Senin, 10 November 2014

Lupa Dan Kejenuhan Belajar


 

Pada bagian ini akan dibahas hal-hal pokok mengenai lupa dalam belajar yang meliputi: 1) faktor-faktor penyebab lupa; 2) kiat mengurangi lupa. Gejala negatif yang juga akan dibahas pada bagian ini, secara singkat, adalah masalah kejenuhan belajar.

1.      LUPA DALAM BELAJAR

Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita.

Akan tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman dan pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.

Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.

Dapatkah lupa dalam belajar siswa diukur secara langsung? Wittig (1981) menyimpulkan berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang dialami seseorang tak mungkin dapat diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah terlupakan oleh seorang siswa justru ia katakana. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut.

Jika Anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Ali misalnya, mengenai materi pelajaran tertentu dengan perintah: “Ali, katakana semua yang telah kau lupakan mengenai pelajaran itu!” Kemudian Ali menyebutkan hampir seluruh bagian pelajaran tersebut. Lupakah Ali akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, perintah Anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia ingat. Hal lain yang tak dapat ia katakan (yang sedikit itu), itulah yang mungkin terlupakan olehnya.

Apakah sesungguhnya yang menyebabkan siswa Anda lupa akan sebagian materi yang telah Anda ajarkan? Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tak terbukti.

A.    Faktor-faktor Penyebab Lupa

Pertama, lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive interference; 2) retroactive interference (Reber 1988; Best, 1989; Anderson, 1990).

Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.

Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan.

a.       Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.

b.      Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.

c.       Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.

Itulah pendapat yang didasarkan pada repression theory yakni teori represi/penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud (baca: Sigmen Froid), bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantangan, baik dari lawan maupun kawannya itu.

Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.

Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang telah mengikuti proses mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.

Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.

Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan atas item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.

Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.

Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tenggang waktu (decay) antara saat diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).

Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja akademik yang lebih memuaskan daripada kinerja akademik sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa relearning dan remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.        

B.     Kiat Mengurangi Lupa dalam Belajar

Sebagai seorang calon guru atau guru profesional dapatkah Anda mencegah peristiwa lupa yang sering dialami para siswa itu? Lupa itu manusiawi dan mungkin Anda tak akan mampu mencegahnya. Namun, sekadar berusaha mengurangi proses terjadinya lupa yang sering dialami para siswa dapat Anda lakukan dengan berbagai kiat.

Pada prinsipnya, apabila materi pelajaran yang Anda sajikan kepada siswa-siswa dapat diserap, diproses, dan disimpan dengan baik oleh sistem memori mereka, peristiwa lupa yang menjengkelkan semua pihak itu mungkin tidak terjadi, atau terjadi namun tidak totoal. Masalah Anda sekarang ialah bagaimana kiat membuat sistem memori/akal siswa agar berfungsi optimal dalam memproses materi pelajaran yang Anda sajikan pada mereka.

Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), adalah sebagai berikut.

1.      Overlearning

Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melibihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respons tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) lebih kuat.

2.      Extra study time

Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.

3.      Mnemonic device

Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mne-monic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, tetapi yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini.

Rima (Rhyme), yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang berisi pesan-pesan moral dapat diambil sebagai contoh penyusunan rima mnemonic.

Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Contoh: jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nama Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa, dapat menyingkatnya dengan ANIM. Pembuatan singkatan-singkatan seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.

Sistem kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api. Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang sama seperti: darah, lipstick; pasangan langit dan bumi; neraka, dan kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya).

Metode Losai (Method of Loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat siswa. Kata “loci” sendiri adalah jamak dari kata “locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah yang kurang lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh: nama ibu kota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama negara itu (George Washington); dan gedung bundar untuk mengingat nama jaksa agung. Apabila guru memerlukan siswa menyebut nama-nama tadi, ia dapat menyuruh siswa tersebut “bepergian” ke tempat-tempat tersebut.

Sistem kata kunci (key word system). Kiat mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru disbanding dengan kiat-kiat mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua orang pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya. Sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1) kata-kata asing; 2) kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa local yang paling kurang suku pertamanya memiliki suaru/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3) arti-arti kata asing tersebut. Yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3) arti-arti kata asing tersebut.

4.      Pengelompokan

Maksud kiat pengelompokan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan/pengelompokkan ini direkayasa sedemikian rupa dalam bentuk daftar-daftar item materi seperti:

a)      daftar I terdiri atas nama-nama negara serumpun: Indonesia, Malaysia, Brunei, dan seterusnya;

b)      daftar II terdiri atas singkatan-singkatan lembaga-lembaga negara: MPR, DPR, dan seterusnya;

c)      daftar III terdiri atas singkatan-singkatan nama-nama badan internasional: WHO, ILO, dan sebagainya.

5.      Latihan terbagi

Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah latihan terkumpul (massed practice) yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming. Dalam latihan terbagi siswa melakukan latihan-latihan dengan alokasi waktu yang pendek dan dipisah-pisahkan di antara waktu-waktu istirahat. Upaya demikian dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat. Dalam melaksanakan distributed practice, siswa dapat menggunakan berbagai metode dan strategi belajar yang efisien; misalnya hukum Jost sebagaimana yang telah penyusun singgung sebelum ini.

6.      Pengaruh letak bersambung

Untuk memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect), siswa dianjurkan menyusun daftar kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan di akhiri dengan kata-kata yang harus diingat. Kata-kata yang harus diingat siswa tersebut sebaiknya ditulis dengan menggunakan huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat. Dengan demikian, kata yang ditulis pada awal dan akhir daftar tersebut memberi kesan tersendiri dan diharapkan melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa.

Selanjutnya, apa yang dapat Anda lakukan (sebagai guru dan calon guru) dalam mengurangi kelupaan siswa? Ada beberapa cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi kemungkinan terlupakannya materi pelajaran yang disajikan kepada mereka.

Pertama, cobalah timbulkan atau tingkatkan motivasi belajar para siswa dengan menyadarkan mereka akan tujuan instruksional yang harus mereka capai. Hal ini dapat Anda lakukan, misalnya dengan menjelaskan manfaat materi pelajaran bagi kehidupan masa depan mereka seraya memberi contoh konkret orang-orang yang tidak beruntung lantaran tidak memiliki pengetahuan yang Anda ajarkan itu.

Kedua, cobalah selalu menunjukkan unsur-unsur pokok sebelum menunjukkan unsur-unsur penunjang yang relevan dalam materi pelajaran yang Anda sajikan. Dalam hal ini Anda dianjurkan untuk mendemonstrasikan dengan alat-alat peraga yang tersedia atau memberi tanda khusus pada kata atau istilah pokok yang tertulis pada papan tulis dengan kapur warna merah, hijau, atau warna lainnya yang kontras.

Ketiga, coblah Anda selalu menyajikan pokok bahasan materi yang berkaitan dengan pokok bahasan pada sesi sebelumnya dan relevan dengan pokok bahasan materi yang akan disajikan pada sesi berikutnya. Langkah ini penting Anda tempuh, sebab kesinambungan antara pokok bahasan yang satu dengan lainnya itu dapat mempermudah proses pengolahan materi bahasan tersebut dalam sistem akal para siswa.

Keempat, jika Anda menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi yang telah Anda sajikan kepada orang siswa, sebaiknya Anda memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a.       Pertanyaan seyogianya disampaikan dengan cara akrab dan tidak menegangkan, tetapi wibawa Anda perlu tetap terjaga.

b.      Pertanyaan seyogianya jelas, singkat, dan tidak mengandung bermacam-macam tafsiran.

c.       Pertanyaan hendaknya hanya mengandung satu masalah agar siswa dapat memusatkan proses sistem akalnya dalam mencari respons.

d.      Pertanyaan hendaknya tidak hanya mendorong siswa untuk menjawab “ya” atau “tidak” sebab dapat menghambat kreativitas akalnya.

e.       Jika seorang siswa tidak mampu menjawab, Anda tidak perlu mendesaknya, sebab ia akan kehilangan muka dan ingatannya menjadi kacau.

f.       Segeralah Anda tawarkan pertanyaan yang tak terjawab itu kepada siswa-siswa lainnya agar siswa yang tak mampu menjawab tadi dapat mengambil pelajaran dari kawannya sendiri.

g.      Jika seorang siswa berhasil menjawab pertanyaan, berilah pujian dan senyuman seperlunya tanpa harus bersikap melecehkan siswa yang gagal menjawab pertanyaan Anda.

2.      KEJENUH BELAJAR

Secara harfiah, arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Selain itu, jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan.

Dalam belajar, di samping siswa sering mengalami kelupaan, ia juga terkadang mengalami peristiwa negatif lainnya yang disebut jenuh belajar yang dalam bahasa psikologi lazim disebut learning plateu atau plateu (baca: pletou) saja. Peristiwa jenuh ini kalau dialami seorang siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa tersebut merasa telah memubazirkan usahanya.

Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber, 1988). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja, misalnya seminggu. Namun tidak sedikit siswa yang mengalami rentang waktu yang membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu periode belajar tertentu.

Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Bila kemajuan belajar yang jalan di tempat ini kita gambarkan dalam bentuk kurva, yang akan tampak adalah garis mendatar yang lazim disebut plateau.

Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat keterampilan berikutnya.  

Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar

Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.

Menurut Cross (1974) dalam bukunya The Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: 1) keletihan indera siswa; 2) keletihan fisik siswa; 3) keletihan mental siswa. Keletihan fisik dan keletihan indera-dalam hal ini mata dan telinga-pada umumnya dapat dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup-terutama tidur nyenyak-dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup bergizi. Sebaliknya, keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sesederhana cara mengatasi keletihan-keletihan lainnya. Itulah sebabnya, keletihan mental dipandang sebagai faktor utama penyebab munculnya kejenuhan belajar.

Apakah yang menyebabkan siswa mengalami keletihan mental (mental fatigue)? Sedikitnya ada empa faktor penyebab keletihan mental siswa.

1.      Karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri.

2.      Karena kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.

3.      Karena siswa berada di tengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih banyak kerja intelek yang berat.

4.      Karena siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed).

Selanjutnya, kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan belajar itu, antara lain sebagai berikut.

1.      Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang cukup banyak.

2.      Pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat.

3.      Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih menyenangkan untuk belajar.

4.      Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya.

5.      Siswa harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi.

Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...