Pada
bagian ini akan diuraikan beberapa hal pokok yang berhubungan dengan prestasi
atau kinerja akademik (academic
performance) dan penetapan batas minimal prestasi belajar siswa.
1.
DEFINISI
EVALUASI
Evaluasi
artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardif (1989)
berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang
siswa dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan
assessment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam dunia
pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.
Ulangan
dan Ulangan Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) itu dan TPB (Tes
Prestasi Belajar) adalah alat-alat ukur yang banyak digunakan untuk menemukan
taraf keberhasilan sebuah proses mengajar-belajar atau untuk menentukan taraf
keberhasilan sebuah program pengajaran. Sementara itu, istilah evaluasi
biasanya dipandang sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para siswa
pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kini disebut UN.
2.
TUJUAN
DAN FUNGSI EVALUASI
Assessment
menurut Petty (2004), mengukur keluasan dan kedalaman belajar, sedangkan
evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar yang pada
dasarnya merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Namun, kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung bersifat
kuantitatif, lantara penggunaan simbol angka untuk menentukan kualitas
keseluruhan kinerja akademik siswa dianggap nisbi. Walupun begitu, guru yang
piawai dan professional akan berusaha mencari kiat evaluasi yang lugas, tuntas,
dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.
A.
Tujuan
Evaluasi
Pertama,
untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu
kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat
mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar
dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan
belajar siswanya itu.
Kedua,
untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya.
Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai alat penetap
apakah siswa tersebut termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti
mutu kemampuan belajarnya.
Ketiga,
untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti
dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil
yang baik pada umumnya menunjukkan tingkat usaha yang efisisen, sedangkan hasil
yang buruk adalah cermin usaha yang tidak efisien.
Keempat,
untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya
(kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, hasil
evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan
kecerdasan siswa.
Kelima,
untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah
digunakan guru dalam proses mengajar-belajar (PMB). Dengan demikian, apabila
sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar
siswa yang memuaskan, guru amat dianjurkan mengganti metode tersebut atau
mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi.
Selain
itu, berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Oleh karena itu, maka
evaluasi belajar seyogianya dilakukan guru secara terus-menerus dengan pelbagai
cara, bukan hanya pada saat-saat ulangan terjadwal atau saat ujian belaka.
B.
Fungsi
Evaluasi
Di
samping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai
berikut:
a. fungsi
administrative untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor;
b. fungsi
promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan;
c. fungsi
diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan
program remedial teaching (pengajaran perbaikan);
d. sumber
data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan
konseling (BK);
e. bahan
pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan
kurikulum, metode dan alat-alat PMB.
Selanjutnya,
selain memiliki fungsi-fungsi seperti di atas, evaluasi juga mengandung fungsi
psikologis yang cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru dan orangtuanya.
Bagi siswa, penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan
atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri.
Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-connsciousness, kesadarannya yang
lugas mengenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive,
pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akalnya sendiri (Mulcahy et al,
1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan posisi dan statusnya
secara tepat di antara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.
Bagi
orangtua atau wali siswa, dengan evaluasi itu kebutuhan akan pengetahuan
mengenai hasil usaha dan tanggung jawabnya mengembangkan potensi anak akan
terpenuhi. Pengetahuan seperti ini dapat mendatangkan rasi pasti kepada
orangtua dan wali siswa dalam menentukan langkah-langkah pendidikan lanjutan
bagi anaknya. Sedangkan bagi para guru sendiri (sebagai evaluator), hasil
evaluasi prestasi tersebut dapat membantu mereka dalam menentukan warna sikap
“efikasi-diri” dan “efikasi-kontekstual”.
Di
samping itu, evaluasi prestasi belajar sudah tentu juga berfungsi melaksanakan
ketentuan konstitusional sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003
Bab XVI Pasal 57 (1) yang berbunyi: “Evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka
pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
3.
RAGAM
EVALUASI
Pada
prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks.
A.
Pre-test
dan Post-test
Kegiatan
pretest dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi
baru. Tujuannya ialah untu mengidentifikasi saraf pengetahuan siswa mengenai
bahan yang akan disajikan. Evaluasi seperti ini berlangsung sinkat dan sering
tidak memerluakan instrumen tertulis.
Post
test adalah kebalikan dari pretes, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru
pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf
penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan. Evaluasi ini juga
berlangsung singkat dan cukup dengan menggunakan instrument sederhana yang
berisis item-item yang jumlahnya sangat terbatas.
B.
Evaluasi
Prasyarat
Evaluasi
jenis ini sangat mirip dengan pretest. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan
diajarkan. Contoh: evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai
pelajaran perkalian bilangan, karena penjumlahan merupakan prasyarat atau dasar
perkalian.
C.
Evaluasi
Diagnostik
Evaluasi
ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan
mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen
evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah
membuat siswa mendapatkan kesulitan.
D.
Evaluasi
Formatif
Evaluasi
jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir
penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya ialah untuk memperoleh umpan
balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis
(mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis
kesulitan belajar tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa
pengajaran remedial (perbaikan).
E.
Evaluasi
Sumatif
Ragam
penilaian sumatif kurang lebih sama dengan ulangan umum yang dilakukan untuk
mengukur kinerja akademik atau presasi belajar siswa pada akhir periode
pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir
semester atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi
mengenai kinerja akademik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke
kelas yang lebih tinggi.
F.
UAN/UN
Ujian
Akhir Nasional atau Ujian Nasional (UN) pada prinsipnya sama dengan evaluasi
sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun, UAN yang
dimulai diberlakukan pada tahun 2002 itu dirancang untuk siswa yang telah
menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu yakni jenjang
SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah), dan seterusnya.
4.
SYARAT
DAN RAGAM ALAT EVALUASI
A.
Syarat
Alat Evaluasi
Langkah
pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi belajar siswa adalah
menyusun alat evaluasi (test instrument) yang sesuai dengan kebutuhan, dalam
arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan.
Persyaratan
pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam perspekif psikologi belajar (The psychology of learning) meliputi dua
macam, yakni: 1) reliabilitas; 2) validitas, (Cross, 1974; Barlow, 1985;
Butler, 1990). Persyaratan lain seperti objektif, diskriminatif, dan sebagainya
yang dikemukakan oleh kebanyakan penyusun buku psikologi pendidikan tidak
dibahas dalam buku ini, mengingat secara implisit, telah termasuk dalam dua
macam syarat di atas.
Reliabilitas.
Secara sederhana, reliabilitas (reliability) berarti hal tahan uji atau dapat
dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliable atau tahan uji, apabila
memiliki konsistensi atau keajegan hasil. Artinya, apabila alat itu diujikan
kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan prestasi “X”, maka
prestasi yang sama atau hampir sama dengan “X” itu dapat pula dicapai kelompok
siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain.
Validitas.
Pada prinsipnya, validitas (validity)
berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah)
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah
alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item
(butir-butir soal) dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur
kemampuan matematis para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan,
seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS, dan sebagainya tidak perlu diukur
oleh instrumen evaluasi matematika tersebut.
B.
Ragam
Alat Evaluasi
Secara
garis besar, ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu: 1) bentuk
objektif; dan 2) bentuk subjektif. Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam
bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik, dan percobaan satu
pernyataan dengan pernyataan lainnya.
1. Bentuk
objektif
Bentuk
ini lazim juga disebut tes obejktif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi
skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedmoan yang ditentukan sebelumnya.
Ada lima macam tes yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.
a)
Tes Benar-Salah
Tes
ini merupakan alat evaluasi yang paling bersahaja baik dalam hal susunan
item-itemnya maupun dalam hal cara menjawabnya. Soal-soal dalam tes ini
berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika
pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun
dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih ialah
“ya” atau “tidak”.
Dalam
dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua
alasan.
1.
Tes “B-S” tidak menghargai kreativitas
akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari
dua alternatif yang ada.
2.
Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu
dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya.
b)
Tes Pilihan Berganda
Item-item
dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau
pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima
alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim
dilakukan ialah mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan ialah
menyilang (X) salah satu huruf a, b, c, d, atau e yang menandai alternatif
jawaban yang benar.
Pada
zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai
meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan di luar pengukuran
prestasi belajar. Alasan-alasan ditinggalkannya jenis ini ialah:
1. kurang
mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa
disuruh berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.
2. sering
terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau
sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif;
3. sering
terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga
jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.
Namun
demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dapat dipakai untuk
mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan, penyusunannya dilakukan
secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seyogianya berusaha sebaik-baiknya
untuk menghindari kelemahan-kelemahan di atas.
c)
Tes Pencocokan (Menjodohkan)
Tes
pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuat
kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam
menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau
istilah yang ada pada daftar A (berisi item-item yang ditandai dengan nomor
urut 1 sampai 10 dan seterusnya menurut kebutuhan) dengan daftar B terdiri atas
item-item yang ditandai huruf a, b, c, dan sterusnya. Untuk menjaga mutu reliabilitas
dan validitas, salah satu daftar instrumen evaluasi di atas sebaliknya ditambah
sekitar 10% sampai 20%. Dengan demikian, kemungkinan siswa menebak sekenanya
pada saat mengerjakan satu atau dua soal yang terkahir dapat dihindari.
d)
Tes Isian
Alat
tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada
bagian-bagiannya yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas
siswa dalan hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan
karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang
kosong yang terdapat pada badan karangan tadi.
e)
Tes pelengkapan (Melengkapi)
Cara
menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan cara menyelesaikan tes
isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai
instrumen. Dalam tes melengkapi kalimat-kalimat yang tersusun dalam bentuk
karangan atau cerita pendek. Tetapi dalam bentuk kalimat-kalimat yang
masing-masing berdiri sendiri.
2. Bentuk
Subjektif
Alat
evaluasi yang berbentuk tes subjektif adalah alat pengukur prestasi belajar
yang jawabannya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang
digunakan untuk evaluasi objektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya
jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian
mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau
dalam bentuk karangan bebas.
Banyak
ahli menganggap evaluasi subjektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan
validitasnya, karena subjektivitas guru penilaiannya lebih menonjol
(Suryabrata, 1984). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70,
mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60
atau 80. Alasan ini konon berdasarkan hasil penilaian 55 tahun yang lalu,
antara lain oleh E.W. Tiegs (1939) dan Strach & Elliof (1939).
Namun
demikian, menghindari pemakaian tes subjektif (essay test) hanya karena alasan subjektivitas guru adalah suatu
tindakan yang menentang perkembangan modernisasi pendidikan. Tes esai kini
lebih populer di mana-mana khususnya di negara-negara maju, mengingat
keunggulannya yang sulit ditandingi terutama oleh instrumen tes B-S dan pilihan
berganda yang sering mendorong siswa bermain tebak-tebakan atau “menghitung
kancing” itu.
Ada
beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata
(1984).
a.
Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan
hasil jawaban siswa, tetapi juga cara dan jalan yang ditempuh untuk memperoleh
jawaban itu.
b.
Tes esai dapat mendorong siswa untuk
berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung
jawab.
5.
INDIKATOR
PRESTASI BELAJAR
Pada
prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis
yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Namun
demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya
ranah rasa murid, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu
ada yang bersifat intangible (tak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat
dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah
laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan tingkah
laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang
terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun
yang berdimensi karsa.
Kunci
pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang
terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya
prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau
diukur.
6.
BATAS
MINIMAL PRESTASI BELAJAR
Setelah
mengetahui indikator prestasi belajar di atas, guru perlu pula mengetahui
bagaimana kita menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal
ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap
berhasil dalam arti luas bukanlah perkara mudah. Keberhasilan dalam arti luas
berarti keberhasilan yang meliputi ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.
Ranah-ranah
psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap
sekaligus bila hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah.
Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama
Islam, belum tentu rajin beribadah salat. Sebaliknya, siswa lain yang hanya
mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku
yang baik dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jadi,
nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan “X” dalam rapot, misalnya, mungkin
secara afektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “X+”. Inilah tantangan berat
yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini
guru seyogianya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif,
tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga
memperhatikan kiat penilaian afektif dan psikomotor siswa.
Menetapkan
batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan pengungkapan
hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan
siswa setelah mengikuti proses mengajar-belajar. Di antara norma-norma
pengukuran tersebut ialah:
a) norma
skala angka dari 0 sampai 10;
b) norma
skala angka dari 0 sampai 100.
Angka
terendah yang menyatakan kelulusan/keberhasilan belajar (passing grade) skala
0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil
pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas
dapat menjawab lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah
instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal
keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dipertimbangkan oleh para
guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalnya 65 atau 70)
untuk pelajaran-pelajaran inti (core
subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain: bahasa dan
matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa mengurangi pentingnya
bidang-bidang studi lainnya) merupakan “kunci pintu” pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Pengkhususan passing grade
seperti ini sudah berlaku umum di negara-negara maju dan meningkatkan kemajuan
belajar siswa dalam bidang-bidang studi lainnya.
7.
EVALUASI
PRESTASI KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTOR
Pada
bagian ini akan dibahas serba singkat alternatif pengukuran keberhasilan
belajar baik yang berdimensi ranah cipta, ranah rasa, maupun ranah karsa.
Namun, tekanan khusus pada bagian ini akan diberikan pada pengukuran prestasi
ranah rasa, mengingat sangat jarangnya buku yang membahasa masalah tersebut
secara memadai.
A.
Evaluasi
Prestasi Kognitif
Mengukur
keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan.
Karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan
perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan
khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung).
Dampak
negatif yang tak jarang muncul akibat tes yang face to face itu, ialah sikap
dan perlakuan yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun
tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada
siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan
di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang
tidak relevan dengan topik.
Untuk
mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang
berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S),
seyogianya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila Anda
menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampaun kognitif siswa,
selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai
gantinya, Anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching
test), tes isian, dan tes esai. Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan
sintesis siswa, Anda lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes
ini adalah satu-satunya ragam instrumen evaluasi yang paling tepat untuk
mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.
B.
Evaluasi
prestasi afektif
Dalam
merencanakan penyusunan instrumen tes prestasi siswa yang berdimensi afektif
(ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seyogianya
mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa
itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Salah
satu bentuk tes ranah rasa yang populer ialah “Skala Likert” (Likert Sclae)
yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap orang (Reber, 1988).
Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju,
ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor
1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu
dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai “sangat tidak”. Perlu
pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa
yang representatif, item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan identitas
sikap yang meliputi: 1) doktrin; 2) komitmen; 3) penghayatan; 4) wawasan.
Selanjutnya,
tugas siswa yang sedang dievaluasi (testee) adalah memilih alternatif sikap
yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Kemudian, sikap itu dinyatakan
dengan cara memberi tanda cek (√) pada angka yang sesuai dengan kecenderungan
sikapnya. Cara penyelesaian evaluasi sikap dengan membubuhkan tanda cek seperti
itu berlaku baik untuk skala Likert maupun skala diferensial semantik.
Hal
lain yang perlu diingat guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa
dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukan benar dan salah, melainkan sikap
atau kecenderungan setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi
ranah cipta yang secara prinsipal bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan
batasan salah dan benar.
C.
Evaluasi
Prestasi Psikomotor
Cara
yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi
ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Observasi, dalam hal ini,
dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau
fenomena lain, dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan
dari eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu
cara observasi (Reber, 1988).
Guru
yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor siswa-siswanya seyogianya
mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang
terdapat dalam lembar format observasi yang seluruhnya telah disediakan, baik
oleh sekolah maupun oleh guru itu sendiri.
Penilaian
membuat bendera itu didasarkan pada ada atau tidak adanya kegiatan yang
tercantum di dalam format observasi. Kolom “Ya” dan kolom “Tidak” hendaknya
diisi oleh guru dengan cara membubuhkan tanda cek (√) sesuai dengan kenyataan.
Penulisan nama atau nomor pokok siswa dapat dilakukan pada bagian sudut atas
lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan pada bagan sudut atas lembar
observasi, jika kegiatan tes dilakukan secara individual. Jika tes dilakukan secara
berkelompok, penulisan kata “perempuan” dan “laki-laki” (sebagai kelompok
terpisah) dapat juga dilakukan sebagai salah satu alternatif.
Selanjutnya,
apabila guru menghendaki penilaian dengan menggunakan norma skala angka, kolom
“ya” dan “tidak” dapat dihapus dan diganti dengan skor-skor, misalnya mulai 5
sampai 10. Siswa yang mendapat skor 5 ke bawah dianggap tidak memenuhi kriteria
keberhasilan belajar.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar