Jumat, 18 Juli 2014

Filsafat I Pandangan Dunia I Mencari kesatuan I Kebijakasanaan I Metafisika I Puisi dan Filsafat



Pandangan Dunia

Filsafat juga bisa didefinisikan sebagai usaha dengan menggunakan metode ilmiah untuk memahami dunia di mana kita hidup.

Usaha ini dimaksudkan untuk memahami dunia dengan cara menggabungkan hasil ilmu pengetahuan khusus ke dalam semacam suatu pandangan dunia yang konsisten. Hal ini selalu menjadi tujuan filsafat sejak Thales (filsuf Yunani pertama) sampai dengan zaman sekarang. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud oleh kita dengan dunia? Di antara pemikir Yunani ada mengatakan bahwa dunia adalah cosmos (teratur) atau kita mengatakan universe (alam semesta) berikut dengan luas, durasi (ruang dan waktu), pencipta (Tuhan), jiwa dan nasibnya. Demi mencapai tujuan ini, Democritus, Plato, Aristoteles, Saint Agustinus, Bruno, Descartes, Spinoza, Kant, Hegel, Herbert Spencer dan filsuf besar lainnya bekerja dan persoalan dunia yang luas sekali ini masih mengalami kita dan ini semua harus dipelajari.

Pada zaman sekarang, makna astronomis “dunia” ini tak sebanyak dalam pemikiran kita. Dengan sikap individualistis modern kita, suasana romantis dan humanistis kita lebih kembali kepada minat yang paling dekat dan “dunia” bermakna sebagai sesuatu yang lain bagi kita. Dengan iklim utara kita, kehidupan “rumahan” kita, kota besar kita, populasi penduduk yang menyesakkan kita dan kehidupan sosial kita, sebenarnya dunia tempat di mana kita hidup di dalamnya bukan semata-mata dunia astronomis. Dunia dalam arti yang kita maksudkan adalah lebih merupakan dunia sosial, politis, kesusastraan, moral, dan dunia religius.

Orang-orang Yunani Kuno banyak dimasalahkan dengan persoalan prinsip ketetapan (permanence) dan prinsip perubahan (change). Dengan prinsip perubahan mereka memaknai perubahan fisik, gagasan tentang atom material, partikel dan memahami fenomena tumbuh dan berkembang serta rusak. Persoalan-persoalan seperti ini masih tidak terjawab tetapi minat kita sekarang berhubungan dengan semacam dunia perubahan yang lain yaitu perubahan sosial-budaya, perubahan hubungan politis, perubahan moral, perubahan agama, dan perubahan standar kesusatraan. “Dunia” semacam ini sesungguhnya membutuhkan penafsiran lain dan filsafat menyisakannya bagi kita.

Sekarang persoalan tersebut di atas menjadi semacam upaya penafsiran tentang kehidupan, nilai dan maknanya, sumber-sumbernya dan nasib-nasibnya. Oleh karena itu evolusi, kemajuan, pengetahuan, pola pikir, persoalan-persoalan tuntunan dan persoalan masyarakat telah berada di bagian terdepan. Hal ini sama benar dengan yang pernah filsafat kerjakan yaitu sebagai usaha untuk memahami dunia tempat di mana kita hidup.

Kehidupan yang kita pimpin sekarang ini lebih sibuk. Kesibukan kita itu lebih banyak ditunjukkan dengan aktifitas olah raga, sosial, buku, majalah, rutinitas kampus, rekreasi dan hiburan. Saya percaya bahwa kita berpikir dan “membatin” lebih serius dibanding dengan zaman sebelumnya dan bahwa dorongan filosofis akan menyingsing pertama-tama dalam kehidupan kita. Tradisi tidak bisa dipungkiri dan filsafat lama diterima begitu saja tanpa pertanyaan. Semangat baru penyelidikan muncul di mana-mana tetapi masalah dari semua itu muncul dengan kuat dalam kehidupan sosial kita sementara, waktu bagi studi yang tekun dan hati-hati atas berbagai persoalan hidup begitu kurangnya. Dalam studi filsafat kita mestinya dengan mudah bisa meluangkan dan menghabiskan waktu untuk berpikir terus-menerus tentang berbagai persoalan kita.

Mungkin sangat sedikit dari kita yang tidak serius bertanya sebagaimana pertanyaan ini. Apakah alam semesta merupakan suatu semesta pikiran, atau hanya materi yang mati? Adakah aturan di balik hukum-hukum mekanis? Apakah aturan tersebut mencakup semua rencana, maksud dan tujuan? Dapatkah kita mempertahankan lebih lama lagi pandangan religius kita tentang dunia? Apakah di balik semua itu karena ada Tuhan atau tidak ada apa pun kecuali energi dan materi? Dibuat dari apa materi? Apakah pikiran saya yang sekarang sedang berpikir dan mengagumi merupakan sesuatu yang berbeda dari materi atau apakah ini hanya sekedar sekumpulan atom atau sebuah fungsi dari tubuh saya? Saya hidup. Apa itu hidup? Suatu saat saya akan mati. Apa itu kematian dan kemana saya harus pergi dari sini? Besok saya akan melakukan banyak hal. Dari semua hal itu ada yang benar dan ada yang salah. Apa yang dimaksud dengan benar dan salah? Semuanya mengenai saya. Saya melihat manusia bekerja keras demi uang, popularitas dan kesenangan. Apakah ini benar-benar merupakan nilai paling tinggi atau adakah nilai lain yang lebih tinggi dan lebih baik, seperti perdamaian, kesederhanaan, keyakinan, cinta, kerja, kenikmatan seni, penyelidikan ilmiah? Dari semua itu apa yang paling bernilai? Saya dapat menanyakan semua ini. Apakah mungkin menemukan jawaban bagi semua pertanyaan itu? Apa batas-batas pengetahuan?

Objek kita selanjutnya adalah keindahan yang mengelilingi kita di alam raya dan di dalam berbagai kesenian. Beberapa bangunan di kota kita atau di dalam kampus universitas kita begitu indah dan beberapa bangunan juga jelek. Selanjutnya apa itu indah? Apakah ketika kita sedang menikmati musik klasik dan apakah ketika kita sedang mengagumi bangunan-bangunan tua, di Katedral Gothic, atau di puing-puing kerajaan Yunani? Saya mengagumi matahari terbenam, bulan nampak melewati awan, bunga-bunga liar, daun-daun di musim gugur dsb. Akankah alam menjadi indah jika tidak ada mata untuk melihatnya atau tidak ada pikiran untuk mengapresiasinya?

Saya berjalan melewati semrawutnya kota dan melihat manusia bekerja keras dan bersusah payah mencari kekayaan, posisi, jabatan dan kekuasaan. Beberapa di antara mereka turun ke jalan dan dengan keras-keras mengecam ketidakadilan. Saya juga telah lama ingin mengetahui apa keadilan itu dan mengapa manusia mempertahankan serta memperjuangkannya. Semua ini adalah persoalan-persoalan filsafat. Menanyakan pertanyaan besar ini, merefleksikan dalam semua itu, mempelajari mereka dalam jalan ilmiah dan mencoba menjawab semuanya, itulah filsafat.

Mencari kesatuan      

Herbert Spencer mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang menyatukan secara lengkap (completely unified knowledge), bertolak belakang dengannya adalah sain yaitu pengetahuan yang menyatukan tetapi tidak lengkap (partially unified knowledge). Gagasan Spencer tentang filsafat adalah bahwa filsafat mencoba menyatukan beberapa sain ke dalam suatu sistem yang tersatukan sebagaimana masing-masing sain khusus mencoba menyatukan fakta-fakta khusus dalam bidangnya sendiri ke dalam satu sistem yang tersatukan juga. Konsep filsafat dari Spencer adalah konsep filsafat yang paling ambisius. Kita tidak berharap pelaksanaannya terjadi sekarang-sekarang ini. Usaha ini berada dalam cara dan jalan yang kurang sempurna. Usaha ini tersusun pada akhir abad 20 ketika kita berharap bahwa dalam terang ilmu-ilmu alam, fisika, biologi, psikologi, sosiologi, akan memecahkan teka-teki dunia. Harapan ini sedikit tidak memuaskan. Ada sisa (residu) yang tidak dapat dijelaskan, misalnya unsur-unsur romantis dalam hidup termasuk juga unsur tragedi yang pasti banyak diperoleh dalam jalan kebenaran filsafat. Disamping itu filsafat juga merupakan sesuatu yang lebih jauh daripada penyatuan sain-sain khusus sebab filsafat tidak hanya harus meyakinkan minat ilmiah tetapi juga memenuhi kebutuhan religius dan moral kita, aspirasi dan kerinduan kita. Filsafat juga merupakan fakta di mana banyak sistem pemikiran harus sama-sama memikirkan. Jika kita bisa mengambil “semua” fakta-fakta ini dan “memikirkan mereka secara bersama-sama” hal tersebut akan menjadi filsafat.

Kebijakasanaan 

Akhirnya, filsafat didefinisikan sebagai “kebijaksanaan”. Kata filsafat atau philosophy, berasal dari bahasa Yunani dan terdiri atas kata benda, Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom) dan kata kerja, philein yaitu mencintai. Jadi filsafat adalah semata-mata mencintai kebijaksanaan. Socrates tidak mengatakan memiliki kebijaksanaan tetapi dia mengatakan mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu memang persisnya adalah seperti apa yang Socrates milik pada zamannya. Socrates tipikal manusia bijaksana dan seorang filsuf dunia. Namun kebijaksanaan dalam arti ini ternyata mengalami kesulitan ketika mencoba menjelaskan secara tepat bagaimana kebijaksanaan dapat dibedakan dari pengetahuan. Kita dapat merasakan perbedaannya tetapi kita tidak dapat mengungkapkannya. Barangkali meliputi apresiasi dan citarasa. Apakah filsafat sesuatu yang mirip dengan citarasa intelektual yang baik? Apakah citarasa intelektual yang baik adalah sesuatu yang memungkinkan kita menilai dengan benar berbagai nilai yang ditawarkan kepada kita dengan sangat bebas dalam dunia modern kita yang menakjubkan dan kaya ini?

Kita menjadi meyakini dengan cukup baik bahwa bukan kekayaan dan kesenanganlah nilai yang paling tinggi. Kita lalu mencoba menemukan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai tertinggi itu? Kita nampaknya membutuhkan sebuah kunci untuk memcah teka-teki nilai pada hal-hal yang relatif seperti kerja, bermain, sandiwara, hiburan, belajar, makan, minum, bercinta, sain, lukisan, musik, puisi, pelayanan sosial, politik, bisnis dan semua aktifitas lain yang kita jalani. 

Metafisika 

Pada tahun-tahun sekarang, filsafat lebih banyak menekankan pembahasannya kepada aspek humanistik, usaha menafsirkan hidup, melihat berbagai hal dalam arti yang lebih luas dan menambah perspektif kebenaran, daripada terhadap persoalan-persoalan metafisika lama seperti hakekat realitas, Tuhan, dunia, dan tujuan, sebab-sebab serta fikirannya. Istilah filsafat lebih luas daripada metafisika termasuk semua persoalan-persoalan di atas. Epistemologi atau teori pengetahuan juga sama baiknya dengan persoalan-persoalan seperti logika, etika, dan estetika.

Puisi dan Filsafat

Dalam rangka membahas hubungan antara persoalan puisi dengan filsafat, pembedaan Ralp Barton Perry antara filsuf-penyair dengan penyair yang bukan filsuf cukup jelas. Hal ini akan membantu kita lebih lanjut dalam memahami apa itu filsafat khususnya dalam aspek-aspek terbarunya. Beberapa penyair besar semata-mata mencoba menggambarkan hidup dan yang lain mencoba menafsirkannya, yang terakhir adalah penyair-filsuf.

Penyair-filsuf adalah seseorang yang berpikir tentang Lucretius, Omar Khayyam, Dante, Goethe, Wordsworth, Browning dan beberapa dramawan Yunani. Orang-orang yang menganggap Aeschylus, Sophocles, Euripides atau pun Aristophanes sebagai para penyair yang lucu (comic poet) sebenarnya orang-orang ini juga sangat tekun. Mereka moralis, pemikir, penyair, nabi yang merefleksikan kesadaran nasional rakyat mereka. Nabi adalah manusia yang membawa pesan dan jika nabi itu adalah seorang penyair maka dia seorang penyair filsuf. Aeschylus misalnya, menggambarkan dalam bahasa yang penuh dengan keagungan dan kekuatan dahsyat dalam melawan takdir yang tidak memperdulikan hukum agama dan moral kuno. Hukum moral yang kebal dan penderitaan pada orang-orang yang beriman merupakan persoalan inti pada drama-drama elok Sophocles. Sementara Aristhopanes dalam nada yang lucu menjunjung tinggi tradisi lama Yunani. Lucretius dari Roma menulis puisi panjang dalam syair heksameter atau daktilus (puisi enam baris) tampil menyusun teori materialistik dunia dan menyelamatkan manusia dari ketakutan akan dewa-dewa. Meskipun dia hanya menulis dalam prosa, ia masih tetap akan dinobatkan sebagai filsuf-penyair.

Omar Khayyam dalam puisi empat barisnya yang elok mempersembahkan filsafat yang bersih tentang hidup dan kehidupan. Di halaman berikutnya adalah sebagian dari bentuk yang sangat baik pada bait-baitnya (stanza) seperti diterjemahkan oleh FitzGerald yang membuat Omar Khayyam begitu popular. Tetapi filsafatnya dan kesimpulannya sebagian ganjil. Sebagian agak aneh bagi pikiran kita namun sebagian begitu cocok dengan angan-angan hati kita.

Dan di dalam semesta ini, mengapa bukan mengetahui,
Ke mana, seperti air beriak mengalir;
Lalu muncul angin jauh berhembus,
Ku tahu tak kan ke mana, bertiup berhembus
Tidak kah aneh? Beribu-ribu orang
Sebelum kita masuki pintu gelap gulita,
Tak seorang kembali tunjukkan jalan,
Menemukannya kita pun mesti lalui.
Ah Cinta! Dapatkah kamu, aku, bertemu takdir
Mendapat ampun atas sgala rencana-Nya,
Tak kan kita hancurkan setitik pun-lalu
Kembali ke hati?
Selanjutnya, Dante, ia seorang penyair-filsuf besar. Dia mengatakan pada kita dalam Lelucon Tuhan (Divine Comedy) dalam berbagai bentuk dan substansi alam semesta, asal-usul manusia dan nasibnya, asal mula kejahatan dan penawarannya. Dalam baris yang elok (the Paradiso) kita membaca hal tersebut dari hati yang terdalam tentang alam semesta seterusnya mengalir cahaya yang menyilaukan cinta Tuhan di mana maksudnya adalah penyelematan manusia dari dosa. Goethe juga seorang pemikir dan sekaligus filsuf. Penyelamatan manusia merupakan tema-temanya. Tetapi hal ini sekarang datang dari pengalaman bukan dari pengorbanan dan ketataan. Wordsworth terbebani dengan “bobot yang membosankan dan berat pada semua dunia yang tidak bisa dipahami” gosong dan gelap, “pembelah jiwa” menenangkan kita dengan kepercayaan pada Tuhan, kebenaran dan cinta.
Daya tarik yang mengagumkan pada semua filsuf-penyair ini mengungkap tuntutan abadi hati manusia atas solusi terhadap teka-teki dunia. Kita merasakan suasana hati (mood) epos kepahlawanan dan lirih, romantis dan dramatis karena kita senang akan Sappho, Homeros, Virgil, Horace, Shakespeare, Shelly, Keats, Byron dan Swinburne. Barangkali kecuali berada di atas semua bujuk rayu suasana jiwa besar filosofis, kita juga mesti belok kepada filsuf-penyair demi mendapatkan cahaya dan pelipur lara.
Hal ini berarti, bahwa dalam menggambarkan kecenderungan filosofis saat ini, kita berusaha mengingatkan bagaimana agar supaya drama tetap menjadi filosofis. Dramawan modern bergulat dengan persoalan-persoalan hidup. Ibsen adalah mata air drama baru ini di mana penyair dan peluskis telah biasa menjadi pemikir dan guru. Pembebasan dari tradisi yang bertahan dan berkuasa adalah perasaan dan tema-tema Ibsen. Dia tidak begitu banyak memberikan kenikmatan estetis kepada pembaca dan penonton tetapi lebih membangkitkan semangat layaknya ditujukan kepada pemikir dan tukang protes.
Dalam apa yang dinamakan lakon, penulis mempergunakan sebaik-baiknya (mood) ruh filosofis yang kuat untuk membangkitkan minat dan selera dalam lakonnya. Akhirnya pada Berdnard Shaw sikap estetis direduksi sampai pada batas-batas terendahnya dan ada sedikit yang tertinggal tetapi lebih mirip sebuah nasehat. Minat yang menggila seperti yang kita baca pada drama Ibsen, Shaw, Galsworhy dan Mazhab Rusia menampakkan kerinduan para penulis, kita merasakan memiliki susunan keraguan kita dan memasuki misteri hidup walaupun kita juga ingat bahwa keindahan puisi dan drama agak pudar ketika beban mereka menjadi terlalu berat dengan muatan pemikiran. Tetapi kecenderungan filosofis pada puisi ini suatu tanda adanya minat yang dalam dan kuat dalam filsafat.
Pada zaman Socrates, kata filsafat pertama-tama muncul dalam penggunaan yang umum. Melalui Plato dan Aristoteles kata filsafat dianggap lebih bermakna teknis yaitu mengenai pengetahuan yang nyata atau pengetahuan realitas tertinggi (the ultimate reality) agak mirip dengan kata dalam bahasa jerman yaitu Wissenschaft atau kita bisa merujuk pada kata sain ketika kata tersebut digunakan dalam makna yang lebih luas. Pada zaman Yunani akhir, di antara orang-orang Stoa dan Epicurean kata filsafat sampai memiliki makna yang lebih sempit. Filsafat misalnya lebih diartikan sebagai petunjuk hidup (the Guide of life).
Dalam masa kekacauan politis atau kebingungan religius sebagaimana yang dialami sebelumnya pada zaman Kristen, manusia memiliki sedikit waktu atau selera untuk menyertakan dengan sungguh-sungguh spekulasi filsafat tetapi mereka membutuhkan filsafat sebagai petunjuk hidup dan biasanya mengadopsi beberapa sistem filosofis yang nampaknya cocok untuk tujuan ini. Memang filsafat menjadi seni hidup (the art of living). Bagi mazhab Ston filsafat adalah seni hidup dengan bijaksana. Bagi Epicurean filsafat merupakan seni hidup kebahagiaan dalam arti kesenangan (happily). Sekarang pun kata filsafat kita membicarakan sebuah “sikap filosofis” atau ketika mendapatkan apa saja. Khusunya ketika kita mendapatkan malapetaka, secara “filosofis” kita mesti tenang, sabar, (calm) atau tabah. Tetapi dengan begitu saja apakah ada maknanya. Filsafat dalam makna sebenarnya, sebagai pencarian akan kesatuan dan kebenaran, bagus seandainya bisa membawa pada kesabaran dan ketabahan.
Untuk mengubah sebuah ruang dan waktu, mengusahakan penggabungan yang luas akan kebutuhan fakta-fakta dan untuk membiarkan secara bebas jarak pemikiran seseorang berada di atas berbagai misteri yang ada adalah dengan kembali kepada usaha penggabungan orang tadi melalui orang yang berbeda. Hal ini sulit, untuk bisa, pertama-tama menggambarkan apa yang terjadi. Tetapi kita semua tahu bahwa hal ini benar-benar telah terjadi. Ada semacam perluasan pada dirinya sendiri yaitu kekuatan baru untu melihat berbagai hal dan senantiasa berada dalam hubungan yang lebih luas yakni sebuah ketenangan, kesabaran, ketabahan dan keterbukaan.
Hal ini adalah apa yang orang temukan dalam semua semangat pemiliki zaman. Orang-orang lebih merasa nyaman, suka dan gembira dengan perilaku Socrates menghabiskan waktu berjalan-jalan di sudut-sudut kota Athena. Orang-orang lebih baik menduga bahwa sesuatu yang bernilai dan bermanfaat itu ada karena jasa Spinoza menghabiskan waktu dengan lensa mata tekun dan tajamnya untuk merenungkan alam semesta. Orang merasakan hal yang sama tentang semua seniman besar seperti Dante, Leonardo, Goethe, Shakespeare, Beethoven dan brahma. Orang-orang ini bekerja melebihi kebutuhan untuk makanan dan tempat tinggal. Mereka menghadapi hidup, mati, keteguhan, cinta, benci, frustasi, kesetiaan…
Itulah kenapa puisi, drama, sain dan filsafat berlangsung terus dalam segala zaman. Pada mereka (para filsuf, penyair, agamawan dan ilmuwan) manusia membangun secara esensial lebih demi kepentingan kemanusiaannya. Pada mereka kepentingan muncul dari semata-mata makhluk hewani, seperti Aristoteles mengungkapkan” Tidak benar menuruti nasehat orang yang mengatakan bahwa bagi umat manusia berpikir tentang manusia sebaiknya tidak terlalu tinggi atau berpikir tentang makhluk hidup dan kehidupan terlalu jauh untuk kematian.
Bagi manusia selama masih berada dalam penguasaannya, akan selalu mencari keabadian dan melakukan semua itu demi kekuatannya untuk hidup dan dalam hubungannya dengan bagian tertinggi dari hakekat manusia”.    

Sumber : Buku Filsafat

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...