Minggu, 09 November 2014

Evaluasi Prestasi Belajar


 

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal pokok yang berhubungan dengan prestasi atau kinerja akademik (academic performance) dan penetapan batas minimal prestasi belajar siswa.

1.      DEFINISI EVALUASI

Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.

Ulangan dan Ulangan Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) itu dan TPB (Tes Prestasi Belajar) adalah alat-alat ukur yang banyak digunakan untuk menemukan taraf keberhasilan sebuah proses mengajar-belajar atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran. Sementara itu, istilah evaluasi biasanya dipandang sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kini disebut UN.

2.      TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI

Assessment menurut Petty (2004), mengukur keluasan dan kedalaman belajar, sedangkan evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar yang pada dasarnya merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung bersifat kuantitatif, lantara penggunaan simbol angka untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa dianggap nisbi. Walupun begitu, guru yang piawai dan professional akan berusaha mencari kiat evaluasi yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.

A.    Tujuan Evaluasi

Pertama, untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya itu.

Kedua, untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai alat penetap apakah siswa tersebut termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.

Ketiga, untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil yang baik pada umumnya menunjukkan tingkat usaha yang efisisen, sedangkan hasil yang buruk adalah cermin usaha yang tidak efisien.

Keempat, untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.

Kelima, untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses mengajar-belajar (PMB). Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru amat dianjurkan mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi.

Selain itu, berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Oleh karena itu, maka evaluasi belajar seyogianya dilakukan guru secara terus-menerus dengan pelbagai cara, bukan hanya pada saat-saat ulangan terjadwal atau saat ujian belaka.

B.     Fungsi Evaluasi

Di samping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

a.       fungsi administrative untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor;

b.      fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan;

c.       fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan);

d.      sumber data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan konseling (BK);

e.       bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PMB.

Selanjutnya, selain memiliki fungsi-fungsi seperti di atas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru dan orangtuanya. Bagi siswa, penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-connsciousness, kesadarannya yang lugas mengenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akalnya sendiri (Mulcahy et al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan posisi dan statusnya secara tepat di antara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.

Bagi orangtua atau wali siswa, dengan evaluasi itu kebutuhan akan pengetahuan mengenai hasil usaha dan tanggung jawabnya mengembangkan potensi anak akan terpenuhi. Pengetahuan seperti ini dapat mendatangkan rasi pasti kepada orangtua dan wali siswa dalam menentukan langkah-langkah pendidikan lanjutan bagi anaknya. Sedangkan bagi para guru sendiri (sebagai evaluator), hasil evaluasi prestasi tersebut dapat membantu mereka dalam menentukan warna sikap “efikasi-diri” dan “efikasi-kontekstual”.

Di samping itu, evaluasi prestasi belajar sudah tentu juga berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 Bab XVI Pasal 57 (1) yang berbunyi: “Evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.

3.      RAGAM EVALUASI

Pada prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.

A.    Pre-test dan Post-test

Kegiatan pretest dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya ialah untu mengidentifikasi saraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Evaluasi seperti ini berlangsung sinkat dan sering tidak memerluakan instrumen tertulis.

Post test adalah kebalikan dari pretes, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan. Evaluasi ini juga berlangsung singkat dan cukup dengan menggunakan instrument sederhana yang berisis item-item yang jumlahnya sangat terbatas.     

B.     Evaluasi Prasyarat

Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pretest. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan. Contoh: evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai pelajaran perkalian bilangan, karena penjumlahan merupakan prasyarat atau dasar perkalian.

C.    Evaluasi Diagnostik

Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan.

D.    Evaluasi Formatif

Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya ialah untuk memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis kesulitan belajar tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).

E.     Evaluasi Sumatif

Ragam penilaian sumatif kurang lebih sama dengan ulangan umum yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau presasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja akademik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.

F.     UAN/UN

Ujian Akhir Nasional atau Ujian Nasional (UN) pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun, UAN yang dimulai diberlakukan pada tahun 2002 itu dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu yakni jenjang SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah), dan seterusnya.

4.      SYARAT DAN RAGAM ALAT EVALUASI

A.    Syarat Alat Evaluasi

Langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi (test instrument) yang sesuai dengan kebutuhan, dalam arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan.

Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam perspekif psikologi belajar (The psychology of learning) meliputi dua macam, yakni: 1) reliabilitas; 2) validitas, (Cross, 1974; Barlow, 1985; Butler, 1990). Persyaratan lain seperti objektif, diskriminatif, dan sebagainya yang dikemukakan oleh kebanyakan penyusun buku psikologi pendidikan tidak dibahas dalam buku ini, mengingat secara implisit, telah termasuk dalam dua macam syarat di atas.

Reliabilitas. Secara sederhana, reliabilitas (reliability) berarti hal tahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliable atau tahan uji, apabila memiliki konsistensi atau keajegan hasil. Artinya, apabila alat itu diujikan kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan prestasi “X”, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “X” itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain.

Validitas. Pada prinsipnya, validitas (validity) berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah) apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item (butir-butir soal) dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS, dan sebagainya tidak perlu diukur oleh instrumen evaluasi matematika tersebut.   

B.     Ragam Alat Evaluasi

Secara garis besar, ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu: 1) bentuk objektif; dan 2) bentuk subjektif. Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik, dan percobaan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.

1.      Bentuk objektif

Bentuk ini lazim juga disebut tes obejktif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedmoan yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam tes yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.

a)      Tes Benar-Salah

Tes ini merupakan alat evaluasi yang paling bersahaja baik dalam hal susunan item-itemnya maupun dalam hal cara menjawabnya. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih ialah “ya” atau “tidak”.

Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan.

1.      Tes “B-S” tidak menghargai kreativitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari dua alternatif yang ada.

2.      Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya.

b)      Tes Pilihan Berganda

Item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan ialah mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan ialah menyilang (X) salah satu huruf a, b, c, d, atau e yang menandai alternatif jawaban yang benar.

Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan di luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-alasan ditinggalkannya jenis ini ialah:

1.      kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa disuruh berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.

2.      sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif;

3.      sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.

Namun demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dapat dipakai untuk mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan, penyusunannya dilakukan secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seyogianya berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari kelemahan-kelemahan di atas.

c)      Tes Pencocokan (Menjodohkan)

Tes pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar A (berisi item-item yang ditandai dengan nomor urut 1 sampai 10 dan seterusnya menurut kebutuhan) dengan daftar B terdiri atas item-item yang ditandai huruf a, b, c, dan sterusnya. Untuk menjaga mutu reliabilitas dan validitas, salah satu daftar instrumen evaluasi di atas sebaliknya ditambah sekitar 10% sampai 20%. Dengan demikian, kemungkinan siswa menebak sekenanya pada saat mengerjakan satu atau dua soal yang terkahir dapat dihindari.

d)     Tes Isian

Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagiannya yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas siswa dalan hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang kosong yang terdapat pada badan karangan tadi.

e)      Tes pelengkapan (Melengkapi)

Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan cara menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi kalimat-kalimat yang tersusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek. Tetapi dalam bentuk kalimat-kalimat yang masing-masing berdiri sendiri.

2.      Bentuk Subjektif

Alat evaluasi yang berbentuk tes subjektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi objektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.

Banyak ahli menganggap evaluasi subjektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan validitasnya, karena subjektivitas guru penilaiannya lebih menonjol (Suryabrata, 1984). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70, mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60 atau 80. Alasan ini konon berdasarkan hasil penilaian 55 tahun yang lalu, antara lain oleh E.W. Tiegs (1939) dan Strach & Elliof (1939).

Namun demikian, menghindari pemakaian tes subjektif (essay test) hanya karena alasan subjektivitas guru adalah suatu tindakan yang menentang perkembangan modernisasi pendidikan. Tes esai kini lebih populer di mana-mana khususnya di negara-negara maju, mengingat keunggulannya yang sulit ditandingi terutama oleh instrumen tes B-S dan pilihan berganda yang sering mendorong siswa bermain tebak-tebakan atau “menghitung kancing” itu.

Ada beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata (1984).

a.       Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan hasil jawaban siswa, tetapi juga cara dan jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban itu.

b.      Tes esai dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.

 

5.      INDIKATOR PRESTASI BELAJAR

Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa.

Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.

6.      BATAS MINIMAL PRESTASI BELAJAR

Setelah mengetahui indikator prestasi belajar di atas, guru perlu pula mengetahui bagaimana kita menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.

Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus bila hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah. Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam, belum tentu rajin beribadah salat. Sebaliknya, siswa lain yang hanya mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan “X” dalam rapot, misalnya, mungkin secara afektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seyogianya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian afektif dan psikomotor siswa.

Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses mengajar-belajar. Di antara norma-norma pengukuran tersebut ialah:

a)      norma skala angka dari 0 sampai 10;

b)      norma skala angka dari 0 sampai 100.

Angka terendah yang menyatakan kelulusan/keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas dapat menjawab lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dipertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalnya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain: bahasa dan matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa mengurangi pentingnya bidang-bidang studi lainnya) merupakan “kunci pintu” pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum di negara-negara maju dan meningkatkan kemajuan belajar siswa dalam bidang-bidang studi lainnya.

7.      EVALUASI PRESTASI KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTOR

Pada bagian ini akan dibahas serba singkat alternatif pengukuran keberhasilan belajar baik yang berdimensi ranah cipta, ranah rasa, maupun ranah karsa. Namun, tekanan khusus pada bagian ini akan diberikan pada pengukuran prestasi ranah rasa, mengingat sangat jarangnya buku yang membahasa masalah tersebut secara memadai.

A.    Evaluasi Prestasi Kognitif

Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung).

Dampak negatif yang tak jarang muncul akibat tes yang face to face itu, ialah sikap dan perlakuan yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevan dengan topik.

Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S), seyogianya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila Anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampaun kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai gantinya, Anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes isian, dan tes esai. Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sintesis siswa, Anda lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah satu-satunya ragam instrumen evaluasi yang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.

B.     Evaluasi prestasi afektif

Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seyogianya mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.

Salah satu bentuk tes ranah rasa yang populer ialah “Skala Likert” (Likert Sclae) yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap orang (Reber, 1988). Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai “sangat tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif, item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan identitas sikap yang meliputi: 1) doktrin; 2) komitmen; 3) penghayatan; 4) wawasan.

Selanjutnya, tugas siswa yang sedang dievaluasi (testee) adalah memilih alternatif sikap yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Kemudian, sikap itu dinyatakan dengan cara memberi tanda cek (√) pada angka yang sesuai dengan kecenderungan sikapnya. Cara penyelesaian evaluasi sikap dengan membubuhkan tanda cek seperti itu berlaku baik untuk skala Likert maupun skala diferensial semantik.

Hal lain yang perlu diingat guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukan benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah cipta yang secara prinsipal bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.

C.    Evaluasi Prestasi Psikomotor

Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Observasi, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan dari eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi (Reber, 1988).

Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor siswa-siswanya seyogianya mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang seluruhnya telah disediakan, baik oleh sekolah maupun oleh guru itu sendiri.

Penilaian membuat bendera itu didasarkan pada ada atau tidak adanya kegiatan yang tercantum di dalam format observasi. Kolom “Ya” dan kolom “Tidak” hendaknya diisi oleh guru dengan cara membubuhkan tanda cek (√) sesuai dengan kenyataan. Penulisan nama atau nomor pokok siswa dapat dilakukan pada bagian sudut atas lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan pada bagan sudut atas lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan secara individual. Jika tes dilakukan secara berkelompok, penulisan kata “perempuan” dan “laki-laki” (sebagai kelompok terpisah) dapat juga dilakukan sebagai salah satu alternatif.

Selanjutnya, apabila guru menghendaki penilaian dengan menggunakan norma skala angka, kolom “ya” dan “tidak” dapat dihapus dan diganti dengan skor-skor, misalnya mulai 5 sampai 10. Siswa yang mendapat skor 5 ke bawah dianggap tidak memenuhi kriteria keberhasilan belajar.
 
 
 
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
 

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...