannya tetapi kita tidak dapat mengungkapkannya. Barangkali meliputi
apresiasi dan citarasa. Apakah filsafat sesuatu yang mirip dengan citarasa
intelektual yang baik? Apakah citarasa intelektual yang baik adalah sesuatu
yang memungkinkan kita menilai dengan benar berbagai nilai yang ditawarkan
kepada kita dengan sangat bebas dalam dunia modern kita yang menakjubkan dan
kaya ini?
Kita menjadi meyakini
dengan cukup baik bahwa bukan kekayaan dan kesenanganlah nilai yang paling
tinggi. Kita lalu mencoba menemukan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai
tertinggi itu? Kita nampaknya membutuhkan sebuah kunci untuk memcah teka-teki
nilai pada hal-hal yang relatif seperti kerja, bermain, sandiwara, hiburan,
belajar, makan, minum, bercinta, sain, lukisan, musik, puisi, pelayanan sosial,
politik, bisnis dan semua aktifitas lain yang kita jalani.
Metafisika
Pada tahun-tahun
sekarang, filsafat lebih banyak menekankan pembahasannya kepada aspek
humanistik, usaha menafsirkan hidup, melihat berbagai hal dalam arti yang lebih
luas dan menambah perspektif kebenaran, daripada terhadap persoalan-persoalan
metafisika lama seperti hakekat realitas, Tuhan, dunia, dan tujuan, sebab-sebab
serta fikirannya. Istilah filsafat lebih luas daripada metafisika termasuk
semua persoalan-persoalan di atas. Epistemologi atau teori pengetahuan juga
sama baiknya dengan persoalan-persoalan seperti logika, etika, dan estetika.
Puisi dan Filsafat
Dalam rangka membahas
hubungan antara persoalan puisi dengan filsafat, pembedaan Ralp Barton Perry
antara filsuf-penyair dengan penyair yang bukan filsuf cukup jelas. Hal ini
akan membantu kita lebih lanjut dalam memahami apa itu filsafat khususnya dalam
aspek-aspek terbarunya. Beberapa penyair besar semata-mata mencoba
menggambarkan hidup dan yang lain mencoba menafsirkannya, yang terakhir adalah
penyair-filsuf.
Penyair-filsuf adalah
seseorang yang berpikir tentang Lucretius, Omar Khayyam, Dante, Goethe,
Wordsworth, Browning dan beberapa dramawan Yunani. Orang-orang yang menganggap
Aeschylus, Sophocles, Euripides atau pun Aristophanes sebagai para penyair yang
lucu (comic poet) sebenarnya
orang-orang ini juga sangat tekun. Mereka moralis, pemikir, penyair, nabi yang
merefleksikan kesadaran nasional rakyat mereka. Nabi adalah manusia yang
membawa pesan dan jika nabi itu adalah seorang penyair maka dia seorang penyair
filsuf. Aeschylus misalnya, menggambarkan dalam bahasa yang penuh dengan keagungan
dan kekuatan dahsyat dalam melawan takdir yang tidak memperdulikan hukum agama
dan moral kuno. Hukum moral yang kebal dan penderitaan pada orang-orang yang
beriman merupakan persoalan inti pada drama-drama elok Sophocles. Sementara
Aristhopanes dalam nada yang lucu menjunjung tinggi tradisi lama Yunani.
Lucretius dari Roma menulis puisi panjang dalam syair heksameter atau daktilus
(puisi enam baris) tampil menyusun teori materialistik dunia dan menyelamatkan
manusia dari ketakutan akan dewa-dewa. Meskipun dia hanya menulis dalam prosa,
ia masih tetap akan dinobatkan sebagai filsuf-penyair.
Omar Khayyam dalam
puisi empat barisnya yang elok mempersembahkan filsafat yang bersih tentang
hidup dan kehidupan. Di halaman berikutnya adalah sebagian dari bentuk yang
sangat baik pada bait-baitnya (stanza) seperti diterjemahkan oleh FitzGerald
yang membuat Omar Khayyam begitu popular. Tetapi filsafatnya dan kesimpulannya
sebagian ganjil. Sebagian agak aneh bagi pikiran kita namun sebagian begitu
cocok dengan angan-angan hati kita.
Dan di dalam
semesta ini, mengapa bukan mengetahui,
Ke mana, seperti
air beriak mengalir;
Lalu muncul angin
jauh berhembus,
Ku tahu tak kan ke
mana, bertiup berhembus
Tidak kah aneh?
Beribu-ribu orang
Sebelum kita masuki
pintu gelap gulita,
Tak seorang kembali
tunjukkan jalan,
Menemukannya kita
pun mesti lalui.
Ah Cinta! Dapatkah
kamu, aku, bertemu takdir
Mendapat ampun atas
sgala rencana-Nya,
Tak kan kita
hancurkan setitik pun-lalu
Kembali ke hati?
Selanjutnya,
Dante, ia seorang penyair-filsuf besar. Dia mengatakan pada kita dalam Lelucon Tuhan (Divine Comedy) dalam berbagai bentuk dan substansi alam semesta,
asal-usul manusia dan nasibnya, asal mula kejahatan dan penawarannya. Dalam
baris yang elok (the Paradiso) kita
membaca hal tersebut dari hati yang terdalam tentang alam semesta seterusnya
mengalir cahaya yang menyilaukan cinta Tuhan di mana maksudnya adalah
penyelematan manusia dari dosa. Goethe juga seorang pemikir dan sekaligus
filsuf. Penyelamatan manusia merupakan tema-temanya. Tetapi hal ini sekarang
datang dari pengalaman bukan dari pengorbanan dan ketataan. Wordsworth
terbebani dengan “bobot yang membosankan dan berat pada semua dunia yang tidak
bisa dipahami” gosong dan gelap, “pembelah jiwa” menenangkan kita dengan
kepercayaan pada Tuhan, kebenaran dan cinta.
Daya
tarik yang mengagumkan pada semua filsuf-penyair ini mengungkap tuntutan abadi
hati manusia atas solusi terhadap teka-teki dunia. Kita merasakan suasana hati
(mood) epos kepahlawanan dan lirih,
romantis dan dramatis karena kita senang akan Sappho, Homeros, Virgil, Horace,
Shakespeare, Shelly, Keats, Byron dan Swinburne. Barangkali kecuali berada di
atas semua bujuk rayu suasana jiwa besar filosofis, kita juga mesti belok
kepada filsuf-penyair demi mendapatkan cahaya dan pelipur lara.
Hal
ini berarti, bahwa dalam menggambarkan kecenderungan filosofis saat ini, kita
berusaha mengingatkan bagaimana agar supaya drama tetap menjadi filosofis.
Dramawan modern bergulat dengan persoalan-persoalan hidup. Ibsen adalah mata
air drama baru ini di mana penyair dan peluskis telah biasa menjadi pemikir dan
guru. Pembebasan dari tradisi yang bertahan dan berkuasa adalah perasaan dan
tema-tema Ibsen. Dia tidak begitu banyak memberikan kenikmatan estetis kepada
pembaca dan penonton tetapi lebih membangkitkan semangat layaknya ditujukan
kepada pemikir dan tukang protes.
Dalam
apa yang dinamakan lakon, penulis mempergunakan sebaik-baiknya (mood) ruh filosofis yang kuat untuk
membangkitkan minat dan selera dalam lakonnya. Akhirnya pada Berdnard Shaw
sikap estetis direduksi sampai pada batas-batas terendahnya dan ada sedikit
yang tertinggal tetapi lebih mirip sebuah nasehat. Minat yang menggila seperti
yang kita baca pada drama Ibsen, Shaw, Galsworhy dan Mazhab Rusia menampakkan
kerinduan para penulis, kita merasakan memiliki susunan keraguan kita dan
memasuki misteri hidup walaupun kita juga ingat bahwa keindahan puisi dan drama
agak pudar ketika beban mereka menjadi terlalu berat dengan muatan pemikiran.
Tetapi kecenderungan filosofis pada puisi ini suatu tanda adanya minat yang
dalam dan kuat dalam filsafat.
Pada
zaman Socrates, kata filsafat pertama-tama muncul dalam penggunaan yang umum.
Melalui Plato dan Aristoteles kata filsafat dianggap lebih bermakna teknis
yaitu mengenai pengetahuan yang nyata atau pengetahuan realitas tertinggi (the ultimate reality) agak mirip dengan
kata dalam bahasa jerman yaitu Wissenschaft
atau kita bisa merujuk pada kata sain ketika kata tersebut digunakan dalam
makna yang lebih luas. Pada zaman Yunani akhir, di antara orang-orang Stoa dan
Epicurean kata filsafat sampai memiliki makna yang lebih sempit. Filsafat
misalnya lebih diartikan sebagai petunjuk hidup (the Guide of life).
Dalam
masa kekacauan politis atau kebingungan religius sebagaimana yang dialami
sebelumnya pada zaman Kristen, manusia memiliki sedikit waktu atau selera untuk
menyertakan dengan sungguh-sungguh spekulasi filsafat tetapi mereka membutuhkan
filsafat sebagai petunjuk hidup dan biasanya mengadopsi beberapa sistem
filosofis yang nampaknya cocok untuk tujuan ini. Memang filsafat menjadi seni
hidup (the art of living). Bagi
mazhab Ston filsafat adalah seni hidup dengan bijaksana. Bagi Epicurean
filsafat merupakan seni hidup kebahagiaan dalam arti kesenangan (happily). Sekarang pun kata filsafat
kita membicarakan sebuah “sikap filosofis” atau ketika mendapatkan apa saja.
Khusunya ketika kita mendapatkan malapetaka, secara “filosofis” kita mesti
tenang, sabar, (calm) atau tabah.
Tetapi dengan begitu saja apakah ada maknanya. Filsafat dalam makna sebenarnya,
sebagai pencarian akan kesatuan dan kebenaran, bagus seandainya bisa membawa
pada kesabaran dan ketabahan.
Untuk mengubah
sebuah ruang dan waktu, mengusahakan penggabungan yang luas akan kebutuhan
fakta-fakta dan untuk membiarkan secara bebas jarak pemikiran seseorang berada
di atas berbagai misteri yang ada adalah dengan kembali kepada usaha
penggabungan orang tadi melalui orang yang berbeda. Hal ini sulit, untuk bisa,
pertama-tama menggambarkan apa yang terjadi. Tetapi kita semua tahu bahwa hal
ini benar-benar telah terjadi. Ada semacam perluasan pada dirinya sendiri yaitu
kekuatan baru untu melihat berbagai hal dan senantiasa berada dalam hubungan
yang lebih luas yakni sebuah ketenangan, kesabaran, ketabahan dan keterbukaan.
Hal ini adalah
apa yang orang temukan dalam semua semangat pemiliki zaman. Orang-orang lebih
merasa nyaman, suka dan gembira dengan perilaku Socrates menghabiskan waktu
berjalan-jalan di sudut-sudut kota Athena. Orang-orang lebih baik menduga bahwa
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat itu ada karena jasa Spinoza menghabiskan
waktu dengan lensa mata tekun dan tajamnya untuk merenungkan alam semesta.
Orang merasakan hal yang sama tentang semua seniman besar seperti Dante,
Leonardo, Goethe, Shakespeare, Beethoven dan brahma. Orang-orang ini bekerja
melebihi kebutuhan untuk makanan dan tempat tinggal. Mereka menghadapi hidup,
mati, keteguhan, cinta, benci, frustasi, kesetiaan…
Itulah kenapa
puisi, drama, sain dan filsafat berlangsung terus dalam segala zaman. Pada
mereka (para filsuf, penyair, agamawan dan ilmuwan) manusia membangun secara
esensial lebih demi kepentingan kemanusiaannya. Pada mereka kepentingan muncul
dari semata-mata makhluk hewani, seperti Aristoteles mengungkapkan” Tidak benar
menuruti nasehat orang yang mengatakan bahwa bagi umat manusia berpikir tentang
manusia sebaiknya tidak terlalu tinggi atau berpikir tentang makhluk hidup dan
kehidupan terlalu jauh untuk kematian.
Bagi manusia
selama masih berada dalam penguasaannya, akan selalu mencari keabadian dan
melakukan semua itu demi kekuatannya untuk hidup dan dalam hubungannya dengan
bagian tertinggi dari hakekat manusia”.
Sumber
: Buku Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar